dok. Museum Tambun-Bekasi
A. PERIODE YANG TERAKHIR
Sebelum kemunculan kerajaan Islam Cirebon dan Banten, Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan ‘Hinduistis terakhir yang pernah muncul di kawasan Jawa Barat. Dengan kata ‘Hinduistis”, dimaksudkan bahwa corak pemerintahannya bersumber kepada tradisi sistem pemerintahan yang berlaku di India waktu itu.
Kerajaan tipe ini muncul pertama kalinya di Jawa Barat dalam tahun 130 Masehi di pantai Pandeglang dengan Dewawarman 1 (130-168 M) sebagai raja pertama, la seorang pendatang dari India yang kawin dengan puteri penghulu (kepala) Desa setempat. Setelah mertuanya wafat, ia kemudian menggantikan kedudukannya sebagai kepala Desa. Sistem pemerintahannya berangsur-angsur diberi corak kehidupan. Kerajaan diberi nama Salakanagara (negeri-perak) dan ibu kotanya diberi nama Rajatapura (kota perak).
Wilayah kekuasaannya meliputi pantai Pandeglang, Nusa Api (Krakatau) dan ujung selatan Swarnabumi (tanah emas, Sumatera). Dua orang adiknya dapat meluaskan wilayah kerajaan dan kemudian menjadi raja daerah, masing-masing di Ujung Kulon dan Argabinta (Cianjur Selatan). Kerajaan ini hanya sampai Dewawarman VIII (340-362), dan kekuasaannya digantikan oleh menantunya yang bernama Jayasingawarman, seorang maharesi dari kerajaan Salankayana di India, la mendirikan negara baru sejak tahun 352 Masehi di daerah Bekasi dengan nansa. Tarumanegara. Menantu Dewawarman VIII yang seorang lagi yaitu Resi Santanu yang juga pendatang dari India, mendirikan kerajaan Indraprahasta di daerah Cirebon dalam tahun 363 M.
Tarumanegara mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Purnawarman (395- 435 M), cucu Jayasingawarman. Kekuasaannya membentang dari pantai selat Sunda sampai Purwalingga (Purbolinggo). Pada masa pemerintahannya pula ibukota kerajaan dipindahkan arah ke utara dan diberi nama Sundapura.
Kerajaan Taruma hanya sempat diperintah oleh 12 orang raja dengan raja terakhir bernama Linggawarman (616-669 M), la digantikan oleh menantunya yang bernama Tarusbawa (669- 723 M). Setahun kemudian (670 M), kerajaan Galuh yang didirikan tahun 612 M memisahkan diri. Tarumanegara terpecah menjadi Galuh dan Sunda dengan Citarum sebagai batas di antara kedua kerajaan tersebut.
Pantai utara kerajaan Sunda kemudian diserahkan kepada Sri Jayanesa, penguasa Sriwijaya, karena ia pun adalah menantu Linggawarman. Akibat pembagian ini ibukota Sundapura dipindahkan ke daerah Kota Bogor yang sekarang. Cucu perempuan Tarusbawa yang bernama Sekar Kencana kemudian diperistri oleh Sanjaya, keturunan Galuh-Kalingga, Nenek Sanjaya adalah puteri ratu Sima (674-695), yaitu Pasati yang diperistri oleh Mandiminyak Raja Galuh.
Perkawinan Sanjaya dengan Sekar Kencana menyatukan kembali kerajaan Galuh dengan Sunda (723-732). Dalam tahun 732 M. Sanjaya memerintah di Jawa Tengah karena ibunya mempunyai hak tahta atas Kalingga Utara yang kemudian diberi nama Medang di bumi Mataram (732-754). Kalingga Selatan yang kemudian disebut Bumi Sambara diperintah oleh Narayana, adik kandung nenek Sanjaya. Narayana adalah ayah raja Dewasinga. Karena itulah baik di Jawa Barat maupun di Jawa tengah raja-raja penguasanya adalah keturunan Sanjaya, karena Dewasinga pindah ke Warugasik di Jawa Timur dalam tahun 760 M.
