Dok. HalimunSalaka (Seren-Taun)
Ada dua orang juru pantun yang terkenal dan dikenal masyarakat Bogor pada zamannya. Dua-duanya adalah seperti “seorang troubadour” yang hapal verbal (Sunda: “apal cangkeum”) tentang riwayat Pajajaran dan Babad Bogor yang disusun tahun 1925.
Yang pertama bernama Pa Cilong. Jika tak salah dengar, dia bermukim di sebuah gang sempit mengarah ke Kebon Pedes (Indo: lada), yang sekarang pun disebut Gang Pa Cilong di Kebon Pedes. Yang kedua, bernama Aki Rambeng. Katanya dia bermukim di daerah Jasinga. Nama itu hanya nama sebutan, karena di saat dia “manggung” sebagai juru pantun, selalu berpakaian sobek-sobek (Sunda: Rambéng) tak tampil rapi.
Untuk menelusuri makna kata “Bogor”, kita kaji kembali pantun Pa Cilong seperti yang termuat dalam naskah Pancer I Pajajaran yakni Pantun Bogor. Bogor artinya “tunggul” (bagian bawah pohon sisa tebangan) kawung (Indo: nira). Air dari manggarnya (pangkal batang bunga) dapat disadap dengan menggunakan lodong (ruas bambu), rasanya asem lebih ke manis. Dugaan ekologinya, Bogor merupakan habitat kawung (nira). Kita masih melihat bukti, bahwa di sekitar Bogor masih banyak tumbuh pohon kawung. Dan nama tempat, ada yang disebut Kawungluwuk, Cikawung, Bantarkawung.
Tunggul kawung jika dibuat kayu bakar tak akan membara. Tidak padam, tapi ngelun tetap berasap. Jika dibuat tiang, dapat tahan kuat winduan. Jika tersenggol tunggul kawung, bisa borokan yang sukar sembuh. Jika tersandung kaki, bisa luka menganga dan sukar diobati. Jika sengaja diinjak-injak? Pa Cilong hanya mengingatkan: warga Bogor bagaikan harimau lodaya mengamuk dan menyerang!
Filosofi pantun Bogor, tersembunyi sebagai berikut: orang Bogor tidak mudah terprovokasi. Adem-ayem, tentram-aman. Biarpun di tempat lain yang berdekatan ribut-ribut. Terah Bogor dapat dibuat “tutunggul”, dalam arti pemimpin yang ajeg-tangguh dan hasil karyanya bersifat monumental.
Asal nama dan kata Bogor, berdasarkan penelusuran etimologi dan historis, lebih dekat ke paparan pantun Pa Cilong daripada mengacu ke teori lain. Ada beberapa teori mengenai asal- usul “kata Bogor”.
Ada yang berpendapat, bahan “kata Bogor” berasal dari kata bokor, baghari-baqar, dari buitenzorg. Ketiga asal kata ini dapat kita telusuri menggunakan penelusuran etimologi (ilmu asal-usul kata) dan historis (sejarah).
Jika ada yang setuju, bahwa “kata bogor” berasal dari “kata bokor”, (bokor artinya: bakul logam terbuat dari nekel, perak, alpaka, kuningan), berarti Bogor baru berdiri pada zaman budaya logam-logam itu. Padahal Bogor sudah ada sebelum Kebun Raya Bogor dibuat dan pada masa itu baru berkembang perabotan rumah tangga (ceret, teko, dalung, seeng/dandang) yang terbuat dari tembaga pada masa Embah Jepra hidup.
Menurut sejarawan Alm. R. Muhtar Kala, kampung Bogor pada tahun 1752 sudah ada di sisi selatan Kebun Raya (dulu ada taman kaktus), sehingga pada saat Belanda membangun pasar di seberangnya disebut Pasar Heubeul (lama), lebih dikenal dengan nama Pasar Bogor. Dan kita bisa mengerti, mengapa pasar yang dibangun kemudian di lokasi sebelah utara Kebon Kembang (kini Taman Topi) disebut Pasar Anyar (anyar = baru). Dan jika dari asal kata “bokor” tentu berupa bokor besar-keramat-pusaka. Pernah ada, di mana?
