Transformasi “Buitensoreh” dalam Ayang-ayang Gung

Transformasi “Buitensoreh” dalam Ayang-ayang Gung

Gambar: Koleksi Tempo Doeloe


Dalam ingatan saya, kakawihan kaulinan barudak (lantunan-nyanyian permainan anak-anak), dalam hal ini kawih Ayang-ayang Gung, ketika saya kecil dahulu sama sekali tidak terpikirkan itu merupakan lagu sindiran (anyings ngaran na ge budaks keneh). Malahan lantunan Ayang-ayang Gung sangat unik dan meriah, sebab dibarengi dengan permainan yang berlangsung demikian: beberapa anak-anak yang berjajar-jajaran menyerupai kereta bernyanyi kawih Ayang-ayang gung, lalu mereka mengelilingi serta melewati kedua orang anak yang sudah membentuk terowongan dari kedua tangannya yang setengah naik ke atas dengan berjabatan-tangan. Ketika lagu selesai, kedua anak yang jaga menjadi bentuk representasi sebagai terowongan itu akan rubuh dan menimpa salah seorang anak yang ikut berjejeran membentuk kereta, lalu menahannya tepat di terowongannya.

Apakah deskripsi permainan itu dapat pembaca budiman bayangkan? Kalau tidak, baiklah akan saya hadirkan ilustrasi-gambarnya.

Gambar: infogarut.id

Lebih jauh dari itu, kawih Ayang-ayang Gung dalam metode-cara bermainnya itu tentu akan berbeda-beda setiap daerahnya. Contoh gambar di atas merupakan kaulinan barudak versi kampung halaman saya.

Terlepas dengan cara bermainnya, setelah beranjak dewasa, saya mulai terbiasa dengan menghadapi fenomena makna dan mulai menyadari bahwa lantunan Ayang-ayang Gung suka tidak-suka menghimpun cerita sindiran. Ingatan permainan kecil saya dahulu di ataslah yang pada akhirnya membawa pencarian kata, perjalanan makna pada hidup dewasa ini: untuk apa nenek-moyang Sunda mewarisi kawih Ayang-ayang Gung itu pada permainan anak-cucunya? Kenapa pula diwarisinya pada anak usia sedini itu? Lalu siapa orang yang bernama Ki Mas Tanu yang menjadi fokus sindiran? Akankah ini penyebab dampak manusia Sunda dalam mitosnya banyak yang menjauhi dan bahkan tidak tertarik dengan jabatan dan kekuasaan?

Eiii! Pertanyaan itu terlampau luas dan serius, Saudaraku. Pada kesempatan kali ini, agaknya kita akan mengulas-mengkaji secara bersama-sama, terkhusus tentang jalan panjang kehidupan Bogor, atau katakanlah pada kesempatan kali ini kita sepakati terlebih-dahulu, sebagaimana judulnya: Transformasi Buitensoreh dalam lantunan kawih Ayang-ayang Gung.

Sebab saya ditakdir-nasibkan lahir dari keturunan Sunda (balepotan pisan lamun ngabulatuk), dalam hal mengucapkan kata Buitenzorg itu susah sekali dan tidak tahu seperti apa pelapalan baiknya, maka saya ambil sesuai pelapalan se-nyamannya saya saja menjadi Buitensoreh. Dan kita sudah ketahui juga bersama, manusia Sunda, katakanlah dalam hal ini etnis, telah hidup lama berkelompok dalam membangun suatu kebudayaannya sendiri, yang mana dewasa ini dikenali huniannya dari Jawa-Barat sampai Banten, atau katakanlah tatar Parahiayangan.

Kebudayaan yang dihasilkan dari hidup berkelompok, pastilah berasal dari sebuah kebiasaan hingga menghasilkan gagasan dan hasil karya bersama. Sehingga dalam kelompok suatu masyarakat, pastilah akan terhimpun unsur-unsur rentetan kebudayaan yang cukup universal, dan tentu ada yang menjadi ciri khasnya masing-masing. Dengan demikian, manusia Sunda memiliki banyak sekali nilai kebudayaan yang terhimpun dalam rentetan sejarahnya, salah-satunya ialah kakawihan kaulinan barudak yang hendak ditelusuri dalam muatan makna lewat kawih Ayang-ayang Gung ini.