Dengan kepindahan Sanjaya ke Jawa Tengah, daerah kekuasaannya di Jawa Barat kemudian dibagi dua. Daerah Galuh dan Sunda diberikan kepada putranya dari Sekar Kencana, yaitu Tamperan Barmawijaya (732-739 M). Daerah kerajaan Saunggalah atau kerajaan Kuningan diserahkan kepada Rajaresı Demunawan saudara sepupu ayah Sanjaya.
Setelah Tamperan wafat, kerajaan peninggalannya dipecah menjadi dua yaitu Galuh yang diperintah oleh Manarah atau Ciung Wanara (739-783 M) dan Sunda yang diperintah oleh Banga yang memerintah tahun 739-766 M. Selama 20 tahun pemerintahannya, Banga tunduk kepada Manarah, akan tetapi dalam tahun 759, Banga melepaskan diri dan kerajaan Sunda menjadi Kerajaan yang merdeka.
Dengan demikian, terbentuklah 3 pusat Kerajaan di Jawa Barat, yaitu: Sunda, Galuh dan Saunggalah. Akan tetapi, karena terjadinya perkawinan diantara keluarga ketiga keraton tersebut, pada akhirnya kekuasaan menjadi satu kembali. Akibatnya ialah kedudukan pusat pemerintahan sering berpindah-pindah di antara ketiga pusat pemerintahan tersebut.
Pada awal abad ke-14, berdirilah ibukota kerajaan yang baru, yaitu Kawali yang terletak kira-kira di tengah-tengah jarak Galuh-Saunggalah. Raja yang memerintah di Kawali ialah Linggadewata (1311-1333 M). la digantikan oleh menantunya, Ajiguna Linggawisesa (1333- 1340 M). Kemudian digantikan oleh putranya, Ragamulya (1340-1350 M). Raja ini digantikan oleh puteranya, Linggabuana (1350-1371) yang gugur di Bubat. Karena putera mahkota masih kecil, maka pemerintahan dipegang oleh Mangkubumi Suradipati alias Bumisora (1357-1371 M), adik kandung Linggabuana. Barulah dalam tahun 1371, putera mahkota, Wastukancana dinobatkan menjadi penguasa baru pada usia 23 tahun. Baik dalam prasasti tembaga Kebantenan maupun prasasti Batutulis. silsilah raja Pajajaran dimulai dengan tokoh ini. Sampai saat ini, baru raja inilah yang diketahui meninggalkan statement tentang nasib kerajaan yang akan ditinggalkannya. Testamen atau wasiat tersebut dituliskan pada dua lempeng batu yang sekarang tersimpan di Kawali.
Ia mempunyai 2 orang permaisuri. Yang pertama adalah Ratna Sarkati, puteri resi Susuklampung dari kerajaan Lampung. Dari puteri ini, ia berputera Sang Haliwungan yang kemudian diserahi kekuasaan di Kerajaan Sunda dengan gelar Prabu Susuk Tunggal. Permaisurinya yang kedua adalah Mayangsari Puteri Mangkubumi Suradipati. Dari puteri ini, Wastukancana berputera Ningrat Kancana yang diserahi pemerintahan di Galuh dengan gelar Prabu Dewa Niskala. Wastukancana sendiri berkedudukan di Kawali.
Setelah Wastukancana wafat tahun 1475, kedua bagian kerajaan tetap diperintah oleh kedua puteranya, Susuk Tunggal dan Dewa Niskala. Dalam periode ini banyak berdatangan para pengungsi dari lingkungan keraton Majapahit ke Galuh karena mereka menyingkir dari serbuan tentara Demak. Seorang wanita pengungsi ini diperistri oleh Dewa Niskala. Wanita tersebut kebetulan seorang dara-tukon (gadis yang telah bertunangan). Mengawini dara tukon adalah pelanggaran besar menurut hukum adat waktu itu.