Jika kita setuju, bahwa “kata bogor” berasal dari “kata baghar/baqar” dari Bahasa Arab yang berarti “sapi”, maka kesimpulan lanjutnya, Bogor berdiri sesudah ada orang Arab bermukim di Bogor ini. Sedangkan orang Arab yang dimukimkan di dua tempat, sekitar Empang-Lolongok dan bagi Arab elitnya di Gang Mekah Pasar Anyar, di masa zaman Belanda menjajah, setelah awal abad 19, setelah nama Bogor eksis. Teori ini hanya mendasarkan pada adanya patung sapi yang dipindahkan dari kolam kuno Kotabatu ke Kebun Raya oleh Dr. Frederick pada pertengahan abad 19 sesudah Kebun Raya Bogor diresmikan oleh Reinward 18 Mei 1817. Kesimpulan sementara: teori ini sangat membingungkan untuk disimak, mengacu ke etimologi dan historis.
Jika kita setuju dengan teori, bahwa “kata bogor” adalah plesetan dari “kata buitenzorg” ini lebih menggelikan lagi. Kata Buitenzorg adalah nama resmi Bogor pada masa penjajahan Belanda. Arti “buitenzorg” kira-kira: keluar dari kesibukan, tanpa kesibukan atau tanpa urusan. Nama “buitenzorg” diberikan Gubernur Jenderal Belanda bernama Van Imhoff untuk vilanya (rumah sederhana) yang dibangunnya di lokasi Istana Bogor, sebagai tempat singgah beristirahat dalam perjalanannya dari Batavia/Betawi ke Cipanas/Puncak, karena di Cipanas itu ada Istana Gubernur Jenderal Belanda.
Versi Pa Cilong jelas bisa diterima oleh nalar. Kata Bogor barasal dari kata “bokor” yang berarti “tunggul kawung” (nira). Dan daerah Bogor adalah habitat kawung (nira). Nama-nama tempat masih banyak yang memakai kata “kawung”. Kenyataan historis yang sukar untuk dibantah. Faktor ekologis pun menunjang.
Pada tanggal 3 Juni 2003 ini kita, warga Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, bersama-sama memperingati “Hari Jadi “Bogor yang ke 521. Banyak pertanyaan yang dilontarkan mengenai asal-usul penetapan tanggal 3 Juni sebagai “Hari Jadi” Bogor ini. Di antaranya, “Peristiwa besar apakah yang terjadi pada hari tanggal 3 Juni, 521 tahun yang silam yang memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan Bogor pada kemudian hari?”. Pertanyaan tersebut memang wajar, karena 521 tahun yang silam Kerajaan Pajajaran yang berpusat di lokasi Kota Bogor sekarang, masih berdiri. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita berpaling sejenak pada arah proses penetapan “Hari Jadi” Bogor beberapa tahun yang silam.
Gagasan mengenai penetapan “Hari Jadi” ini muncul dalam awal tahun 1968 dari Pemerintah Daerah Kotamadya Bogor waktu itu yang diilhami oleh Hari Jadi Kota Jakarta. Oleh karena itu pada awal penetapannya, istilah yang digunakan semula Hari Jadi Kota Bogor hal itu terjadi tahun 1969, sekarang istilah itu menjadi Hari Jadi Bogor. Setelah pemilihan umum tahun 1971 ada jalinan pendekatan di antara Pemerintah Daerah Kotamadya dengan Kabupaten Bogor, selanjutnya dimantapkan oleh pimpinan DPRD masing- masing.
Setelah dicapai kesepakatan, dalam suatu Sidang Gabungan Istimewa di lobby “Gedung Merdeka” (kini Mall Merdeka), sidang menyetujui dan menetapkan hari dan tanggal 3 Juni 1842 sebagai “Hari Jadi Bogor”. Dengan keputusan bersama ini kata Kota dihilangkan, dan sejak tahun 1972 kita tidak lagi menggunakan sebutan “Hari Jadi Kota Bogor” melainkan “Hari Jadi Bogor”. Sidang Gabungan ketika itu terjadi pada tanggal 3 Juni 1972 dihadiri oleh Wakil Gubernur (waktu itu) Bapak M. Nasuhi.
