foto: halimunsalaka.com
Soal makanan, saya percaya dengan apa yang dikatakan oleh Aruna, karakter yang diperankan Dian Sastro di film Aruna & Lidahnya. Makanan itu, kata Aruna, mempunyai kekuatan sepeti alam semesta. Dia menghubungkan kita ke berbagai macam orang. Dia juga melahirkan kemungkinan baru.
Saya juga percaya, bahwa makanan—beserta lokasi tempat makannya—mempunyai kekuatan untuk menjadi kenangan di masa yang akan mendatang. Dan betul saja, ketika saya membaca postingan Jurno.id yang kembali mengadakan tema bulanan tentang makanan. Impresi Saya langsung terkenang dengan satu makanan dengan diikuti beberapa back story yang datang dan terputar dalam proyektor kepala saya.
Makanan itu adalah doclang dan tempat yang melatarinya adalah Jembatan merah.
Rasanya tak ada satupun warga Bogor yang tidak mengenal makanan dan lokasi yang legends tersebut. Saya sendiri menyantap doclang di jembatan merah dalam beberapa fase, mulai makan bersama adik saya, bersama teman kostan saat kelaperan tengah malem, dan tentunya—saat pacaran.
Doclan Jamer, berulang kali jadi destinasi terakhir kami (baca: saya dan ex-perempuan saya) ketika pulang kencan.
Yang Khas Dari Doclang
Doclang berupa potongan pesor (semacam lontong), irisan kentang rebus, tahu goreng, kerupuk dan semua bahan ini diguyur pake bumbu kacang yang sedikit pedas dan beraroma rempah. Dan semua bahan makanan tadi disempurnakan dengan kecap cap Zebra produk aseli: made in Bogor.
Mungkin banyak yang belum tahu, kalo Doclang adalah makanan yang berasal dari kota hujan a.k. Bogor. Makanan doclang di tahun kemarin sudah masuk sebagai Warisan Budaya Takbenda (WTYB). Dan jika kalian masih belum kebayang bentuk doclang, makanan ini hampir serupa dengan kupat tahu yang khas Bandung. Yang membedakannya ada pada kentang rebus, bumbu kacang yang rada kasar, dan bahan utamanya, yakni lontongnya. Sebab dalam bahan doclang, lontongnya disebut pesor oleh orang Bogor.
Bahan pesor inilah yang mengkhaskan doclang, sebab pesor ini wajib hukumnya dibungkus dengan daun patat. Selain berfungsi sebagai pembungkus, daun yang bernama ilmiah Phrynium capitatum dipercaya sebagai penyempurna doclang.
Kepercayaan orang Sunda pada daun patat, senada dengan keyakinan orang China di wilayah Guangdong, Guangxi dan Yunan. Khususnya dalam membikin Zongzi (Bakcang), makanan tradisional Tiongkok. Mereka mewajibkan makanan berbahan baku beras ketan ini dibungkus dengan daut patat. atau seperti keyakinan orang Cirebon dengan nasi jamblangnya. Orang Cirebon percaya, nasi jamblang jika tidak dibungkus daun jati akan serasa nasi rames biasa yang tidak mempunyai cita rasa dan aroma khasnya.
Doclang Dalam Ingatan Warga Bogor
Perihal historis mengenai doclang, ada dua versi yang terkenal. Kalo dari nama, versi pertama, percaya nama doclang adalah hasil dari pelesetan “Dutchland” dari bahasa Belanda. Versi kedua meyakini bahwa doclang adalah singkatan dari bahasa Sunda “Bumbu Ledok Nganggo Kacang”.
Versi kedua ini lebih meyakinkan. Maka tak heran versi kedua lebih banyak dipercaya.
Versi lainnya datang dari Ibu Yeni, orang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor. Dalam versinya, Bu Yeni meyakini bahwa awal mula adanya doclang di Bogor, itu dibawa oleh orang-orang dari negari China. Awalnya mereka membawa makanan tradisionalnya yang simple namun mampu bertahan lama, yakni nasi yang didalamnya diisi oleh daging dan dibungkus menggunakan daun bamboo.
Masuknya makanan tradisional yang dibawa oleh orang-orang China itu ke nusantara membuat masyarakat setempat menyesuaikan dengan keadaan indra perasa dan lingkungannya. Masakan tradisional China itu akhirnya dimodifikasi, daun pembungkusnya yang pertama mengenakan daun bamboo diganti oleh daut patat.
