Kota Bogor: Sebuah Buitenzorg yang Nyaris Sirna

Kota Bogor: Sebuah Buitenzorg yang Nyaris Sirna

Dok. Bogor Heritage (Foto: Stasiun Bogor dan Pintu Kebun Raya)


Gambaran seperti apa ketika kita membayangkan Kota Bogor sekitar tahun 1960-an? Tentu sudah pasti tentang keasrian dan keteduhan pepohonan di sekitar Kebun Botani dan kemegahan Istana Bogor, sungai pusaka yang mengular dan membelah kawasan yang masih tampak hijau, dari sungai Ciliwung dan Cisadane yang berair jernih tanpa kotoran sampah plastik.

Sebagaimana perjalanan saya semasa kecil tahun 1960-an pada pagi hari, dari Stasiun Depok ke Stasiun Bogor saat itu, kita akan dimanjakan dengan pemandangan kehijauan pegunungan sekitar, terutama Gunung Salak yang terlihat dari kejauhan berwarna hijau-kebiruan. Ingatan saya itu membawa saya sampai di Bogor dengan pemandangan asri, hawa masih sejuk dan kabut masih belum sirna, apalagi jika kita berjalan santai menuju Balai Kota dan Kawasan Sempur. Pohon kenari di sepanjang jalan Kapten Muslihat, Juanda, dan Jalak Harupat tampak banyak menghiasi jalan-jalan yang menariknya di sela-sela dedaunannya itu bergelayutan buahnya yang berwarna hitam.

Pemandangan di trotoar jalanan itu suasananya bercampur-baur. Kesejukan yang dihiasi daun dan ranting kering pohon yang berserakan menambah citra Kota Bogor yang masih asri. Suasana di jalan-jalan utama Kota Bogor juga masih lengang dan hening karena jumlah bemo, angkutan kota beroda-tiga itu masih terbatas jumlahnya, tak seperti pemandangan angkot dewasa ini. Sesekali lewat kendaraan pribadi, namun tidak begitu banyak  jumlahnya. Sayang sekali, pada waktu itu sepeda yang menjadi pemandangan utama seperti di kota-kota di Negeri Belanda, amat jarang terlihat di Kota Bogor waktu itu. Padahal, jika pemandangan sepeda banyak berkeliaran di jalan-jalan, tentu kita akan tekenang suasana serupa di Kota Amsterdam, bahkan Kota yang indah di Negeri lainnya.

Kini, kurang atau lebih hampir enam puluh lima tahun kemudian, lebih tepatnya tahun 2024, pada pagi hari pukul 07:00 WIB – saya berjalan dari Stasiun Bogor sampai ke Perpustakaan Kota saja keringat telah berlelehan di punggung dan juga di dahi. Betapa tidak sejuknya Kota Bogor dewasa ini. Di mana-mana penuh sesak manusia dan gemuruh kendaraan. Pedagang kaki lima berlomba berdesakan dengan ruang badan jalan dan trotoar yang bahkan menyempit. Bogor sebagai Kota pensiunan hanya tinggal kenangan belaka.

Untuk mengenang Bogor sebagai kawasan san-souci di tahun 1740-an, tentu terlalu jauh untuk membandingkannya dengan saat ini, atau lebih tepatnya tahun 2024. Semua tinggal sejarah masa lampau yang sudah pasti tak mungkin kembali lagi. Namun satu hal yang menjadi pemikiran kita ke masa depan, upaya apa dalam mewujudkan Kota Bogor menjadi sebuah padumukan yang benar-benar merenah dan tumaninah ini?

Wajah Bogor kini tak lebih dari sebuah kota seperti Bandung, Depok, atau bahkan Jakarta dengan hiruk-pikuk penuh pedagang kaki-lima. Sampah berserakan di sudut-sudut kota dan mobilisasi warga kota semakin cepat, ditambah bising oleh suara knalpot dan klakson, bahkan pejalan kaki yang semakin terabaikan haknya. Rasanya kita (Manusia Bogor hari ini) semakin sulit membedakan antara ruang trotoar dan ruang pedagang serta penjaja-liar.

Mungkin itulah mengapa berdampak pada suhu kota yang semakin panas, kemacetan di pusat dan pinggiran kota sudah pasti disebabkan sarana transportasi yang sudah tak seimbang dengan volume berbagai kendaraan yang tumpah-ruah di jalanan. Namun yang paling mencolok adalah perubahan besar yang terjadi pada kondisi Sungai Ciliwung pada saat ini. Sungai yang memiliki sejarah nan panjang terkait dengan perkembangan Kota Bogor itu benar-benar telah merana. Padahal dalam jalan panjang sejarahnya, sungai ini dipandang sebagai pusat pertemuan budaya Sunda dengan budaya mancanegara.

Lihat saja, di sepanjang Daerah Aliran Sungai Ciliwung (DAS Ciliwung) di seluruh wilayah  Kota Bogor telah tumbuh permukiman-perumahan yang permanen dan non-permanen, berlomba-lomba menggerus alur aliran sungai yang semakin menyempit. Berpuluh-puluh atau mungkin telah ratusan tahun lalu premukiman itu tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Patokannya adalah sejak kapan Sungai Ciliwung itu menjadi pusat perdagangan dan lokasi Pelabuhan Kerajaan Pajajaran, Sunda Kalapa khususnya?

Kita bisa menjawab, setidak-tidaknya telah hadir sejak awal-mula abad ke-15. Bahkan pada tahun 1970 dan 1980-an, Sungai Ciliwung itu masih digunakan mengirim bambu dari kawasan Kabupaten Bogor dan Depok ke Jakarta.

Jauh sebelum itu terjadi, tahun-tahun sebelum merebaknya wabah malaria yang mengerikan pada tahun 1773, Sungai Ciliwung sudah menjadi dangkal, sehingga di waktu kering tidak dapat lagi dilayari oleh perahu bermuatan penuh. Selain itu, penebangan pohon demi perusahaan gula dan terlebih lagi penanaman padi yang memerlukan irigasi, berdampak cukup besar terhadap sungai. Setiap tahun didatangkan sekelompok “orang Jawa lumpur” dari Cirebon untuk mengeruk parit dan kanal, tetapi mereka tidak mampu menahan pendangkalan.

Itulah sebabnya, sahabatku, miris rasanya jika menyimak lingkungan sekitar Daerah Aliran Sungai Ciliwung dan Cisadane. Pencemaran tampaknya sudah terstruktur sejak lama, sudah turun-temurun dari kakek, mungkin hingga nanti ke anak dan cucu kita. Pencemaran dan kerusakan lingkungan tak hanya di dalam ruang-lingkup yang terbatas seperti di daerah aliran sungai, namun telah merasuk ke permukiman dan perumahan wilayah Bogor yang lebih luas. Dan hari ini terus belanjut tak berkesudahan.

Buitenzorg yang Nyaris Sirna

Kini di usianya menjelang 207 tahun, Kebun Botani Bogor yang pada masa kolonial dikenal dengan nama ‘s Lands Plantentuin te Buitenzorg itu, tak mengharap lagi air dari Ciliwung untuk melestarikan kandungan isi di dalamnya: banyak hamparan tanaman langka, pepohonan tua, belukar dan rerumputan yang segar menghijau. Sebuah Kebun Botani yang menjadi Pusat  Penelitian Tanaman Tropis yang pernah mengangkat nama Buitenzorg menjadi termasyhur sejagat, tepatnya ketika Melchior Treub menjabat Direktur pada tahun 1880-1909.

