Omong-omong di Alam Diri Bersama Ajip Rosidi, Penyoal Bulan Bahasa dan Kesusastraan Sunda

Omong-omong di Alam Diri Bersama Ajip Rosidi, Penyoal Bulan Bahasa dan Kesusastraan Sunda

Foto: halimunsalaka.com


Tepat ketika pergantian hari jumat – tanggal 27 Oktober 2023 ke hari sabtu – tanggal 28 Oktober 2023, pukul 00:01 – WIB, entah mengapa tiba-tiba saya ingin sekali berbincang dengan Simbah Ajip Rosidi, ada keinginan kuat yang menyelimuti diri saya. Disebabkan Simbah sudah pergi dari taman hidup ini, lenyaplah keinginan saya dan hanya berupa anganan yang tak mungkin bisa terwujud. Namun, setelah itu, saya ingat akan perjalanan Bujangga Manik yang kemarin-lalu saya telusuri pengembaraannya. Saya ingat ada dimensi spiritual yang ada di dalam diri manusia, ada wahana untuk bisa meruang-mewaktu. Ya! Dengan melalui pelbagai pengkaryaan hasil tulisannya, saya mungkin bisa bertemu ke-diri-an Simbah dalam buku-bukunya, bisa berbincang jauh tentang kehidupannya, terkhusus tentang persoalan kesusastraan Sunda yang tengah saya telusuri hidup-matinya, tepat di tanggal dan bulan kelahiran Sumpah Pemuda atau katakanlah Bulan Bahasa ini.

***

Kita tahu, Mbah. Pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda perintis kemerdekaan Indonesia itu menyelenggarakan sebuah kongres di Jakarta. Kongres yang dihadiri oleh para wakil organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan, sebagaimana tercatat seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Roekoen, dan lain-lain itu pernah juga diselenggarakan dua tahun sebelumnya. Namun, kongres yang kedua inilah yang amat-sangat bersejarah, karena dalam kongresnya kedua itu — para pemuda yang datang hampir dari semua pelosok tanah air ini, mengadakan ikrar bersama dan membuahkan rumusan, “Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”

Peristiwa itu kemudian terkenal dengan julukan “Sumpah Pemuda”, dan sekarang diperingati secara nasional setiap tahunnya. Sumpah Pemuda (atau Bulan Bahasa) itu memang merupakan sebuah peristiwa politik yang sangat penting, karena sumpah itu merupakan tonggak perumusan dan kelahiran bangsa Indonesia ini. Berbagai suku-bangsa yang berada dalam wilayah Hindia Belanda (nama pada waktu itu), yang masing-masing mempunyai latar belakang sejarah dan kebudayaan yang berbeda-beda, bersepakat untuk mengikat diri dalam pembinaan sebuah bangsa yang baru, yaitu bangsa yang bernama Indonesia. Tanah-air mereka yang semula terbatas pada daerahnya masing-masing, menjadi meluas meliputi seluruh tanah-air Indonesia.

Ketika belajar ikhtisar sastra indonesia, saya juga pernah membaca pemuda yang bernama M. Jamin, yang pada tahun 1921 masih menyanyikan dalam sajaknya tentang pulau tempat kelahirannya Sumatra sebagai tanah-airnya, namun pada tahun 1928 ia menulis sajak baru yang lalu menyanyikan tanah-air yang lebih luas, yaitu tanah-air Indonesia. Dengan demikian, juga para pemuda yang tadinya mempunyai anggapan bahwa suku-bangsanya itu adalah tanah-air itu daerahnya sendiri, pada tahun 1928 itulah lalu berikrar mengaku sebagai satu bangsa bersama suku-bangsa yang lainnya dalam lingkungan Hindia Belanda, bangsa Indonesia hari ini.

Namun, jauh sebelum dan sesudah itu, Mbah, saya ingin belajar menelusuri bagaimana sebenarnya kesusastraan Sunda, dan-lalu akan seperti apa masa depan bahasanya, sebelum dan sesudah tercipta bulan bahasa itu?

Ajip Rosidi: Petama, saya akan menjelaskan para pendiri bangsa memilih bahasa Indonesia (bahasa Melayu) sebagai bahasa persatuan itu adalah sebuah keputusan politik yang penting, dan menunjukkan bahwa para pendiri bangsa Indonesia itu mempunyai wawasan yang sangat jauh ke depan, walaupun pilihan itu bukan tidak mengandung risiko. Artinya, sekarang dapat kita katakan bahwa pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan itu tepat, karena apabila yang ketika itu dipilih bahasa Jawa atau Sunda, dua bahasa yang jumlah pemakainya terbanyak itu, niscaya akan timbul berbagai hambatan psikologis dalam usaha pembinaan bangsa Indonesia.

Sebab, bahasa Jawa dan Sunda (juga bahasa Bugis, Bali, Batak, dan lain sebagainya) yang sudah bersejarah panjang, kaya kesusasteraannya, sangat sempurna sebagai ekspresi sebuah kebudayaan agraris feodal yang juga sudah bersejarah dan kaya, niscaya bukanlah pilihan yang tepat untuk dipakai dalam sebuah negara modern, oleh sebuah bangsa yang pada dasarnya ingin menganut faham demokrasi suatu faham yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia sebagai hasil perkenalannya dengan kebudayaan Barat melalui pendidikan dan bacaan. Bahasa Jawa dan bahasa Sunda merupakan bahasa-bahasa yang unik di dunia, karena mengenal pembagian pemakaian kata-kata tertentu untuk tingkat sosial tertentu, terbagi-bagi dalam bahasa halus, bahasa sedang, bahasa kasar, bahkan kadang-kadang juga ada bahasa halus sekali dan kasar sekali.