Tujuannya, sebab aroma daun patat sudah lebih familiar di hidung warga Bogor. Selain itu, daun patat pada masa itu mudah didapat, karena daun ini banyak tumbuh di kaki gunung Salak. Lalu isian daging dalam nasinya diganti dengan bumbu kacang tanah yang dibuat agak kasar. Yang original dalam pemodifikasian ada ditahap ini, sebab alih-alih dimasukan ke dalam nasi seperti bakcang yang asli dari Tiongkok, leluhur Bogor mengkreasikannya dengan disiram di atas nasinya. Yang lambat laun nasinya dibuat pesor dan menjadi cikal bakal doclang.
Versi kedua datang dari Dinas Koperasi UMKM Kota Bogor, yang disuarakan oleh Pak Uci.
Asal mulanya Bogor waktu dulu, memiliki banyak pengrajin pembuat ketupat yang bahan untuk pembungkusnya adalah daun kelapa muda. Lalu kemudian tersiar kabar adanya pohon daun patat, yang bisa menggantikan daun kelapa untuk membungkus ketupat. Para pengrajin ketupat di Bogor bagian Utara, seperti daerah Tanah Baru dan Cimapar mulai mengganti daun kelapa muda dengan daut patat. Dari situlah warga bogor terbiasa membungkus lontong dengan daun patat dan menyebutnya pesor.
Dua versi di atas terasa tidak komperhensif dan simultan. Apalagi dua versi ini tidak memberikan catatan panjang dan bukti-bukti yang kuat untuk menunjukkan historis muasal adanya doclang. Terlebih pada tahun kapan doclang mulai beredar dan sejak kapan menjadi hidangan.
Selain data yang tercatat di Dinas Pemerintah Kota Bogor yang saya tuliskan di atas. Kebanyakan warga Bogor meyakini, bahwa doclang sudah menjadi hidangan dari abad ke-19. Bahkan ada yang percaya doclang sudah ada di abad ke-17.
Keyakinan tersebut dapat dipahami, sebab kebanyakan warga Bogor menyamakan adanya doclang dengan tahun awal pembangunan Jembatan Merah yang dibangun diawal 1800-an.
Hal pencampuradukan seperti ini bisa terjadi lantaran ingatan warga Bogor kiwari terhadap doclang, tidak bisa dilepaskan dengan daerah Jembatan Merah. Jembatan yang awalnya bernama Roode Brug ini, memang sudah menjadi tempat yang mempopulerkan doclang, atau bisa dibilang tempat yang membekenkan doclang.
Di samping itu, Jembatan merah sejak zaman baheula sudah menjadi tempat kongkownya muda-mudi eropa dan para priyayi yang dijuluki “mience”. Bahkan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Gustaf Willem Baron van Imhof, dalam olahraga paginya sering menyempatkan waktunya untuk melihat kegiatan di sekitar jembatan ini.
Dari memori koleiktif tersebutlah, banyak yang menganggap doclang sudah ada pada tahun 1800an. Padahal data yang ada, jika tidak mau dibilang yang tersedia, menyebutkan bahwa pedagang doclang awalnya berjualan keliling dengan dipikul dan baru pada tahun 1970-an pedagang doclang mulai menetap mangkal di Jembatan Merah.
Sebutlah Doclang 405 Aos dan Doclang Umi Icoh, dua nama doclang yang legendaris di Jembatan Merah. Mereka bisa dibilang adalah salah satu pewaris sejarah dalam bidang gastronomi. Sebab dua merek dagang mereka sudah berjualan doclang di Jembatan Merah puluhan tahun dan sudah menjadi usaha keluarga yang sudah diturun-temurunkan.
Doclang Dalam Ingatan Saya
Di Doclang 405 jugalah kenangan saya tertinggal. Kenangan itu terjadi sekira 4 tahun yang lalu. Saya dan mantan perempuan saya, hampir selalu makan doclang di sana, itu di tengah malam. Agenda makan doclang kami pun pasti mensyarati hujan antara jam 9 atau 10 malam, yang harus kami rasakan duluan.