Akan tetapi pelanggaran terbesar yang dilakukan Dewa Niskala adalah karena gadis itu justru berasal dari kalangan keraton Majapahit. Walaupun raja-raja Sunda dengan raja-raja Majapahit masih sekeluarga karena sama-sama keturunan Prabu Darmasiksa (ayah Raden Wijaya, pendiri Majapahit, adalah putera Darmasiksa raja Sunda), hubungan mereka terputus akibat Peristiwa Bubat yang terjadi pada tanggal 30 Agustus 1357. Keluarga keraton Sunda kemudian ditabukan berjodoh dengan anggota keluarga Keraton Majapahit.
Pelanggaran besar yang dilakukan oleh Dewa Niskala telah membangkitkan kemarahan luar biasa pada diri Susuk Tunggal. Kedua orang raja ini bukan saja seayah, tetapi juga berbesan. Namun demikian, Susuk Tunggal memutuskan hubungan dengan Galuh. Duta kerajaan Sunda yang berkedudukan di Galuh dipanggil pulang, dan Duta Galuh di Pakuan diminta kembali ke daerahnya di Galuh.
Perpecahan ini akhirnya dapat di-atasi oleh para pemuka istana. Kedua orang raja sepakat mengundurkan diri dari tahta kerajaan. Dewa Niskala menyerahkan tahta Galuh kepada puteranya, Jayadewata. Susuk Tunggal menyerahkan tahta Sunda kepada menantunya, Jayadewata juga. Putri Susuk Tunggal berjodoh dengan Jayadewata. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1482. Dengan peristiwa ini, kesatuan Sunda-Galuh pulih kembali seperti pada masa pemerintahan Wastukancana. Dan mulailah babak baru sejarah Jawa Barat yang disebut zaman Pajajaran.
B. MASA PEMERINTAHAN PRABU SILIWANGI (1482-1521) DAN BANGKITNYA KERAJAAN ISLAM
Jayadewata naik tahta kerajaan dengan kegoncangan jiwa yang besar. la menyaksikan perselisihan bahkan perpecahan antara ayahnya (Dewa Niskala) dengan mertuanya (Susuk Tunggal). Dengan perasaan berat ia menerima meneri keputusan bahwa pribadinyalah yang dapat menjadi “juru penengah” sambil terpaksa harus menyisihkan ayah dan mertuanya dari tahta masing-masing.
Beban perasaannya dapat dimaklumi, bila kita mengetahui bahwa penerus tahta kerajaan Sunda yang sebenarnya adalah kakak iparnya, Prabu Surabima Ratu Japura (di daerah Cirebon) yang lebih dikenal dengan nama Amuk Murugul. Dengan tokoh ini, Jayadewata pernah bersambung nyawa memperebutkan Subanglarang, puteri Singapura (sekarang: Mertatinga di Cirebon Utara). Subanglarang adalah nenek Syarif Hidayatullah dari pihak ibu.
Jayadewata sendiri adalah putera mahkota Galuh dengan gelar Prabu Guru Dewataprana. Pada saat penobatannya menjadi penguasa kerajaan yang meliputi seluruh daerah kekuasaan kakeknya, Wastukancana, ia menerima gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Tokoh inilah, menurut sumber Cirebon, yang disebut Prabu Siliwangi oleh orang-orang Sunda. la memerintah sebagai maharaja selama 39 tahun dan wafat tahun 1521. Sekaligus ia pun menjadi ahli waris kerajaan Singapura dan Sindangkasih (Cirebon Selatan) karena pernikahannya dengan puteri dari kedua kerajaan tersebut. Oleh karena itu, kehadirannya sebagai maharaja baru diterima oleh semua raja daerah yang waktu itu ada di kawasan Pajajaran (sebelah Timur sampai di daerah Purbolinggo, bekas kekuasaan Tarumanegara pada masa Purnawarman).
Dalam masa pemerintahannya (1482-1521) ada dua gejala sejarah yang besar di kawasan Nusantara yang kemudian akan menentukan arah perkembangan sejarah Indonesia. Pertama, penyebaran agama Islam yang makin lama meluas di pulau Jawa dan potensi Islam menjelma menjadi kekuasaan politik dalam wujud kerajaan Demak, Kedua, kehadiran bangsa Portugis yang berhasil menguasai Malaka dalam tahun 1511 dan Pasai tahun 1512.
