Lakon Wek-wek & Revolusi Buruh Tani

Gambar. AI


Sebelum masuk ke persoalan yang agak serius, saya ingin menceritakan persoalan petani dalam lakon drama berjudul Wek-wek karya D. Djajakusuma. Lakon tersebut ditokohi oleh Panakawan yaitu Semar sebagai lurah, Bagong sebagai cukong, Gareng sebagai pembela, dan Petruk sebagai buruh tani. Saat itu, berlangsung sidang atas permasalahan Petruk yang dituntut oleh Bagong karena telah menipu pada persoalan angon bebek. Kisah bermula saat Petruk dengan pakaian lusuh mengeluh sambil melihat bentangan sawah dan bebek-bebek dengan kalimat:

“Sejauh mata memandang, sawah luas terbentang, tapi tidak sebidang tanah pun milikku. Padi aku yang tanam, juga aku yang ketam. Tapi tidak segenggam milikku. Bebek tiga puluh ekor, semuanya tukang bertelur. Tapi tidak juga sebutir adalah milikku. Badan hanya sebatang, hampir-hampir telanjang. Hanya itu saja milikku.”

Sebagai suatu karya sastra yang juga dipercaya sebagai mimesis dari kehidupan, siapa pun akan langsung mengoneksikan dan membandingkan persoalan kehidupan dalam lakon tersebut dengan kenyataan. Lakon tersebut hadir pasti dengan membawa pretensi suatu gambaran kritis kondisi masyarakat agraris. Seorang petani yang dituntut oleh majikannya, kemudian disidang dalam suatu mahkamah, di sana ada seorang pembela yang juga mencari keuntungan dari kasus tersebut baik secara materi maupun non-materi, hadir begitu nyata.

Petruk dalam keterangan lakon tersebut merupakan seorang petani yang bahkan hampir tidak memiliki apa-apa kecuali pakaian compang-camping yang dikenakannya, serta cemeti yang tak berharga bagi siapa pun. Dengan sarkas pun dia mengatakan bahwa dirinya bahkan hampir telanjang. Betapa menderitanya petani semacam Petruk ini yang harus menghidupi orang lain dengan berladang (nyawah) sementara gambaran dirinya adalah seorang yang serba kekurangan dan berusaha sekuat tenaga mempertahankan nyawa.

Hal-hal yang berkaitan dengan Petruk dalam lakon itu juga mengingatkan pada suatu kisah petani yang pernah diceritakan oleh Multatuli dalam Max Havelaar-nya (1860) kurang-lebih 164 tahun lalu. Sastra berjenis novel tersebut mengisahkan sebuah kondisi perih, menderita, dan pedihnya kehidupan petani di Lebak, Banten. Beberapa orang juga menganggap novel ini sebagai bentuk penggambaran dan kritik atas sistem tanam paksa (Culturstelsel) dan sistem kepemilikan tanah yang diberlakukan oleh Belanda kepada rakyat petani di masa kolonial.

Petani dan Tanah

Petani dan tanah merupakan dua bagian yang tak bisa dipisahkan. Petani sebagai subjek garap bahkan tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa adanya tanah yang menjadi objek garap. Hal itu seperti kaitan antara ikan “yang hidup” dan air “yang menghidupi”. Tanpa air, kematian akan menjadi teman terakhir bagi ikan itu. Saking pentingnya tanah bagi petani, membuat kepercayaan dan tradisi masyarakat begitu sangat menghargai tanah sebagai bagian dari alam itu sendiri. Lihatlah kisah-kisah kepercayaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana.

Tradisi masyarakat petani zaman dahulu, yang percaya bahwa sebagian besar tanaman-tanaman pangan berasal dari kematian Sang Dewi, menjadikan kisah tersebut sebagai suatu hal yang harus dihormati. Mereka percaya bahwa Nyi Pohaci Sanghyang Sri bukan hanya sebagai mitologi maupun fiksi, namun sebagai entitas yang sangat berpengaruh bagi kehidupan pertanian. Tanah dan kesuburannya adalah elemen eksistensi bagi Sang Dewi dalam kehidupan pertanian itu. Kerap kali, para petani akan meminta kepada Tuhan yang Maha Kuasa dalam tradisi adat tertentu, sekaligus dalam rangka menghormati kisah Sang Dewi, demi kesuburan tanah-tanah mereka. Hingga akhirnya datang orang-orang asing dari barat yang merebut tanah-tanah itu dari pemiliknya.

Perebutan tanah-tanah itu sesuai dengan deskripsi Multatuli dalam novelnya. Menurutnya, orang-orang “Djawa” adalah petani yang di tanahnya sendiri mereka menanam dengan senang hati. Bahkan, diceritakan bahwa orang “Djawa” sangat tertarik untuk menjadi petani sejak kecil. Mereka berladang mengikuti ayahnya ke ladang: membantu membajak, membuat bendungan, mencangkul, dan menanam. Multatuli dengan berani menggambarkan petani-petani itu sebagai manusia-manusia yang gagah, cekatan, karena tumbuh bersama sawah-sawah miliknya sendiri.

Datangnya kolonial Belanda, memaksa petani menyerahkan tenaga dan waktunya demi keuntungan-keuntungan orang asing itu dalam skema kerja tanam paksa. Kegagahan petani diakali. Selain itu, mereka dipaksa menyerahkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas yang diminati di Eropa. Mereka mengirim hasil alam dari tanah-tanah jajahan yang bukan milik mereka demi pundi-pundi uang. Dengan kata lain, petani-petani itu dipaksa menjadi buruh tani di tanah mereka sendiri! Jika ditanya tentang upah yang diterima mereka: apakah sebanding dengan kerja kerasnya? Tentu jawabannya tidak.