Kenapa harus selepas hujan dan di atas jam 10 malam? Tak ada alasan filosofis, alasannya simpel, karena di atas jam 10 malam, lalu lintas di Bogor itu sudah menjadi tenang, tidak padat kendaraan dan orang. Alasan lainnya, lampu-lampu jalan sekitaran kebun raya yang mengeluarkan cahaya kuning, serta aroma tanah dan pohon-pohon tua di kebun raya, sehabis diguyur hujan, selalu berhasil membuat kami percaya sebagai hal yang eksotik, sinematik nan romantik.
Hujan reda saya jemput dia di rumahnnya. Parkir motor di KFC Tugu. Lalu berjalan kaki muterin trotoar Kebun Raya, jalan ke arah sempur, ngobrol-ngobrol, curi-curi untuk berciuman dan berpegangan tangan. Kami bak karakter Jesse dan Celine tapi tidak dengan suasana Wina dalam bayangannya Richard Linklater di Before Sunrise, tapi berlatarkan kota Midnigh In Paris, besutan Woody Allen.
Depan gerbang pintu istana saya yang dekat markas Polisi Militer, pasti saya selalu iseng, berdiam diri, mencari-cari untuk bisa lihat Snipeer. Dan jika saya bisa dapat melihat snipeer yang sedang siaga bersembunyi, itu akan menjadi pencapaian hidup saya yang patut dibangakan, atau mungkin bisa saya masukan ke dalam CV saya. Sampai lampu merah dekat Smansa, selalu saja kami berbelok kanan untuk menuju Jembatan Merah, untuk menyempatkan makan doclang di sana.
Untuk catatan: Kami tidak pernah menambahkan telur di doclang kami. Bagi kami menambahkan telur dan toping lain ke dalam doclang adalah suatu tindakan illegal, mengangggu ketertiban dan kemurnian doclang.
Hal yang paling saya Kenang itu ada pada satu malam. Karena saya habis baca Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Tetiba saya menceritakan keinginan saya untuk meniru kegiatan rutin yang diterapkan keluarga Biru Laut, tokoh utama dalam novel tersebut.
“keknya seru, punya ritual rutin keluarga. Setiap hari minggu semua anggota keluarga harus makan di rumah. Masak bareng. Makan bareng-bareng. Cerita-cerita setelah makan bersama. terus semua proesesi akrab yang manis itu ditemani sama lagu-lagunya Beatles yang diputer lewat pemutar piringan hitam”
“ah iya, seru dan hangat ngebayanginya. Sama tenang, “Ia menyimpan piringnya. Menepuk pelan dadanya, ”aku siap sedia buat jadi juru masaknya” Jawabnya antusias.
Doclang kami pun habis. Tapi kami tidak langsung pulang. Kami lanjut cerita yang lain. Tentang banyak hal, sebab kami punya kesukaan yang sama tentang buku dan tontonan. Menyenangkan punya lawan bicara yang entah bagaimana bisa POV di luar pikiran normal. Kami jadi bisa membicarakan satu topik dari banyak sudut pandang. Dan seperti kalian pada umumnya, saat di masa awal pacaran seperti banyak sekali yang dapat diobrolkan dengan penuh antusias dan kebahagiaan.
Membicarakan Jembatan Merah di zaman Orde Baru yang pernah berganti-ganti warna, sesuai rerquestan partai. Jembatan Merah, pernah berwarna kuning melambangkan Golkar. Pernah berwarna Hijau melambangkan PPP. “Karena sekarang petahananya PDI-Perjuangan mangkanya warnanya terus merah” kataku yang hanya dibalas ketawa yang saat saya tulis ini masih saya rasakan kehangatan dan tawa renyahnya.
Hubungan kami pun selesai. Hubungan kami yang pendek itupun banyak diwarnai dengan doclang jammer. Dan sampai saat ini saya tidak pernah lagi makan doclang di Jamer. Belum punya keberanian. Pernah ada niat mau makan di sana lagi dengan perempuan saya yang baru. Namun sayang, perempuan itu cerita lebih dulu, kalau dia pernah diajak ke sana sama gebetan lamanya. Mendengar hal itu, saya tidak jadi mengajak perempuan itu. Saya tidak mau menimpah kenangan saya dengan ex-perempuan saya di sana dengan orang baru. Itu satu sikap saya untuk menghargai kenangan.***
Penanam kesan.