MAY DAY COLLECTIVE FOOTBALL

dok. X @dihaysss


Rabu, 1 Mei 2024, tepat di Hari Buruh Internasional, lapangan sepak bola di gelanggang Pajajaran yang terbiar dan tertinggal mendadak bernyawa dan bergemuruh. Para muda, wanita dan pria berjalan bersama-sama menanggalkan rivalitasnya dan dengan tanpa ada komando menyalakan penolakan atas kesemena-menaan pada hak pekerja. Menyatakan cukup untuk setiap kekerasan dan genosida yang terjadi di Palestina.

            ribuan manusia,

            ratusan poster, banner, bendera,

            flare ragam warna,

            mengkatarsis tuntutan mereka.

Mereka para suporter tim-tim kolektif, dengan segenap latar belakang dan kecintaan pada lokalitas kota, mencoba hal berbeda dalam memaknai Hari Raya Buruh Sedunia. Hal-hal yang dituntut, dalam perang untuk istana, perdamaian untuk rumah jelata, dan kematian untuk kemewahan tanpa usaha adalah “upah layak untuk 8 jam kerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam bercinta” coba mereka bawa ke dalam stadion tempat mereka berlaga.

Ada enam tim alternatif lintas kota yang berbagi api dalam May Day Collective Football: FC Rainfall , Riverside Forest, Urban Side FC, Portcity Wanderers, Fortress VB, dan Tribun Kultur FC.

Laga pertama May Day Collective Football dibuka oleh tuan rumah FC Rainfall vs Fortress VB pada pukul sepuluh dengan cahaya hangat matahari yang memberikan landscape jingga. Memasuki siang, jantung kota Bogor mulai menunjukan kecentilannya sebagai kota penghasil hujan. Dua tribun yang beratap menjadi penuh oleh tubuh-tubuh. Namun tetap, gemuruh air tawar Tuhan tidak membuat chant-chant lenyap. Teriakan, larian, dan hentakan kaki yang menyulut bola masih terus berputar. Pertandingan terus berjalan. Setiap gol terus dirayakan. Rotasi antar tim sesuai jadwal.

“Debu telah melekat di t-shirt kita

Hingga embun membasahi tiap kepala

Lingkaran tak juga kunjung dibubarkan

Masih bercerita tentang zaman kebodohan”

–        Morfem, Rayakan Pemenang

Memasuki pertandingan terakhir, flare dan bom smoke mulai dinyalakan. Keringat bercucuran seiring loncatan. Namun kesenangan mereka belum lekas padam. Bendera merah-hitam yang melambangkan suatu perlawanan anarko-sindikalisme terus berkobar. Potret dari banner-banner bertuliskan, “HIDUP KAUM BURUH”, “FREE PALESTINE”, “USUT TUNTAS KANJURUHAN”, “DAGO MELAWAN”,  “FOOTBALL FROM PSSI IS ONLY ABOUT BUSINESS AND POLITICS FAR AWAY FROM HUMANITY” dan “ALL WE ARE SAYING IS GIVE PEACE A CHANCE” mendesak lantang disuarakan. Menjemput keadilan dan kesetaraan.

Tiap tuntutan yang dituliskan semua berkelindan, menjadi darah kental perlawanan. satu tuntutan untuk menyelesaikan Kanjuruhan, adalah satu tuntutan untuk membereskan kebangsatan persepakbolaan dari mafia dan kekerasan. Satu tuntutan untuk hak-hak buruh berjejaring juga kepada tuntutan inklusivitas yang menolak logika pasar yang melihat manusia hanya sebatas pencetak barang dan nilai—juga pada setiap jengkal eksploitasi alam dan perempuan. Satu tuntutan untuk pembebasan Palestina, adalah tuntutan yang sama untuk semua kemerdekaan dari Chiapas ke Rojava, Andes, Qandil, Kurdi, Kongo hingga Papua dan semua masyarakat yang sedang berjuang untuk tanahnya

Namun, sejarah begitu terus mengulang. Yang belangsak bahkan tak pernah menuju hampir terang. Kemajuan dan eksploitasi serasa terus melingkar dalam lingkaran setan. Remukan harapan pun membadan di tubuh yang penuh beban. Tanpa kepastian, tanpa jaminan peluit panjang masa depan. Karena itu, sepak bola tanpa harus membayar sewa lapangan dan korban harus terus dimainkan. Karena tak ada istirahat untuk melawan. Tak ada time out untuk menghancurkan kapitalisme sampai dasar.