Kawih Ayang-ayang Gung sudah sejak lama digunakan sebagai lagu pengiring pada permainan anak-anak di masa lampau (entah waktunya dimulai pertama kapan, sangat mustahil ditelusuri), dan sebagaimana tradisi lisan dahulu, maka pengarangnya sulit ditebak, dan sudah menjadi salah-satu karya bersama. Walaupun sedikit-banyak ada yang curiga bahwa Ayang-ayang Gung itu ditulis oleh Raden Hadji Moehamad Moesa, sastrawan Sunda sekaligus tokoh masyarakat Sunda pada abad ke-19 (R.H. Muhammad Musa dilahirkan di Garut tahun 1822, ayahnya merupakan patih Kabupaten Limbangan, sekarang Kabupaten Garut. Ia merupakan seorang yang berasal dari lingkungan keluarga menak, bangsawan. Sunda, lebih khusus lagi menak Priangan), namun curiga demikian tidak cukup memiliki bukti-buktinya, maka kita sepakati saja terlebih-dahulu bahwa pengarangnya ialah masyarakat Sunda itu sendiri.

Atau jika kita mengamini bahwa lantunan kawih Ayang-ayang Gung itu dikarang oleh Muhammad Musa, apakah isi kawih itu merupakan kepribadian Musa itu sendiri, sebab ia dan keluarga menaknya dekat sekali dengan para kompeni Belanda, sebagaimana sahabatnya K.F Holle juga seorang Belanda. Terlepas dari itu semua, kawih itu yang pada dasarnya dinyanyikan dengan riang-gembira oleh anak-anak sebagai sarana berinteraksi dengan temannya ketika bermain, anehnya menghimpun muatan makna sindirian tentang kehidupan politik dan kekuasaan, tinjauan itu bahkan bisa dikaji dalam pisau apa saja: sosiologi, psikologi, antropologi, dan cabang ilmu lainnya.

Bagaimana tidak, Ayang-ayang Gung berisikan sindiran hasil refleksi kebudayaan masyarakat Sunda pada masa lalu, memuat nilai kerja kesusastraan di dalamnya, dengan kata lain mengais estetika, kerangka berpikir, irima, pesan, larik, gaya bahasa, dan tetek-bengek dalam memerankan motif sentralnya: lebih khusus sindiran itu dikhususkan pada para pribumi yang menjadi kacung kolonialisme untuk mendapat kursi kekuasaan, harta-kekayaan, dan sebagainya. Pribumi di sini tentulah diperuntukan pada etnis Sunda, sebagaimana diceritakan tokoh sasarannya bernama menak Ki Mas Tanu sebagai wedana. Tanu sendiri digadang-gadang, dicurigai, bahkan banyak yang mengamini jejak-hidupnya sebagai seorang yang bernama Tanujiwa, seorang tokoh sejarah peletak dasar hunian Bogor.

Jejak Tanujiwa di Buitensoreh

Dengan demikian, jika kita mengamini juga bahwa menak Ki Mas Tanu dalam kawih Ayang-ayang Gung itu merupakan tokoh bernama Tanujiwa, maka jalan cerita kawih itu akan sangat lekat dengan cikal-bakal kehidupan Bogor pada masa kolonial.

Secara singkat, dalam laporan Scipio, setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681) kompeni Belanda kemudian menandatangani persetujuan dengan Banten tahun 1684. Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas diantara kedua belah pihak. Terjadilah tragedi seperti kelak dialami dalam Persetujuan Linggarjati dan Renville karena Pihak Kumpeni memberi tafsiran yang sama sekali berbeda dengan pihak Banten mengenai pengertian “Cisadane”. Menurut kejujuran seharusnya yang dimaksud adalah alur-induk Cisadane yaitu batang sungai yang bernama Cisadane sampai ke mata airnya. Tetapi Kumpeni Belanda memaksakan pengertian “termasuk anak-anak sungainya. Dengan demikian, Gunung Salak yang harusnya termasuk wilayah Banten jadi termasuk wilayah VOC. Karena lemah, Banten terpaksa mengalah.