Kedua, setelah para pemuda itu berikrar pada tahun 1928, maka tibalah saatnya bagi mereka untuk mengisi ikrar itu secara kultural. Ada semacam semangat yang ingin melahirkan karya-karya baru sebagai karya seni Indonesia. Karya itu, pada pendapat mereka, tentu saja bukan lanjutan seni daerah yang sudah mempunyai tradisi yang panjang itu. Dengan begitu, tahun tigapuluhan timbul sebuah polemik besar mengenai kebudayaan Indonesia, yang diikuti oleh para pemikir dan pejuang kemerdekaan Indonesia seperti Dr. Soetomo (1888-1938), Ki Hadjar Dewantara (1889-1961), S. Takdir Alisjahbana (1908-1994) dan lain-lain.

Dalam polemik itu dibicarakan masalah sistem pendidikan, bentuk kesenian, kebudayaan Barat dan Timur, hubungan dengan sejarah masa lalu, dan lain-lain. Secara garis besar terdapat dua golongan utama dalam polemik itu. Yang pertama mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia haruslah merupakan sesuatu yang baru sama sekali, yang hanya dapat dicapai dengan cara mereguk roh kebudayaan Barat, supaya dapat mengejar ketertinggalan Barat selama ini. Pemikiran ini dikemukakan oleh S. Takdir Alisjahbana dan kawan-kawannya. Kelompok pemikiran kedua, ialah mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia haruslah merupakan suatu kesinambungan dari sejarah masa lalu, yang harus memberi tempat dan menghargai kesenian dan kebudayaan daerah yang ada sebagai puncak-puncak prestasi kultural yang harus menjadi landasan kehidupan budaya nasional Indonesia. Pemikiran ini dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, Dr. Soetomo, Sanusi Pane dan kawan-kawan.

Polemik yang tersebar dalam berbagai majalah dan surat kabar itu melukiskan kegelisahan yang terdapat pada budayawan dan pemikir kebudayaan Indonesia masa itu, yaitu keinginan untuk menemukan identitas dalam pembangunan suatu bangsa baru…

Maaf, Mbah, memotong pembicaraannya. Agaknya, pengantarnya sudah cukup panjang. Sebab, saya sempat juga membaca polemik kebudayaan yang dikumpulkan oleh Simbah Achdiat K Mihardja, persis sebagaimana uraianmu, bahkan setelah itu, kita tahu Mbah, muncul pula prahara kebudayaan dan kekerasaan budaya, sebagai lanjutan dari polemik kebudayaan hasil dari buah sumpah pemuda dan kemerdekaan bangsa ini. Punten Mbah, alangkah baiknya, sekarang uraikan pengalaman panjangmu tentang memandang kesusastraan Sunda, sebelum dan sesudah sumpah pemuda itu terjadi.

Ajip Rosidi: Eheuheu, maaf, saya terlalu bersemangat, ya. Kesusastraan Sunda sangat panjang prosesinya, apalagi jika ditelusuri mulanya dan sampai dewasa ini. Darimana mulainya, ya. Sebentar, saya sedang mencoba merumuskan dahulu agar uraian yang saya bicarakan tak melebar jauh atau kepanjangan…

Punten, Mbah, kalau boleh berharap, alangkah baiknya dimulai dengan apa itu kesusastraan Sunda? Bagaimana prosesi pengkaryaannya? Dan-lalu akan seperti apa dan bagaimana perkiraan hidup masa depan yang dihadapinya?

Ajip Rosidi: Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Kesusasteraan Sunda secara umum bisa dikatakan sebagai karya sastera yang ditulis dalam bahasa Sunda, yaitu bahasa daerah yang jumlah pemakainya terbanyak ke dua di Indonesia, setelah bahasa Jawa. Bahasa Sunda dipergunakan oleh orang-orang Sunda, penduduk utama provinsi Jawa Barat, dewasa ini. Di samping masyarakat pemakai bahasa Sunda, di Jawa Barat terdapat pula masyarakat pemakai bahasa Jawa-Cirebon dan bahasa Jawa-Banten.

Meskipun di Jawa Baratlah terdapat kerajaan yang pertama di Jawa, yaitu kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 M (sebagaimana peninggalan yang terdapat di tempat lahirmu, Bogor itu), seperti diberitakan oleh prasasti-prasasti yang telah ditemukan dan dibaca serta diperkuat oleh berita-berita dari sumber asing, terutama Cina, tetapi pengetahuan tentang sejarahnya banyak yang belum terbuka. Demikian pula, meskipun pengumpulan naskah-naskah Sunda sudah dilakukan sejak abad ke 19 oleh J.L.A. Brandes, K.F. Holle, C.M. Pleyte dan lain-lain, namun sedikit saja dari naskah-naskah yang sudah ditemukan itu yang sudah ditelaah secara mendalam. Jenis huruf yang dipakai dan demikian juga bahasanya, yang berlainan dengan naskah-naskah yang terdapat di Jawa Tengah atau Timur, merupakan salah satu penghalang untuk membukakan tabir yang menutup sumber-sumber tersebut.

Usaha-usaha untuk mempelajarinya yang dilakukan oleh Holle, Pleyte, Poerbatjaraka, terhadap satu-dua buah naskah yang dianggap paling tua, tidaklah sampai tuntas.” Misalnya naskah Carita Parahiyangan yang berasal dari daerah Galuh telah dipelajari oleh K.F. Holle (1881) dan kemudian oleh Pleyte, Poerbatjaraka, H. Ten Dam, pada masa sebelum perang, baru pada masa sesudah perang susunan lembarannya dapat diatur secara akurat oleh J. Noorduyn atas informasi dari Suhamir dan C.C. Berg. Penyusunan lembaran yang tadinya kacau itu (karena tak ada nomor halamannya), membukakan jalan untuk dapat lebih memahami isinya.