Pertarungan antara Portugis dan Demak inilah yang kemudian turut menentukan arah perkembangan sejarah kerajaan Pajajaran. Jadi, masa pemerintahan Sri Baduga alias Prabu Siliwangi telah memasuki “babak pergaulan dalam bangsa” dalam sejarah Nusantara.
Terhadap agama Islam, Siliwangi telah membuka sikapnya ia memberikan keleluasaan agama itu menyebar di daerah kekuasaannya. Permaisurinya sendiri, Subanglarang, adalah tokoh keluaran Pondok Pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Hasanuddim (seorang ulama Mazhab Hanafi) dalam tahun 1416 di Karawang. Pondok Quro inilah Pesantren pertama di Jawa Barat.
Dilihat tahun berdirinya (1416 M). jelaslah pesantren itu didirikan dalam masa pemerintahan Wastukancana (1371-1475 M). Subanglarang memasuki pesantren ini tahun 1420 dan dua tahun kemudian ia menikah dengan Siliwangi melalui sebuah sayembara perang tanding antar-calon yang berlaku waktu itu. Ia mengalahkan Surabima Amuk Murugul dalam “babak final”. Tokoh ini kemudian akan menjadi kakak ipar dan sekaligus Senapatinya.
Putera-puteri Siliwangi yang ibunya beragama Islam, mengikuti agama ibunya. Dengan demikian, di keraton Pajajaran banyak penghuninya yang memeluk agama Islam. Tiga orang putera Subanglarang, yaitu: Walangsungsang, Larasantang dan Rajasangara beragama Islam sejak kecil dan kemudian setelah mereka menunaikan ibadah haji, masing-masing bernama: Haji Abdullah Iman, Haji Syarifah Mudaim dan Haji Mansur.
Haji Mansur meniru ibunya, mempelajari agama Islam di Pondok Quro Karawang: Sedangkan kedua kakaknya mempelajari agama Islam di Pesantren Amparan Jati Cirebon yang didirikan oleh Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama dari Mazhab Syafe’i beberapa tahun setelah didirikannya Pondok Quro. Menurut catatan, Pesantren Amparan Jati ini adalah Pesantren kedua di Jawa Barat. Pesantren ketiga didirikan di kampung Sidapurna (kuningan) oleh Syekh Bayanullah, adik Syekh Datuk Kahfi. Kedua tokoh ulama ini adalah keturunan Nabi Muhammad dari generasi ke-21. Cucu Syekh Datuk Kahfi, Pangeran Muhammad, adalah kakek Prabu Angkawijaya yang lebih dikenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun Sumedang.
Sumber intrik di keraton zaman dahulu bersumber kepada adanya kebiasaan raja yang beristri banyak. Persaingan hak waris tahta selalu melibatkan para putera raja yang merasa memiliki kesempatan. Mereka akan didukung oleh ibu dan keluarga ibunya masing-masing ditambah dengan beberapa pejabat negara yang menjadi kelompoknya. Di keraton Pajajaran intrik itu dipertajam dengan menggunakan perbedaan agama sebagai “isu politik”. Karena alasan seperti itulah Walangsungsang lolos dari keraton dan menuju ke Cirebon setelah ibunya wafat tahun 1441.
Daerah Cirebon adalah hak waris Walangsungsang dari kakeknya. Oleh karena itulah kemudian, ia dinobatkan oleh ayahnya sebagai penguasa Cirebon yang otonom dengan gelar Tumenggung. Akibat kenyataan ini. Tome Pires keliru, karena ia mengira Cirebon adalah kerajaan bawahan Demak, karena batas kerajaan Sunda waktu itu adalah Cimanuk.
Pada tanggal 3 April 1445 M. Walangsungsang bersama beberapa orang pengiringnya membuka sebidang tanah di daerah pesisir untuk mendirikan sebuah pemukiman baru. Kampung ini diberi nama Carbon Larang sebagai imbangan terhadap Carbon Girang di kaki gunung Indrakila (Ciremai) yang pada masa Tarumanegara bernama Indraprahasta dan pada masa Sanjaya disebut Wanagiri.
