gambar. AI
Gelap, namun bising. Seperti hampa dalam mata, namun ramai terdengar oleh telinga. Kotak kecil, persegi, persegi panjang, juga lonjong, tersentuh-sentuh dalam tombol-tombol klik, mementaskan layar perasaan dan pikiran. Mimpi. Ilusi.
“Dunia amburadul! Rumit dan membingungkan.” Suara pertama memulai, yang entah siapa dan dari-mana sumbernya.
“Lebih rumit memilih apa yang hendak dipilih, daripada tidak memilih!” Suara kedua yang juga entah siapa menyahut.
“Hahaha! Panah kefanaan. Hehehe! Fana kepanasan. Luar biasa… heiheee!” Suara tiga seperti tak mau kalah, ikut menyuarakan.
Tak lama setelah ketiga suara itu bersuara, pecahlah suasana. Pecah dalam keadaan hampa. Hampa dalam keadaan bising. Bising dalam keadaan gelap. Gelap dan rahasia.
“Apakah benda-benda di dunia ini semua sudah mempunyai nama, dan tak ada yang tanpa nama? Yooo! Yoi gak?”
“Apa yang sedang dipikirkan? Pikirkan saja apa yang tidak dipikirkan! Coba pikirkanlah…”
“Hettt! Siapa mesti bagaimana? Kenapa dan kapan terjadinya?”
“Dalam dunia ujung tak ada ujung dunia. Yang menjunjung pun tak ingin mengunjungi.”
“Polusi-polusi udara di persimpangan jalanan, revolusi-revolusi di zaman pertengahan: sama dengan korupsi dan penindasan dihalalkan.”
“Tabik! Bersitabik! Menabiklah!”
“Tanam rohani di benih bunga, berkembanglah kasih dan cinta. Anjay.”
Stop! Berisik! Siapa kalian? Berisik! Dari-mana kalian ini? Berisik sekali!.
Atak hanya dapat mendengar, namun tak melihat suara itu timbul dan datang dari mana. Ia seperti bermimpi, namun tak bermimpi. Ia sadar mendengar suara itu, namun tak melihat bentuk-rupa serta suara siapa sebenarnya yang berhamburan di telinganya itu. Semakin ia ingin suara itu berhenti, semakin jadi suara itu meneruskan segala suaranya yang berbeda nadanya, berbeda kata-katanya. Berbeda dari perbedaan-perbedaannya, seperti bhineka tunggal ika.
“Hidup adalah untuk memakan makna! Terus memakan padi dan memaknai duri…”
“Bukankah persoalan reformasi akan spele jika didengar oleh lele?”
“Lawan segala bentuk tanda-tanda dan perampasan yang tertunda. Awuuuu!”
“Sudahlah! Bersihkan hati dari debu. Hati berdebu hendak membuat pilu.”
“Jalan-jalan bercabang, juga berakar. Cabang-cabang akar berjalan-jalan, menempuh pematang di pegunungan.”
Stop! Sudah kubilang stop! Dari mana asal suara kalian ini? Mengapa pula gelap seperti ini?.
Atak semakin jengkel mendengar suara-suara yang berhamburan tak jelas bentuk-rupanya itu. Namun suara itu malah menimpalinya, seperti hendak mengajak perdebatan panjang gaya pos ronda, di ruang rapat negara, di riungan-riungan kebudayaan kota dan desa.
“Akulah aku-mu dari aku-nya. Aku dalam diri-mu jauh dari apa yang tak pernah terlihat mata.”
“Akulah hidupmu! Akulah hidup-nya! Akulah ku-mu-nya dari diri-diri.”
“Aku bahkan nana-mu, nini-mu, nono-mu. Kaka-mu, kake-mu, kaku-mu. Daaan seteeerusnyaaa…”
Jangan bercanda! Siapa kalian sebenarnya?.
Suara Atak nyaring-bergema, ditekan dengan intonasi dan mimik kesalnya.
“Baiklah, mari kita serius. Kami adalah judul. Judul-judul juga sering menjadi kami. Bahkan Kami pun sering dan selalu membuat judul-judul itu.”
“Lalu kami membuat kami-kami yang lain. Mulanya perdamaian, selanjutnya peperangan, penindasan, perebutan, dan akhirannya kembali pada kedamaian.”
“Kami juga senang mengumbar, merekam, menuliskan kami-kami yang menjadi kalian. Kami dan kalian sering dikumpulkan dalam wadah yang bernama Siber! Tapi ingat, bukan Siberia. Atau bukan juga siberita.”
Siber? Apa maksud dari siber itu? Bermakna apa siber itu? Semacam perkumpulankah? Ormas hajatankah? Atau semacam simbol Negara?.
Atak sedikit meredam kesalnya, mencoba sabar menghadapi labirin yang sedang dihadapinya.