Usaha yang sungguh-sungguh dari pakar-pakar Sunda sendiri, terutama Atja, dalam menelaah naskah-naskah Carita Parahiyangan, (Sanghyang) Siksa Kandang Karesian, Sewaka Darma, sebuah naskah dari Ciburuy yang kemudian diberi judul Amanat Galunggung, dan lain- lain yang dilakukan pada paruh kedua abad ke 20 itu sedikit demi sedikit telah dapat menembus kegelapan sejarah Sunda, sekaligus juga memancangkan tonggak-tonggak dasar untuk suatu bidang keilmuan yang “baru”, yaitu bahasa dan sastera Sunda Kuna. Masih banyak naskah dalam bahasa dan huruf Sunda Kuna yang sampai sekarang menunggu tangan para ahli untuk meng- garapnya. Apa yang sudah dilakukan oleh Atja, Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Edi S Ekadjati barulah merupakan usaha membabat hutan belantara Sunda.

Dengan berhasilnya pentranskripsian dan penelaahan terhadap naskah-naskah tersebut, maka nampaklah bahwa isinya merupakan ajaran keagamaan atau etika bermasyarakat. Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang dianggap sebagai naskah Sunda yang tertua (1518) misalnya oleh Suhamir (pendahulu-ku dulu) menganggap sebagai “ensiklopedi Sunda”, karena isinya menggambarkan tentang hal-hal yang bertalian dengan hidup orang Sunda, sedangkan oleh Saleh Danasasmita dan kawan- kawan, dikatakan, naskah ini memberikan gambaran tentang pedoman moral umum untuk kehidupan bermasyarakat pada masa itu, termasuk berbagai ilmu yang harus dikuasai sebagai bekal kehidupan praktis sehari-hari. Dan ternyata ajaran-ajaran tersebut tidaklah hanya berlaku pada masa naskah itu ditulis saja, melainkan mempunyai nilai yang langgeng.

Begini contohnya (yang sudah diterjemahkan mereka), “Jangan khianat jangan culas, jangan mengkhianati diri sendiri. Yang dikatakan mengkhianati diri sendiri yaitu: yang ada dikatakan bukan, yang bukan dikatakan benar. Ya begitulah tekadnya penuh muslihat. Perbuatan memfitnah, menyakiti hati (orang lain), itulah kenyataannya yang disebut mengkhianati diri sendiri. Yang disebut mengkhianati orang lain adalah: memetik (milik orang) tanpa izin, mengambil tanpa meminta, memu- ngut tanpa memberitahu. Demikian pula: merampas, mencuri, merampok, menodong, segala macam perbuatan khianat, ya mengkhianati orang lain namanya.

Demikian pula, merangkum (mengambil barang orang dengan kedua telapak tangan), memasukkan tangan (untuk mengambil barang orang), mencomot, merebut, merogoh, menggerayangi rumah orang. Begitu juga terus-menerus tinggal di rumah majikan, rumah penguasa atau pada raja…

Maaf, Mbah, jika saya memotong kembali pembicaraanmu, hapunten pisan. Ini amat menarik, tentunya. Dan pasti naskah-naskah lainnya, seperti Amanat Galunggung, Sewaka Darma, dan sebagainya, yang sebagian sempat saya baca terjemahannya memang memuat pembelajaran hidup-kehidupan yang baik, juga masih relevan dalam hidup dewasa ini. Namun sangat disayangkan, Mbah, sebagaimana tulisan Simbah Edi S Ekadjati bersama Simbah lainnya, yang mengemukakan bahwa, masih banyak naskah Sunda yang belum ditranskripsi dan dipublikasikan, mungkin kalau saya tak salah kurang atau lebih ada 89 judul naskah Sunda, dan malahan belum diketahui judulnya. Sehingga inventarisasinya hanya sampai pada pemberian nomor saja, dan-lalu tentu tak akan sampai pada masyarakat pembaca umum sepertiku.

Baiklah kita lanjut kembali, Mbah, sesuai dengan pertanyaanku, persoalan pengantar kesusastraan Sunda sudah cukup lengkap diringkas olehmu. Sekarang, kembali ke pertanyaan kedua. Bagaimana prosesi pengkaryaannya?

Ajip Rosidi: Ya. Memang, masih banyak sekali naskah-naskah kuna Sunda yang belum dijamah para peneliti. Tadi sampai mana? O, ya, sekarang kita bahas dahulu pemakaian huruf Sunda kuna. Sepengetahuan saya, berhentinya pemakaian huruf Sunda kuna kira-kira abda ke 18, kita tahu, sebab satu abad orang-orang Sunda memeluk agama Islam, yang mana kerajaan Sunda ditaklukkan oleh balatentara Islam dari Banten dan Cirebon pada tahun 1579, sedangkan agama Islam sudah mulai dipeluk orang Sunda bahkan lebih awal lagi. Dengan begitu, pemakaian huruf Arab menjadi populer dan naskah-naskah yang berasal mulai dari abad ke 19 banyak mempergunakan huruf tersebut di samping huruf Jawa (cacarakan).

