Para Wisatawan-Wiragawan[1] yang kami hormati.
Selamat datang di Kecamatan Pamijahan yang kaya dan melimpah akan dimensi eksploitasi-alam-lingkungannya. Selamat menikmati sajian pungli berikut ormas-ormas yang tak pernah absen di setiap penjuru tempat wisatanya, baik di curug-curug, camping-glamping, hutan pinus, resto-coffee, vila-vila, dan seterusnya—dan sebagainya. Dan kami ucapkan terima kasih masih memilih pariwisata di Kecamatan Pamijahan—di dalam naungan Taman Nasional Gunung Halimun Salak—yang menurut data statistik Jabodetabekjur, merupakan pariwisata dengan tingkat pertama punglinya, penghuni ormasnya, dan ketimpangan pendapatan masyarakat lokalnya, plus tragis-komedi atas ekosistem alam-lingkungannya.
Di atas kertas, sebagaimana kita tahu bersama, wisata berbasis lingkungan hidup atau lebih populer dikenal sebagai ekowisata memang membawa sejuta manfaat. Pengertian ekowisata menjadi berkembang dari waktu ke waktu, namun pengertian ekowisata pada hakikatnya adalah suatu bentuk wisata ke area alamiah yang dilakukan sebagai pertanggungjawaban terhadap kelestarian wilayah yang masih alami dan kesejahteraan penduduk setempat.
Berdasarkan konsep ekowisata ini, maka dapat diartikan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata yang mendorong usaha pelestarian dan pembangunan yang berkelanjutan serta memadukan antara pelestarian dengan pembangunan ekonomi. Capaian praktis ekowisata juga mengarah pada terbukanya lapangan kerja baru untuk masyarakat sekitar serta memberikan wawasan lingkungan terhadap wisatawan-wiragawan sekalian. Misalnya, dari sekian banyak prasyarat cara mengimplementasikan pembangunan pariwisata ekologi (ecotourism) atau pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development)[2] dalam bentuk ekowisata, konsep pengembangan pariwisata bisa didasarkan pada keunikan dan kondisi budaya suatu area atau wilayah yang akan dikembangkan dan dieksplorasi nilainya.
Dengan demikian, secara de facto ekowisata mengedepankan konsep yang mengikat “lestari alamnya, sejahtera masyarakat sekitarnya, juga tercerahkan pengunjungnya.” Lalu, mengapa pariwisata di Kecamatan Pamijahan tidak lebih dari sekadar tempat untuk selfie, cekrek-cekrek dwuaaar seperti yang kini marak menjamur? Ke mana dimensi ekowisata yang tadi kita uraikan? Apakah ekowisata tidak masuk buku panduan pihak terkait, atau memang Kecamatan Pamijahan ini sebenarnya tidak punya catatan panduan menuju pariwisata yang mengedepankan konsep ekowisata? Apakah kita tidak pernah bertobat, bahwa ekowisata sebetulnya tidak sama bahkan jauh berbeda dengan Petualangan Wisata Alam atau wisata ke-alam-an?
Sudah seharusnya kita sadar bahwa tidak semua kegiatan berbasiskan “nature” itu bisa disebut ekowisata. Sebagaimana sudah dijelaskan di muka, ekowisata hendak mencapai ekosistem masyarakat sekitar beserta alam-lingkungannya. Sudah pasti masyarakat setempat-lah yang berperan penuh menjaga kelestarian alamnya di samping mendapat keuntungan dari kegiatan ekowisata. Alam di sini bisa hutannya, lembahnya, airnya, satwanya, kebunnya, dan juga pemandangan lingkungannya. Jadi, pemberdayaan masyarakat beserta alamnya adalah kuncinya. Bukan hunian masyarakat atau alamnya yang dijadikan objek eksploitasi.
Maka dari itu, jika pariwisata di Kecamatan Pamijahan itu memakai konsep ekowisata yang sebenar-benarnya ekowisata, sudah seharusnya kelestarian alam dan ekosistem masyarakatnya akan terjaga. Atau sebaliknya, jika pariwisata di Kecamatan Pamijahan tidak memakai konsep ekowisata, bukan tidak mungkin penggusuran hunian berikut kebun-lahan garapan masyarakat akan terjadi, ekosistem alamnya akan rusak tercemar, dan segalanya akan timpang, tumpang, serta tindih seperti kebanyakan pariwisata di endonesiah.

baca dan download versi ebook: Wisata & Wiraga: Rute Terjal Gowes di West
Para Wisatawan-Wiragawan yang kami banggakan.