Keputusan bersama tersebut bersendikan kesepakatan dan keyakinan bahwa Kota Bogor merupakan milik bersama kedua Pemerintah dan masyarakatnya. Ditinjau dari segi sejarah jelas pula bahwa Kota Bogor itu pada awalnya merupakan ibukota dan sumber nama Kabupaten Bogor. Istilah “Regentshap Buitenzorg” baru muncul tahun 1905 dan hanya digunakan dalam forum-forum resmi. Kabupaten Bogor mulai dibentuk tahun 1745 sebagi gabungan dari 9 “cutak” yaitu Kampung Baru, Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Cijeruk, Sindangbarang, Ciomas, Balubur dan Darmaga. Daerah gabungan ini dipimpin oleh Kepala Kampung Baru yang diberi gelar Demang karena pimpinan pemerintahan berkedudukan di situ, maka satuan Pemerintahan ini disebut Negeri” atau “Kabupaten” Kampung Baru.
“Tempat yang bernama Kampung Baru didirikan tahun 1687 dengan nama “Parung Angsana”, Dalam tahun 1689 setelah Tanu Jiwa pindah dari Kampung Baru-Cipinang ke kampung itu, namanya diubah menjadi Kampung Baru pula. Sekarang daerah itu disebut Tanah Baru sebelah barat Cimahpar.
Dalam tahun 1752, Bupati Kampung Baru, Demang Wiranata pindah ke Sukahati yang kita kenal sekarang Kampung Empang, karena di depan rumah kediaman Bupati dibuat empang yang besar, sedangkan Kampung Bogor dipimpin oleh Ngabei Raksa Candra dan lokasi Kampung Bogor diperkirakan tidak jauh dari Pasar Bogor sekarang, yang jelas nama Kabupaten Kampung Baru berangsur terdesak dan akhirnya muncullah nama Kabupaten Bogor sebab pusat pemerintahannya terletak di Kota Bogor.
Ditinjau secara fisik, Kota Bogor yang sekarang ini memang relatif masih baru. Pendapat ini mudah dipahami dari sudut pandang orang Belanda, karena mereka mengaku dari nama “Buitenzorg” yang memang dibawa oleh van Imhoff untuk nama rumah peristirahatannya yang didirikan pada lokasi Istana Bogor sekarang. Bogor yang oleh mereka disebut “Buitenzorg” akan selalu dikaitkan dengan tokoh “Baron Van Imhoff”. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa Kota Bogor tidaklah tumbuh dari titik Buitenzorg tersebut. Pada tahun 1690, Singa Prana salah seorang anak buah Tanu Jiwa, mendirikan Kampung Bantarjati. Tahun 1703 mereka mendirikan Kampung Sempur, dan setahun kemudian mereka mendirikan Kampung Baranangsiang sekarang dinamakan “Pulo Geulis”. Dalam tahun 1709 Kampung Panaragan telah berdiri dikepalai oleh Sersan Nalasinga.
Jadi hampir setengah abad sebelum Baron Van Imhoff mendirikan rumah istirahatnya “Buitenzorg” di Kota Bogor sini telah ada pemukiman penduduk. Mereka sebagian besar berasal dari Sumedang dan Banten. Dari mereka itulah Sersan Scipio (1687) dan Kapten Adolf Winkler (1690) memperoleh keterangan bahwa peninggalan sejarah di daerah Batutulis berasal dari Kerajaan Pakuan Pajajaran yang diperintah Prabu Siliwangi bahkan ketika itu Winkler masih melihat lokasi bekas Keraton atas petunjuk penduduk Bogor waktu itu. Para perintis ini kemudian mengembangkan pemukiman kearah Udik Sungai Ciliwung, maka berdirilah Kampung Babakan Peundeuy, dan dari sana menyeberangi Ciliwung, lalu mendirikan Kampung pada lokasi Lebak Pasar yang sekarang. Dalam tahun 1752 telah mulai tercatat adanya “Negeri Bogor” sebagi bawahan Kampung Baru (Tanah Baru).