Pemakaian huruf cacarakan itu disebabkan karena pada perempat pertama abad ke 17, pasukan Mataram di bawah Sultan Agung menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang pada waktu itu terdapat di Tanah Sunda dan dengan demikian berkesempatan meningkatkan pengaruhnya dalam berbagai bidang kehidupan orang Sunda. Meskipun penguasaan Mataram di Tanah Sunda itu tidaklah lama (pada tahun 1705 seluruh wilayah kekuasaan Mataram di Tanah Sunda sudah diserahkan seluruhnya kepada VOC sebagai imbalan atas “jasa” VOC dalam melakukan politik adu-domba di kalangan keraton Jawa), namun pengaruhnya dalam bidang bahasa dan kesusasteraan sangatlah besar. Banyak naskah yang ditulis oleh orang Sunda dalam bahasa Jawa, terutama yang menguraikan soal-soal agama.

Hal itu mungkin disebabkan karena banyak orang Sunda yang mempelajari agama di daerah Cirebon atau lebih ke Timur lagi, sehingga pemakaian bahasa Jawa dalam menguraikan soal-soal agama Islam dianggap wajar saja. Sementara itu, naskah-naskah yang bersifat kesusasteraan banyak yang ditulis dalam bentuk wawacan dan guguritan-guguritan atau dangding juga sangat populer pada abad ke 19 dan awal abad ke 20. Bentuk kesusasteraan itu semuanya merupakan pengaruh dari kesusasteraan berbahasa Jawa. Lingkungan literasi Sunda memang akrab dengan bahasa Jawa, bahkan umumnya dapat menulis guguritan bahasa Jawa.

Sebagai contoh, banyak wawacan yang merupakan salinan atau saduran dari bahasa Jawa atau bahkan juga bahasa Melayu, seperti Wawacan-wawacan Angling Darma, Darmawulan, Batara Rama, Roro Mendut, Panji Kernéng Pati, Johar Maningkem, dan lain-lain. Tetapi banyak juga wawacan yang merupakan karya asli berdasarkan sejarah lokal seperti Wawacan Babad Sumedang, Babad Cikundul, Babad Sukapura, Babad Godog dan sebagainya di samping yang semata-mata berupa fiksi seperti Wawacan Rangga Wulung, Ogin Amarsakti, Danumaya, Suryadimulya, Suryaningrat, dan lain-lain. Kejadian-kejadian aktual pun banyak yang dijadikan wawacan, umpamanya Wawacan Carita Perang Cina di Purwakarta, Kariyaan di Sumedang (Regen Sumedang sepitan putrana), Carios Munada (tentang seorang Cina yang masuk Islam, ada hubung- annya dengan huru-hara di Bandung akhir Desember 1842) dan sebagainya.

Namun yang paling banyak ialah wawacan-wawacan yang bertalian dengan agama Islam, baik berupa uraian tentang rukun Iman, rukun Islam, atau ibadah lainnya seperti Wawacan Pangajaran Agama Islam, Pakih (Fiqh), Kitab Bab Jakat, Kitab Takarub, Kitab Wudu jeung Salat, dan lain-lain; maupun yang bersifat kesejarahan seperti Nabi Babar, Nabi Mulih, Imam Sapi’i, Sajarah Nabi Muhammad, Nabi Nalukkeun Sayidina Umar, Nabi Paras, Séh Abdulkadir Jailani, dan sebagainya. Di samping tentu saja karya-karya fiksi yang berasal dari khazanah kesusasteraan Islam juga hadir, seperti Wawacan Anbiya, Abdul Muluk, Samaun, Sinbad dan yang banyak sekali ialah wawacan-wawacan yang berdasarkan siklus Amir Hamzah. Seperti wawacan Amir Hamzah, Umar Maya, dan lain sebagainya.

Apakah setelah itu, sebagaimana kita tahu, Mbah, sejak kekuasaan atas wilayah-wilayah di Kepulauan Nusantara diserahkan VOC kepada Pemerintah Belanda mulai tahun 1800 (karena VOC dinyatakan bangkrut pada tahun 1799), mulailah ditegakkan pemerintahan kolonial yang lebih teratur. Sebagai perusahaan dagang, sebelumnya si VOC hanyalah memusatkan perhatian pada usaha mencari keuntungan sebanyak-banyaknya saja, sehingga tidak ada minat untuk mengadakan perhubungan yang erat dengan orang-orang pribumi atau kebudayaannya.

Lalu. ketika pada pertengahan abad ke 19, Pemerintah Hindia Belanda terdorong oleh kebutuhannya akan tenaga-tenaga murah pribumi menyelenggarakan sekolah-sekolah untuk mendidik anak-anak pribumi, sebenarnya dimulailah intensifikasi pengenalan dan penyebaran pengaruh kebudayaan Barat (Belanda) kepada golongan elit pribumi. Di sekolah-sekolah itu, sebagaimana diuraikan dalam banyak para sejarawan, meskipun digunakan bahasa pengantar bahasa setempat, namun diajarkan ilmu-ilmu secara Barat, di samping membaca dan menulis dengan huruf Latin. Apalagi sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa Belanda, atau yang mempergunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, niscaya memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk membaca buku-buku yang ditulis dalam bahasa tersebut dan kesempatan demikian berarti mengenal lebih mendalam isi kebudayaan Barat.

Ajip Rosidi: Tepat sekali, meskipun kebudayaan setempat tetap dipelihara, misalnya dengan mengajarkan bahasa daerah dan huruf daerah di sekolah-sekolah rakyat dan guru, namun pemakaian huruf Latin dan bahasa Belanda kian meluas. Mulai abad ke 19 itulah naskah-naskah Sunda banyak yang ditulis dengan huruf Latin. Maka pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, naskah-naskah dalam bahasa Sunda ditulis dalam tiga macam huruf, yaitu huruf Arab (Pegon), huruf Jawa, dan huruf Latin. Sekolah-sekolah yang mempergunakan pengantar bahasa daerah Sunda, sampai saat pendudukan Jepang (1942-5), masih tetap mengajarkan huruf Jawa (cacarakan) yang disebut sebagai huruf Sunda, sehingga banyak menimbulkan salah paham di kalangan orang Sunda sendiri, mereka menganggap cacarakan sebagai huruf peninggalan nenek moyang suku-bangsa Sunda.