Beberapa waktu ke belakang, kita pastinya sudah banyak mendengar kabar berita yang beredar di kawasan Puncak—Kabupaten Bogor bagian Selatan, di mana kawasan yang seharusnya menjadi wilayah konservasi itu malah beralih fungsi menjadi wilayah “cuan” dengan dalih “ekowisata”. Berita dari kawasan puncak tersebut menjadi cermin untuk melihat bagaimana diri kami di Pamijahan. Memang, jika dibandingkan dengan Kawasan Puncak—Kabupaten Bogor bagian Selatan tersebut, Kecamatan Pamijahan—Kabupaten Bogor bagian Barat ini belum separah kondisi Puncak. Namun, apakah kondisi semacam ini perlu memasuki kategori rusak terlebih-dahulu untuk bisa sampai pada kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem alam, menjaga ekosistem lingkungan.
Coba kita lihat bagaimana Undang-Undang Republik Indonesia mengatur pembagian wilayah tentang objek wisata yang sudah pasti akan mendatangkan wisatawan. Daya tarik wisata (tourism attraction) pun sebetulnya sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Seperti Undang-Undang nomor 10 tahun 2009[3] yang mendefinisikan tourism attraction atau daya tarik wisata sebagai sesuatu yang memiliki keunikan, kemudahan, dan nilai yang memiliki keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan.
Bukankah Undang-undang tersebut pada kenyataannya hanya catatan di atas kertas saja, jika kita melihat kenyataan yang terjadi pada konsep wisata di Puncak khususnya, umumnya konsep wisata yang ada di Kecamatan Pamijahan. Walaupun tidak semua bentuk wisata bertolak dari Undang-undang tersebut, tapi jauh di atas kenyataannya banyak yang bertolak dari apa yang dituliskan Undang-undang, mengenai daya tarik sekaligus konsep/prasyarat seperti apa yang baik untuk membangun sebuah wisata. Atau dalam hal ini, apakah yang menjadi landasan pihak penyelenggara wisata hanya berfokus pada sesuatu “hasil buatan manusia,” yang mungkin menjadi penyebab utama mengapa wisata alam malah merubah konsep siklus alam itu sendiri. Kesalahan fatal ini kiranya dapat kita lihat dari bagaimana ambigunya isi Undang-undang dan bagaimana salah-kaprahnya para pihak penyelenggara ketika membaca-memaknai teks Undang-undangnya.
Jelaslah, dari frasa “hasil buatan manusia” itu saja menimbulkan kekeliruan yang dapat memunculkan pertanyaan dan mungkin konflik yang menjadi turunannya, apakah konsep wisata alam harus dengan cara menebang pohon untuk membikin rumah pohon misalnya, apakah wisata demikian yang melulu menjadi daya tarik yang lebih untuk wisatawan. Atau dengan cara mengubah lahan perkebunan-aktif menjadi lahan parkir dan mini-zoo misalnya, apakah konsep wisata tersebut akan menjadi daya tarik yang juga lebih? Lalu, kerancuan tersebut mungkin membawa pemaknaan (pihak penyelenggara) tentang konsep wisata yang mempertahankan keasrian alam-lingkungannya sebagai konsep yang tidak bisa memberikan manfaat lebih untuk para wisatawan.
Padahal, jika pihak penyelenggara bijaksana memaknai isi Undang-undang, mendalami maksud dari “memiliki keunikan, kemudahan, dan nilai yang memiliki keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan,” konsep ekowisata adalah ringkasan dari uraian yang dimaksud Undang-undang itu sendiri. Melalui konsep ekowisata, pihak penyelenggara tentu saja dapat membikin lanskap bagaimana sebuah wisata selain unik dan mudah diakses, merumuskan kekayaan alam dan budaya suatu daerah yang akan dibangunnya bisa menjadi nilai yang dapat dieksplorasi, baik mempertahankan siklus alamnya maupun mengembangkan dimensi warisan kebudayaannya, dan kami rasa itu merupakan pengembangan dari hasil buatan manusia yang lebih arif dan dapat menjadi daya tarik yang jauh lebih menarik, ketimbang hanya mencomot konsep hasil buatan manusia yang dimaknai dengan cara-cara merubah keaslian alam dan budayanya.
Para Wisatawan-Wiragawan yang arif-bijaksana.