Tetapi sebelum sampai ke tahap itu, kompeni Belanda memerlukan pengenalan wilayah terlebih dahulu. Dibentuklah pasukan pekerja kompeni di bawah pimpinan Letnan Tanujiwa telah membuka daerah pedalaman Jakarta. Pasukan ini dipencar menjadi beberapa kelompok kecil untuk membuka perladangan. Rombongan terjauh di bawah pimpinan Sersan Wisanala dalam tahun 1687 telah mendirikan kampung Parung Angsana (sekarang: Tanah Baru). Untuk meneliti daerah hulu Cisadane diperlukan suatu ekspedisi khusus.

Ekspedisi ini dipimpin oleh Sersan Scipio itu dibantu oleh Letnan Patinggi (seorang Ambon beragama Islam) dan Tanujiwa yang waktu itu berkedudukan di Kampung Baru Cipinang. Rombongan Scipio berangkat dari Benteng Batavia, sebagaimana tercacat pada hari Senin tanggal 21 Juli 1687. Rute yang ditempuh adalah: Benteng Batavia – Meester Cornelis (4 jam)-Cipinang (6 jam)-Ciluar (6 jam) – Kedunghalang (3 jam) – Parung Angsana (1 jam).

Dari catatannya dapatlah diungkapkan bahwa Scipio bersama dua orang kulit putih lainnya merupakan orang Eropa pertama yang melihat Gunung Pajajaran (Gede Pangrango?) di sebelah tenggara dan Gunung Salak di sebelah barat-daya ketika pasukan ekspedisi itu tiba di Parung Angsana pada hari Jum’at tanggal 25 Juli 1687. Mereka menginap empat malam dan melanjutkan perjalanan pada tanggal 29 Juli ke arah selatan.

Sejalan dengan  ungkapan Saleh (baca: buku Sejarah Bogor), kita akan mendapatkan catatan seorang bernama Riesz, dalam “De Geschiedenis van Buitenzorg” (1887), menjelaskan bahwa Tanujiwa merupakan orang Sunda trah Sumedang yang berhasil membentuk pasukan pekerja dan mendapat perintah dari Campuijs untuk membuka hutan bekas Pakuan Pajajaran.

Cikal-bakal itulah yang pada akhirnya ia berhasil mendirikan Kampung Baru dan menjadikan tempat kelahiranKabupaten Bogor yang didirikan kemudian. Catatan tentang Tanujiwa itu juga ter-arsip oleh VOC dengan sebutan “Leuitenant der Javanen” (Letnan orang-orang Jawa). Misalnya, muncul Kampung Baru yang didirikan oleh Tanujiwa ada di Cipinang (Jatinagara, hari ini) dan di Bogor, yang mula-mula bernama dan berada di Parung Angsana.

Setelah itu, dikarenakan terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas Ibukota Pakuan bersama rombongan Scipio, Tanujiwa yang sudah menetap di Cipinang dan pindah ke Parung Angsana berniat ingin mendekatkan dirinya dengan peninggalan Prabu Siliwangi. Kampung-kampung seperti, Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang-Siang, Parung Banteng dan Cimahpar, semuanya didirikan oleh Tanujiwa bersama anggota pasukannya. Kampung Baru (Parung Angsana) pada akhirnya dijadikan semacam “pusat pemerintahan” bagi kampung-kampung yang didirikan secara terpencar oleh anak-buahnya.

Tanujiwa sendiri bisa kita kenali sebagai senior di antara teman-temannya sesama letnan pada masa itu. Tanu pula-lah yang mengambil prakarsa membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang kompeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman pada daerah aliran Cikeas. Sementara daerah aliran Ciliwung antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang Mataram yang tidak mau kembali ke daerah asalnya setelah tercapai persetujuan antara Mataram dengan VOC dalam tahun 1677. Menariknya, sebagian dari mereka adalah pelarian pasukan Bahurekso (Tumenggung Bahurekso: Bupati Kendal pertama dan merupakan seorang panglima Perang Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung), sebagian lagi kelompok resmi yang dikirimkan oleh Sunan Amangkurat I dalam tahun 1661 ke Muara Beres bekas basis pasukan.

Berbekal peristiwa itu, rasa hormat Tanujiwa terhadap bekas Ibu-kota Pakuan demikian besar sampai gerakan okupasinya dihentikan pada sisi utara Ciliwung. Tanu bahkan tidak berani melintasinya, dan menganjurkan pada rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai tersebut agar melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua). Hal itu tertera juga dalam dokumen Belanda tanggal 7 November 1701, yang menyebut Tanujiwa sebagai Kepala Kampung Baru dan kampung-kampung lain yang terletak di sebelah hulu (Ciliwung).

