Tutur Saleh: Semesta Tubuh yang Mengais Suara Rupa Alam Kebudayaan

Tutur Saleh: Semesta Tubuh yang Mengais Suara Rupa Alam Kebudayaan

“Seluruh Mulyaharja bergerak bersama: orang-orangnya, hutan-hutannya, sungai-sungainya—semua bergerak—dalam pertunjukan semesta tubuh yang mengais suara rupa alam kebudayaan: *Sunda. Ini pesta warna. Pesta cahaya. Pesta suara. Pesta gerak. Dan juga pesta makna.”

“Hebat! Ide siapa itu?”

“Putri Annisa Hendrik. Proyek itu ia namakan, Tutur Saleh: Semesta Tubuh Suara Rupa.”

Begitulah, tiba-tiba terngiang dalam benak saya suatu gaya tutur Sajak Rendra yang berjudul: Disebabkan Oleh Angin “Priangan”, yang lalu saya ubah-tambah beberapa desain-kata-katanya—ketika saya selesai menonton pertunjukan Tutur Saleh—yang disajikan Putri Annisa Hendrik (Putri) di Mulyaharja—Bogor 06/08/2025, dalam usaha pemenuhan ujian tugas akhirnya di Program Magister Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta.

Jika di dalam sajak Priangan, Rendra, dalam alam bawah sadarnya ketika di New York menceritakan secara rinci bagaimana Priangan dilanda kesibukan: Ajip Rosidi, Soe Hok Gie, Goenawan Mohamad, Soe Hok Djin, Popo Iskandar dkk. tengah membikin malam api unggun untuk Priangan dengan mengais mitologi Sangkuriang dan Dayang Sumbi di puncak Gunung Burangrang, saya melihat jauh di alam sadar bahwa, di Mulyaharja, Putri dkk. tengah membikin pertunjukan tari yang mengais fragmen kebudayaan Sunda, yang membuat semua masyarakat Mulyaharja dilanda kesibukan. Semua sepakat untuk memeriahkan keadaan: dan jelas ini pertunjukan bersama, dengan atau memang melalui ide-gagasan Putri sebagai koreografernya. 

Itulah mengapa sajak Priangan Rendra tiba-tiba masuk ke alam pikiran saya, ketika saya sedang khusyuk menonton pertunjukan Tutur Saleh. Sebab, keduanya bagi saya sangat bertukar-tangkap dengan lepas: bertukar konflik, bertangkap peristiwa, dan mempertimbangkan kembali apa dan bagaimana kerja kebudayaan, seperti apa dan sampai mana jangkauan hasil kebudayaan. Fantastis!

Padat cerita, pertunjukan Tutur Saleh yang didesain oleh Putri berhasil menghadirkan serangkaian perjalanan wisata masa lalu, dimulai dengan menghadirkan tokoh si Lengser yang kita tahu sangat fenomenal dalam kebudayaan Sunda, seorang yang berkelakar tapi serius, seorang yang spirituil plus filosofis. Lengser hadir sebagai upaya menyambut para tamu, para penonton, yang lalu di-selang-seling tari-tarian penghormatan dari para dayang, dan musik kesundaan menjadi pelengkap bagaimana harmonisnya suasana pembuka.

Setelah prosesi itu, Putri mengajak semua orang untuk ikut melakukan mipit amit terlebih-dahulu kepada para sesepuh di Mulyaharja, sebelum melangsungkan pertunjukannya. Sebuah adegan yang dapat kita tinjau hasil dari permenungan-memaknai nilai dari asah, asih, asuh. Ketika Mipit amit usai, semua orang lalu diajak untuk berjalan turun ke lembah Mulyaharja, sebuah arena pertunjukan yang lalu menampilkan para penari dengan diiringi musik tarawangsa, karinding, kecapi, dan sebagainya. Lembah itu rimbun. Lembah itu bahkan lebih sunyi dari diri manusia itu sendiri: para penari, penonton, bahkan masyarakat Mulyaharja sendiri.