Ajukan tuntutanmu untuk delapan jam dengan senjata di tangan

Berangkat dari gelaran May Day Collective Football yang diekspresikan tepatan dengan Hari Buruh Internasional, FC Rainfall sebagai akar rumput seakan mengisak tanya, “Apa dalam dunia yang kadung arogan ini, kita juga harus menjadi budak tontonan?” dan dengan pertanyaan yang amblas tersayat itu, mereka mengeluarkan eksperimen kenyataan: Kami harus membuat hiburan kami sendiri. Dan kami menikmati keintiman yang sederhana. Beri kami lapangan bola yang luas tanpa harus membayar, dan kami akan berangkulan mengikuti garis-garis lapangan. Menyalakan langit dengan ledakan dan tentu kami akan menyanyi dan menari—dan hanya dengan itu kami akan berbahagia mengabadikan May Day ini.

“Takkan menyerah di bawah tanah.

Kabar baik menunggumu.

Datang hari tanpa batas.

Tanpa negara. Tanpa agama”

–        Dongker, Bertaruh Pada Api

Tentu, masing-masing dari kita memiliki makna sendiri atas kebebasan, memiliki strategi sendiri untuk melawan, namun ketika semua mulai dikonversikan kepada nilai. Ketika kelahiran ditulis dengan angka-angka dan diternakan untuk lahir-sekolah-kerja-dan menggila. Ketika semua harus melalui kerja kontrak tanpa kepastian tunjangan dan masa tua, kita menjadi satu dan sama rasa: diperkosa oleh negara saban harinya.

Semua keter-ketika-an yang lolos dari jebakan ofside itu membikin negara mulai menjalankan strategi neoliberalnya dan dengan tanpa ada garis linear moral, setiap pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan negara absen dari kartu merah. Dan sialnya kita mengetahui awal mulanya. Karena wasit dan seluruh hakimnya sudah diperah dan kita sebagai satuan warga terus dibuat patah, oleh rencana// oleh bencana// dan dengan sebab itu kita dipaksa menelan asinnya rasa kalah.

Namun sayangnya, tetap tak ada ruang buat sinismu. Sebab, kita “tak akan pernah memenangkan semua”. Dunia terus bergerak, sementara perubahan iklim yang menguarkan kiamat ekologis mengepung di belakangnya.

Harinya akan datang ketika keheningan kita akan lebih kuat dari suara-suara yang kau cekik hari ini.

Tentu, alternatif membangun “masyarakat baru” dalam reruntuhan yang lama a la FC Rainfall dengan May Day Collective Footbal tidak sedikit mendulang kritik. Seperti: May Day kok main bola, gabung dong dengan massa, dan untuk hal ini mari kita dedah apa yang ditwitkan Zen RS pada 3 Mei, bahwa muntahan kritik itu tentu “Gapapa” dan “Toh sepakbola alternatif bukan benda harom untuk dipersoalkan”. Dan kritik semacam ini, bukan perkara baru, bahkan sejarah pernah menintakan di tahun 1920-an. Kritik semacam itu dilontarkan oleh anarko-sindikalis Jerman, yang pada dasarnya, menyalahkan sepakbola karena dianggap mengganggu para pekerja dari pengorganisasian politik. Namun tentu tuduhan itu pun tidak memiliki data dan bukti yang cukup jelas. Mayday Collective Footbal pun saya rasa tidak melucuti sejarah panjang perlawanan para kaum pekerja yang dimulai di Chicago tahun 1886.

Terlepas dari keraguan, setidaknya yang bisa saya pertaruhkan dalam api kehangatan Mayday Collective Football yang Rainfall selenggarakan adalah bahwa kemarahan dan kekecewaan yang kita rasakan kepada dunia yang berantakan tidak pernah kita rasakan sendirian. Tentu merayakan May Day dengan demonstrasi ke jalan dan melakukan pemogokan adalah jalan ter-kaffah untuk menghidupkan pertarungan panjang Hari Buruh Internasional.

