Wisata Sastra di Sungai Ciliwung: Proses Terciptanya Karya dari Hilir Menengok Hulu

Gambar: Statistika Sajak


Pada kesempatan sebelumnya saya sudah menulis tentang, (jika belum membacanya, sila baca terlebih-dahulu) Menelusuri Proses Kreatif Rendra di Jalan Bogor – Jasinga Sebagai Wisata Sastra. Maka selanjutnya, saya akan mencoba melengkapi catatan sebelumnya itu pada kesempatan kali ini. Eits-eits! Mengapa demikian?

Sebab pertama, catatan kali ini masihlah sejalan dengan sebelumnya, akan meninjau serta menelusuri proses kreatif seorang Rendra. Sebab kedua, catatan sebelumnya itu (Menelusuri Proses Kreatif Rendra di Jalan Bogor – Jasinga Sebagai Wisata Sastra) masih kurang persoalan data-sumbernya terkait prosesi lahirnya sajak Rendra itu seperti apa, mengapa, dan bagaimana, masihlah bersifat kemungkinan liar saya sendiri, menyebabkan perasaan dan pikiran saya selalu bergelut tentang kekurangan itu: anyingsss! Dihenteu-heunteu ge kudu na aya nu nulis kasaksian dua sajak eta, saheunteu na aya nu nyaho proses sajak eta dijieun na kumaha. Tapi saha nyah?!. Begitulah lalu gerutu saya dalam bahasa Sunda kiwari.

Kembali pada sebelumnya juga, saya sempat mengutarakan bahwa, pertama, ketika Rendra melakukan perjalanannya menuju Jasinga, Rendra kemungkinan bersama temannya, entah kita tak bisa menembaknya dengan siapa ia, yang jelas ia tak sendiri. Di perjalanan menuju Jasinga, Bogor menjadi menarik di mata Rendra, dan terciptalah sajak Jalan Bogor – Jasinga. Kemungkinan ini disebabkan setelah Rendra membaca rentetan masa silam sebelum Bogor tercipta, dan membaca pula secara jelas letak geografisnya (dalam hal ini Jasinga, dan hubungannya dengan Kerajaan Pajajaran, Sunda umumnya, yang mana terakhir bertempat di Bogor-Banten.

Kedua, ketika sampai di Jasinga, Bogor bahkan tambah menarik di mata Rendra. Hal tersebut dibarengi dengan terciptanya sajak Hutan Bogor, bahwa Rendra telah menelusuri kenangan dan khayalan masa silam: persoalan tragedi bubat ada di dalam kerja sajaknya. Rendra sebagai seorang trah Jawa yang berada di Tanah Sunda kemungkinan tengah mengalami guncangan batin antara sejarah silam nenek-moyangnya, dan hal itulah yang menurut curiga saya mengapa sajak Hutan Bogor bisa dimaknai dengan kenangan dan khayalan masa silam yang menyiratkan peristiwa bubat.

Ketiga, setelah rehat di Jasinga tepat pukul 7 malam (sebagaimana dalam sajaknya), memungkinkan sekali Rendra menginap semalam di Jasinga, dan melanjutkan perjalanannya menuju Banten esok harinya. Mengapa saya selalu mencurigainya melanjutkan perjalanannya ke Rangkas-Bitung? Sebab, Jasinga dekat dengan Banten (khususnya Rangkas-Bitung), dan hal menarik lainnya setelah kedua sajak (Jalan Bogor – Jasinga dan Hutan Bogor) ini tercipta, beberapa tahun kemudian, ia menuliskan sajak-sajak tentang Orang-orang Rangkas-Bitung. Itulah mengapa saya menduga ada keterkaitan Rendra ke Bogor sebagai lintasan ketika ia hendak berkunjung ke Rangkas-Bitung.

Nah, sejalan dengan uraian itulah pokok yang hendak menjadi fokus saya melengkapinya pada catatan ini. Setelah berteman dengan waktu, akhirnya, setelah masuk-keluar juga ke-dalam berbagai buku-buku, mencari-cari data-sumber terkait proses-kreatif Rendra tentang kedua sajak tersebut, saya menemukan kesaksian dari sahabatnya, sekaligus karib seangkatannya, menyangkut kedua sajak Jalan Bogor  – Jasinga dan Hutan Bogor itu, ialah kesaksian dari Ajip Rosidi dalam buku Otobiografinya: Hidup Tanpa Ijazah – Yang Terekam dalam Kenangan, diterbitkan oleh PT Pustaka Jaya, 2008.