Di lembah Mulyaharja, Putri lalu mulai melakukan gerak-tariannya. Para penari lainnya juga ikut bergerak. Gerakan mereka serupa gerakan menyapu angin, meninju langit, menendang tanah, dan lain sebagainya. Semua bergerak dalam lamunan musik. Semua bersuara tanpa mengais kata-kata. Hanya bunyi-suara yang keluar dari mulut para penari: A, I, U, E, O, mampu memecah keheningan dan melumat laju waktu yang terus memburu alam geografis Sunda yang kian mengkhawatirkan ekologinya, budayanya, sosio-psikologisnya, dan seterusnya.

Sedangkan para penonton hanya terdiam. Pertunjukannya memang terasa mengajak semua orang agar membisu sebisu-bisunya, kembali kepada fitrah-mulanya: bahasa tubuh. Dan saya, secara sadar, melihat kebisuan itu sebagai gerak alam, sebagai gerak kebudayaan. Sebab tarian yang mengais laku semesta tubuh, adalah kata-kata purba yang semua jenis manusia manapun dapat membikin persepsi atas maknanya sendiri-sendiri. Gerak tubuh adalah kerja universal. Gerak tubuh tak ada batasan. Dan tarian tak memiliki batas jangkauan. Keduanya hadir-mengalir dari dan dalam empiris kelahiran manusia yang menjadi bekal pertumbuhan rasionalitas manusia itu sendiri.

Maka dari itu, tak heran jika selanjutnya Putri lalu melangsungkan transisi pertunjukannya dengan mengajak para penonton menyusuri Kampung Mulyaharja: melihat bagaimana permainan tradisional dan lantunan kakawihan bekerja, melihat bagaimana proses makanan tradisional tersedia, melihat bagaimana ekosistem hidup masyarakatnya, dan seterusnya sampai ke pesta panen hasil bumi masyarakat Mulyaharja sebagai penutup pertunjukannya. Perjalanan ini menyiratkan sejauh mana Mulyaharja dapat menjaga ekosistem lingkungan hidupnya, ekosistem manusianya, dan bagaimana menjaga gelombang pembangunan-perubahan di luar dirinya. Dan bagi saya ini sangat kesenian, sangat kebudayaan, sangat ajaib-memukau untuk persoalan tugas akhir. 

Namun, amat sangat disayangkan jika ini berakhir menjadi dan hanya karena tugas akhir saja. Jika boleh saya berharap, pertunjukan Tutur Saleh ini mesti dan harus Putri dkk. lanjutkan: selain berseri-berlanjut, pertunjukan ini mesti menjangkau tiap wilayah Kota plus Kabupaten Bogor secara utuh, disesuaikan dan dielaborasi kembali dengan ciri khas tradisi-budaya di tiap wilayah Bogor lainnya yang akan disambangi. Lebih jauh lagi, mesti disesuaikan dan didesain ulang fenomena konflik, peristiwa, transisi dialektika tiap wilayah yang akan diziarahinya. 

Yaps, Tour Semesta Tubuh Suara Rupa! Sebab Kota dan Kabupaten Bogor bagian Barat, Timur, Selatan, Utara—mesti dijangkau keberadaannya, dieksplorasi dimensi kebudayaannya dalam kerja Tari, dieksploitasi kebekuan keseniannya. Jelas, untuk biaya produksi, sebagai fasilitator sudah seharusnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota dan Kabupaten Bogor membantu produksi itu!

***

Sepembacaan pendek saya, prosesi penciptaan tari sering kali menggunakan berbagai sumber gerak sebagai landasannya. Di Indonesia, sebagaimana dicatat Edi Sedyawati dalam Tari dan Teater di Indonesia Masa Kini, terdapat sejumlah koreografer yang bekerja dengan berbagai pendekatan, di antara mereka yang bekerja atas dasar perancangan yang ketat, artinya ia menyusun komposisi dengan struktur yang kurang lebih telah dimatangkan terlebih dahulu sebelum disampaikan dan dilatihkan kepada para penari, dengan sedikit kemungkinan untuk penyesuaian atau perubahan-perubahan kecil sepanjang proses latihan berlangsung. Nama-nama seperti Bagong Kussudiardjo, Farida Oetojo dan Julianti Parani, menurut Sedyawati adalah contoh koreografer yang pada dasarnya bekerja dengan cara itu.