Dan meskipun huruf Arab tidak diajarkan di sekolah-sekolah, namun di pesantren atau madrasah-madrasah tetap diajarkan dan banyak anak-anak yang secara tradisi masuk pesantren sebelum belajar di sekolah, atau belajar mengaji pada sore hari, pagi bersekolah, sehingga huruf Arab dikenal secara luas. Hal itulah, menyebabkan peradaban Barat yang dibawa oleh orang-orang Belanda, kecuali memperkenalkan huruf Latin, juga membawa percetakan. Bukan hanya yang berhuruf Latin, tetapi juga yang berhuruf Jawa (cacarakan) dan Arab. Maka usaha dalam bidang pers dan perbukuan pun mulai tumbuh di wilayah Indonesia, terutama di kota-kota di Jawa seperti di Batavia (Jakarta), Bandung, Semarang, Solo, Surabaya dan lain-lain. Cerita- cerita dan berbagai uraian tentang agama dan kepercayaan lain pun dicetak baik dalam huruf Latin, maupun huruf Jawa ataupun Arab.

Itu sangat sejalan dengan, kalau saya tak keliru, pada pertengahan abad ke 19, lalu ada seorang penghulu besar, bernama R.H. Moehammad Moesa, di Garut, yang bersahabat dengan K.F. Holle, seorang Belanda pemilik perkebunan teh “Waspada” di Cikajang yang banyak menaruh perhatian terhadap kemajuan orang Sunda terutama dalam bidang pertanian, tampil sebagai pengarang berbagai buku dalam bahasa Sunda, baik berupa buku bacaan yang berbentuk wawacan ataupun prosa, maupun berupa uraian dan nasihat-nasihat. Simbah Moesa banyak menyadur tamsil-tamsil La Fontaine (melalui bahasa Jawa) ke dalam bahasa Sunda, di samping menyadur cerita-cerita lain dalam bentuk wawacan atau prosa dan menulis wawacan asli.

Di antara karya-karyanya yang terkenal misalnya Wawacan Raja Sudibya (1862), Wulangkrama (1862), Wulangtani (1862), Carita Abdul-rahman jeung Abdulrahim (1863), Ali Muchtar (1864), Dongéng Pieunteungeun (Dongeng-dongeng Teladan, 1867), Panji Wulung (1871). Karena persahabatannya dengan K.F. Holle yang pada masa itu menjadi penasihat Pemerintah Hindia Belanda dalam urusan orang-orang pribumi, maka karangan-karangan Moesa itu umumnya dicetak dan diterbitkan oleh pemerintah, kemudian dijadikan bacaan wajib di sekolah-sekolah yang terdapat di seluruh daerah Sunda. Niscaya karena pengaruh K.F. Holle-lah maka dalam karangan-karangannya Moehammad Moesa memperlihatkan kebenciannya terhadap takhayul atau dukun-dukun yang mengaku diri sakti atau tahu akan apa yang akan terjadi nanti.

Ajip Rosidi: Moehammad Moesa memang mempunyai peran penting setelah timbul-berkembangnya kolonialisme. Sebagaimana banyak karyanya mengajarkan nasihat-nasihat yang seperti, menghormati “guru, ratu, wong atua karo” (guru, raja dan orangtua) serta “hurip gusti waras abdi” (raja mulia rakyat sejahtera) yang merupakan cermin pegangan moral kaum priyayi masa pengarangnya hidup, yang pada dasarnya ingin mempertahankan keadaan supaya jangan mengalami perubahan. Dasar moral ini kemudian menjadi pegangan Balai Pustaka, penerbit buku bacaan rakyat yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908, dimaksudkan untuk mengimbangi kian meluasnya bacaan di kalangan rakyat yang dianggapnya dapat membahayakan “ketenteraman umum” (kedudukan Belanda sebagai penjajah).

Demikianlah timbul istilah “bacaan liar” untuk menyebut buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit swasta yang banyak di antaranya menanamkan semangat keadilan sosial dan bahkan semangat kebangsaan. Tetapi jasa Moehammad Moesa yang penting ialah karena dialah yang memulai pemakaian tanda baca (interpungsi) dalam penulisan karangan-karangan dalam bahasa Sunda, karena sampai pada waktu itu naskah-naskah bahasa Sunda baik yang ditulis dengan huruf Jawa (cacarakan) maupun yang ditulis dengan huruf Arab, merupakan deretan kata-kata yang tidak diketahui batas-batasnya.

Di samping itu, Moehammad Moesa pulalah yang meletakkan tradisi bagi pengarang untuk mencantumkan namanya pada judul karangannya. Dengan demikian para pembaca mengetahui nulis sesuatu karangan. Sementara itu penulisan wawacan dan guguritan kian berkembang, terutama karena keterampilan membuat dangding dan menembangkannya diajarkan dengan intensif di sekolah-sekolah baik Sekolah Rakyat maupun sekolah-sekolah guru. Lalu penerbitannya sebagai buku pun kian meluas. Dalam tradisi ini pada pertukaran abad ke 19 ke abad ke 20, lahirlah wawacan dan guguritan yang kemudian menjadi klasik dalam sastera Sunda, di antaranya Wawacan Batara Rama (1897) dan Wawacan Angling Darma (1902) yang digubah oleh R.A.A. Martanagara (1845-1926), keduanya disadur dari bahasa Jawa.