Senang bukan main rasanya menemukan data-sumber itu, dan sedikit lega pula curiga saya menemui ketepatan — dan sangat mendekati kesesuaian, bahwa Rendra memang tidak sendiri ketika melakukan perjalanannya ke Jasinga, Bogor luasnya, dan Ajip Rosidi-lah orang yang menemani Rendra waktu terciptanya proses sajak itu.

Ajip menceritakan dalam otobiografinya: “pada waktu Rendra dari Solo untuk pertama kali berkunjung ke Jakarta, Ardan, Soekanto, dan aku menjemputnya di stasiun Gambir dengan sepeda. Kereta api tiba dari Solo malam hari. Maka Rendra dari stasiun langsung diajak menonton dogér di stasiun lama Senén, setelah menyimpan tasnya di rumah Ardan. Hebatnya, Réndra berani turun ke kalangan, menari dengan dogér. Tentu saja menjadi buah tertawaan dan percakapan kami untuk beberapa lamanya. Sepulang dari Jakarta Rendra menulis sajak mengenai Ciliwung dan penari dogér.

Pada kunjungan itu Rendra kuajak menemui H.B. Jassin, Atun, dan lain-lain. Pada kesempatan lain kuajak mengunjungi Mochtar Lubis yang sedang menjadi tahanan rumah sehingga ia pernah berkata bahwa akulah yang memperkenalkan tokoh-tokoh di ibukota kepadanya yang ketika itu merasa sebagai orang daerah. Juga pernah kuajak ke Kebun Raya Bogor, lalu mengunjungi Kang Aoh K. Hadimadja yang ketika itu bekerja di Perkebunan Jasinga Estate dan menginap di sana. Dia menulis sajak tentang Kebun Raya Bogor. Kang Aoh (Aoh K Hadimadja) sendiri menulis cerita péndek “Artis yang Ulung” yang didedikasikan kepadaku dan Rendra (dimuat dalam buku Poligami, Jakarta, Pustaka Jaya, 1975).” (sila cek: hal.100).

Walaupun hanya dua paragraf saja kutipan kesaksian yang diuraikan Ajip dalam bukunya, tentu sudah cukup kuat dan malahan diperjelas prosesinya bahwa, awalnya Rendra yang dari Solo itu datang ke Jakarta untuk pertama-kalinya dengan niat bertemu Ajip dan kawan-kawannya. Sebab Rendra sampai di Jakarta pada malam hari, Ajip mengajak Rendra untuk nonton doger (atau ronggeng, di daerah senen), dan bahkan Rendra berani turun ke kalangan (dalam arti, berani berjoget dengan perempuan ronggeng), yang mana Ajip dan kawan-kawannya bahkan tak berani turun.

Dengan begitu, kesaksian Ajip semakin memperjelas, sepulang dari Jakarta Rendra juga menulis sajak tentang Ciliwung dan Doger (Ronggeng). Kesaksian Ajip tentang sajak Ciliwung dan Doger itu tentu bisa kita dapati dalam buku Rendra yang berjudul: Empat Kumpulan Sajak, yang mana di-kumpulan sajaknya itu tertera 4 sajak ditulis oleh Rendra di Jakarta, berjudul: Ciliwung, Ciliwung yang Manis, Bulan Kota Jakarta, dan Kalangan Ronggeng (ulasan sajak akan saya hadirkan pada pembahasan selanjutnya di bawah).