Berbicara geografis Kota Bogor, tentu Belanda tak hanya mewariskan Kebun Botani, Istana Bogor, melainkan banyak bangunan museum, bangunan penelitian, kantor-kantor dinas dan pemerintahan, juga kawasan pemukiman – perumahan.  Banyak kawasan pemukiman yang merupakan rumah tinggal yang asri dan sejuk oleh rimbunan pepohonan serta halaman yang luas. Bangunan-bangunan tersebut menempati kawasan-kawasan strategis di Kota Bogor, seperti di Kelurahan Babakan, Taman Malabar, Sempur, Pabaton, sepanjang Jalan Ahmad Yani, Jendral Sudirman, Ir. H. Juanda, Suryakancana, Siliwangi, Sukasari, dan seterusnya. Keanggunan bangunan-bangunan tersebut sangat terasa ciri khas gaya bangunan Indis-nya saat itu.

Sejarah berdiri Kebun Botani  Bogor, tentu tidak akan melewatkan peranan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816), ia penerus langsung Marsekal Herman Willem Daendels. Raffles memiliki minat pada botani dan paling banyak meninggalkan nama ilmiah pada kekayaan flora dan fauna di Hindia Belanda. Selama masa kepemimpinannya, Raffles mengubah sistem tanam paksa, memperkenalkan otonomi terbatas, menghentikan perdagangan  budak, mereformasi sistem pertanahan. Ia juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi sistem berkendara seperti di Inggris, yaitu memakai jalur kiri yang dipakai hingga sekarang.

Kecintaannya pada sejarah dan kebudayaan banyak meneliti warisan dan artefak budaya Nusantara di Jawa, seperti pada candi Prambanan dan Borobudur. Menurut sahabatnya, Thomas Otho Travers, Raffles memulai proyek penulisan The History of Java di kawasan sejuk Cisarua, Bogor. Pertanyaannya, mengapa Raffles meninggalkan begitu banyak jejak sejarah di Tanah Jawa? Mengapa kiprah dan jejak sejarahnya di Jawa menjadi objek penelitian para akademisi di  kampus terkemuka seperti Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat?

Jawaban atas pertanyaan yang bernuansa historis ini ditanggapi oleh Syafruddin  Azhar–yang menulis Pengantar pada buku The History of Java untuk edisi bahasa Indonesia–yaitu melalui: penyelaman maknawi. Artinya dengan cara membaca ulang catatan sejarah yang pernah digoreskan Thomas Stamford Raffles semasa ia menjalani tugas pengabdiannya di kawasan subur, yang dahulu dinamakan Hindia Belanda. Tidak hanya itu, Raffles memiliki keterkaitan terhadap setiap aspek kehidupan masyarakatnya dan mendedikasikan sejumlah bab dalam The History of Java untuk etika Jawa, sastra, puisi, musik, alat-alat musik, drama, permainan keterampilan dan metode berburu, di samping populasi, sejarah, alam, agama, peninggalan kuno dan sistem militer di Jawa. Dalam pengertian Jawa, Raffles juga menggali kebudayaan Tatar Sunda, tetangga terdekat Tanah Jawa, melalui penelitian-penelitian terkait adat-istiadat, sejarah Pajajaran, dan juga bahasa.

Mudah dipahami jika Raffles tertarik untuk mengembangkan Istana Buitenzorg sekaligus menata halamannya yang luas. Bagi Raffles, Istana tak hanya berfungsi sebagai rumah kediaman, sekaligus rumah dinas Gubernur Jenderal, namun ia pandang sebagai sarana untuk pemenuhan hasratnya yang menggebu-gebu dan cintanya yang mendalam dalam ilmu pengetahuan alam.

Atas bantuan ahli botani, William Kent, yang ikut membangun Kew Garden di London, Raffles menata halaman Istana Buitenzorg menjadi taman bergaya Inggris klasik. Inilah awal mula Kebun Botani Bogor dalam bentuknya yang sekarang. Gagasan mendirikan Kebun Botani Buitenzorg muncul dari Prof. Dr. Caspar Georg Carl Reinwardt, yang pada tahun 1816 diangkat menjadi Direktur Pertanian, Seni dan Pendidikan untuk kawasan Pulau Jawa. Reinwardt adalah botanikus dan Maha Guru di Universitas Harderwijk, Belanda. Selanjutnya langkah awal terkait peranannya dalam membangun Kebun Botani tersebut, ia memulai riset dan menyelidiki berbagai tanaman yang digunakan antara lain untuk obat-obatan.

Akhirnya sejarah membuktikan bahwa pada 18 Mei 1817, Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip van der Capellen (1816-1826) secara resmi mendirikan sebuah kebun botani di Buitenzorg yang saat itu diberi nama ‘s Land Plantentuin te Buitenzorg.

Di dalam sejarah Kebun Botani Buitenzorg, hanya Dr. Merchior Treub, seorang ilmuwan yang sepenuh  jiwa-raganya membangun citra kebun botani tersebut menjadi pusat penelitian tanaman tropis yang terkenal sejagat. Treub adalah ahli botani Belanda yang lahir pada 26 Desember 1851, seorang ilmuwan bergelar doktor dari Universiteit Leiden pada 1873. Treub paling lama menjabat di Kebun Botani Buitenzorg, terhitung dari tahun 1880 sampai 1909.

Modal terbesar Treub dalam membangun reputasi kebun raya sebagai salah satu lembaga penelitian terkemuka adalah melalui media cetak. Dia segera merancang corong ilmiah untuk Kebun Botani Buitenzorg, Annales du Jardin Botanique de Buitenzorg. Satu-satunya jurnal ilmiah yang pernah ada dan diterbitkan di bawah kepengurusan Scheffer. Namun adalah Treub yang mengubahnya menjadi jurnal bergaya Eropa. Jurnal  Annales Treub dicetak di penerbitan Brill, Leiden, untuk memastikan kualitas lebih prima dan peredaran yang lebih mudah di Eropa.

Treub tak hanya seorang ahli biologi, catatan panjang tentang sang multi talenta yang menjadi Direktur Kebun Botani Buitenzorg pada tahun 1880 itu, juga adalah seorang penata lingkungan. Setidak-tidaknya, Treub pernah merancang kawasan Koningsplein, Batavia, ia mengubah Parade Plaats menjadi taman kota yang akan ditanami pohon-pohon tropis. Rancangan tersebut didasarkan atas empat garis diagonal pada sudut-sudut Koningsplein serta sebuah sumbu titik Monumen Nasional. Kelima sumbu tersebut bertemu di tengah-tengah. Di situ Treub akan menempatkan suatu elemen lansekap berupa sosok patung seseorang. Treub tampaknya ingin  memperkenalkan taman kota yang hijau tanpa prakonsepsi mencari monumentalitas. Yang penting dari rancangan tersebut, bagaimana Treub mengisolir Stasiun Kereta Api dan Pasar Gambir dengan memberi daerah penyangga hijau.

Jika kita mengacu kepada ahir masa jabatan Direktur Kebun Botani Buitenzorg, Prof. Dr. Merchior Treub pada 1909, artinya hanya sebelas tahun kemudian untuk pertama kali Prof. Ir. Thomas Herman Karsten merancang Kota Bogor. Menyimak perjalanan Sejarah Perkembangan Kota Bogor, teristimewa pada saat masa kolonial, tak bisa tidak kita harus menengok kepada sosok arsitek dan planolog alias ahli tata kota asal Belanda: Prof. Ir Thomas Karsten.

Di dalam bukunya, Seni Bangunan Dan Seni Binakota Di Indonesia, A. Bagoes P. Wiryomartono, menulis bahwa: “Perhatian dan dedikasi perancang kota ini terhadap permukiman kampung kota masih merupakan masalah aktual hingga saat ini di Indonesia. Diharapkan, gagasan-gagasan yang sudah dilakukan Karsten dapat berkembang lebih lanjut.”