Tercatat pula tahun 1704, Tanujiwa menuntut agar orang-orang Banten membatalkan niat mereka menduduki Parung Banteng dan Tangkil, lalu menetapkan bahwa Ciluwar dan Cikeas dijadikan perbatasan. Akhirnya diputuskan bahwa batas itu sejauh 400 roeden (1 roe = 3,75 m) dari tepi Ciliwung. Sedangkan dokumen yang dikutip oleh de Haan (1912) menyebut Tanujiwa beserta anak buahnya berada di Kampung Baru, Pajajaran dan daerah sebelah hulunya. Dengan demikian, Tanujiwa telah ditunjuk sebagai pemimpin kaum kompeni di sebelah selatan Cikeas.

Oleh sebab itu, de Haan mencatat daftar bupati-bupati Bogor (Kampung Baru) dari tokoh Tanujiwa ini (1689 – 1705) walaupun secara resmi penggabungan “distrik-distrik” Kabupaten Kampung Baru terjadi tahun 1745, tentu maksud de Haan ialah prosesi jalan panjangnya, bukan peresmian penggabungan itu sendiri. Sejalan dengan itu, M.A. Salmun, sebagaimana uraian Saleh Danasasmita, pernah menulis dalam tahun pertama majalah “Intisari”, dengan mengatakan bahwa Menak Ki Mas Tanu dalam lirik lagu “Ayang-ayang Gung” itu dimaksudkan pada Tanujiwa ini.

Maka, kecurigaan dan pernyataan Salmun itu bisa kita lihat-cermati betapa hampir tiap baris lirik lagu itu dapat diterapkan pada keadaan Tanujiwa dalam riwayat hidupnya. Tanujiwa sebagai anak emas kompeni, dan pada akhirnya dibenci oleh rekan-rekannya yang iri. Ia ditunjuk oleh Camphuijs menggantikan Letnan Pangirang (orang Bali) untuk membuka daerah selatan. Tetapi pada akhirnya, setelah ia sadar bahwa menjadi kacung kompeni merupakan tindakan mengkhianati perjuangan bangsanya, ia dihukum dan dibuang oleh kompeni sebagai seorang pemberontak, dan bahkan di-cap pengkhianat.

Walaupun awalnya menjadi kacung kolonialisme, pada kenyataannya kedekatan batin Tanujiwa dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap kompeni yang ia sadari sepenuhnya bahwa mereka itu orang-orang asing. la tentu merasakan kepahitan bahwa sebagai seorang Letnan tetap masih harus tunduk kepada seorang Sersan, seperti Scipio yang kulit putih. Akhirnya si “anak emas” kompeni ini menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekuasaan VOC. Setelah mereka kalah dan Tanujiwa dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika, dan ia hilang-lenyap dalam rimba ceritanya sendiri.

Transformasi Buitensoreh dalam Ayang-ayang Gung

Dengan begitu, sudah waktunya kita telusuri bersama kawih Ayang-ayang Gung secara bersama-sama, dan tentu mestilah dalam pemaknaan yang berbeda dan sendiri-sendiri, agar terjalin kerja-kerja kritik-saran.

Ayang-ayang gung

Gung gongna ramé

ménak ki Mas Tanu

nu jadi Wadana

naha maneh kitu

tukang olo-olo

loba anu giruk

ruket jeung kumpeni

niat jadi pangkat

katon kagoréngan

ngantos Kangdjeng Dalem

lempa-lempi-lempong:

jalan ka Batawi ngemplong,

ngadu pipi jeung nu ompong.

Karena banyak beberapa kata yang sedikit sulit dan tidak ada padanan kata yang cocok untuk menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia, mungkin secara bebasnya kawih Ayang-ayang Gung itu, begini: Ayang ayang gung/ Bunyi gongnya ramai/ Seorang ningrat bernama Ki Mas Tanu/ Yang menjadi wedana/ Kenapa dia begitu/ senang mengolok-ngolok sebagai penjilat/ Jadi banyak yang tidak suka/ apalagi dekat dengan kompeni/ Ingin naik pangkat/ Namun terlihat keburukannya/ Menunggu pejabat tinggi/ Lempa-lempi lempong/ Jalan ke Betawi kosong tanpa hambatan/ lalu beradu pipi dengan orang yang ompong.