Stop! Siapa kamu? Dari tadi tengah aku lihat pergerakanmu. Mengakulah. Narator atau penulis kamu? Sekarang aku tak mau ada yang mengintai atau mencoba memainkan cerita.
Ha? Mengapa kamu mengetahui keberadaanku, Atak? Kalau kamu tak mau aku mainkan, bagaimana cerita ini berlanjut? Mau selesai sampai di sini?
Biarkan saja mengalir! Biarkan saja bising seperti suara-suara yang berhamburan tak menentu itu!
Oke, baik. Apa yang kamu mau sekarang, Atak? Suara-suara itu tak akan berhenti, walaupun kamu meminta dengan amat sangat, sampai berlutut kepala pundak kaki pun.
Tak apa, biarkan saja. Suara mesti menjadi suara, sesekali mesti menjadi prahara.
“Lihat, lihat! Mereka berdua tengah mempersoalkan sesuatu yang rumit.”
“Hahaha! Narator tengah diteror. Penulis tengah digubris. Dan si Atak meneror dirinya sendiri. Heihee!”
“Menarik dan menegangkan sekali! Ini telah melampaui lampauan-lampauan dunia imajinasi. Menarik dan menegangkan!”
Dengar sendiri, Atak. Dengarlah pakai telingamu itu. Mereka, suara-suara itu mulai mempermainkan kita.
Biarkan saja. Sudah kubilang biarkan saja! Mereka mungkin tak sadar akan rahasia dirinya. Tadi saja mereka tengah membocorkan rahasianya, yang mereka sebut: Siber!
Siber. Siber menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem komputer dan informasi, atau dunia maya. Mengerti-kah kamu akan hal itu?
Siber? Apakah siber nama lain dari terminal kata-kata? Yang tengah aku cari mengenai tempat peristirahatan dan tempat berkumpulnya kata-kata?
Atak, apakah sekarang kamu sedang bermimpi? Atau dirimu bodoh sekali? Aku sudah mengantarkan cerita dengan pembukanya. Begini: Gelap, namun bising. Seperti hampa dalam mata, namun ramai terdengar oleh telinga. Kotak kecil, persegi, persegi panjang, juga lonjong, tersentuh-sentuh dalam tombol-tombol klik, mementaskan layar perasaan dan pikiran. Mimpi. Ilusi. Apakah kamu tak menyadari itu?
“Lihat, lihat! Mereka mencoba menyadarkan satu-sama-lain. Satu-sama-lain ingin menyadarkan keadaan. Tapi keadaan sudah dimiliki waktu. Dan waktu enggan berbagi dengannya.”
“Hahaha! Amburadul. Hehehe! Rumit. Haiheee! Meluas-luas.”
“Kita saksikan saja lelucon mereka. Ya, mari kita saksikan bersama. Kebersamaan kita akan membuat mereka tak akan bersama.”
Oke, oke, aku menyerah! Kamu jadilah narator kembali. Juga kalian semua, jadilah tokoh cerita yang baik dan patuh, jangan bandel seperti ini dong! Dengarlah, dengarlah. AKU MENYERAH……!
“Lihat, lihat! Si Atak menyerah. Menyerah dalam kebingungan yang teramat dangkal!”
“Hohoho! Atak tak sanggup mengikuti labirin rahasia. Huhuhu! Si Atak menyerah dalam pencarian penasarannya mengenai perjalanan kata-kata bagaimana tuntasnya. Yeaaah..”
“Apakah dunia misteri akan sampai di sini saja? O, misteri. Ya, misteri…”
Oiiiiii, sudah, sudahi suara kalian! Atak sudah mengibarkan bendera putihnya, yang pertanda menyerah dan mengaku kalah. Maka, cerita kembali pada mulanya. Mulanya adalah pengantar sebuah cerita, dan cerita ini akulah yang membangunnya. Kalian beristirahatlah. Pulanglah kembali pada lembar-lembar buku yang lawas dan lusuh, juga kepada buku-buku yang baru dan kekar. Tunggulah di rak-rak berdebu, sampai kita menemukan Atak-atak selanjutnya.
“Eitsss, baiklah! Kami sekarang tengah berkumpul di ruang baru. Kami punya ruangan baru. Ruangan tanpa rayap dan debu. Kami sekarang bersih dan rapi. Ruang kami hampa tanpa nada, namun tak juga bisu. Ruang Siber! Tapi ingat, bukan Siberia atau bahkan Siberita.”
Gelap, namun bising. Seperti hampa dalam mata, namun ramai terdengar oleh telinga. Kotak kecil, persegi, persegi panjang, juga lonjong, tersentuh-sentuh dalam tombol-tombol klik, mementaskan layar perasaan dan pikiran. Mimpi. Ilusi.***
Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.