Kehadirannya selalu dapat dirasakan pada perkembangan perkotaan di  Hindia Belanda. Analisisnya mengenai permasalahan urbanisasi yang merupakan stimulan terhadap pembuatan undang-undang yang lebih intensif adalah merupakan suatu contoh pelajaran dari adaptasi sosiologi perkotaan. Kontribusi pada khazanah lingkungan binaan di Indonesia tidak sekadar pada transformasi seni bangunan Eropa ke Indonesia. Karsten memperkaya pemandangan kota dengan bentuk bangunan melalui adaptasi regional. Karsten juga memberi kontribusi khas terhadap pembentukan hubungan timbal balik permukiman pribumi dan Eropa. Dasar-dasar pemikiran dan reputasinya sebagai perancang lingkungan di Semarang, segera dikenal para pengambil keputusan maupun sesama arsitek. Ia meletakkan dasar-dasar prencanaan dan perancangan modern bagian penting dari kota-kota: Semarang (1916-1920), Buitenzorg (1920), Malang (1933) dan Palembang (1938).

Memaknai Warisan Gustaaf Willem Baron van Imhoff

Membaca Sejarah Bogor pada awal abad ke-18, tentu akan terkait dengan perkembangan Kota Jakarta, atau Batavia di masa kolonial. Batavia menjadi tidak sehat pada tahun 1733, karena pembangunan tambak di kawasan pantai dan endapan lumpur di utara kota. Tambak-tambak air laut ini adalah tempat ideal bagi pembiakan nyamuk A. Sundaicus. Dampaknya adalah jumlah nyamuk semakin membengkak dan wabah malaria siap memangsa penduduk. Dengan demikian berpindahlah orang-orang dari kota karena ketidaksehatan yang ajeg dan memilih ke  kawasan yang lebih sejuk dan sehat. Orang-orang yang pertama meninggalkan kota atas peristiwa itu adalah para anggota Pemerintah Tinggi, salah satunya Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang menjadi pelopor.

Pada tahun 1743, ia pindah ke sebuah rumah di tepi jalan menuju Jacatra. Lalu pada tahun 1745, van Imhoff membeli tanah Kampoeng Baroe di Buitenzorg dan mengembangkannya menjadi tanah jabatan gubernur jenderal, dan selanjutnya menegakkan institusi tanah partikelir pada petak-petak tanah lain di kawasan Buitenzorg hingga sekitar Batavia.

Van Imhoff (1743-1750) adalah Gubernur Jenderal VOC ke 26 yang berdarah Jerman. Ia yang memiliki darah biru itu tercatat sebagai sosok pejabat tertinggi  yang pernah mencoba menarik petani-petani Jerman agar bermukim di sekitar Batavia,  tentu harus bersaing dengan petani-petani Tionghoa yang jauh lebih mudah menyesuaikan diri. Ia menaruh perhatian pada lingkup pertanian dan perkebunan tersebut guna mendukung hidup perdagangan Kumpeni. Petani-petani maju didatangkan dari Belanda dan mulai membuka pertanian dan perkebunan secara besar-besaran di sekitar Batavia, Karawang, Bogor di Cisarua, dan tatar Priangan.

Ia juga yang memelopori teknologi baru dengan sistem percetakan sawah, semacam intensifikasi saat itu, dengan memanfaatkan suatu wilayah. Penduduk pribumi di Banten, Bogor dan Priangan umumnya masih mengenal sistem olah ladang yang berpindah-pindah. Melalui sistem baru ini van Imhoff ingin meningkatkan hasil produksi padi. Van Imhoff juga yang mengembangkan perkebunan kopi, lada dan tarum yang seabad kemudian sangat berperan dalam menunjang politik Tanam Paksa (Cultuur-stelsel) yang diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda, saat Gubernur Jenderal Graaf Johannes van den Bosch (1830-1834) berkuasa.

Di dalam Buku Sejarah Bogor yang ditulis oleh Saleh Danasasmita pada tahun 1983, mencatat bahwa Istana Buitenzorg dirancang atas inisiatif van Imhoff tanpa sengaja. Dalam bulan Agustus 1744, sang Gubernur Jenderal ini mengadakan perjalanan inspeksi ke Cianjur, yang saat itu dipimpin oleh seorang regent pribumi yang diakui oleh Pemerintah Kompeni, Kyai Aria Tanoe. Dalam perjalanan dinas tersebut, van Imhoff tertarik pada sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Kampoeng Baroe. Setahun kemudian, tahun 1745 van Imhoff mendapat izin resmi dari Dewan Perwakilan Pemerintah Batavia untuk membangun sebuah pesanggerahan yang diberi nama Buitenzorg (sans souci atau tanpa urusan). Nama Buitenzorg lambat laun kemudian dipakai untuk menyebut perkampungan yang ada di sekitarnya.

Pada waktu dibangun, rancangan bentuknya bukanlah seperti Istana Bogor yang kita kenal sekarang. Konon van Imhoff  membuat sketsa bangunan itu dengan mengambil model Istana Blenheim, tempat kediaman Duke of Marlborough dekat kota Oxford, di Inggris. Ia rajin membangunnya, tetapi sampai ia diganti pada tahun 1750, bangunan itu masih jauh dari selesai. Istana Blenheim, Oxfordshire, dibangun tahun 1705 dan 1724. Tempat kediaman Duke of Marlborough ini dikenal sebuah istana bergaya Baroque. Dirancang oleh Arsitek John Vanbrugh dan Nicholas Hawksmoor.

Betapa penting peranan van  Imhoff terkait dengan sejarah kehadiran VOC, dan keterlibatan Kerajaan Belanda terhadap Hindia Belanda alias Nusantara. Khususnya untuk Bogor dengan rintisan awal melalui pembangunan Pesanggerahan Buitenzorg.

Van Imhoff lahir pada 8 Agustus 1705 di Leer, Frieslandia, dekat perbatasan Jerman, wafat di usia masih produktif pada 1 November 1750 di Buitenzorg dan dimakamkan di Pemakaman Hollandsche Kerk, Batavia. Gereja  Belanda itu kini dimanfaatkan sebagai Museum Wayang. Jasa-jasa Imhoff selama masa jabatan yang relatif pendek, selama tujuh tahun dari tahun 1743 sampai 1750. Ia tak sekadar turut membidani kelahiran Istana Bogor yang hingga saat ini masih bisa kita saksikan, namun beberapa kiprah lain terkait dengan jabatannya sebagai Gubernur Jenderal banyak ditelaah.

Sejarah mencatat bahwa dari 33 Gubernur Jenderal pada masa VOC, Willem Baron van Imhoff adalah salah satu sosok pejabat tinggi yang memiliki pandangan citra dari aliran filsafat Romantisisme yang saat itu sedang berkembang di Eropa. Sosok seseorang yang memiliki jiwa aliran Romantik cenderung dihinggapi semangat yang meluap-luap untuk mencari pendapat-pendapat baru dalam lapangan ilmu-pengetahuan, menggali jalan ke benua-benua lain untuk memperoleh sumber kekayaan alam, dan akhirnya untuk mencari siapakah sebenarnya manusia. Van Imhoff juga dikenal sebagai sosok pejabat tinggi yang memiliki gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan para Gubernur Jenderal lainnya di Hindia Belanda. Namun dari gagasan yang sekian banyak itu hanya rancangan Pesanggerahan Buitenzorg untuk peristirahat para Gubernur Jenderal, yang hingga hari ini,  terwujud sebagai sebuah Istana Kepersidenan yang paling indah di Nusantara: Istana Bogor.

Jasa van Imhoff tak hanya mampu merancang sebuah Istana, namun ada beberapa gagasan dan kepeloporan dalam bidang-bidang penting lain di Batavia untuk kemajuan VOC. Ia merintis berdirinya bank pertama yang diberi nama Bank Leening, pendirian kantor pos dan pemberi izin berdirinya koran pertama di Batavia:  Bataviase Nouvelles. Izin penerbitan koran tersebut awal diajukan pada 7 Agustus 1744 dan baru keluar pada Februari 1745. Untuk pertama kali koran yang terbit seminggu sekali itu dipimpin oleh Jan Erdman Jordens. Isinya kebanyakan peraturan-peraturan VOC, berita keluarga, iklan penjualan perabot rumah tangga, berita tentang kedatangan dan keberangkatan kapal dagang dan kapal pesiar.