Membaca serta mengamati lirik kawih Ayang-ayang Gung di atas, dalam pandangan orang dewasa, tentu lirik itu merupakan sindiran keras yang memukau-lugas, namun tentu akan berbeda dengan pandangan seorang anak-anak yang menganggap itu hanya lagu yang bunyinya berkumpul runut dalam irama dalam sebuah permainan. Atau bagaimana pembaca budiman membaca dan mengamatinya?

Secara sederhana, lirik pada kawih Ayang-ayang Gung (ayang-ayang gung/ gung goongna rame/ menak ki mastanu/ nu jadi wadana)  memiliki muatan makna,yang mengisahkan seorang menak (pejabat atau bangsawan) bernama Ki Mas Tanu, dalam hal ini kita mengamini merupakan seorang tokoh bernama Tanujiwa yang merupakan peletak dasar hunian Bogor, yang menjadi seorang wedana: jabatannya itu bisa dibilang setingkat di bawah Bupati dan satu tingkat di atas Camat.

Dilanjut dengan (Naha maneh kitu/ tukang olo-olo/ loba anu giruk/ ruket jeung kompeni), yang memungkinkan cerita itu dilanjutkan ketika Tanujiwa dan kompeni serta rombongan (Scipio) melakukan perjalanan dinasnya ke suatu daerah di bekas Pakuan Pajajaran, Bogor, dan selalu ingin disambut secara meriah oleh para penduduk setempat, sebagai pertanda ia seorang menak sekaligus bersama romobngan kolonial pada saat itu, menyebabkan ketidaksukaan masyarakat terhadapnya yang patuh pada penjajah.

Jika demikian kronologisnya, maka wajar saja sikap Tanujiwa tidak disukai oleh rakyatnya, karena tidak mengayomi rakyat kalau istilah hari ini, dan cenderung memihak pada penjajah seperti pasukan Scipio. Sehingga banyak rakyat yang menjadi korban diadu-domba antara pro dan kontra oleh kompeni (Niat jadi pangkat/ katon kagorengan). Seorang Tanujiwa melakukan itu mungkin berniat ingin naik pangkat, tetapi sikap kurang baiknya itu terlanjur terendus-diketahui oleh Bupati dan para Kompeni lainnya.

Diteruskan dengan (Ngantos Kandjeng dalem/ Lempa lempi lempong/ jalan ka batawi ngemplong/ ngadu pipi jeung nu ompong), dan meskipun sudah diketahui sikap tidak baiknya, Tanujiwa tetap bersikukuh untuk mendekati Kanjeng Dalem (sebutan Bupati pada masa Kolonial) untuk memuluskan keinginannya mendapatkan jabatan serta kekuasaan yang tinggi.

Nah, setelah menyusuri muatan makna kawih Ayang-ayang Gung yang berhubungan dengan jalan hidup Tanujiwa, maka jelaslah Tanujiwa sebagai wedana disindir oleh masyarakat sunda (Bogor?) masa itu, dan bisa kita katakan pula Tanujiwa sedang mengejar harapan kosong dan malahan bermesraan dengan para kompeni, yang pada dasarnya tengah menjajah para pribumi dengan berbagai cara busuknya.

Pengalaman Tanujiwa dengan kompeni bahkan mirip dengan Untung Surapati (tokoh dalam sejarah Nusantara yang dicatat dalam Babad Tanah Jawi. Kisahnya menjadi legendaris karena mengisahkan seorang anak rakyat jelata dan budak VOC yang menjadi seorang bangsawan dan Tumenggung Pasuruan dengan gelar Tumenggung Wiranegara) yang juga Letnan kompeni. Bila kita mengamini lirik Ayang-ayang Gung diciptakan orang untuk menyindir kelakukan Tanujiwa, memang patut kita renungkan kembali dalam cara-pandang dan gerak-pandang merdeka seperti sekarang ini, pastilah masih berkelindan peristiwanya.