Dan kutipan paragraf kedua-lah yang akan mengantarkan kita bagaimana perjalanan Rendra ke Bogor, yang sebelumnya Ajip mengajak Rendra terlebih-dahulu menemui H.B Jassin dan kawan-kawan lainnya, malahan dihadirkan pula kesaksian dari Mochtar yang mengatakan, bahwa ternyata Ajip-lah yang memperkenalkan tokoh-tokoh di Ibu-kota itu kepada Rendra. Setelah itu, Ajip mengajak Rendra ke Kebun Raya Bogor, lalu mengunjungi Aoh K Hadimadja yang bekerja di perkebunan Jasinga Estate, dan mereka menginap di sana. Ajip juga lalu mengatakan, hal tersebutlah yang menyebabkan Rendra menulis sajak tentang Kebun Raya Bogor. Karena sudah saya selami seluruh kumpulan sajak-sajak Rendra yang terbit dalam buku, tak ada sajak yang berjudul Kebun Raya Bogor, maka jelaslah yang dimaksud Ajip adalah sajak Hutan Bogor, dan juga sajak Jalan Bogor – Jasinga.

Terlihat jelas, kekeliruan saya terletak pada kecurigaan tentang proses sajak Hutan Bogor, awalnya saya menganggap pada tulisan sebelumnya, sajak Hutan Bogor ditulis ketika Rendra berada di Jasinga dan ia melihat-mengalami bagaimana hujan, kabut, dan suasana pegunungan Halimun di sana. Kesaksian menurut Ajip-lah menjadi titik-tolak pelengkapnya, bahwa sajak Hutan Bogor sangat tepat terjadi ketika Rendra berkunjung dan sedang berada di Kebun Raya Bogor, sesuai kesaksian Ajip di atas. Walaupun sebenarnya pada catatan sebelumnya saya sempat menduga-kira sajak tersebut juga bisa saja terjadi di Kebun Raya. Sedangkan sajak Jalan-Bogor Jasinga masihlah sejalan anggapan awal, dan sesuai dengan kesaksian Ajip pula, bahwa mereka ke Jasinga untuk berkunjung ke Kang Aoh (Aoh K Hadimadja, merupakan seorang sastrawan kelahiran Bandung) yang bekerja di perkebunan Jasinga Estate, dan dalam isi sajak Jalan Bogor – Jasinga sangat selaras dengan cerita Ajip tersebut.

Sejalan dengan itu, curiga saya terhadap sajak Hutan Bogor, yang sebelumnya saya mengatakan dalam sajak Hutan Bogor itu Rendra seperti menelusuri kenangan dan khayalan masa silam: ada persoalan tragedi bubat dalam kerja sajaknya. Rendra sebagai trah Jawa yang berada di Tanah Sunda kemungkinan tengah mengalami guncangan batin antara sejarah nenek-moyangnya sendiri. Kalau mengacu pada curiga saya sebelumnya itu, bukankah sangat tepat sasaran jika sajak itu ditulis atau merespon suasana alam Kebun Raya, yang mana Kebun Raya merupakan taman Kerajaan Pajajaran di masa silam? (selengkapnya, sila baca: Sajak Hutan Bogor).

Hal ini menjadi tambah lebih menarik tentunya. Maka, sekarang terkumpul-lah, selain Iwan Simatupang, untuk sementara yang berada dalam catatan saya, Bogor (Jasinga khususnya) dalam jejak sastra memiliki hubungan dengan Jonathan Rigg, Rendra, dan sekarang ditemukan data-sumber pula bahwa Aoh K Hadimadja juga lekat dengan kehidupan di Jasinga dalam karyanya. Aoh membuahkan beberapa karya di sana, cerita-pendek khususnya, yang berjudul “Artis yang ulung” dan “Poligami,” terkumpul dalam bukunya berjudul, (baca kumpulan cerpennya: Poligami. Pustaka Jaya, 1975). Dikarenakan pembahasan menyangkut Aoh akan sangat panjang, akan saya bahas lain waktu dan kesempatan yang lain.

Tapi secara singkat, Aoh seperti seorang kembara, setelah hilir-mudik ke berbagai Kota dan Negara dalam siklus pekerjaannya, Aoh yang semula sempat juga bekerja di perkebunan daerah Sukabumi, akhirnya memilih juga bekerja di perkebunan karet, Jasinga – Bogor. la menyingkir dari keramaian kota Jakarta dan memilih menyepi di sebuah perkebunan disebabkan situasi politik yang kacau-balau pada waktu itu. Hadirlah karyanya dalam bentuk cerpen yang tadi sudah saya katakan berjudul, “Artis yang ulung” dan “Poligami”.