Koran tersebut tak berumur panjang, hanya sekitar setahun, karena pada 20 Juni 1746 izin terbitnya dicabut alias dibreidel oleh Pemerintahan VOC. Ketajaman penanya dan kritikan terhadap para pejabat VOC, terutama sekitar perbudakan di Batavia, telah membuat risih para pejabat dan petinggi VOC.

Setelah Bataviase Nouvelles  dibubarkan, silih berganti terbit koran-koran sampai tahun 1816 yang kebanyakan milik pemerintah, baik VOC maupun Hindia Belanda. Surat kabar Javasche Courant yang muncul tahun 1816 secara berkala terbit tiga kali dalam seminggu. Jacob Sumardjo dalam tulisannya dalam buku Tantangan Kemanusiaan Universal, mencatat bahwa ada kira-kira lima surat kabar yang terbit antara 1744-1816 tersebut berbahasa Belanda dan memuat iklan, pengumuman lelang, penjualan tanah, penjualan budak, berita-berita lokal setempat dan Eropa serta artikel adat-Istiadat di  Kepulauan Nusantara.

Lebih dari setengah abad, dari kematian Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1750 sampai runtuhnya VOC pada 31 Desember 1799, muncul perubahan. Denys Lombard, mahaguru sejarah Indonesia asal Prancis, di dalam bukunya fenomenal Le Carrefour Javanais, memaparkan bahwa zaman perubahan diawali dengan kedatangan Herman Willem Daendels yang diangkat menjadi Gubernur Jenderal  Hindia Belanda Lodewijk oleh Louis Napoleon Bonaparte, Raja Belanda.

Jalan Kenangan Willem Herman Daendels

Daendels yang mendarat di pantai Anyer, Banten, pada Januari 1808, memutuskan untuk segera menaikkan bendera Prancis di gedung-gedung pemerintahan di Batavia. Periode Prancis, tepatnya hanya berlangsung tujuh bulan, dari Februari sampai Agustus 1811, merupakan periode yang dipandang sebagai suatu goncangan yang sangat keras dan menjadi periode yang kontroversial selama beberapa puluh tahun ke depan.

Di dalam sejarah masa kolonial di Indonesia, Willem Herman Daendels terkenal tak hanya sebagai seorang penguasa tertinggi di Hindia Belanda yang menata dan membangun Jalan Raya Pos, ia juga, dalam sistem  pemerintahan, membagi wilayah pemerintahannya dalam Perfectuur, yang dapat disamakan dengan gewest dan yang dikepalai oleh seorang Perfect. Satu Perfectuur meliputi beberapa Kabupaten, suatu nama wilayah asli Jawa yang sudah ada sejak dahulu kala, yang dikepalai oleh seorang Bupati.

Reformasi yang diterapkan oleh Daendels terhadap raja-raja Jawa merupakan sebuah proses birokratisasi  ketika penerintahan beralih dari kekuasaan VOC ke Pemerintahan Hindia Belanda. Ia antara lain menurunkan posisi bupati dari pemimpin rakyat (Volkshoofd) menjadi pegawai negeri. Prinsip pewarisan jabatan tidak diakui sama sekali. Kebijakan Daendels dalam penurunan posisi para bupati dilanjutkan oleh Thomas Raffles (1811-1815), bahkan diperburuk lagi, yakni hanya sebagai pengawas keamanan (polisi) di daerahnya.

Namun tak bisa disangkal, bahwa Daendels adalah salah satu Gubernur Jenderal pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yang sangat menaruh perhatian pada pembangunan dan penataan kota seperti Batavia. Di kota pusat kekuasaan Belanda itu, Daendels membangun tempat tinggal gubernur jenderal di kawasan Parade Plaats, menata fisik kawasan yang kini dikenal dengan nama kawasan Lapangan Banteng dan Monumen Nasional. Ia juga yang telah menginstruksikan pembangunan kota Bandung dan menancapkan  tongkat di Kilometer 0 di Jalan Asia Afrika atau Jalan Raya Pos saat itu. Ucapan yang masih tercatat dan terkenal dengan perintah membangun kota Bandung itu adalah: Zorg, dat als ik terug kom hier een stad in gebouwd, artinya “Coba usahakan, bila aku datang kembali ke tempat ini, sebuah kota telah rampung dibangun”. Sejarah mencatat bahwa dari beberapa gagasan dan kegiatan Daendels selama berkuasa yang relatif singkat yaitu tiga tahun, maka pembangunan Jalan Raya Poslah yang paling fenomenal, banyak dikaji dan ditelaah oleh para sejarawan.

Saat Daendels berkuasa, Istana Buitenzorg masih banyak kekurangan dan belum tuntas, dialah yang kemudian merampungkannya, membangun sayap kanan dan kiri gedung utama menjadi dua tingkat. Awal mula gagasan membuat Jalan Raya Pos muncul dalam fikiran Daendels sewaktu ia dalam perjalanan darat pada 29 April 1808, dari Buitenzorg ke Semarang dan Oosthoek alias Jawa Timur. Selanjutnya pada 5 Mei 1808, dalam perjalanan ini ia mengambil keputusan membuat jalan dari Buitenzorg ke Karangsembung  di daerah Cirebon, jaraknya sepanjang 250 km. Berdasarkan perintahnya, pekerjaan harus dilakukan sehabis panen padi dan memetik kopi. Jauh sebelum ini daerah Priangan dikenakan koffie-stelsel, artinya wajib tanam kopi dan harus menjualnya kepada pemerintah.

Dalam pembangunan jalan raya tersebut, setiap jarak 150,960m harus didirikan tonggak atau paal untuk jadi tanda jarak dan juga tanda kewajiban bagi distrik atau kawedanaan dan penduduknya untuk memeliharanya. Ketentuan lebar jalan, bila medan memungkinkan, adalah 7,5m. Setelah pembangunan sampai Karangsembung, Residen Cirebon mengajukan permohonan agar pekerjaan diteruskan melewati karesidenannya. Demikian pula halnya dengan Residen Pekalongan. Akhirnya Jalan Raya Pos itu semakin panjang yang selanjutnya menyusuri kota-kota sepanjang kawasan pantai utara.

Dampak positif dari Jalan Raya Pos yang ditulis dalam berbagai literatur banyak sekali. Dalam suratnya tertanggal 24 Juli 1809 kepada Daendels, Menteri Urusan Negara Jajahan merumuskan inti masalah itu. Ia berpendapat bahwa perbaikan jalan-jalan tersebut amat berguna, karena tidak terelakkan lagi diikuti dengan kenaikan laba untuk penduduk lokal melalui industri dan perdagangan yang berkembang. Kiranya menarik bahwa biarpun ada efek ekonomi yang penting dan tujuan militernya, jalan itu akhirnya dinamai Jalan Raya Pos, karena efek langsungnya, di samping waktu perjalanan yang pada umumnya lebih pendek, adalah dipercepatnya hantaran pos. Hasilnya, waktu yang dibutuhkan untuk hantaran pos  menjadi lebih singkat, seperti misalnya dari Batavia ke Semarang berkurang dari 10-14 hari, menjadi 3-4 hari.

Dengan demikian dapat dipahami apa arti dan pengaruh  pembangunan De Groote Postweg, yang dengan tepat dikaji oleh Profesor Denys Lombard, pada jilid I, buku Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan. Bahwa dampak Jalan Raya Pos itu ternyata jauh melampaui prakiraan Daendels. Lombard merumuskannya sebagai berikut:

– Dengan menghubungkan bagian dari Pulau Jawa,  untuk seterusnya mempersatukan tatar Pasundan dan tanah Jawa, tercipta sebuah kawasan ekonomi tunggal. Tentu saja  jalan raya itu memungkinkan juga pengembangan pelbagai perkebunan dan komersialisasi produk-produk kolonial.