Jelaslah bahwa Kota Bogor tidak tumbuh dari titik Buitenzorg; bahkan jadi sebaliknya yang terjadi, Gubernur Van Imhoff memilih sebidang tanah yang sangat memikat hatinya untuk tempat peristirahatannya karena lokasinya tidak jauh dari pemukiman penduduk. Jadi perlu diingat dari segi ini tidaklah tepat apabila menghubungkan “Hari Jadi Bogor” dengan tokoh Imhoff, walaupun dia yang membawa nama Buitenzorg dan “pencipta” Kabupaten Baru yang selanjutnya tumbuh dan berganti nama menjadi Kabupaten Bogor. Di samping itu sebutan Buitenzorg dan Bogor sebenarnya mengembangkan persaingan di antara dua kutub kejiwaan.
Yang pertama merupakan bagian dari masyarakat orang Belanda. Dan yang kedua merupakan kehidupan penduduk pribumi, karena pada akhirnya orang-orang Belanda yang angkat kaki dari bumi Indonesia ini. Akhirnya nama Bogor-lah sebagai pemenang dalam persaingan tersebut.
Apabila kita mengacu kepada dua hal tersebut, kita harus melihat dari sejarah, demikian pendapat Ahmad Sham (Walikota ketika itu) bahwa Bogor sebagai tunas dan penerus dayeuh Pakuan, karena lokasi bekas Ibukota Kerajaan Pajajaran itu terletak dalam wilayah Kota Bogor.
Pandangan seperti itu tidaklah tumbuh secara tiba-tiba ataupun dicari-cari, melainkan cerminan pandangan umum masyarakat Jawa Barat. Mereka meyakini bahwa Kerajaan Pajajaran dengan tokoh Prabu Siliwangi-nya sebagai wakil segala hal yang terbaik dari suasana kehidupan masa silam propinsi ini. Oleh karena itu tidaklah heran bila kita menyaksikan nama-nama Pakuan sebagai nama. Gedung Kediaman resmi Gubernur dan menjadi nama perguruan tinggi di Bogor, dan nama Pajajaran digunakan untuk universitas negeri di Bandung dan Stadion terbesar di Kota Bogor. dan nama Siliwangi digunakan untuk nama Divisi/Kodam III serta nama Perguruan Tinggi di Tasikmalaya, juga kampus IKIP Bandung diberi nama Bumi Siliwangi.
Nama-nama tersebut merupakan kebanggaan rakyat Jawa Barat yang juga diakui secara nasional. Dan yang terpenting semua atribut kebanggaan itu berasal dari Kota Bogor. Tidakkah sudah semestinya bila hal itu dijadikan pangkal-tolak untuk penetapan “Hari Jadi Bogor” bahwa Bogor selalu diasosiasikan dengan Pakuan Pajajaran.
Untuk memperkuat pendapat di atas, dapatlah diungkapkan kutipan dari Almanak Sunda edisi tahun 1924. Dalam almanak tersebut, Kalipah Apo menampilkan sebuah untaian Pupuh Dangdanggula karya R.E Madjid, salah seorang pujangga dari ahli mamaos cianjuran. Bait pertama karangan tersebut sangat populer di kalangan seniman mamaos. Isi pupuh sebagai berikut:
Pajajaran tilas Siliwangi, Wawangina kasilih jenengan, Kiwari dayeuhna Bogor, Batutulis nu kantun, Kantun liwung jaradi pikir, Mikir tulisannana, Henteu surud liwung, Teuteuleuman kokojayan, Di Ciliwung nunjang ngidul, Siliwangi nuus di pamoyanan.
Terjemahan:
Pajajaran peninggalan Siliwangi, keharumannya beralih nama, kini kotanya bernama Bogor, Batutulisnya yang tinggal, meninggalkan kebingungan, menjadi pemikiran, memikirkan makna tulisannya Selalu diliputi kegelapan, menyelam berenang-renang, di Ciliwung yang membujur ke Selatan, Siliwangi berjemur diri di Pamoyanan.