Kendati demikian, kita bisa melihat apa yang dilakukan tim-tim alternatif beserta kerumumannya dalam Mayday Collective Football sebagai  pintu masuk untuk aktivisme politik harian yang lebih efektif dan radikal.  Toh seperti pernyataan yang dihimbau dan dicetak kepada kaum pekerja sebelum 1 Mei 1886, bahwa, “satu pon dinamit lebih baik daripada satu gentong kotak suara”

Karena perlu diingat kapitalisme begitu cerdas dalam mempertahankan status quo-nya, mereka lihai dalam memadu di setiap perubahan, dan untuk itu gerakan perlawanan masa depan adalah keklinisan, kita harus membangun kekuatan dari lintas sektor dan geografis dan meski perjuangan bermotorkan kelas tapi dalam menyatakan serangan kita harus berpayung pada setiap keresahan. Dan hal ini juga berlaku dalam sepakbola dan seperti yang dikemukakan Gabriel Kuhn, seorang anarkis yang lebih dulu melakukan eksperimen alternatif dalam persepakbolaan

Jika Anda mampu menjinakkan karakter kompetitifnya, maka sepakbola dapat menjadi permainan yang indah dalam upaya membangun sebuah masyarakat yang ideal. Jika Anda fokus pada peran sepakbola sebagai permainan massa, maka hal itu dapat berfungsi sebagai media untuk menantang penguasa.

Seledakkan dengan yang dikemukakan Kuhn, saya rasa Mayday Collective Football pun hadir dengan nyawa yang demikian. Dengan varian baru yang dilakukan, mereka menghadirkan percakapan antar kelompok dan menerabas jeruji-jeruji narasi besar yang kerap merepresi setiap kebebasan personal dan komunal. Sebab dalam sepak bola alternatif, rivalitas dan kompetitif dibekukan.  Brutalitas dan kebencian antar lawan dianggap tindakan primitif. Setiap dukungan diradikalkan untuk memotong setiap tentakel kekuasaan. Dan jangan lupa, selama kaum anarkis memimpin revolusi Spanyol di tahun 1936, pertandingan sepak bola sebagai permainan masa rutin dilakukan oleh anarkis Catalunya.

Anarkisme tak hanya sejarah yang berdarah-darah di lapangan, di jalanan, apalagi sampai memakan korban. Anarkisme bukan pula sekadar tindakan brutal dan urakan serta sumbu keonaran. Anarkisme tak sesempit persepsi yang demikian. Mereka tau kekuatan dari sepak bola, karena dalam sepak bola atau pertandingan olahraga lainnya, itu ajang dimana rakyat dari berbagai ras, budaya, maupun gender berkesempatan untuk berinteraksi secara sukarela dengan individu lain di luar lingkungan kerja, dalam suasana luang.

Kisah-kisah itu mungkin bentuk yang tidak cukup heroik dibanding pendudukan pabrik! Namun terbentuknya hubungan antara otonom dan “kontrol oleh fans”, serta keprihatinan tentang hancur dan rusaknya sepakbola oleh kapitalisme dan mafia bisa memunculkan semangat anti-kapitalisme di kalangan fans sepakbola yang berasal dari kaum muda dan kelas pekerja.

Namun jika sepak bola tidak cukup untuk membentuk sebuah dunia baru, maka berserikatlah. Dengan berserikat, setidaknya, kita dapat mengumpulkan serpihan kesakitan dan luka menjadi amukan molotov dan belati. Menjadi suatu kesatuan yang lebih dapat melahirkan pemogokan yang kolosal. Sebab, semua orang takkan patuh// semua cinta takkan runtuh.

Jika semua kekuatan dalam perjuangan bersatu dan membangun kolektif garda depan melawan sistem, tidak ada kekuatan dominan yang dapat menghentikan mereka. Tapi siapa yang akan membangun garda depan ini? Seperti apa bentuknya dan di mana itu bermula?

Pada akhirnya—seperti pertandingan yang tak selesai di laga akhir FC Rainfall dengan Riverside, karena euforia yang terlalu mendesak untuk mengakhiri sekaligus menunjukan tidak pentingnya skor akhir—karena yang terpenting adalah kebersamaan dalam menikmati perjuangan yang sama. Dan bercermin pada hal tersebut, tulisan tentang perayaan May Day ini pun tak pernah saya niatkan untuk selesai. Sebab yang terpenting setelah kita padu dalam gerakan. Persatuan seperti ini akan mengirimkan pesan yang kuat kepada para penindas kita—bahwa kita telah berdiri bersama dan siap melawan secara kolektif. Oleh karena itu menyentuh satu pihak akan mengundang perlawanan dari semua pihak!