Kalau boleh saya bergurau dalam rasa curiga, alasan penyusun Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan nama Tanujiwa sebagai “bupati pertama”, mungkin terletak pada prilaku hidup Tanujiwa, walaupun pada kenyataannya Tanujiwa-lah peletak dasar hunian Bogor hari ini. Sebab, dalam daftar silsilah tradisional “bupati” pertama biasanya dicantumkan nama Mentengkara atau Merta-kara, sebagai Kepala Kampung Baru pertama, sedangkan catatan Belanda Mentengkara merupakan Kepala Kampung Baru yang ketiga (baca: Ketika Memandang Pohon Aren, Terlintas Kebudayaan Eceuk dan Kesejarahan Poek).

Transformasi Makna – Jauh di Muka

Setelah menyusuri kawih Ayang-ayang Gung dalam jalan panjang yang berhubungan dengan Buitensoreh (Bogor), nilai-makna apa yang dapat kita peroleh bersama dalam hidup hari ini? Apakah pembaca budiman setuju bahwa kawih Ayang-ayang Gung sebagai nilai sindiran, atau lebih baik kita kembalikan menjadi lantunan permainan anak-anak?

Saya pribadi lebih senang kawih itu dikembalikan pada lantunan permainan anak-anak, dan tambah senang pula jika kawih itu dijadikan sumber sindiran sebagai wahana pembelajaran. Sebab, secara sederhana, muatan makna yang dapat diperoleh dari makna kawih Ayang-ayang Gung tentu merupakan nasihat bagi para pemimpin yang tidak boleh angkuh dan sombong, harus senantiasa menjaga amanah jabatan dalam mengayomi hidup masyarakatnya.

Sebagaimana marak terjadi hari ini, para elit politik menebar janji pada saat kampanye, tetapi ingkar setelah berhasil menduduki jabatan. Ada juga para elit-kekuasaan hanya mengedepankan syahwat jabatan dengan menghalalkan segala cara dalam mengadu domba masyarakatnya untuk kepentingannya sendiri. Walaupun konteksnya sudah bukan tentang penjajahan dari bangsa asing, bahkan ini lebih buruk: penjajahan dari saudara sendiri, dari bangsa sendiri. Upsss!

Fenomena itu suka tidak-suka, dalam muatan makna kawih Ayang-ayang Gung sangat bisa kita mainkan sebagai sindiran yang tentu membangun. Sebab bisa kita lihat dari sudut-pandang, gerak-pandang, bahkan berbagai pandangan lainnya, kerja-kerja kesusastraan seperti apa yang tidak membangun? Lebih luas, kerja-kerja kesenian seperti apa yang tidak membangun? Kalau saya boleh blak-blakan, suatu bangsa lahir dari daya intelektual kesusastraan dan keseniannya yang merangkul kesejarahan-kebudayaan suatu bangsa itu sendiri, atau kita kecilkan saja – sebuah kota itu sendiri.

Syahdan, melalui kawih Ayang-ayang Gung yang pada dasarnya dinyanyikan oleh anak-anak dalam permainannya, dewasa ini saya ditampar-tonjoki melalui refleksi yang tak sengaja menjadi nasihat di dalam diri kita sendiri, lebih khusus mereka para pemegang kekuasaan itu sendiri. Dan saya berani dengan tegas menyatakan bahwa, leluhur kita menciptakan kawih Ayang-ayang Gung terlampau ajaib-cerdas, telah mampu menjalankan dan memaknai kerja sastra dalam kehidupannya.

Cara dan metode penyampaian apapun nasihat dimainkan, suka tidak-suka lagi-lagi kawih Ayang-ayang gung seperti sengaja ditinggal-wariskan para leluhur sebagai bekal bagi anak-anak dalam permainannya untuk kehidupan dewasa kelak, sehingga bisa dimaknai sebagai usaha mengemban amanah jika ditakdirkan menjadi elit-kekuasaan dalam menjalankan tugasnya sesuai jabatan yang diemban-tugaskan itu.***

Sumber Bacaan:

Kebudayaan Sunda I: Suatu Pendekatan Sejarah. 2009

Kebudayaan Sunda II: Suatu Pendekatan Sejarah. 2009

Penelusuran  Arsip Sejarah Kabupaten Bogor. 2014

Sejarah Bogor. 1983

Tiga Pesona Sunda Kuna. 2009