Wawacan Rengganis (1885) oleh Raden Haji Abdulsalam, juga saduran dari bahasa Jawa dan Guguritan Asmarandana Lahir Batin (1892) karya R.A. Bratadiwidjaja yang bait pertamanya sangat terkenal, sehingga banyak yang hafal, begini terjemahannya: Sadar, sadar hendaknya/ hidup di alam dunia/ tak ubahnya dengan wayang/ tidak berdaya upaya/ kalau langkah tersesat/ nafsu yang kan menyebabkan sesal/ badan yang akan menderita akibatnya//. Dan tentu, masih banyak yang lainnya.

Seperti dalam penelitianmu, ya, Mbah. Dalam tradisi penulisan guguritan, ada juga kedudukan Haji Hasan Mustapa sangatlah istimewa. Jumlah guguritannya yang lebih dari 10.000 bait sudah merupakan keistimewaan. Keistimewaan itu ialah bahwa kebanyakan guguritan yang banyak dan indah itu, umumnya tidak pernah diumumkan secara tercetak. Penyebarannya mungkin dilakukan secara tradisional, yaitu dengan saling salin. Baru pada paruh kedua abad ke 20, jadi lebih dari setengah abad setelah ditulis, guguritan-guguritan itu diperbanyak dan itu pun hanya distensil secara terbatas, yaitu Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut Wirahma (1955) oleh Awak-awak Galih Pakuan, dan Gendingan Dangding Jilid IV (1961), dan kemudian bersama karya-karya Haji Hasan Mustapa yang lain, dimuat dalam Haji Hasan Mustapa jeung karya-karyana (1989) sebagaimana hasil pengumpulanmu, yang disebut terakhir itu berupa buku yang dicetak.

Punten, Mbah, lagi-lagi mestilah dipotong pembicaraan ini. Setelah mendengarkan uraianmu yang begitu lengkap, sudah saatnya kepada pertanyaan terakhir. Akan seperti apa dan bagaimana perkiraan hidup masa depan bahasa Sunda menurut pandangamu?

Namun sebelum itu, saya ingin Simbah menjelaskan tentang pertemuan dengan kesusasteraan Barat, baik secara langsung membaca buku-buku dalam bahasa Belanda, maupun membaca salinannya dalam bahasa Melayu ataupun roman-roman Melayu asli yang merupakan pengaruh kesusasteraan Barat, telah menyebabkan timbulnya usaha penulisan bentuk-bentuk sastera yang banyak ditemukan dalam kesusasteraan Barat dengan bahasa Sunda.

Ajip Rosidi: Usaha ini mendapat rangsangan pula dengan berdirinya Balai Pustaka yang walaupun pada awalnya hanya menerbitkan naskah-naskah lama dalam bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Melayu, Madura dan lain-lain, namun kemudian menerbitkan pula terjemahan-terjemahan dari bahasa Belanda yang diikuti oleh penulisan karya asli oleh para pengarang pribumi, baik dalam bahasa Melayu, Jawa maupun Sunda ataupun bahasa daerah yang lain. Bentuk roman misalnya, pertama kali yang asli muncul dalam bahasa Sunda, berjudul Baruang ka Nu Ngarora (Racun bagi para Pemuda, 1914) karya D.K. Ardiwinata (1866-1947) dan kumpulan cerita pendek yang berbentuk buku juga pertama kali muncul dalam bahasa Sunda, berjudul Dogdog Pangréwong (1930) yang ditulis oleh G.S. (nama sebenarnya tidak diketahui dengan pasti, mungkin G. Soewandakoesoema).

Ardiwinata, seorang guru bahasa Sunda dan Melayu di OSVIA (Opleidingschool voor Inlandshe Ambtenaren — Sekolah Pendidikan Pegawai Bumiputra) yang dalam masyarakat Sunda lebih dikenal dengan sebutan Sakola Menak (Sekolah Menak), setelah Balai Pustaka berdiri diangkat sebagai Redaktur Balai Pustaka (1911-17) dan pada waktu dia bekerja di situlah ia banyak menulis, di antaranya berupa dongeng-dongeng yang disadurnya dari H.C. Andersen, La Fontaine, Aesop, dan sebuah roman asli, ialah Baruang ka Nu Ngarora. Roman itu merupakan karya fiksi pertama dalam bahasa Sunda yang isinya melukiskan kehidupan masyarakat Sunda sehari-hari.

Dengan roman itu, Ardiwinata memancangkan dasar-dasar tradisi penulisan cerita fiksi dalam prosa, menyimpang dari kebiasaan yang berlaku sampai pada masa itu dalam sastera Sunda, yang cerita fiksinya selalu berbentuk puisi, baik berbentuk wawacan maupun berupa lakon pantun. Pemilihan itu dilakukan Ardiwinata secara sadar, seperti dikemukakannya dalam sebuah artikel berjudul Proza en Poezie (Prosa dan Puisi). Di dalamnya dia mengemukakan bahwa sampai pada waktu itu orang Sunda lebih suka menulis dalam bentuk puisi, yaitu dangding atau wawacan, padahal untuk kepentingan bahasa lebih baik kalau memakai prosa, karena untuk memenuhi peraturan dangding, susunan bahasa sering dikorbankan. Dia menganjurkan agar orang Sunda lebih suka membaca dan mengarang dalam prosa daripada dangding atau wawacan.

