Apakah Bogor Masih Kota Budaya?

dok. Hanjuangbodas (lukisan Simbah Eman)


Pertanyaan apakah Bogor masih kota budaya, pernah diajukan seorang pemuda asal Bogor ketika saya berada di Melbourne beberapa tahun silam.

Memang benar Bogor pernah menjadi kota budaya. Pada masa pra-kemerdekaan Indonesia, tempat kedudukan raja bersemayam adalah pusat kebudayaan. Pada masa penjajahan, Bogor masih mampu mempertahankan berbagai bentuk kebudayaan seni tari, tembang, wayang golek, yang merupakan warisan dari masa sebelumnya. Para seniman Bogor meneruskan warisan nenek-moyangnya dengan penghayatan dan penampilan sepenuh hati.

Setelah kemerdekaan RI, kehidupan kebudayaan Indonesia yang sudah dirintis sejak penjajahan Jepang makin mendapat tempat dan peluang besar.

Pada tahun 1950-1960, ketika di kota Bandung hanya ada sebuah surat kabar berbahasa Sunda, di kota Bogor ada tiga majalah bulanan yang tersebar ke seluruh Jawa Barat, yaitu majalah Warga, Chandra, dan Mangle. Apalagi dukungan kuat diberikan tokoh-tokoh sastra Sunda seperti Surya Saputra dan M.A Salmun.

Bogor menonjol dalam seni tari Sunda, tokoh-tokohnya antara lain pak Hafid, dan pak Arsin. Banyak anak-anak Bogor yang menjadi murid mereka.

Kegiatan teater para anak muda yang mampu ber-kreasi di tengah kekurangan materi dan peralatan, mendapat dukungan dari kalangan masyarakat dan pemerintah daerah. Pengurus Gedung Nasional (satu satunya gedung tempat berkesenian) misalnya banyak memberikan keringanan, dan hanya tersenyum kalau saya datang untuk mengatakan belum bisa bayar sewa gedung.

Karena sukarnya mendapat tempat kegiatan, beberapa tempat seperti aula SMA, SGA dan gedung KJO, di sekolah Swasta Budi Mulya dipakai kegiatan seperti pementasan drama, festival lagu seriosa dan lain-lain.

Bahkan suatu ketika, Residen Bogor Muryani Nataatmaja sampai-sampai mengizinkan ruang tamu tempat kediamannya dipergunakan untuk pementasan drama yang dikemas dalam bentuk “teater terbuka”. Komandan Resimen Infantri Letkol M. Ishak Juarsa dan Kepala Polisi Bogor AKBP Tukinun sangat aktif mendukung setiap ada pementasan seni.

Kegiatan budaya bertambah meningkat ketika saya bersama teman-teman yang aktivis teater dan sastra menerbitkan mingguan “Warta Bogor” pada tahun 1958.

Lama sekali kota Bogor tidak punya penerbitan pers. Zaman awal revolusi memang ada surat kabar perjuangan bernama Suara Rakyat, tetapi sejak 1950 tidak ada lagi penerbitan Indonesia.

Sekarang apakah Bogor masih kota budaya atau sudah tidak ada lagi? Soalnya sekarang sudah sangat berbeda pengertian seni, budaya, seniman dan budayawan dibandingkan 30-40 tahun lalu, di mana bila ada kegiatan seni baik itu pementasan musik, seni tari atau deklamasi para seniman itu saling mendukung. Tidak ada perhitungan bisnis di dalamnya. Jangan dilupakan kondisi masyarakat masa saat itu belum maju terutama di bidang teknologi dan sarana komunikasi. Jangankan stasiun televisi studio radio saja sampai 1960-an belum ada.

Saya berhutang untuk menyebut nama teman-teman dan adik-adik saya pada periode “berat” tahun 1950-1970 yang aktif dalam kegiatan kesenian di kota Bogor. Kita kenang nama-nama Alexsander Naftali, Sarman Agus, J.T. Onglee, Klara Wijaya SL., Suprianto, Guritno HR, Apoen Suyapoera, FX. Puniman, Doddy Roamer PS dan Harly MK di bidang sastra.

Lies Sidik dibidang seni suara, Agus Alka, Adenan Taufik Arman, bidang lukis. Sumedi, Helen Tio, Rahayu Effendi, almarhum Luminda Harahap, Eti Sehati, Mukartini, Herry, Vrida Gan, Dewi Sulaeman/Pandji, dan Iwan Kelana di bidang seni tari. Di bidang teater tercatat deretan nama panjang yaitu Fatima Adi, Jeni dan Ati Kartajumena, Teti Sumiati, Emma Pandi, Murniati, Lastawan, Mariam, Maslian, Tien Sartika, Ike Kosim, Mike Sulasmi, Emma Idrus, lin Juaningsih, Ahyad Hamzah, Ishak Iskandar, M. Ryana Veta, Mangkurat Idrus, Eman Sulaeman, Umar Machdam, Kosasih dan lain-lain.

Sebagian besar masih dapat bercerita tentang tahun 1950-70 itu, tetapi ada yang lebih dahulu menghadap Illahi-Rabbi.

Tidak seorang-pun nama-nama di atas minta dicatat, tapi sejarah tentu saja mencatatnya.***

Bogor, 23 Mei 2002

.

Penulis: H. Endang Ahmadi

***

*Catatan: tulisan Simbah Endang Ahmadi ini kami ambil dari Buku Jalan Panjang Bogor olahan Dewi Pandji, agar kita semua dapat menerka sesuatu daripadanya, terkhusus menyangkut pengkaryaan Bogor dari sisi-sudut pandangannya. Menurut Bu Dewi, naskah tulisan Simbah Endang di atas diberikan padanya dengan harapan semoga kelak dapat digunakan. Dan menurut Bu Dewi pula, tulisan di atas merupakan goresan terakhir Simbah Endang sebelum wafat tahun 2003.