Disebabkan data-sumber yang saya temukan hanya sampai di situ, dan juga sesuai fokus utama saya pada kesempatan kali ini masihlah akan membahas proses kreatif Rendra. Dengan demikian, belumlah bisa terungkap curiga awal saya tentang apakah ketika Rendra (dan Ajip) ke Jasinga, benar melanjutkan perjalanannya ke Rangkas Bitung atau tidak, masih menjadi misteri. Setidaknya ada setetes kebenaran dalam kesaksian Ajip, bahwa Rendra tidak serta-merta datang ke Bogor lalu menulis sajak, melainkan berniat berkunjung ke Kebun Raya dan bertamu ke tempat Aoh yang bekerja di perkebunan Jasinga Estate, dan menginap semalam di sana.

Dari Hilir Mengok Hulu

Ketika sudah menemukan data-sumber di atas, dan melengkapi kekeliruan atas pengamatan sajak Jalan Bogor – Jasinga dan Hutan Bogor, sangat sia-sia jika tidak diteruskan sebagai wahana kreatif dalam tinjauan wisata sastra. Oleh sebab itu, saya akan meneruskan proses kreatif Rendra di hilir sungai Ciliwung (Jakarta), sebagai refleksi untuk hulu sungai Ciliwung (Bogor), sebagaimana sudah dikatakan lahir 4 sajaknya berjudul: Ciliwung, Ciliwung yang Manis, Bulan Kota Jakarta, dan Kalangan Ronggeng. Namun, yang akan menjadi ulasan pada bahasan kali ini hanya sajak Ciliwung dan Ciliwung yang Manis. Sebabnya tidak lain, sungai Ciliwung sangat terikat dengan jalan panjang kehidupan Bogor (sebagai hulunya), sekaligus akan menarik untuk kita telusuri bersama muatan makna-kreatifnya.

Kalau boleh saya bergurau terlebih-dahulu, agaknya Rendra menyadari satu hal bahwa, ketika berada di hilir sungai Ciliwung yang keruh – di Jakarta itu, ia penasaran dan berhasrat menegok hulu sungai Ciliwung – di Bogor. Dengan demikian, kunjungannya ke Bogor bersama Ajip, tentu bukan sekedar hasrat niis atau healing, pastilah ada kaitannya dengan sajak Ciliwung dan Ciliwung yang Manis — yang ditulis Rendra terlebih-dahulu(?), sebelum pada akhirnya ia menulis Jalan Bogor – Jasinga dan Hutan Bogor. Gurauan saya itu, bisa kita kenali proses dalam kepribadian Rendra dalam sajaknya sendiri, sebagaimana kutipan sajaknya yang amat-sangat kita kenali bersama: tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan/ kita mesti keluar ke jalan raya/ keluar ke desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata.

Yupsss! Seperti biasa, agar pembaca juga bisa ikut serta menyusuri jalannya sajak, mari simak bersama selengkapnya di bawah ini. Saya ambil kedua sajak ini dari kumpulan sajaknya berjudul, Empat Kumpulan Sajak, PT Pustaka Jaya , 1961.

Ciliwung

.

Ciliwung kurengkuh dalam nyanyi

kerna punya coklat kali Solo.

Mama yang bermukim dalam cinta

dan berulang kusebut dalam sajak

wajahnya tipis terapung

daun jati yang tembaga.

Hanyutlah mantra-mantra dari dukun

hati menemu segala yang hilang.

.

Keharuan adalah tonggak setiap ujung

dan air tertumpah dari mata-mata di langit.

Kali coklat menggeliat dan menggeliat.

Wajahnya penuh lingkaran-lingkaran bunda!

.

Katakanlah dari hulu mana

mengalir wajah-wajah gadis

rumah tua di tanah ibu

ketapang yang kembang, kembang jambu berbulu

dan bibir kekasih yang kukunyah dulu.

.

Katakanlah, Paman Doblang, katakanlah

dari hulu mana mereka datang:

manisnya madu, manisnya kenang.

Dan pada hati punya biru bunga telang

pulanglah segala yang hilang.