– Jalan Raya itu memungkinkan terciptanya sebuah kelompok sosial yang teramat penting yaitu kaum pedagang perantara.

– Memungkinkan terjadinya mobilisasi penduduk pada komunitas-komunitas para petani. Melalui jaringan jalan-jalan sekunder yang tersambung ke arteri pusat itu, di berbagai daerah yang padat penduduknya, terjadinya sebuah ancang-ancang baru ke kawasan-kawasan yang perawan dan sangat sulit dijangkau.

Buitenzorg adalah salah satu kota yang dilewati jalur Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer dan Panarukan. Belum ada data yang jelas, kenapa kota tempat kediaman resmi para Gubernur Jenderal masa VOC dan Pemerintahan Hindia Belanda itu dilewatinya dengan jarak bersentuhan antara ruas jalan dengan halaman Istana. Jalan Raya Pos itu seolah-olah membelah kota menjadi dua kawasan: Kawasan Barat dan Timur.

Jalan Raya yang telah berusia 215 tahun itu memasuki  Bogor dari arah Pasar Minggu, Lenteng Agung, Pondok Cina dan Depok. Keluar dari kawasan Depok langsung membelok ke kanan jalur jalan yang kini dikenal sebagai jalan Raya Jakarta-Bogor dan Ciluwar.

Ada yang menduga bahwa Jalan Raya Pos dari arah Kedung Halang sampai titik Warung Jambu yang kini dikenal Pusat Perbelanjaan Jambu Dua itu sejalur dengan Jalan Raya Pajajaran. Yang benar adalah langsung melewati jembatan Setu Duit, salah satu jembatan tertua di kota Bogor. Selanjutnya melewati  Jalan Ahmad Yani, semula di masa kolonial namanya Bataviasche Weg dan berganti nama setelah kemerdekaan menjadi Jalan Jakarta. Ciri-ciri sebuah jalan kuna itu hingga kini masih kentara dengan jelas,   adanya pohon-pohon kenari tua, bangunan rumah tinggal gaya Indis, tandon air tahun 1912, dan air mancur. Selanjutnya menapaki Jalan Jenderal Sudirman sampai Rumah Sakit Salak, kompleks militer dan  markas Corps Polisi Militer sampai Istana Bogor.

Jalan Raya Pos itu setelah melipir dan mengitari sisi Istana sepanjang jalan Ir. Juanda membelok ke arah jalan Suryakancana-Sukasari sampai kawasan Tajur, menuju Ciawi di kaki gunung Pangrango dengan kondisi jalan yang mulai nanjak. Menghindari kenaikan-kenaikan punggung pegunungan, membelok ke timur menyusuri daerah aliran sungai Ciliwung dan sekitar 12 km kemudian sampai di Cisarua. Sepanjang kemana  saja mata memandang, terhampar perkebunan teh yang menghijau, bertingkat-tingkat mendaki gunung Pangrango. Di perkebunan teh itu tanaman kopi semasa kejayaan VOC telah tiada sebagai akibat merosotnya harga kopi dunia dan berakhirlah koffie stelsel alias tanam paksa kopi di Tatar Priangan.

Sangat menarik alur Jalan Raya Pos yang membelah Kawasan Buitenzorg tidak ada berita korban jatuh, sakit atau mengalami kecelakaan. Apakah karena jalur Jalan Raya masuk dalam lingkungan Istana Gubernur Jenderal dan kondisi lapangan yang tidak memberatkan pekerja proyek? Namun saat Jalan Raya Pos memasuki kawasan Cisarua menuju Puncak Pass dengan topografi yang cenderung banyak kelokan-kelokan dan tanjakan, maka cara penangannya juga membutuhkan tenaga manusia dan peralatan yang lebih memadai. Tak dapat dibayangkan berapa banyak  korban berjatuhan karena kelelahan, kehabisan tenaga dan kelaparan.

Jalur Ciawi-Cisarua-Puncak Pass adalah jalur jalan yang dibangun baru, bukan proses jalan yang sudah ada kemudian diperlebar. Pada saat itu belum dikenal pembangunan proyek jalan, jika pada lokasi berbukit dan bercadas serta bebatuan keras menggunakan dinamit. Punggung gunung yang terjal yang berlipat-lipat itu harus dipapras oleh tenaga manusia. Sebelumnya Daendels telah mengirim perwira-perwira zeni untuk melakukan penyelidikan dan perintisan. Bahkan setelah jalan raya itu rampung, kereta kuda pun tidak mampu melewatinya, jadi harus ditarik sepasang kerbau.

Demikianlah selintas jalur  Jalan Raya Pos di Kota Bogor, hingga saat ini masih jelas rutenya. Namun tentu saja ciri fisik Jalan Daendels itu sudah hilang ditelan perkembangan zaman dan teknologi kiwari. Dampaknya tentu saja selain memudahkan mobilisasi gerak masyarakat, mempersingkat waktu perjalanan dan memudahkan arus distribusi komoditas ekonomi, pertanian dari kawasan pedalaman ke kota.

Terpaut waktu sekitar enam puluh tahun dari 1809 sampai 1873, transportasi darat sudah mengalami perubahan yang pesat ketika jalur kereta api mulai dibuka di Hindia Belanda.

Walaupun jalur kereta api baru dibuka pada tahun 1873, namun gagasan awal dan rencana pembangunan yang pertama diusulkan pada tahun 1842 oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen (1845-1851). Rencana ini kemudian dibatalkan oleh Menteri Urusan Jajahan Jean Chrètien Baud,  karena masalah pembiayaan.

Jalur rel kereta api Batavia-Buitenzorg mulai Stasiun Kota, Sawah Besar, Pintu Air (Noordwijk), Gambir (Weltevreden), Pegangsaan, Jatinegara (Meester Cornelis), Pasar Minggu, Lenteng Agung, Pondok Cina, Depok, Citayam, Pondok Gede, Cilebut dan berakhir di stasiun Bogor. Jalur ini dibangun oleh perusahaan swasta Belanda NV NISM (Naamlooze Venootschap der Nederlandsch -Indische Spoorweg Maatschappij) pada akhir 1869 sampai awal 1873. Kemudian tahun 1875 pemerintah merencanakan perpanjangan jalur dari Buitenzorg sampai ke Cilacap dan baru direalisasikan pada tanggal 6 Juni 1878. Selanjutnya jalur kereta api  Batavia-Bandung dibangun berdasarkan perintah Gubernur Jenderal Frederik’s Jacob (1881-1884), sekaligus terjadi peristiwa bersejarah dengan diperkenalkannya penggunaan pesawat telepon untuk Hindia Belanda.

Mencari Peran Raden Saleh

Ada nama yang terlupakan baik oleh masyarakat maupun gegeden Bogor. Nama yang telah  mengharumkan Bogor berkat profesinya yang hebat, seorang pelukis, sekaligus saintis dan budayawan, nama yang dimaksud adalah Raden Saleh Syarif Bastaman (1814-1880), wafat dan dimakamkan di Kawasan Empang, Kota Bogor.

Sayang keterlibatan Raden Saleh dalam bidang ilmiah belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya dari masyarakat maupun pemerintahan Bogor. Sesungguhnya kiprah Raden Saleh dimulai dalam kegiatan ilmiah Profesor Casparus Georgius Carolus Reiiwardt (1773-1854) di bidang botani, geologi, etnografi, palaeontologi dan sejarah Jawa. Mengapa kita tak belajar dari sejarah hidupnya?