Sebagai kelompok yang bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa, tentu saja kami tidak sedang berbicara sebagai orang yang paham betul mengenai konservasi, apalagi bermaksud mengupayakan perubahan yang besar bagi Kecamatan Pamijahan secara khusus, atau umumnya Kabupaten Bogor bagian Barat, atau bahkan Bogor secara luas ini. Kami, melalui Salakans dalam kegiatan Hayuk-kayuH ini, hanya sekadar mengupayakan langkah kecil untuk mengingat-meneroka kembali bagaimana alam dan lingkungan bekerja, bagaimana siklus manusia dan alam-lingkungannya berkait-kelindan. Sebab sebetulnya masih banyak hal yang belum kami ketahui mengenai alam-lingkungan sekitar. Maka dengan mewahanai sepeda secara bersama ini, dengan cara menyusuri lagi alam-lingkungan sekitar, dan dengan konsep berwisata yang menekankan wiraga: diharapkan tubuh ini senantiasa diasah untuk bergerak serta waspada dalam mengayuh laju cerita di jalur kehidupan.
Sederhananya, dengan mewahanai pembelajaran Hayuk-kayuH, kami menjadikan sepeda sebagai proses untuk membaca alam sekitar, mencicil cara kerja ekosistem manusia dan alam: dari kebun ke meja makan, dari proses menanam pangan ke pohon sebagai sumber kehidupan. Seperti pernah dikatakan sebelumnya: Hayuk-kayuH cuma salah satu cara kami untuk menikmati alam dan menjelajahi tempat-tempat yang mungkin tidak bisa dijangkau dengan kendaraan bermesin, atau ini adalah sebentuk upaya kami yang ingin bersenang-senang dengan tetap mengingat alam sebagai tempat kehidufun semua makhluk. Kerangka belajar itu kami sebut sebagai wisata-wiraga, sebuah rute terjal wisata yang bertolak dari yang ada, dari arus utama wisata ke-alam-an yang eksploitatif. Sebagai wahana alternatif, maka kegiatan Hayuk-kayuH dengan segala keterbatasannya masih dan akan terus belajar ke arah yang lebih baik, lebih berkesinambungan, dan tentu lebih ajek lagi atas pembelajaran panjangnya.
Dan melalui Salakans inilah, kami berupaya menyusun langkah kecil bagaimana konsep ekowisata pada kenyataan praktisnya tidak serumit kerangka teoritisnya. Kenyataan untuk menjalankan capaian sekaligus konsep ekowisata, sejauh pembacaan kami malahan sangat erat hubungannya dengan warisan-pikukuh kebudayaan Sunda yang sudah lebih dulu menerapkan pembagian wilayah: membagi wilayah mana saja yang tidak boleh digarap, diubah, bahkan tidak boleh dikunjungi oleh manusia. Wilayah mana saja yang tidak boleh diubah, digarap, namun boleh dikunjungi oleh manusia. Dan wilayah mana saja yang boleh diubah, digarap, dan dikunjungi oleh manusia, sebagaimana manusia Sunda sering menyebutnya sebagai Leuweung Titipan, Leuweung Tutupan, dan Leuweung Garapan.
Dari kerangka terminologi kebudayaan Sunda Kuna itu, dapat kita maknai bagaimana mereka para leluhur Sunda sudah waspada sejak dalam pikiran dan laku hidupnya, sudah mengerti konsep ekowisata sejak mulanya, dan sudah memahami bagaimana mengelola dan berhadapan dengan alam, yang mana kini oleh kita manusia dewasa ini mulai diabaikan dan ditabrak seenak-jidat saja. Atau, jika hal tersebut sudah kita anggap kuna dan tidak relevan bahasanya, bukankah sangat jelas sudah seharusnya kita menjaga dan tidak mengubah kawasan konservasi dalam bentuk dan cara apapun, guna tetap menjadikan hutan larangan sebagai tonggak pelestarian hunian tumbuhan dan hewan.
Tentu saja kami bukan golongan orang yang anti terhadap segala bentuk wisata kekinian yang kini marak tersebar di penjuru endonesiah, namun yang kami sayangkan mengapa secara persentase wisata kekinian itu sangat jauh lebih banyak konsepnya dibandingkan konsep ekowisata. Bukankah tidak adil, dan bukankah seharusnya diperlukan keseimbangan atau katakanlah sudah saatnya tobat untuk berlaku seimbang: 50% untuk wisata kekinian dan 50% untuk konsep ekowisata. Sebab, pembacaan dan penelusuran kami, khususnya di Kecamatan Pamijahan, yang terjadi malahan 99% wisata kekinian dan 1% untuk konsep ekowisata.