Nah, sampai memasuki atau menjelang pendudukan Jepang di Indonesia, penulisan roman dalam bahasa Sunda berkembang bersama-sama dengan penulisan wawacan maupun guguritan.  Muncul-lah nama Moh. Ambri pengarang prosa Sunda yang juga menulis dangding, lalu Raden Memed Sastrahadiprawira banyak menulis wawacan disamping menulis roman. Moh. Ambri dan Memed Sastrahadiprawira adalah dua pengarang terpenting dari Balai Pustaka sebelum perang. Ambri, seperti Ardiwinata, adalah guru sebelum masuk Balai Pustaka, sedangkan Méméd mem- punyai latar belakang pangrehpraja. Ambri menonjol karena karya-karya prosanya yang realistis, di antaranya Lain Éta (Bukan yang Dimaksud, 1934), Numbuk di Sué (Dasar Sial, 1932), Burak Siluman (1932), Munjung (Memuja Siluman, 1933) dan Ngawadalkeun Nyawa (Mengurbankan Diri, 1933). Kecuali Lain Éta, semuanya sekarang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, atau disadur, bahkan Burak Siluman sudah diterbitkan dalam terjemahan bahasa Inggris.

Sedangkan Memed Sastrahadiprawira menulis dua buah roman sejarah, yaitu Mantri Jero (Kepala Rumahtangga Kabupaten, 1928) dan Pangéran Kornél (1930) di samping banyak menyadur atau menerjemah- kan dari bahasa asing, di antaranya Tristan et Iseut menjadi Tresnaséna jeung Nyi Putri Sedihasih (1931), sebuah petikan dari Deccameron menjadi Jodo Pako- kolot (1930). Di samping beberapa sempalan dari Mahabarata yang diterbitkan mula-mula sebagai buku kecil-kecil, di antaranya Sawitri (1928), Luluhur Pandawa (Nenek moyang Pandawa, 1930), Pandawa Jajaka (Pandawa Jejaka, 1930), Pandawa Papa (Pandawa Melarat 1930), Pandawa Ngadeg Raja (Pandawa Men jadi Raja, 1930), Ékalaya (1930), Pandawa Diperdaya (Pandawa Ditipu, 1931), Pandawa Kasangsara (Pandawa Menderita, 1932), Pandawa Nagih Jangji (Pan- dawa Menagih Janji, 1932).

Usahanya hendak me-wawacan-kan Mahabarata secara lengkap tidak dapat dilaksanakan karena tahun 1932 ia meninggal. Pekerjaan itu dilanjutkan oleh R. Satjadibrata yang juga menjadi redaktur Balai Pustaka, sampai selesai. Pada masa sesudah perang (1950), wawacan-wawacan tersebut di-satu-jilid-kan oleh M.A. Salmoen yang juga menambahnya di sana-sini.

Sekarang, sebagaimana pertanyaanmu, bagaimana masa depan bahasa Sunda?

Ya. Hatur-nuhun, Mbah. Tapi punten, Mbah. Kali ini saya ingin Simbah menjelaskan tentang kelanjutan Balai Pustaka ke Majalah Sunda lainnya secara singkat, sebelum menguraikan masa depan bahasa Sunda. Sebab, saya penasaran tentang prosesi jalan panjang Majalah-majalah Sunda tersebut, sebagaimana yang sampai dewasa ini, Mangle masih bertahan di pelosok jurang peradaban.

Ajip Rosidi: Karena Balai Pustaka sejak awal tahun 1950-an tidak banyak lagi menerbitkan karya sastera, apalagi dalam bahasa daerah, sedangkan penerbit-penerbit swasta yang aktif sebelum perang sudah berantakan, maka penerbitan buku bahasa Sunda hanyalah usaha sporadis yang didorong oleh idealisme belaka. Tulisan- tulisan dalam bahasa Sunda, dengan demikian lebih banyak dimuat dalam surat kabar dan majalah, dan sejak Sipatahoenan menghilang pada akhir tahun 1960-an, maka hanya majalah-majalah sajalah yang banyak menampung karya-karya dalam bahasa Sunda.

Untunglah selalu ada usaha penerbitan baru yang lain. Masing-masing sering hanya aktif untuk jangka waktu yang singkat, paling lama hanya beberapa tahun saja. Di antaranya dapat dicatat nama-nama penerbit Kiwari (1963-5), Komara (1964-5), Pusaka Sunda (1965- 8), Tjupumanik (1964-70), Mitra Kancana (1974-6), Da-séntra (1983-6), Rahmat Cijulang (sejak 1976), Medal Agung (sejak 1983), dan di samping penerbit-penerbit yang tidak mengkhususkan diri dalam penerbitan buku bahasa Sunda, karena porsi utamanya bukanlah buku berbahasa Sunda, tetapi kadang-kadang menerbitkan juga buku berbahasa Sunda seperti Ganaco-Masa Baru, Tarate, Diponegoro, Dunia Pustaka Jaya, Bhratara, Al-Ma’arif dan lain-lain. Kecuali majalah Manglé yang sejak 1957 terbit terus, estafet itu pun nampak juga dalam dunia permajalahan Sunda.