Raden Saleh pernah tinggal di Buitenzorg dan Cianjur pada tahun 1820-1829, dan  hampir 20 tahun lebih melanglang buana ke negara-negara Eropa, antara lain ke Belanda, Prancis dan Jerman. Kembali ke Nusantara biasanya langsung ke Batavia atau tinggal berapa lama di Buitenzorg. Akhirnya tahun 1879-1880 sekembalinya dari perjalanan ke Paris, Den Haag, Coburg, Florence, Roma, Napoli kemudian bertolak dari Marseille, dan berlayar ke Singapura dan tiba di Batavia pada bulan Februari 1879, kemudian tinggal di Buitenzorg. Sang maestro pelukis dan budayawan ini wafat pada 23 April 1880.

Catatan penting tentang kebesaran nama Raden Saleh terkait kedekatannya dengan Kota Bogor dan Tatar Sunda, tampaknya kurang mendapat perhatian orang-orang Sunda sendiri. Tak bisa disangkal kiprahnya yang luar biasa sebagai warga pribumi, Raden Saleh memiliki peranan dan kontribusi sebagai pionir dalam bidang paleontologi dan filologi. Tokoh-tokoh peneliti seperti E. Dubois, L.J.C van Es, C. Leckkerkerker, dan H.R. von Koenigswald sudah mengakui andil Raden Saleh dalam kegiatan ilmiah ini. Khusus dalam bidang filologi diwujudkan dengan kerja kerasnya dalam mengumpulkan manuskrip-manuskrip tua yang kemudian disimpan sebagai koleksi  Bataviasche Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen di Batavia. Manuskrip-manuskrip itu berasal dari tanah Sunda, terutama dari wilayah Galuh. Walaupun manuskrip-manuskrip dalam keadaan rusak namun penemuan ini sangat berharga karena memberikan informasi tentang agama dan kehidupan sosial orang Sunda.

Jasa besar lain peninggalan Raden Saleh, sehingga nama dan keadaan alam Buitenzorg dikenal di Eropa, adalah rangkaian tiga lukisan tentang kawasan Megamedung. Lukisan pertama yang dibuat pada  tahun 1871 memperlihatkan Stasiun Pos Tugu di kaki pegunungan sekitar kawasan Megamendung. Adapun lukisan kedua, seri Megamendungnya itu dibuat pada tahun 1876 Lukisan ini merupakan versi lain dari tempat yang sama dengan pemandangan pada jam yang sama. Cahaya matahari menerobos dedaunan dan pohon di tengah dan menerangi kemegahan hutan di Tatar Sunda pada akhir abad ke-19.

Lukisan tersebut sampai kini masih menjadi bagian koleksi museum di lstana Ehrenburg, Coburg, Jerman. Lukisan kawasan Megamendung versi ketiga dibuat pada tahun 1878, memperlihatkan kereta kuda sang Gubernur Jenderal sedang menuruni jalan pintas, dikawal sejumlah penunggang kuda. Namun keindahan alam dan hutan di Tatar Pasundan, khususnya salah satu kawasan di Bogor dilukis dengan obyek rimba belantara dan detail  pepohonan, kebiruan langit serta kondisi jalan yang masih alami.

Peninggalan Thomas Herman Karsten yang Terlupakan

Satu di antara arsitek-planolog bangsa Belanda yang berkiprah  di Nusantara dan sangat berjasa di dalam menata serta mengembangkan hunian Kota Bogor pada tahun 1920, adalah Ir. Thomas Herman Karsten. Sang arsitek ini telah memperkaya pemandangan kota dengan bentuk bangunan melalui adaptasi regional. Dalam rangka memperbaiki kondisi sanitasi permukiman pribumi, ia banyak aktif di kegiatan-kegiatan sosial. Sebagai perancang bangunan dengan perhatian  pada masalah-masalah sosial, ia merintis profesi perancangan kota dengan semangat membentuk tata lingkungan yang sehat dengan program perbaikan kampung dan kota.

Seperti ketika pada masa Pemerintahan Kota Bogor di bawah pimpinan Walikota Kolonel Achmad Sham, periode 1965-1979, bukti itu masih bisa kita rasakan bagaimana nuansa Bogor sebagai sebuah kota peristirahatan dan kota pensiunan. Banyak bangunan yang kental terasa dari jejak dan warisan Arsitek Thomas Karsten. Peninggalan itu tak hanya bangunan-bangunan rumah tinggal, taman-taman, dan pagar-pagar pendek di kompleks perumahan Kota Paris. Namun juga pedestrian, rioolering, gorong-gorong, donggo dan penataan saluran air hujan. Salah satu ciri khas planolog Karsten adalah gorong-gorong dengan sistem terbuka yang  masih tersisa di sepanjang Jalan Kapten Muslihat sampai Sungai Cipakancilan-Jembatan Merah, sepanjang Gedung SMA Regina Pacis, Karesidenan, sepanjang Jalan Sudirman, Jalan Achmad Yani, dan berhenti di Jembatan Satuduit. Donggo yang dikenal di Kota Bogor, yaitu saluran pembuangan air, masih bisa disaksikan di bawah jalan KA jalur Bogor-Sukabumi, sekitar Kampung Bojong Neros.

Tentang pagar pendek yang menjadi ciri khas Karsten terkait dengan rancangan rumah tinggalnya, saat ini hanya bisa disaksikan pada bangunan rumah tinggal Arsitek Friederich Silaban. Terletak di Jalan Arsitek F. Silaban, dahulu namanya Jalan Gedong Sawah ll. Bincang-bincang dan bercerita seputar sosok Arsitek F. Silaban perlu bahasan tersendiri, karena sosok arsitek kesayangan Bung Karno itu, memiliki sejarah panjang  terkait dengan perkembangan Kota Bogor sejak masa kolonial.

Tidak jauh dari rumah Arsitek Silaban masih tersisa bangunan masa kolonial, salah-satunya yaitu Hotel Salak dan Gedung Karesidenan. Halaman Gedung Karesidenan sekitar tahun enam puluhan masih sangat luas dengan rumput hijau yang tebal. Di halaman  gedung tersebut sering digunakan kegiatan anak-anak sekolah dari SD, SMP dan SMA, tempat bermain anak dan main layang-layang. Kini kondisi lingkungannya sudah acak-kadut, semrawut dan tidak memiliki kewibawaan yang medukung gedung Keresidenan, juga gedung Kejaksaan Negeri yang dibangun dan dikembangkan kemudian.

Dahulu di sebelah gedung Karesidenan itu masih ada Gang Telepon, jalur jalan kecil yang menghubungkan Jalan Pengadilan-Jalan Ir. H. Juanda. Gang tersebut merupakan gang yang sering dilewati siswa sekolah dari kawasan Pabaton ke SD Polisi, SMPN 1, dan SMAN 2, memperpendek jarak. Gang yang sangat penting itu sayangnya dicaplok oleh Kantor Kejaksaan Negeri dan Kantor SAMSAT dewasa ini.

Karsten mulai mengembangkan pemahamannya pada kondisi tropik dengan memberi perhatian pada konstruksi atap dengan kemiringan curam. Sementara denah fasad, Karsten masih terikat kuat pada prinsip pengulangan elemen-elemen kolom dan bukan untuk harmonisasi. Pengulangan ini dimaksudkan agar tercipta suatu kesan elegan dan konsistensi yang kuat untuk mendukung monumentalitas bangunan. Kesederhanaan bentuk pada elemen-elemen dan detail-detail pertemuannya memberikan indikasi adanya pengaruh gerakan awal modernitas Eropa Barat.

Seperti telah disinggung bahwa peranan Karsten pada masa  Hindia Belanda tak hanya di Kota Semarang. Buitenzorg, kota kecil yang hanya berjarak sekitar 60 km dari kota pusat kekuasaan Belanda, Batavia, masih memiliki jejak-jejak Karsten baik rumah tinggal, maupun perumahan/pemukiman. Sebagai arsitek Karsten memberi perhatian penuh pada penggalian potensi dan sumber-sumber bangunan lokal tradisional.

