Kegelisahan, Hiburan

gambar. AI


Tanda bahwa kita tidak tahan ujian masa kini ialah, kehidupan modern dengan kejam telah membunuh kegelisahan. Maka punahlah berpikir. Kesadaran timbul tenggelam, setiap saat bisa dimatikan. Tata nilai berantakan, kepribadian porak-poranda, paradigma mengabur, lalu sempurnalah keburaman pandangan, dan hiburan kembali berekspansi secara besar-besaran. Bencana manusia ini sederhana sekali.

Ditambah lagi nasib masyarakat di era teknologi ini babak-belur dihajar oleh dusta, penipuan, pencurian, judol, dan pinjol. Sampai-sampai lembaga eksekutif pun ikut terlibat dan terkait kasus “judi online” di lingkungan kementriannya.

Lantas, “Bagaimana aku akan bisa membaca keadaan ini? Bagaimana mesti aku mengerti bahasa bising dari bangsaku kini?” tanya sajak Rendra.

Sedangkan kita belum terbiasa melihat konteks segala sesuatu dalam berbagai hubungan dan menurut segala macam aspeknya. Belum berlatih meragukan apa yang ditatap dan apa yang sudah mapan. Belum ditumbuhkan dengan kesangsian selalu. Seolah-olah juga belum percaya pada dunia anggapan yang sedemikian relatif ini. Yang kesemuanya bergantung pada waktu, sebab, lingkungan, keadaan, kebiasaan, dan tujuan.

Kegelisahan itu menjadi ciri paling menonjol dari kehidupan modern. Ia menampakkan, sebagaimana kata sajak Umbu, “harapan dan impian, yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi, dan kedua tangan.” Ia merangsang urat saraf. Menyulut berbagai pemikiran, pandangan, dan permenungan yang mendalam; akan pencarian nilai-nilai dan pelarian kepada kenikmatan lahir-batin. Yang lebih hening, di alam kewajaran, dan harus ditemukan secara pribadi pula, yang terutama lebih positif sifatnya, seperti dalam sajak-sajak yang membuat tersentuh, misalnya.

Di samping keberlimpahan sajak-sajak yang mengalami kelesuan, seperti tidak bersemangat lagi, yang hanya dihasilkan menurut kebiasaan dan rutinitas, dan bukan hasil ciptaan yang bersenyawa. Memang tidak semua puisi dapat mengubah seluruh diri, namun setidaknya sajak mengandung modus taraf hidup yang menyadarkan diri. Terkadang ia seperti menawarkan pandangan-pandangan yang berani mendobrak kebiasaan-kebiasaan yang sudah beku dan stagnan. Sekaligus memaksa kita untuk membayangkan diri sewajarnya sebagai sesama makhluk hidup, yang dengan sadar atau tak sadar kita upayakan bersama agar menemukan aksentuasi dan ekspresi yang setepat-tepatnya atau universal dalam alam persajakan.

Sebab, kehidupan modern semakin sarat dengan kepuasan diri yang mengerdilkan, dan menyempitkan pandangan ke depan atau ke belakang. Kita membutuhkan lebih banyak hiburan daripada puisi. Kita enggan berkenalan dengan puisi. Seringkali menolak perjumpaan dengan puisi. Dan tidak ingin mengalami—meski sebentar saja—bersentuhan dengan puisi. Karena di dalam puisi, yang kita temukan hanyalah sumber kegelisahan diri: kita mengingat tekanan kerja, masalah hutang, ketidakpastian hidup, trauma dari pengalaman, sakit hati, kesedihan menggunung, gugusan ketakutan, kecemasan berantai, kekhawatiran membeludak, dan bertumpuk-tumpuk kekecewaan.

Seringnya kegelisahan itu dibunuh dalam hiburan-hiburan yang melupakan lagi melenakan, sekalipun hanya untuk sementara. Hiburan jasmani ini tak lain ialah, tiktok yang selalu membukakan diri, sehingga kita lebih gampang terbelenggu—seolah-olah seperti telah melarikan diri dari kenyataan, padahal kita sedang terperangkap di dalamnya. Karena, “hasil scan otak para responden penelitian yang menggunakan aplikasi TikTok secara teratur, menunjukkan respons seperti kecanduan, dan beberapa subjek penelitian bahkan tidak memiliki cukup kontrol untuk berhenti menonton,” demikian menurut Dr. Jessica Griffin.

Hal di atas juga selaras dengan apa yang disebut oleh Emerson bahwa hiburan itu berupa “a contemporary suicide.” Bunuh diri kontemporer. Bunuh diri yang lebih dari sekedar mematikan fisik. Kita bersama telah dengan sadis melakukan pembunuhan secara massal. Meracuni kesadaran. Membunuh karakter. Menyakiti kepribadian. Menembak mati empati di tempat. Mencabik-cabik perasaan. Memenggal kepala berpikir. Menikam di kedalaman hati. Yang membuat kita tak ubahnya seperti mayat-mayat yang gembira.

Mesti ke manakah kita berjalan? Bukankah langkah hidup haruslah jelas?

“Aku berjalan tanpa tujuan di dalam hutan,” ucap sajak Rendra. “Aku akan masuk ke dalam hutan. Lari ke dalam hutan. Menangis ke dalam hutan. Karena mereka telah memisahkan kami…” tambahnya dalam sajak yang lain, “Aku pulang. Setelah mati di dalam hutan, dan hidup kembali.” Kegelisahan telah menagihnya untuk mengambil sikap antara mati lebih cepat atau harus menghadapi berbagai tantangan. Ia bisa melemahkan sekaligus menguatkan. Ia bisa membunuh atau membuat hidup menjadi lebih dihidupi karenanya.

Sebagaimana dalam sekolah hutan telah diajarkan tentang kehidupan soliter itu. Tinggal kita, mau atau tidak mau, untuk membuka diri terhadap pembelajaran-pemaknaan, misalnya, induk harimau harus kejam untuk bersikap baik pada anaknya. Mereka (anak-anak harimau itu) harus percaya bahwa sewaktu-waktu induknya akan membunuh mereka, jika mereka terlalu dekat, dan selalu menunggu hasil buruan agar bisa dinikmati bersama.

Sampai tibalah saatnya untuk kali pertama dalam hidup mereka, induk mereka tidak memberinya makanan. Awalnya, mereka tak mengerti apa maksud dan pesan induknya. Sedangkan, induknya tidak punya pelajaran lagi untuk diberikan, karena segala hal-ihwal mengenai perburuan dan bertahan hidup sudah tunai plus tuntas diajarkan kepada mereka. Dan ini ialah gambaran dari kehidupan soliter yang mereka jalani.

Seakan-akan sudah waktunya bagi mereka mengalami semuanya sendiri kegelisahan tentang pelajaran menangkap mangsa daripada terjebak dalam hiburan-hiburan mandi lumpur tapi tak bisa menghindari serangan ular piton, buaya, dan harimau jantan yang kelaparan!

Yogyakarta, 6 November 2024