Sebaliknya, Sedyawati juga menjelaskan ada pula koreografer yang ide dasarnya adalah suatu garis besar, namun jadinya sebagai karya yang selesai adalah setelah melalui proses pencarian bersama antara koreografer dan para penarinya. Contoh seperti itu menurut Sedyawati ada pada nama Sardono W. Kusumo dan I Wayan Diya yang bekerja dengan cara penentuan garis besar tersebut.

Jika uraian di atas saya elaborasi dengan apa yang disajikan Putri, sepengamatan dangkal saya, sangat mungkin apa yang dikerjakan Putri dalam prosesi-capaian pertunjukan Tutur Saleh telah mengais kedua unsur sumber yang dijelaskan Sedyawati. Sebab, selain menyusun dan mematangkan komposisi-struktur gerak-suara para penari, sebagai koreografer ia juga tengah melakukan suatu garis besar pertunjukannya, yaitu tentang gerak alam kebudayaan Sunda yang di dalamnya terhimpun ilmu pengetahuan dalam laku tradisi yang kadang bersifat transisi.

Tradisi dan transisi itulah yang lalu saya garis-bawahi ketika selesai menonton pertunjukan Tutur Saleh. Kita lihat terlebih-dahulu dua kata itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pertama, *Tradisi: 1. adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. 2. penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Kedua, *Transisi: 1. peralihan dari keadaan (tempat, tindakan, dan sebagainya). 2. perubahan keadaan sistem mekanika kuantum dari satu aras tenaga ke aras tenaga yang lain. 3. salah satu kategori penggunaan efek bunyi dan musik.

Dengan meninjau arti-makna kedua kata tersebut dalam KBBI, maka dapat kita gambarkan bahwa, walaupun tradisi adalah warisan turun temurun yang dinilai baik dan benar dalam kategori umum, tradisi juga dapat dipertimbangkan ulang citra-gunanya dengan melakukan kerja transisi yang dapat dialih-sesuaikan dengan keadaan-kondisi dewasa ini, agar tenaga tradisi dapat berdampak dan berjalan harmonis capaian-kerjanya untuk hidup hari ini dan mendatang.

Dan dengan terjedanya (untuk tidak mengatakan selesai) pertunjukan Tutur Saleh yang diolah-edarkan Putri, maka yang mesti menjadi pesta pertanyaan masyarakat Bogor khususnya, adalah: mengapa kita tidak memiliki laboratorium akademik khusus yang mempelajari kesenian? Mengapa seorang seperti Putri, mesti jauh pergi ke Surakarta untuk menempuh studi Seni Tari? Mengapa Bogor tidak belajar membikin laboratorium akademik kesenian seperti Bandung, seperti Jakarta, seperti Yogyakarta, seperti Surakarta, Denpasar, Padang Panjang, misalnya? Sejauh mana Bogor peka melihat potensi manusianya sendiri, keseniannya sendiri, alamnya sendiri, budayanya sendiri, filosofi hidupnya sendiri? Eiii, siapa yang berhak dan yang mesti menjawab rentetan pertanyaan ini?

Bukan tanpa sebab, jelas Bogor hari ini sangat memerlukan seratus bahkan lebih persona seperti Putri, untuk dapat menziarahi seluruh Desa-desa di Bogor, mentransformasikan tradisi dalam laku kesenian, mempertimbangkan kembali tradisi kebudayaan, mengolah-edarkan keduanya sebagai model kesenian yang ngindung ka waktu—mibapa ka jaman. Itulah mengapa, Bogor sangat memerlukan laboratorium akademik keseniannya sendiri: harus ada jurusan Tari, bahkan jurusan Teater, jurusan Film, jurusan Filsafat, dan tanpa itu semua Bogor tak akan tumbuh-berkembang keseniannya, kebudayaannya, bahkan manusianya. Mungkin dapat tumbuh, namun perlu mengusahakan diri agar berkembang sendiri dengan mengembara ke kota-wilayah yang ramah plus tersedia pendidikan keseniannya, kerja kebudayaannya, bahkan persona manusianya.

Sementara, Bogor belum ramah dan belum peka terhadap itu semua. Entah esok atau lusa, mungkin akan sadar. Kita tunggu saja revolusinya.***

Bogor, 6-13 Agustus 2025

  • Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.

    Lihat semua pos