Beberapa kawasan kota di Buitenzorg yang masih terasa adanya penataan tangan Karsten adalah Kawasan Kedoeng Halang (sebutan masa kolonial), kira-kira berlokasi sekitar Kelurahan Babakan, kawasan perumahan  Sempur, sekitar kawasan Taman Malabar dan kawasan Babakan  Peundeuy, Kecamatan Bogor Tengah.

Struktur dan bentuk atap pada rumah tinggal di perumahan-perumahan tersebut menunjukkan bentuk bangunan lokal tradisional Sunda dengan ciri yang khas. Selain kecuraman atap yang tajam,  bentuk atap limasan, genting tanah liat, serambi muka dan belakang  serta halaman yang luas. Contoh yang sama juga tampak jelas di perumahan Kota Paris, Kecamatan Bogor Tengah.

Sejarah Bogor dengan kehadiran Belanda tentu akan terkait dengan motif dasar Belanda ke Nusantara. Di dalam sebuah tulisan karya C.P.F. Luhulima berjudul  Motif-Motif Ekspansi Nederland Dalam Abad Ke Enam Belas dalam terbitan tak berkala Lembaga Research Kebudayaan Nasional, bahwa motif-motif Nederland untuk mengarungi lautan terutama berpangkal pada perdagangan dan keuntungan-keuntungan yang sebesar-besarnya yang diharapkan dari usaha-usaha perniagaan itu. Maka tidak mengherankan jika tinggalan Belanda, khusunya di Bogor akan dijumpai sarana transportasi seperti jalan raya dan jaringan rel kereta api, jembatan, bangunan pertokoan, gudang-gudang, kantor pos, pasar, telegrap dan telepon. Namun patut disyukuri kolonial Belanda  juga mewarisi karya arsitektur dan bangunan sipil lainnya.

Bangunan yang paling istimewa yang hingga kini menjadi ciri khas Kota Bogor adalah Istana Bogor, bangunan eks-Keresidenan, bangunan-bangunan penelitian, bangunan rumah tinggal, sekolah, pertamanan, dan kawasan permukiman/ perumahan yang masih memiliki ciri khas Indis.

Setelah menyusuri jalan panjang itu, sejatinya Bogor juga memiliki tradisi keterkaitan dengan ilmu humaniora, kebudayaan, seni dan teknik arsitektur yang andal. Sebuah kota yang tak hanya memiliki museum dan perpustakaan, namun juga dengan kegiatan penelitian dan temuan benda-benda arkeologis. Maka tak lengkap, jika kita tak menyusuri juga tokoh-tokoh perjuangan fisik maupun non-fisik lainnya, yang berkaitan dengan Bogor tentunya.

Surat Kabar Medan Kenangan

Ada berapa nama jalan di Kota Bogor yang mengabadikan nama sosok dan tokoh terkait dengan nila-nilai perjuangan dan kepahlawanan?

Tentu cukup banyak. Beberapa nama lama yang sudah banyak dikenal antara lain Kapten Tubagus Muslihat, Mayor Oking, tak lama kemudian nama Jenderal Ishak Djuarsa dan Jenderal Ibrahim Adjie. Ada berapa jalan yang  mengabadikan nama sosok budayawan, seniman saintis, perintis di bidang ilmu sosial humaniora dan guru? Belum ada catatan yang akurat. Tapi di antaranya adalah Jalan M.A. Salmun, Jalan Arsitek F.Silaban, Jalan Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution.

Nama Jalan M.A. Salmun adalah pengganti nama Jalan Pabrik Gas, saat masa kolonial dikenal Gasfabriekgweg. Mas Atje Salmun adalah nama bujangga Sunda kelahiran Banten, lama tinggal di Jalan Ciwaringin. Sosok M.A. Salmun tak hanya bujangga berwibawa seperti Rd. Satjadibrata, Mohammad Ambri, atau Rd. Memed Sastrahadiprawira, ia juga Dosen Luar Biasa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, untuk mata kuliah Bahasa dan Sastera Sunda. Salmun juga dikenal sebagai salah satu pendiri Majalah Mangle pada tahun 1957 di Kota Bogor. Hingga kini majalah yang telah legendaris itu,  dan satu-satunya majalah berbahasa Sunda masih terbit dengan teratur tanpa jeda. Kantor redaksinya sudah lama pindah ke Bandung.

Mungkin banyak warga Bogor atau umumnya orang Sunda, tidak mengetahui bahwa Bogor memiliki sejarah melek huruf lebih awal dibandingkan dengan beberapa kota lain di Tatar Sunda. Koran, majalah dan buku sudah lama terbit di Kota Pusaka ini jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Ajip Rosidi (1938-2020), budayawan dan sastrawan Sunda kelahiran Jatiwangi mencatat bahwa setelah Balai Pustaka berdiri dan di samping itu banyak pula penerbit-penerbit yang aktif mengeluarkan buku-buku wawacan atau roman, maka para pengarang yang menulis dalam bahasa Sunda kian marak.

Di Bogor tercatat beberapa majalah berbahasa Sunda yang terbit pada masa kolonial antara lain, Djadjaka Pasoendan tahun 1919-1920, dan Mitra pada tahun 1934 sampai tahun 1940. Adapun untuk penerbitan jenis surat kabar  tercatat Koran Poetri Hindia pada tahun 1909-1911, Koran Pewarta Perserikatan Normaalschool pada tahun  1919-1940, dan Koran  Kemoedi yang terbit pada tahun 1934-1935. Di luar penerbitan majalah dan koran berbahasa Sunda dan  bahasa Melayu saat itu, juga terbit pula yang berbahasa Belanda di beberapa kota dan kabupaten seperti di Bogor, Sukabumi, Serang, Cirebon. Bahkan di Garut terbit pula majalah dalam bahasa Esperanto yaitu NIA Organo: organo de la Nederland India Societo Esperantista La Estonteco Estu Nia yang terbit pada tahun 1943-1942.

Yang patut menjadi perhatian orang Bogor, di Museum Perjuangan Bogor salah satu koleksinya yang paling berharga adalah sebuah bundel Koran Buitenzorg. Sayang kondisi museum tersebut secara umum sangat memprihatinkan. Hidup tanpa pengelola yang jelas dan tanpa perhatian dari pihak Pemerintah Kota Bogor. Padahal museum tersebut memiliki koleksi dan aset berharga yang terkait masa perjuangan Bogor dan wilayah sekitarnya, dari Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur.

Kenangan dan Impian Menjadi Kaitan

Namun di luar itu semua ada catatan penting yang tidak banyak diketahui oleh warga kota Bogor, yang luput dari tulisan sejarah terkait kota Bogor. Catatan dimaksud antara lain:

Di antara gubernur jenderal yang berkuasa di Hindia Belanda ada dua nama yang terkait dengan dunia kesusasteraan Nusantara, mereka adalah Albertus Jacobus Duijmaer van Twist  (1851-1856), Gubernur Jenderal ke 13 masa Hindia Belanda. Sang Gubernur Jenderal tersebut sering menerima keluhan-keluhan dari Eduard Douwes Dekker tentang tingkah laku Bupati Lebak, Banten. Douwes Dekker alias Multatuli, adalah pengarang Max Havelaar yang tinggal selama 15 tahun di Nusantara, menjadi pegawai Dewan Pengawas Keuangan di Batavia, kemudian menjabat kontrolier di Natal, Sumatra Utara, dan Asisten Residen di Lebak. Buku tersebut telah dikenal masyarakat yang pada masa itu menuntut perhatian publik di Negeri Belanda kepada kepincangan serta kebobrokan di dalam pemerintahan Hindia Belanda, serta kepada kesengsaraan yang diderita oleh rakyat Indonesia sebagai akibat dari tindakan  sewenang-wenang alat-alat kekuasaannya.

Salah satu buku karangan  legendaris Haji Abdul Malik Karim Amarullah alias Hamka adalah Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Judul buku tersebut diambil dari sosok  Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van der Wijck (1893-1899), diabadikan menjadi nama sebuah kapal pada 1921 dan tenggelam pada tahun 1936 di Laut Jawa.