Selanjutnya dapat kita saksikan pula salah satu Pantun Bogor yang disebut lakon Ngadegna Dayeuh Pajajaran. Demikian pandangan dan aspirasi Ki Juru Pantun yang bernama Pa Cilong mengenai hakikat Kota Bogor dalam rangkuman sejarah menurut penghayatannya. Kehadiran nama Buitenzorg pada masa lalu sama sekali tidak ada kaitannya dan tidak menyentuh panorama riwayat Bogor dalam gagasan mereka. Jadi semua hal itu telah mendorong kesepakatan antara Pemerintah Daerah Kotamadya dan Kabupaten Bogor untuk mengambil titik temu “Hari Jadi Bogor dari masa Pakuan Pajajaran di bawah pemerintahan Prabu Siliwangi.
Dari sumber-sumber sejarah yang dikenal waktu itu, dapat kita ketahui tiga hal utama:
1. Tokoh Prabu Siliwangi sama dengan tokoh Sri Baduga Maharaja.
2. la dinobatkan sebagai raja 97 tahun sebelum Pakuan Pajajaran burak karena serangan Banten.
3. Sejak ia dinobatkan, Ibukota kerajaan yang semula berkedudukan di Kawali (Ciamis) dipindahkan ke Pajajaran (Bogor) dan tidak berpindah-pindah lagi sampai saat keruntuhannya tahun 1579.
Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja dinobatkan (diwastu) sebagai Susuhunan Pajajaran dalam tahun 1482 Masehi, dan dalam tahun itu pula Pakuan Pajajaran menjadi pusat pemerintahan yang baru menggantikan Kawali. Gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sangratu Dewata pada raja Pajajaran tidak diturunkan lagi walau kepada putra beliau sendiri sampai akhir zaman. Inilah sumbangan yang dapat diberikan oleh sumber sejarah yang tersedia waktu itu. Untuk penentuan tanggal dan bulan kita mengacu kepada sumber tradisional.
Di samping itu kita beruntung dengan Pantun Bogor yang mengumandangkan sebagian gema kehidupan zaman waktu itu justru yang kita perlukan. Dalam pantun tersebut kita mendapat keterangan bahwa dalam masa Pajajaran, di ibukota kerajaan selalu diadakan upacara tahunan yang disebut Upacara Gurubumi dan Upacara Kuwerabakti sebagai rasa terima-kasih dan syukuran atas hasil panen dalam tahun tersebut. Dalam upacara tersebut hadir semua raja daerah dari seluruh wilayah kerajaan bersama para pengiringnya. Sebelum kita mengungkap isi lanjutan dari berita pantun, baiklah kita meninjau keotentikan nilai kesejarahannya dan kita pertanggung-jawabkan. Untuk memenuhi maksud tersebut ada beberapa kenyataan yang benar-benar dapat diandalkan yaitu:
(1) Dalam Kropak No. 406 yang berbahasa Sunda Kuno diberitakan bahwa: para raja di kawasan Galuh diharuskan datang menghadap ke Pakuan tiap tahun,
2) Juga dalam sumber tersebut dijelaskan barang-barang yang harus dibawa oleh setiap (daerah di antaranya termasuk anjing panggerek (anjing pemburu);
(3) Menurut catatan harian Tom Pires dalam tahun 1513, bahwa Raja Sunda adalah seorang atlet dan pemburu yang mahir.
(4) Masyarakat Baduy dan Masyarakat Sunda tradisional di daerah pantai Selatan sampai saat ini masih melakukan upacara gurubumi atau sidekah bumi dalam bentuk upacara yang khusus atau digabungkan dengan upacara seren taun (upacara pergantian kalender pertanian).
Semua kenyataan ini dapat kita pegang bahwa Pantun Bogor bukanlah hanya ilusi Ki Juru Pantun yang dibuat-buat tapi bercerita kenyataan pada zamannya. Diberitakan bahwa upacara tersebut dimulai 49 hari setelah penutupan musim panen yang berlangsung selama 9 hari, dan ditutup dengan Upacara Kuwerabakti pada musim bulan purnama.
Dalam kalender pertanian tradisional, seperti yang masih dijalankan oleh masyarakat desa Kanekes dan daerah sekitarnya, musim tanam akan selalu jatuh pada mangsa kapat (permulaan musim labuh atau dangdangrat) yang jatuh antara tanggal 13 Oktober setiap tahun. Bila pada awal bulan Oktober penanaman padi kita anggap telah selesai, maka berdasarkan usia tanaman padi tradisional rata-rata 5 bulan 10 hari, musim panen akan jatuh pada bulan Maret. Penutupan musim panen jatuh antara akhir bulan Maret dengan awal bulan April tiap tahun. Bila dari akhir Maret atau awal April kita maju (49+9) hari, atau kira-kira 2 bulan, maka Upacara Kuwerabakti akan jatuh pada akhir bulan Mei atau awal bulan Juni. Paling lambat pada pertengahan bulan Juni, karena tanggal 22 Juni sudah berlaku kalender baru atau mangsa kasa.