Waktu Walangsungsang pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah bersama adiknya, Larasantang, mereka bertemu dengan Syarief Abdullah di pelabuhan Jeddah. Syarief Abdullah adalah seorang Walikota di daerah Mesir dan masih kerabat Syekh Datuk Kahfi, guru Walangsungsang dan Larasantang. Pertemuan dengan kerabat gurunya ini telah menjalinkan jodoh antara Larasantang dengan Abdullah dalam tahun 1445, juga dari perkawinan inilah lahir Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal umum dengan sebutan Sunan Gunung Jati (yang benar: Susuhunan Jati).
Walangsungsang kembali ke Cirebon dengan nama Haji Abdullah Iman. Ketika ia menerima warisan tahta kerajaan Singapura dari Kakeknya, Walangsungsang menggunakan kesempatan ini untuk membangun Cirebon menjadi pusat pemerintahan yang baru. Atas dasar itulah kemudian ia diangkat oleh ayahnya menjadi penguasa Cirebon. Dalam kedudukannya di Cirebon itulah ia dinobatkan sebagai penguasa resmi oleh ayahnya. Gelar yang diperolehnya adalah Sri Mangana.
Ketika Syarif Hidayat kemudian datang di Pulau Jawa, ia mula-mula menuju ke Ampel Denta, menemui Sunan Ampel. Karena Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu Siliwangi, ia diminta oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Dalam kedudukan inilah Syarief Hidayatullah menuju ke daerah Cirebon yang sudah berkembang menjadi basis penyebaran Islam.
Dengan perkembangan Islam yang makin mantap, akhirnya Walangsungsang dengan sukarela menyerahkan kekuasaan atas Cirebon kepada Syarif Hidayatullah menjadi penguasa Cirebon dengan gelar Susuhunan Jati. Kedudukan ini membuka peluang lebih besar bagi Syarif Hidayatullah untuk mengadakan hubungan dengan Demak yang menjadi pusat kekuatan Islam di pulau Jawa. Hubungan ini kemudian dikukuhkan melalui tali perkawinan di antara para putera-puteri Demak dengan Cirebon. Ratu Ayu, puteri Susuhunan Jati dijodohkan dengan Pangeran Yunus atau Pangeran Sebrang Lor dalam tahun 1511. Kemudian, Bratakelana putera sulung Susuhunan Jati dijodohkan dengan Ratu Nyawa puteri Sultan Al Fatah dari Demak dalam tahun yang sama. Setelah Bratakelana wafat tahun 1513, maka dalam tahun 1515 Ratu Nyawa dijodohkan dengan Pangeran Pasarean, adik Ratu Ayu. Kelak setelah Pangeran Sebrang Lor wafat (1521) dan Pangeran Pasarean terbunuh dalam perebutan tahta Demak oleh Aria Panangsang, kedua jandanya diperistri oleh Fadhillah Khan (Falatehan) yang kemudian menjadi Bupati Sunda Kalapa (Jayakarta) dalam tahun 1527 M. Dengan demikian, Fadhillah adalah menantu Susuhunan Jati dan juga menantu Sultan Al-Fatah dari Demak yang waktu itu telah wafat.
Perkawinan antar Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak II) dengan Ratu Ayu tahun 1511. telah menempatkan Cirebon dalam posisi militer yang kuat. Sebagian pasukan Sebrang Lor ditempatkan di Cirebon, karena Demak memiliki armada yang kuat dan dilengkapi meriam.
Kehadiran tentara Demak ini sangat mencemaskan Prabu Siliwangi. Oleh karena itulah ia mengutus putera mahkotanya, Surawisesa, untuk mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka. Misi Pajajaran ini dikirim tahun 1512 menemui Alfonso d’Albuquerque. Misi kedua dikirimkan tahun 1521 untuk mengukuhkan kunjungan yang pertama.
Rasa hormat para penguasa Cirebon kepada Prabu Siliwangi ternyata besar sekali. Selama raja masih hidup, Cirebon tidak pernah mengadakan gerakan militer sekalipun pihak Demak menginginkannya. Ketika raja besar ini wafat. Cirebon pun ikut berkabung.