Membaca serta mengamati bait pertama sajak Ciliwung di atas, kita akan melihat Rendra menghadirkan kata Ciliwung dalam motif sentralnya: Ciliwung kurengkuh dalam nyanyi. Secara geografis, hulu sungai Ciliwung berada di dataran tinggi di perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau lebih tepatnya di mata air Gunung Gede – Pangrango dan Telaga Saat yang terletak di lereng Pegunungan Jonggol sebelah utara kawasan Puncak-Bogor, lalu berakhir di hilir Teluk Jakarta.

Dalam konteks ini, Rendra seperti melibatkan makna historis dan simbolis yang memiliki relevansi pengalaman hidupnya dalam memandang filosofi sungai. Itulah mengapa ia mampu merengkuh Ciliwung dalam nyanyinya, yang membawanya pada kenangan kali Solo, di kampung halamannya sendiri.Berkenaan dengan kampung halaman, maka seorang anak lelaki ketika jauh dari rumah pastilah yang dirindu-sayangi tak lain adalah seorangMama yang bermukim dalam cinta/ dan berulang kusebut dalam sajak/ wajahnya tipis terapung/ daun jati yang tembaga/ Hanyutlah mantra-mantra dari dukun/ hati menemu segala yang hilang.

Maka, jika di-sejalan-kan dengan Ciliwung sebagai geografis sekaligus makna simbolis, Rendra sangat mungkin membayangkan sungai Ciliwung sebagai representasi aliran waktu dan ruang kehidupan, dan dalam konteks sajak ini dapat dilihat sebagai siratan perjalanan hidup seorang Rendra tengah belajar menempuh dunia jasmani dan rohaninya sebagai penyair, menyiratkan pula bahwa dalam lakon semua anak manusia di bumi ini, baik ataupun buruk kehidupannya, pada kenyataan hidupnya pastilah akan menyayangi, mencintai, dan terus memiliki rasa rindu jauh di kedalaman hati yang tentu selalu tertuju pada seorang ibu, apalagi jika seorang ibu itu telah lebih dahulu pergi dari dunia ini: Mama yang bermukim dalam cinta/ dan berulang kusebut dalam sajak (semacam doa-kah?).

Jika konteks ini pula kita kaitkan dengan kesaksian Ajip, maka pada waktu Rendra pertama-kali datang ke Jakarta dan lahirnya sajak Ciliwung dan Ciliwung yang Manis itu, kurang-lebih antara tahun 1954, atau 1955, atau mungkin lebih, sebab dalam catatannya Ajip hanya menjelaskan waktu itu ia berusia 16 tahun pada waktu bersama Rendra, dan jelaslah umur Rendra berarti 19 tahun, dapat kita lihat bersama hal tersebut dari tanggal lahirnya, mereka terlampau berbeda 3 tahun saja, lebih tua Rendra. Dengan begitu, sangat wajar Rendra memperjelas arah citra-suasana sebagai seorang anak merindu kampung halaman, merindu ibunya.

Seperti lanjutan sajaknya di bait kedua, keharuan adalah tonggak setiap ujung/ dan air tertumpah dari mata-mata di langit/ Kali coklat menggeliat dan menggeliat/ Wajahnya penuh lingkaran-lingkaran bunda!. Bundanya sebagai tujuan dari sasaran sajaknya, yang mana Rendra menjelaskan bahwa, ketika melihat sungai Ciliwung, mengapa timbul banyak fenomena-peristiwa yang rumit — tak seperti hidupnya di desa, bahkan berkembang keharuan melihat kehidupan kota yang pada persoalannya tak pernah selesai kerumitannya, sebab tak memiliki sudut sisi sebagaimana takdir dari makna lingkaran-lingkaran Bunda.

Di bait ketiga, setelah nuansa kangen dihadirkan, kita semakin diperlihatkan bagaimana Rendra dalam alam sadarnya mempertanyakan inti dari cerita sajaknya, katakanlah dari hulu mana/ mengalir wajah-wajah gadis/ rumah tua di tanah ibu/ ketapang yang kembang, kembang jambu berbulu/ dan bibir kekasih yang kukunyah dulu. Ada perbandingan yang jelas dihadirkan Rendra dalam bait ketiga ini, tentunya antara kehidupan desa dan kota. Kalau diperjelas mungkin begini: ketika Rendra mengalami suasana kota Jakarta, dengan keramaian manusia dan tata-huniannya, tentu betolak-belakang dengan kehidupan di desanya. Sebab di desanya sungai masihlah bersih, dibayangkannya air jernih serupa wajah gadis cantik, bangunan rumah ibu yang mempunyai halaman asri, rimbunan pohon ketapang dan pohon jambu berkembang, dan ada pula seseorang yang menjadi kekasihnya, dan itu semua tak ia dapatkan di kota.