Dengan perhitungan tersebut kita mencari penyesuaian malam bulan purnama dalam bulan Mei dan Juni tahun 1484. Ternyata malam purnama bulan Mei 1484 jatuh pada tanggal 4 dan bulan Juni 1482 jatuh pada tanggal 3. Oleh karena itu Upacara Kuwerabakti dalam jenjang waktu paling longgar jatuh antara pertengahan bulan Mei dengan pertengahan bulan Juni. Maka di antara kedua tanggal itu diambillah tanggal 3 Juni 1482 sebagai penentuan. Lalu timbul pertanyaan: Apakah hubungan antara upacara ini dengan penobatan Siliwangi dan pemindahan Ibukota kerajaan?
Kaitan logikanya ialah: dua peristiwa besar itu tentulah harus diketahui dan disaksikan oleh semua raja daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Sesuai tradisi, kesempatan yang terbaik dan paling tepat adalah upacara tahunan yang selalu dihadiri oleh para raja daerah. Tidaklah mustahil, peristiwa penobatan Siliwangi itu berlangsung beberapa hari sebelum tanggal 3 Juni 1482, akan tetapi perayaannya kemungkinan ditangguhkan sampai pelaksanaan upacara tersebut.
Jadi yang terpenting ialah: pengumuman resmi dan sekaligus perayaan dijadikannya Pakuan Pajajaran sebagai ibukota baru, dapat kita pastikan tentu dilakukannya pada saat semua raja daerah berkumpul dipusat kerajaan. Hal terakhir inilah yang terpenting sebab seandainya Pakuan tidak dijadikan ibu kota kerajaan, mustahillah Prabu Siliwangi itu berdomisili di kawasan Kota Bogor sekarang.
Dengan selesainya Upacara Kuwerabakti tanggal 3 Juni 1482 itu, kita anggap resmilah Pakuan Pajajaran menjadi ibukota kerajaan, dan Kota Bogor yang kita anggap sebagai tunas serta penerus, kisahnya kita kaitkan pada peristiwa tersebut sebab di situlah terletak sumber utama kebanggaan masa lampaunya.
Sebagai pamungkas uraian ini patutlah kita renungkan teang di hanjuang siang bahwa tanggal yang telah ditetapkan ini benar-benar berdasarkan sumber yang kini kita miliki dewasa ini. Satu hal lagi yang perlu kita ungkapkan: Perayaan penobatan dan peresmian Pakuan Pajajaran menjadi Ibu kota Kerajaan yang baru dilakukan dalam Upacara Kuwerabakti tersebut yaitu tanggal 3 Juni 1482. Bersamaan itu tentu digunakannya keraton yang baru selesai direnovasi dan diperbaharui.
Menurut naskah Carita Parahiyangan, Prabu Haliwungan atau Prabu Susuk Tunggal, mertua Prabu Siliwangi telah memperbaharui keraton dalam menghadapi penobatan menantunya menjadi Maharaja Penguasa Kerajaan Sunda dan Galuh. Dengan penobatan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja, maka Kerajaan Sunda dan Galuh yang semula terpisah jadi bersatu kembali di bawah kekuasaannya dan Pakuan Pajajaran dipilih menjadi ibu kotanya.***
Penulis: *Ahmad Suwardi dan Eman Soelaeman
Catatan: Naskah ini diambil dari buku Milangka Ka-521 Tetengger Urang Bogor Pakeun Heubel Jaya Dina Buana yang sengaja kami terbitkan ulang sebagai wahana pembelajaran bersama, sebagai pijakan ketika menyusun Surat-surat untuk Bogor ini.
Pada suatu waktu menziarahi Bogor: ruang hidup telah kembali ke akar dan kembali ke sumber!