Karya-karya Siliwangi dapat kita baca dalam prasasti-prasasti peninggalan Pajajaran yang tidak banyak jumlahnya. Karyanya yang terbesar adalah membuat parit pertahanan kota di sekeliling ibukota Pakuan yang sebagian dalamnya dilapisi dengan benteng tanah diperkuat dengan batu pada bagian puncaknya. Sisa gerbang yang ditemukan ekspedisi Belanda dalam awal abad ke 18 terletak pada jembatan Bondongan dan pertemuan antara jalan Lawang Gintung dengan jalan Batutulis. Gerbang tersebut mendaki terjal sepanjang kira-kira 20 meter dan hanya cukup dinaiki oleh seorang pengguna kuda. Tanah disebelah kanan kiri jalan ini digali, sehingga gerbang kota pada ujung jalan masuk itu seperti terletak di “udara” apabila dilihat dari dasar parit luar.
Prabu Siliwangi wafat dalam tahun 1521. la digantikan oleh putranya. Surawisesa (1521- 1535) yang telah diutus dua kali menemui d’Albuquerque di Malaka, la bersahabat baik dengan Portugis, bahkan waktu upacara penobatannya delegasi Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme, adik ipar d’Albuquerque hadir di keraton Pakuan Pajajaran. Pertemuan ini dilanjutkan dengan penandatanganan perjanjian Sunda-Portugis pada tanggal 21 Agustus 1522 di keraton Pakuan juga.
Perjanjian dagang yang ditambah dengan perjanjian kerjasama dalam bidang pertahanan ini telah menggelisahkan Cirebon dan Demak, karena Portugis telah membuat Pertahanan di daerah muara Ciliwung. Dengan Malaka dikuasai Portugis dan muara Ciliwung dikawal oleh pasukan Portugis yang menjadi musah besar jalur dagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan, dan kerajaan Islam ini terancam di Selat Sunda yang mendorong Sultan Trenggono dan Susuhunan Jati cepat-cepat mengungsikan Selat Sunda, gerbang selatan Peraitan Nusantara yang masih bebas dari kekuasaan Portugis.
C. PEPERANGAN LIMA TAHUN
Setelah Prabu Siliwangi wafat, hilanglah penghalang bagi Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) yang menjadi Senapati Cirebon untuk memulai gerakan militernya. Tahta kerajaan sekarang berada di tangan adik seayahnya yang menjadi sahabat Portugis. Operasi gabungan tentara Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fadhillah mulai merebut Banten dalam tahun 1526. Perebutan daerah ini dipermudah oleh penduduk Banten yang telah lama memeluk agama Islam (hasil peng-Islaman Sunan Ampel).
Setahun kemudian, pasukan Fadhillah berhasil merebut Pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Bala bantuan yang dikirimkan dari Pakuan tidak berhasil merebut kembali pelabuhan ini, bahkan armada Portugis yang datang hendak mendirikan benteng juga dapat dikalahkan armada Fadhillah. Tahun itu juga ia ditetapkan menjadi Bupati Cirebon di Kalapa oleh Susuhunan Jati. Karena pasukan darat dan kavaleri Pajajaran cukup tangguh, Cirebon tidak berusaha menyerang jantung Pakuan. Cukup mempertahankan garis pantai utara yang menghubungkan Banten dengan Kalapa saja.
Pasukan lain yang mencoba merembes melalui daerah Bekasi dan Karawang masih dapat ditahan oleh pasukan Surawisesa. Cirebon berganti taktik dengan memusatkan serangannya di front timur. Tahun 1528, sebagian pasukan Fadhillah dikerahkan untuk menyerang Galuh. Dalam perang ini Kuningan dapat direbut oleh Galuh dan pasukan Cirebon telah mundur ke bukit Gempol. Lalu pasukan Galuh hanya dapat ditahan oleh kedatangan bala bantuan Demak yang sudah mempergunakan meriam. Senjata “modern” inilah yang akhirnya mampu mendesak mundur pasukan Galuh. Mereka bertahan di Talaga. Dua tahun kemudian (1530) Talaga jatuh ketangan Cirebon, sementara itu Walangsungsang wafat tahun 1529, sehingga serbuan ke Talaga dipimpin langsung oleh Susuhunan Jati.