Sejak 1950 berturut-turut telah terbit majalah-majalah di antaranya Lingga (1951), Warga (1953-62), Sunda (1952-4), Tjandra (1954-5), Sari (1963-66), Langensari (1963-7), Tjampaka (1967) Wangsit (1965-6), Baranangsiang (1965), Mingguan Sunda (1965-7) Hanjuang (1973-5), dan lain-lain. Umumnya majalah-majalah itu setiap terbitnya memuatkan paling tidak sebuah cerita pendek. Demikian pula dengan sajak. Majalah Manglé, Langen-sari, Tjampaka, dan satu-dua lagi yang lain, malah dapat dikatakan majalah cerita pendek, karena isinya terutama berupa cerita pendek. Berita ataupun karangan-karangan lain seakan-akan hanyalah pelengkap saja buat hidangan cerita pendek tersebut. Sebagian dari cerita-cerita pendek yang pernah dimuat dalam ma- jalah itu oleh pengarangnya kemudian dibukukan; tetapi hanya sedikit saja pengarang yang beruntung berbuat seperti itu.

Hatur sembah nuhun, Mbah, sudah mau menjelaskan secara rinci kepadaku. Setelah mendengar-mengamati semuanya itu, sangat menunjukkan bahwa hingga sekarang nasib bahasa dan kesusasteraan Sunda (daerah lain khususnya) masih tetap diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat pemakai bahasa tersebut, sebagai tonggak akhir. Meskipun sudah diselenggarakan berbagai seminar, lokakarya dan semacamnya untuk membahas pengembangan bahasa dan sastera daerah, namun langkah kongkret untuk menanganinya masih belum juga kelihatan ya, Mbah, untuk itulah mungkin masyarakat pemakai bahasa tersebut yang mesti menjaga dan melestarikannya.

Baiklah, Mbah. Silakan Simbah lanjuti dengan masa depan bahasa Sunda.

Ajip Rosidi: Pandangan saya amat sangat singkat, hal ini sudah saya lepaskan dari peran pemerintah dan tetek-bengek lainnya. Kalau memperhatikan sikap dan kelakuan orang Sunda sendiri terhadap bahasa bundanya, saya mendapat kesan bahwa umumnya kaum terpelajar Sunda sendiri tidak pernah memikirkan arti bahasa bundanya itu bagi diri dan “sélér” (suku bangsa)-nya. Bahkan mereka yang aktif dalam “perjuangan kesundaan” pun dalam keluarganya sendiri kebanyakan tidak mempergunakan bahasa Sunda. Para pengarang yang menulis dalam bahasa Sunda pun, kalau tinggal di kota, apalagi kalau pindah ke Jakarta atau Bekasi, banyak yang tidak lagi mempergunakan bahasa Sunda di lingkungan rumah-tangganya.

Perlu ada usaha untuk menyadarkan kaum terpelajar Sunda, apalagi yang aktif dalam “perjuangan kesundaan” agar mereka bersikap lebih santun terhadap bahasa bundanya. Mereka harus sadar bahwa kalau bahasa Sunda tidak lagi digunakan oleh dan dalam masyarakat maka “sélér” (suku bangsa) Sunda itu juga akan tidak ada lagi di dunia. Kalau terjadi hal seperti itu, bukankah usahanya dalam “perjuangan kesundaan” itu sia-sia belaka?

Namun demikian saya juga harus menyatakan keheranan saya yang tak putus-putus menyaksikan munculnya para penulis muda dalam bahasa Sunda. Mereka menulis karya-karya sastera, baik prosa maupun puisi, tidak lagi dalam tradisi sastera wawacan atau dangding, namun jelas karya mereka berbobot sastera dan dengan demikian memperkaya kehidupan bahasa dan sastera Sunda, artinya memperkaya kehidupan batin orang Sunda. Dan selama ada orang- orang yang menulis karya sastera (dan apalagi kalau juga karya ilmiah) dalam bahasa Sunda, maka bahasa Sunda tidak akan mati.

Tetapi menulis saja tidak cukup. Karya sastera atau ilmiah itu harus dicetak dan disebarkan agar dibaca oleh orang Sunda secara luas. Yang menjadi masalah, tradisi membaca buku bahasa Sunda di kalangan umumnya orang Sunda sudah hampir putus. Buku-buku bahasa Sunda sekarang dicetak hanya 1.000-3.000 eksemplar, sedangkan jumlah judul buku yang sekarang tersedia di masyarakat paling ada hanya 100 (seratus) judul, sedang majalah juga hanya dicetak beberapa ribu, jauh di bawah 10.000 eksemplar setiap terbit. Apa artinya bagi orang Sunda yang konon jumlahnya ada 40 juta jiwa?

Nah, sisanya kamu cari sendiri, dan kamu uraikan sendiri.

Terimakasih, Mbah. Hatur sembah nuhun pisan. Uraianmu amat sangat jelas, Mbah. Sekali lagi, hatur sembah nuhun, Mbah, atas jasa-jasamu sepanjang hidup menyangkut kebudayaan dan kesusastraan Sunda. Selamat beristirahat kembali di taman surga-Nya. Simbah Ajip Rosidi. Al-fatihah.

***

Tepat ketika matahari akan merayap naik di ufuk timur, entah mengapa saya seperti berbincang langsung dengan Simbah Ajip Rosidi, ada semacam aksi-reaksi dalam buku-buku hasil tulisannya yang saya baca. Saya seperti kesurupan Bujangga Manik, menyusuri ilmu bahasa terasa dalam bertutur, bertapa terasa dalam berkelana, duduk terasa dalam keteguhan, kenyataan terasa dalam kesaksian: menyaksikan kesusastraan Sunda tepat di hari Bulan Bahasa, hari di mana Sumpah Pemuda menciptakan bangsa Indonesia.***

Pamijahan-Bogor,

28 Oktober 2023

Catatan: sebuah refleksi pembacaan buku “Sastra dan Budaya” dan buku “Masa Depan Budaya Daerah (Kasus Bahasa dan Sejarah Sunda)” dengan menghadirkan penulis menjadi dialog-dialektika dalam penceritaan yang hidup.