Jelang Pilkada, Kenapa Golput?

Dok.Pilkadoks


Kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak akan dilangsungkan pada November 2024 mendatang untuk seluruh Provinsi, Kota, hingga Kabupaten se-Indonesia.

Pemilihan Umum baik Pilpres, Pileg hingga Pilkada telah melalui sejumlah perubahan sistem mulai dari awal kelahiran kemerdekaan, era orde lama-baru, pasca reformasi hingga perubahan naskah Mahkamah Konstitusi demi membolehkan batas usai Capres-Cawapres menjadi di bawah 40 tahun.

Tentu, rangkaian perubahan-perubahan itu dilakukan tidak lain untuk terus melakukan perbaikan sistem demokrasi Indonesia yang berlangsung begitu-begitu saja. Sebab, kita lihat, tiada perubahan signifikan terhadap apapun perubahan baik pasca naskah konstitusi maupun perubahan Undang-Undang lainnya.

Karena perubahan sesungguhnya bukan pada lembaran-lembaran kertas peraturan, tapi pada jiwa-jiwa yang tidak terkontaminasi oleh nafsu kekuasaan dan kehausan jabatan. Kita harus menyadari bahwa keterpurukan kita adalah akibat dari salahnya memilih pemegang kendali kekuasaan.

Dalam demokrasi kita, rakyat diberikan one person one vote, artinya akademisi, aktivis, para pedagang, hingga “orang partai” diberikan hanya satu pilihan dalam setiap kontestasi. Bahkan, masyarakat yang diberi uang oleh kontestan atau yang tidak diberi uang memiliki hak yang sama.

Kita tidak bisa memaksakan orang lain memilih pemimpin berdasarkan yang kita inginkan, mereka punya pandangan berbeda dalam memilih pemimpin. Sehingga, keidealan pemimpin tidak bisa ditentukan oleh orang-orang bijak, sepeti yang disampaikan seorang filsuf Yunani Kuno. Dalam pemilihan negara demokrasi, sepuluh profesor bidang tata kelola kenegaraan, akan kalah oleh 11 manusia yang dibeli hak suaranya. Begitu kondisi demokrasi kita saat ini.

Tiada yang salah dalam sistem demokrasi, hanya saja tidak sedikit masyarakat Indonesia memilih berdasarkan berapa jumlah rupiah yang diterima, bukan dari seberapa layak calon wakil rakyat itu memimpin.

Sehingga, wajar saja fenomena artis, influencer, hingga sosok yang tak kenal politik pun bisa masuk hanya dengan bermodalkan popularitas, tentu dengan kelayakan isi tas (rupiah).

Kenapa Golput?

Ketidak-idealan ini menjadikan kita untuk harus kembali berpikir bahwa kesia-siaan-lah yang akan kita dapat dengan kondisi masyarakat yang pragmatis dan tidak teredukasi seperti yang dijelaskan di atas. Politisi tentu berkampanye dan menghitung kepantasan mereka untuk mendapatkan kursi penguasa berdasarkan karakter para calon pemilih mereka; jika rakyat bisa dibeli suaranya, maka uanglah yang harus diperbanyak. Begitu kiranya cara pandang yang sangat pendek yang dipikirkan para politisi hari ini.

Pemimpin yang terpilih dengan suara-suara dari masyarakat yang money oriented itu hampir dipastikan tidak dulu memikirkan bagaimana menata dan membangun wilayah yang ia pimpinan, namun akan memikirkan bagaimana mengembalikan rupiah yang ia tebar di hari-hari menuju pencoblosan.

Kondisi sepeti ini masih terus berjalan dari sejak diberlakukannya pemilihan terbuka hingga saat ini. Kita tidak bisa memaksakan untuk merubah sistem jika kita tidak masuk pada lingkaran pengatur sistem itu sendiri. Untuk masuk, kita harus menjadi seorang wakil rakyat dengan langkah-langkah yang ‘agak keji’ itu, mau? .

Harus Bagaimana?

Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahwa golongan putih (Golput) atau masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah haram. Pemerintah juga mengimbau masyarakat agar tidak melakukan Golput pada Pemilu.

Penulis sama sekali tidak bermaksud mengajak untuk menjadi Golput, namun mengajak kalian dan kita untuk tetap waras menjaga demokrasi yang berkualitas dengan kondisi saat ini.

Sekali lagi, kita tidak memaksakan idealisme kita untuk dikonsumsi dan direalisasikan oleh orang banyak. Kita berada di negara demokrasi, yang segala keputusan diatur bersama, tepatnya diatur oleh para pemegang kekuasaan yang dulu kita pilih bersama.

Di tengah kondisi seperti ini, kiranya kita harus bisa berdikari untuk mencapai keinginan dan keidealan tata negara yang kita inginkan. Sehingga, kita tidak berharap terlalu banyak kepada para pemegang kekuasaan, namun kita bisa merubah kekuasaan itu sendiri dengan kaki dan tangan kita sendiri.

Dari jutaan rakyat yang memilih pemimpin berdasarkan rupiah, jadilah puluhan dan ratusan yang memegang teguh bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak bisa dibeli. Dengan begitu, segalanya ingin kita capai bersama, meski belum bisa membuat negara (dan meninggalkan Negara Indonesia).***