Apa yang dialami-rasakan Rendra dalam sajak Ciliwung, mencapai puncak renungannya dalam bait keempat, katakanlah, Paman Doblang, katakanlah/ dari hulu mana mereka datang/ manisnya madu, manisnya kenang/ Dan pada hati punya biru bunga telang/ pulanglah segala yang hilang. Jika kita mengikuti uraian bait sebelumnya, maka dengan rasa haru-biru, ia menghadirkan Paman Doblang (seorang yang seperti mitos dalam wujud perjuangan) dan menembaknya dengan senjata pertanyaan sekaligus pernyataan, dengan desakan: katakanlah Paman Doblang, kenapa sungai ini menjadi keruh dan kotor?! Dari hulu mana sebenarnya mereka datang, bukankah sungai di hulu bersih dan jernih, sebagaimana kali Solo?! Namun, Rendra pada dasarnya sudah menyadari bahwa pada hati punya biru seperti bunga telang, pastilah ada juga yang lalu pulanglah segala yang hilang.

Sedangkan, jika kita memadukan kepribadian Rendra dalam kerja proses kreatifnya dan mengacu pada proses sajak Ciliwung tersebut, ada benang-merah yang erat-berhubungan, sebagaimana ia menyatakan, orang mempunyai banyak cara untuk mengungkapkan isi hati atau isi perasaannya. Seseorang berbicara untuk mengungkapkan isi pikirannya, merengut untuk mengungkapkan kemarahannya, menangis untuk mengungkapkan kesedihannya, menarik nafas atau menggeliat untuk mengungkapkan kata hati yang lain. Daripada merengut, menangis atau menarik nafas, saya menuliskan sajak (dalam buku Catatan-catatan Rendra Tahun 1960).

Dengan begitu, bisa kita katakan, sikap kepenyairan Rendra, meskipun pada dasarnya tidak semua kesedihan, tangis, dan katanya tarikan nafas itu dapat diterjemahkan ke dalam bentuk karya, sajak khususnya, pastilah ada seleksi sebagai rangsangan daya-ciptanya. Dan Rendra sangat apik menyeleksi itu semua. Setiap emosi, perasaan dan pikirannya itu diterjemahkan ke dalam bentuk sajak sebagai suatu rangsangan cerita yang unik-menarik, sebagai ilham dari ilham itu sendiri.

Ciliwung yang Manis

.

Ciliwung mengalir

dan menyindir gedung-gedung kota Jakarta

kerna tiada bagai kota yang papa itu

ia tahu siapa bundanya.

.

Ciliwung bagai lidah terjulur

Ciliwung yang manis tunjukkan lenggoknya.

.

Dan Jakarta kecapaian

dalam bisingnya yang tawar

dalamnya berkeliaran wajah-wajah yang lapar

hati yang berteriak karena sunyinya.

Maka segala sajak

adalah terlahir karena nestapa

kalau pun bukan

adalah dari yang sia-sia

ataupun ria yang berarti karena papa.

.

Ciliwung bagai lidah terjulur

Ciliwung yang manis tunjukkan lenggoknya.

.

Ia ada hati di kandungnya

ia ada nyanyi di hidupnya,

Hoi, geleparnya anak manja!

.

Dan bulan bagai perempuan tua

letih dan tak diindahkan

menyeret langkahnya atas kota.

Dan bila ia layangkan pandangnya ke Ciliwung

kali yang manis membalas menatapnya!

Hoi! Hoi!

.

Ciliwung bagai lidah terjulur

Ciliwung yang manis tunjukkan lenggoknya.

.

Teman segala orang miskin

timbunan rindu yang terperam

bukan bunga tapi bunga.

Begitu kali bernyanyi meliuk-liuk

dan Jakarta disinggung dengan pantatnya.