Siapa pun akan bilang bahwa itulah yang disebut obscenity yang dalam hal ini bermakna perbuatan menjijikan, jahat dan tak bermoral. Mereka menggunakan politik picik untuk mempengaruhi para penguasa lokal, mengontrol sistem, dan menguasainya. Mereka benar-benar memonopoli perdagangan demi “mencekik” rakyat dan memperalat pribumi untuk menindas para petani itu. Tanah-tanah itu dirampas lalu “dipisahkan” dari kehidupan petani sehingga mengalami kesengsaraan dan kelaparan.

Revolusi Petani?

Pasca-kemerdekaan, penjajahan Belanda beserta tanam paksa-nya dan Jepang bersama serah padi-nya telah pergi dari bumi pertiwi. Kaum-kaum petani di berbagai penjuru negeri menghela napas lega. Mereka akan segera dipimpin oleh orang-orang pribumi yang lahir dari rahim perjuangan. Harapan besar petani pada pendiri bangsa juga digantungkan bersama harapan-harapan rakyat lainnya. Namun ternyata di awal-awal itu, masih terdapat sistem-sistem peninggalan kolonial dalam tata kelola pertanian di pemerintahan dan ketergantungan pada asing.

Presiden Soekarno akhirnya membuat sistem Berdikari dan tak lama Undang-undang Pokok Agraria pun disahkan pada tahun 1960 untuk menggantikan Hukum Agraria warisan penjajah. Salah satu yang dibahas di sana adalah tentang kepemilikan dan pemerasan oleh tuan tanah. Angin segar melanda hampir 80% penduduk Indonesia yang berprofesi petani. Munculah kemudian konsep akronim “petani” sebagai perpendekan dari “Penyangga Tatanan Negara Indonesia”.

Pada masa Orde Baru, petani dihadapkan pada situasi Revolusi Hijau yang melanda dunia, termasuk Indonesia. Indonesia mengadopsinya dengan membuat program Bimas Gotong Royong dan Swasembada Beras. Di awal penerapannya, program ini cukup sukses selama lima tahun dari 1984-1989. Setelah itu, kehancuran kembali dialami oleh para petani karena terlilit hutang pembelian bibit, pupuk kimia, dan pestisida sintetis. Bahkan menurut Putu Fajar Arcana dalam esainya yang bertajuk Revolusi Nyi Pohaci, dampak terburuk lainnya yaitu ketika sistem nilai yang disarikan dari kisah Nyi Pohaci Sanghyang Sri lambat laun semakin terdesak. Dengan sendirinya, petani meninggalkan sistem kepercayaan dan keyakinan. Belum lagi, petani sudah kadung masuk pada era modern yang mengedepankan sains dan hitungan matematis. Itu menyebabkan penggunaan pupuk kimia dan pestisida sintetis oleh petani yang berdampak buruk bagi lingkungan dan alam. Ini sangat bertolak belakang dengan konsep menghargai alam yang diterapkan bersama nilai-nilai adiluhung dari norma tradisi.

Setelah keterpurukan sempat dialami oleh petani, berbagai perbaikan dilakukan pemerintah. Program-program pemulihan kondisi petani dan lingkungan juga dilaksanakan. Hingga akhirnya, beberapa tahun lalu mulai diterapkan SRI (System of Rice Intensification) di Indonesia dengan harapan mendongkrak ekonomi petani dan mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Namun, nyatanya hal itu pun belum berdampak masif kepada para petani Indonesia meskipun di beberapa penelitian tentang sistem ini, terbukti peningkatan hasil produksi dan keuntungan bagi petani cukup signifikan. Atensi pemerintah pun untuk program ini diakui semakin berkurang.

Persoalannya bisa ada pada diri petani itu sendiri. Ada sebuah anggapan bahwa perbedaan yang mencolok antara petani di negara miskin (baca: berkembang) dengan petani di negara maju, salah satunya dari kepemilikan lahan selain pada penggunaan teknologi pertaniannya. Di negara maju, petani digambarkan sebagai pekerjaan yang memiliki lahan luas untuk kegiatan produksinya. Sementara di negara miskin atau berkembang petani bisa digambarkan dalam tiga jenis; satu, petani yang menggarap lahannya sendiri bersama keluarga atau kelompoknya; dua, petani yang memiliki lahan luas dan dapat mempekerjakan buruh tani; tiga, petani tanpa lahan atau buruh tani.

Tak perlu dibayangkan perbandingan jumlah ketiganya. Sebagaimana diketahui bahwa negara Indonesia bukanlah negara maju, pastinya buruh tani-lah yang mendominasi.  Semua berangkat dari pengetahuan pengelolaan dan pengembangan usaha pertanian yang belum merata. Alhasil, jika kita bicara tentang revolusi, buruh tani sebenarnya masih belum beranjak jauh dari masa lalunya yang menderita, sengsara, dan menyedihkan.

Oleh sebab dari itu, saya rasa, persoalan petani yang dalam kebanyakan benak orang adalah hal-hal yang belum berubah sejak Multatuli menuliskan kisahnya dalam Max Havelaar. Itu pun berarti bahwa Petruk-Petruk yang digambarkan oleh D. Djajakusuma sebagai petani yang tak memiliki apa-apa, juga masih identik dengan petani hari ini. Dan lihatlah, sampai hari ini, jika manusia seperti Bagong masih ada, sistem kolonialisme dalam kepemilikan tanah, serta monopoli komoditas masih melekat pada penguasa yang tirani, kita tak beranjak dari kisah Max Havelaar dan kisah lakon Wek-wek-nya Djajakusuma.***