Peperangan yang berlangsung terus menerus selama 5 tahun ini telah melemahkan kedua belah pihak: lagi pula Cirebon tidak mungkin terus menerus mengandalkan bantuan Demak, karena negara itu sendiri mempunyai perhitungan terakhir dengan Pasuruan dan Panarukan yang menguasai Selat Madura.
Dalam tahun 1531 tercapailah perjanjian perdamaian antara Pajajaran dengan Cirebon. Dalam suasana damai ini, Cirebon mengkonsolidasikan kekuasaannya di Banten dan Jayakarta: sedangkan Surawisesa dapat melangsungkan upacara shrada, yaitu peringatan 12 tahun wafatnya Prabu Siliwangi. Dalam rangka itulah ia membuat Prasasti Batutulis yang mengabadikan dasar dan kebesaran ayahnya. Peristiwa itu berlangsung tahun 1533 M. Dua tahun kemudian Surawisesa wafat.
Penulis zaman Pajajaran memuji Raja ini sebagai perwira, perkasa, dan pemberani. Selama lima tahun ia memimpin langsung peperangan yang dilakukan oleh pasukannya. Dalam jangka waktu 5 tahun itu, ia berperang sebanyak 15 kali untuk mempertahankan wilayah kerajaan yang diwariskan ayahnya.
D. PENUTUP
Demikianlah sekilas tentang kerajaan yang dikenal dengan nama Pajajaran dalam peta masa lampau Jawa Barat yang dahulu pernah meramaikan dan menyemarakkan kehidupan di atas bumi Bogor yang kita cintai ini. Mereka insan-insan masa silam yang telah naik ke atas panggung sejarah dengan peran masing-masing telah lewat bersama-sama dengan zaman yang dimilikinya. Namun demikian, nilai kehidupan generasinya bukanlah mereka yang menentukan, namun generasi keturunannya macam kita-kita ini.
Patutlah direnungkan bahwa hal yang sama akan menimpa generasi kita juga. Apakah generasi kita dinilai baik, ataukah dinilai buruk, merekalah generasi yang akan datang menentukannya. Demikianlah sistem penilaian kehidupan generasi manusia dalam etiket kesejarahan. Masa hidup manusia memang pendek, akan tetapi nilai kehidupannya dapat abadi. Hal itu akan tergantung kepada kenyataan, sejauh mana kita mampu mengendalikan egoisme generasi yang merupakan gejala paten dalam kehidupan manusia sepanjang zaman, Berapa persenkah kita mampu menyisihkan perhatian untuk kehidupan anak-cucu kita nanti
Oleh karena itu, wajarlah bila kita renungkan wasiat Prabu Wastukancana yang tersurat dalam lempeng batu di Kawali.
1. Aya ma nu ngeusi bhagya kawali, bari pakena kereta bener pakeun nanjeur na juritan.
2. Aya ma nu pandeuri pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana
Artinya:
1. Semoga negeri kawali ini diisi dengan kebahagiaan, sambil mengusahakan kesejahteraan sejati agar unggul dalam perang.
2. Semoga mereka yang kemudian terbiasa mengerjakan kebajikan agar lama berjaya di muka bumi.
Bogor, 3 Juni 1981
Penulis: Saleh Danasasmita
Catatan: Naskah ini diambil dari buku Milangka Ka-521 Tetengger Urang Bogor Pakeun Heubel Jaya Dina Buana, yang menurut keterangan penyusun atas seizin ahli waris Almarhum Saleh Danasasmita. Dan sengaja kami terbitkan ulang sebagai wahana pembelajaran bersama, sebagai pijakan ketika menyusun Surat-surat untuk Bogor ini.
Pada suatu waktu menziarahi Bogor: ruang hidup telah kembali ke akar dan kembali ke sumber!