Salah satu nama jalan di kota Bogor pada masa kolonial adalah Van der Wijck Laan, yang berganti nama menjadi Jalan Sawojajar. Tidak heran jika di jalan itu banyak dijumpai tinggalan bangunan masa Belanda seperti Rumah Bersalin Sawojajar, dibangun tahun 1930, Rumah tinggal bergaya Indis dan de Stijl, wisma dan bangunan gardu listrik.

Satu hal yang teramat penting terkait dengan upaya-upaya pelestarian kecagarbudayaan, tak ayal adalah keberadaan payung hukum yang memberi perlindungan dari kerusakan, kehancuran, kemusnahan dan kesirnaan. Hanya sekadar rusak dan hancur sebuah benda, bangunan dan struktur cagar budaya masih ada harapan bisa dilacak relatif melalui upaya merekonsruksi dan merevitalisasinya. Namun jika sudah musnah dan sirna, semua terkait  Cagar Budaya, kita hanya bisa sekadar bicara tanpa bukti di lapangan. Syukur jika ada  instansi terkait atau unsur masyarakat yang peduli Cagar Budaya, setidaknya mendokumentasikan keberadaan tinggalan budaya Kota Bogor.

Sejarah payung hukum terkait cagar budaya di Indonesia telah berusia hampir seabad. Apa yang kita kenal dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11, tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pada hakikatnya bercikal-bakal dari Monumenten Ordonantie STB 238/1931 buatan Kolonial Belanda.

Yang menarik di dalam Monumenten Ordonantie Statsblad tahun 1931, nomor 238 adalah bunyi Pasal 1, berbunyi:

1. Yang dianggap sebagai monumen dalam peraturan ini:

 a. Bagian benda-benda atau kelompok benda-benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan juga sisa-sisanya, yang dibuat oleh tangan manusia yang pokoknya berumur lebih dari 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi prasejarah, sejarah atau kesenian.

b. Benda-benda yang dianggap bernilai penting dari sudut palaeontologi.

Teramat sederhana jika dibandingkan dengan isi yang tercantum di dalam UU RI No 11/2010 Tentang Cagar Budaya. Namun yang patut menjadi catatan terkait dengan Sejarah Bogor adalah Monumenten Ordonantie itu dikeluarkan di Cipanas pada 13 Juni 1931 yang ditanda tangani oleh Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge. Peraturan tentang upaya penyelamatan monumen dan tinggalan masa prasejarah itu tentu keluar dari Kantor Algemenee Secratrie di Buitenzorg yang dibuka diresmikan pada tahun 1888.

Sejarah Bogor pada masa kolonial Belanda, bisa diawali dari mana saja, artinya tergantung dari arah pandang para ahli sejarah, apakah akan memulai ketika pendaratan pertama Cornelis de Houtman yang mendarat  di teluk Banten pada tahun 1596, saat ekspedisi VOC, yang dipimpin Sersan Winkler dan Letnan Tanujiwa pada tahun 1683? Atau mungkin bisa saja dari awal rancangan Pesanggerahan di Kampoeng Baroe, saat perjalanan dinas Gustaaf Willem Baron van Imhoff ke Cipanas, Cianjur?

Namun yang jelas, Sejarah Bogor tak akan pernah lepas kaitannya dengan kiprah dan peranan para Gubernur Jenderal yang berkuasa dari zaman VOC hingga Pemerintah Hindia Belanda. Di dalam Catatan-catatan tentang Bogor, hanya segelintir peran dan kiprah para Gubernur Jenderal ditulis, yang tentu saja belum banyak tergali seluruhnya secara lebih lengkap dan terperinci. Banyak hal yang belum atau tidak terungkap di dalam catatan tentang Bogor, yang  sejatinya memang hanya sebuah catatan saja, tidak lebih dan tidak kurang.

Sangat menarik untuk diteliti secara mendalam dari berbagai bidang studi bahwa dari 33 Gubernur Jenderal VOC, 23 orang di antaranya meninggal di Batavia pada saat sedang menjalankan tugas, sedangkan dari 32 Gubernur Jenderal Hindia Belanda hanya tiga orang yang meninggal di Nusantara, masing-masing di Batavia, di Buitenzorg dan Surabaya. Yang menarik,  Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkuasa pada masa VOC  berasal dari Jerman itu wafat di Buitenzorg dan dimakamkan di Gereja Belanda, Batavia. Bangunan bersejarah yang  telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya itu oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dialih-fungsikan sebagai Museum Wayang.

Betapa penting kedudukan Kota Bogor saat Istana Buitenzorg menjadi pusat pemerintahan dan lebih istimewa ketika semua urusan kesekretariatan umum menyangkut kelancaran roda pemerintahan Hindia Belanda pindah ke Buitenzorg pada tahun 1888. Tentu bisa dibayangkan betapa kaya dan berlimpahnya warisan dan tinggalan budaya terkait peranan dan fungsi penting perjalanan panjang Buitenzorg itu.

Kapankah Pemerintah Kota Bogor yang konon telah mendapat julukan Kota Pusaka akan mengawali penggalian, penelitian, pengkajian, penulisan dan pedokumentasian terkait aset-aset tinggalan dan warisan masa kolonial? Apakah menunggu Buitenzorg benar-benar sirna dari bumi tanah Bogor Pusaka?.***

***

Daftar dan Sumber Bacaan:

Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang ,Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2009

Peter J.M. Nas, Kota-Kota Indonesia Bunga Rampai , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007.

Tawalinuddin Haris, Kota dan Masyarakat Jakarta, Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (Abad XVI-XVIII) , Penerbit Wedatama Widya Sastra, Jakarta, 2007.

Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, Masup Jakarta Komunitas Bambu, Depok, 2011.

Subagio Sastrowardoyo, Sastra Hindia Belanda Dan Kita, Balai Pustaka, Jakarta, 1983.

Kees Greens, Jakarta Batavia Esai Sosio-Kultural, KITLV,  Jakarta, 2007.

Tri Wahyuning M. Iryam, Berkembang Dalam Bayang-Bayang Jakarta : Sejarah Depok 1950-1990-an, Yayasan Pustaka Obor Jakarta, 2017.

Harya W. Bachtiar,Raden Saleh Anak Belanda, Mooi Indiè &Nasionalisme, Komunitas Bambu, Depok, 2009.

Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya, Jilid l, Pt. Gramedia, Jakarta, 1996.

Nina Herlina Lubis, Tradisi & Tranformasi Sejarah Sunda, Humaniora Utama Press Bandung, Bandung, 2000.

Andrew Goss, Belenggu Ilmuwan Dan Pengetahuan Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru, Komunitas Bambu, Depok, 2011.

Peter J.M. Nas, Masa Lalu Dalam Masa Kini, Arsitektur di Indonesia,PT Gramedia, Jakarta, 2009.

Thomas Stamford Raffles, The History of Java, Penerbit Narasi, 2014.

Alfred R. Wallace,Menjelajah Nusantara. Ekspedisi Alfred Russel Wallace Abad ke-19, Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000.

Pemerintah DKI Jakarta, Terjemahan Monumenten Ordonantie STB 236/1931, Penerbit Dinas Museum dan  Sejarah, Jakarta, 1977.

G. Mudjanto (Ed), Tantangan Kemanusiaan Universal. Antologi Filsafat, Budaya, Sejarah – Politik & Sastra, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1992.

Aoh Kartahadimadja,Aliran-Aliran Klasik, Romantik dan Rèalisma, Pustaka Jaya, Jakarta, 1972.

Thomas B. Ataladjar, Toko Merah Saksi Kejayaan Batavia Lama Di Tepian Ciliwung, Penerbit Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, 2003.

Mikihiro Motiyama, Semangat Baru Kolonialisme, Budaya Cetak dan  Kesastraan Sunda Abad ke-19, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2003.