Berbeda dengan sajak Ciliwung sebelumnya, sajak Ciliwung yang Manis ini amat sangat khusus, mengacu pada fenomena-peristiwa Jakarta sebagai arah panahannya. Kesamaannya tetaplah mengacu pada kata Ciliwung yang menjadi motif sentralnya. Lalu, adakah perbedaan dan persamaan lain menurut perhatian pembaca budiman?

Kalau saya lihat-rasakan, nuansa sajak Ciliwung yang Manis seperti mengajak pembaca untuk merenungkan tentang dampak urbanisasi terhadap lingkungan dan kehidupan sosial, di Jakarta khususnya, serta pentingnya nilai mempertahankan keindahan alam di tengah-tengah perkembangan suatu kota. Sebagaimana uraian sajak bait pertama, Ciliwung mengalir/ dan menyindir gedung-gedung kota Jakarta/ kerna tiada bagai kota yang papa itu/ ia tahu siapa bundanya. Sebab, sekotor-kotornya sungai di hilir, Ciliwung punya punya Bunda lautan, masih memiliki arah-tujuan dalam keseimbangan ekosistem hidupnya. Apakah dengan demikian kota Jakarta sedang tersesat dalam kehidupannya?

Ditambah, ketika rendra menghadirkan Ciliwung bagai lidah terjulur/ Ciliwung yang manis tunjukkan lenggoknya. Ciliwung di sini saya bayangkan metafora (lidah terjulur)  yang memungkinkan menunjukkan peran sungai sebagai pembawa pesan atau kritik terhadap kondisi kota Jakarta pada saat itu. Dan banjir merupakan dampak yang biasa bagi Jakarta, bahkan sampai dewasa ini.

Kritik terhadap kota Jakarta dalam menyindir gedung-gedung kota, fenomena modernitas dan kekeringan emosional dalam kota metropolitan, tertera dalam sajak lanjutan, Dan Jakarta kecapaian/ dalam bisingnya yang tawar/ dalamnya berkeliaran wajah-wajah yang lapar/ hati yang berteriak karena sunyinya/ Maka segala sajak/ adalah terlahir karena nestapa/ kalau pun bukan/ adalah dari yang sia-sia/ ataupun ria yang berarti karena papa. Dalam gambaran itu, Rendra memberikan refleksi bahwa itu amat sangat monoton dan membosankan, serta ketidakpedulian terhadap kebutuhan dasar manusia pastilah tumbuh-berbunga. Menyebabkan kehidupan sulit di kota tertera jelas dengan wajah-wajah lapar mencerminkan kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial itu, memang sangat wajar jika Rendra mengkhawatirkan munculnya penderitaan dan kesengsaraan sebagai bentuk ekspresi atau katarsis.

Jakarta sebagai renungan lalu dilanjutkan oleh Rendra dengan merekontruksi bagaimana kerja sajak itu berjalan, segala sajak adalah terlahir karena nestapa/ kalau pun bukan adalah dari yang sia-sia/ ataupun ria yang berarti karena papa, refleksi kerja sajak yang mengacu pada nasib-takdir seorang manusia dihantui rasa lelah, jenuh, dan haus kebahagiaan dalam memandang perkembangan hidup di kota, atau kehidupan luas umumnya, yang terus menerus tumbuh-berkembang mengikuti arus zaman pastilah akan dialami seorang penyair dalam prosesnya.

Itulah mengapa, Ia ada hati di kandungnya/ ia ada nyanyi di hidupnya,/ Hoi, geleparnya anak manja! Celetuk sungai Ciliwung jauh di dalam diri Rendra. Sebab, Jakarta seperti Ibu-kota yang diceraikan suaminya, akibatnya bulan bagai perempuan tua/ letih dan tak diindahkan/ menyeret langkahnya atas kota/ Dan bila ia layangkan pandangnya ke Ciliwung/ kali yang manis membalas menatapnya! Hoi! Hoi!, lagi-lagi celetuk Ciliwung jauh di dalam diri Rendra, dengan mengejek kehidupan kota Jakarta.