Itulah mengapa, pada mulanya kami mengatakan selamat datang di Kecamatan Pamijahan yang kaya dan melimpah akan dimensi eksploitasi-alam-lingkungannya. Inilah sebabnya, pada mulanya kami mengatakan selamat menikmati sajian pungli berikut ormas-ormas yang tak pernah absen di setiap penjuru tempat wisatanya, baik di curug-curug, camping-glamping, hutan pinus, resto-coffee, vila-vila, dan seterusnya—dan sebagainya. Dan bukankah sudah waktunya kita semua menyeimbangkannya dengan konsep ekowisata yang mengedepankan nilai kebun-pertaniannya berikut edukasinya, nilai hutan-sungainya berikut edukasinya, nilai budaya-lingkungan berikut edukasinya, nilai karya-kreatif masyarakat berikut edukasinya, dan seterusnya—dan sebagainya. Sebelum pada akhirnya segalanya akan sekarat. Sebelum pada akhirnya segalanya akan skakmat.
Para Wisatawan-Wiragawan yang reaktif-kritis.
Dalam konteks ini, nampaknya kita perlu mempertanyakan kembali definisi tentang kemajuan dan pembangunan. Apakah kemajuan dan pembangunan hanya diukur dari segi ekonomi dan infrastruktur saja, ataukah kita juga sebaiknya mulai mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan kebudayaan? Apakah kita sudah cukup peduli terhadap dampak lingkungan dari kegiatan kita, ataukah kita masih terjebak dalam pola pikir yang eksploitatif?
Perlulah dipahami bahwa lingkungan dan alam tidak hanya berfungsi sebagai sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai sumber kehidupan dan kebudayaan. Salah satu cara yang menurut hemat kami dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan mengembangkan pendekatan yang lebih holistik dalam mengelola alam dan lingkungan yang tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial dan lingkungan. Dan konsep ekowisata inilah kiranya yang dapat menjadi salah satu contoh pendekatan yang lebih holistik dalam mengelola alam dan lingkungan. Ekowisata tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, lingkungan, dan kebudayaan. Ekowisata juga dapat menjadi alat untuk mempromosikan pelestarian nilai kebudayaan, keindahan nilai alamnya, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian ekosistem alam dan lingkungan.
Namun, kita juga perlu menyadari bahwa ekowisata tidak hanya tentang mempromosikan pelestarian lingkungan dan alam, tetapi juga tentang mempromosikan keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Dengan catatan, kita perlu memastikan bahwa kegiatan ekowisata tidak hanya menguntungkan pihak tertentu, tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat lokal sebagai pilar utamanya. Dan, kami rasa, perlulah pihak terkait merancang kebijakan dan strategi yang lebih efektif untuk mempromosikan ekowisata yang berkelanjutan dan berwawasan: alam, lingkungan, budaya, dan ekonomi secara simultan, memastikan bahwa kegiatan ekowisata tidak hanya mementingkan satu-sub saja, entah itu ekonominya atau alamnya saja.
Mari di sini kita sepakati bersama bahwa perjalanan wisata bukan hanya tentang menikmati keindahan alam, tetapi juga tentang memahami dan menghargai nilai-nilai kebudayaan dan lingkungan yang ada di sekitar kita untuk sampai pada nilai ekonomi yang arif-bijaksana. Mari kita mulai dengan langkah kecil untuk bersama menyusuri bagaimana kita dapat mengintegrasikan nilai-nilai kebudayaan dan lingkungan dalam aktivitas wisata-wiraga, dalam hal ini adalah Hayuk-kayuH.
Begitulah, sebentuk kisah yang bukan apa-apa ini dan mungkin tidak akan berarti apa-apa buat para wisatawan-wiragawan sekalian. Dan memang beginilah nasibnya, walaupun tulisan ini tidak berumah di hati wisatawan-wiragawan, semoga tulisan ini dapat membersamai orang-orang yang terpinggirkan di dalam kotak-kotak kebudayaan, yang terseok-seok di jalan terjal kesejarahan: mencari rute atas makna dialektika sekaligus refleksinya secara sunyi-senyap, dengan bekal seikat puisi:
…pulanglah ke desa, membangun esok hari, kembali ke huma berhati!
—Umbu Landu Paranggi
[1] wiraga: dasar wujud lahiriah badan beserta anggota badan yang disertai keterampilan geraknya. wisata: bepergian bersama-sama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dan sebagainya); bertamasya/ piknik/ aktivitas untuk bersenang-senang, memperluas pengetahuan, dan sebagainya, dilakukan dengan bepergian ke tempat tertentu, biasanya dengan bersama-sama; pariwisata.
[2] Tafalas, 2010: Ekowisata dalam Perspektif Ekologi dan Konservasi – Regina Rosita Butarbutar.
[3] Diunduh dan dikutip di BPK RI (pada 1 Mei 2025)