Ketika sungai Ciliwung dan Rendra bekerja sama untuk mengolok-ngolok kehidupan Jakarta, hadirlah penutup sajaknya dengan pernyataan sekaligus muatan pesan-kesannya, bahwa jakarta ialah tentang teman segala orang miskin/ timbunan rindu yang terperam. Berbeda dengan desa yang bukan bunga tapi melebihi bunga. Begitu kali bernyanyi meliuk-liuk/ dan Jakarta disinggung dengan pantatnya sungai Ciliwung yang jauh berjalan di hulu, dari kedamaian desa ke peperangan hidup di kota, tetap mesti menjalani takdirnya menemui Ibu lautan. Dengan demikian, manusia yang telah lama mengembara hidup di kota Jakarta, pada suatu waktu akan mengalami guncangan kangen kepada kampung halamannya, kepada kehidupan desanya sendiri, sebagaimana apa yang Rendra alami-rasakan.

Kehidupan Hulu Terjangkit Hilir

Secara blak-blakan, kita semua pastilah sepakat, dewasa ini keadaan yang terjadi di hilir dan hulu sungai, dalam hal ini sungai Ciliwung khususnya, boleh dikatakan tak ada bedanya. Penyebabnya tentu tidak lain, sudah maraknya penyebaran urbanisasi dan perubahan cara memandang alam-lingkungan. Hulu Ciliwung di Bogor yang semula bersih-jernih, kualitas airnya baik tanpa sampah-sampah, karena pekanya manusia terhadap sungai dengan melihat nilai vegetasi alami dalam menjaga keasrian lingkungan. Kenyataannya dewasa ini dengan pertumbuhan kehidupan Bogor yang amat mirip seperti Jakarta, urbanisasi peningkatan aktivitas manusia seperti pemukiman, industri, perdagangan, pertambangan, dan sebagainya – dan seterusnya, memang sudah sangat di-wajar-kan jika peningkatan limbah domestik, industri, dan sampah-sampah lainnya juga berlangsung menyelimuti desa-desa.

Dengan begitu, pemaknaan sajak (hilir) Ciliwung untuk hulu Ciliwung hari ini, tentulah merupakan tamparan-keras untuk hunian di desa (di Bogor) itu sendiri, apakah masih mau menjaga ekosistem alam-lingkungannya, atau malahan akan terus ikut terjerumus dan pasrah seperti dunia kota yang memang sudah menjadi takdir sebagai ruang-hidup urbanisasi itu sendiri. Sebab, sampai saat catatan ini telah selesai saya tulis, persoalan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan sudah bukan barang baru, dan selalu dibahas dalam berbagai pergerakan akar rumput, diskusi kebudayaan, sarasehan ilmu-pengetahuan, seminar intelektual, simposium kehidupan, dan tetek-bengeknya, namun tetap saja perubahan atau nilai-nilai pelestarian itu seperti berlalu begitu saja dan seperti tidak mungkin bisa dicapai pada hidup masyarakat hari ini.

Apakah itu semacam karma, sebab sampai sejauh ini kita tidak mengindahkan bahwa kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Begitu kata Rendra dalam sajaknya, yang mana saya pribadi memaknai bahwa memang lakon matahari adalah wujud dari kesadaran, ia akan terus terbit dan terbenam tanpa berniat memberontak untuk tidak demikian. Sedangkan lakon bumi tentulah wujud kesabaran, di mana – di dalamnya telah hidup kita para manusia yang serakah dan senang merusak bumi itu sendiri. Lalu sebagai penengah hadirlah lakon cakrawala sebagai keberanian yang menghadirkan tokoh-tokoh seperti budak-angon, ratu-adil, dan sebagainya, yang memang ditakdirkan berbeda dengan manusia umumnya, dan mereka-lah lakon yang sanggup menempuh perjuangannya dalam melaksanakan kata-kata tanpa mengingkarinya.

Sttt, diam, jangan berbicara dan menyinggung kerja-kerja pemerintah. Dewasa ini sedang terjadi, bahkan ini sudah berlangsung lama sejak sumpah pemuda disepakati bersama, kita hanya dikarunia lupa saja: polemik kenegara-partaian, prahara bernegara-kekuasaan. Itulah mengapa, kita melupakan nilai kelestarian agraris dan maritim, kita cacat melihat sejarah, amnesia membaca kebudayaan, sebab terlalu sibuk dengan polemik itu dan prahara itu. Lihatlah, si Gustaaf Willem Baron van Imhoff itu sedang menertawai kita di teropong semesta.***