ilustrasi: AI
Sebelum masuk ke persoalan pemetaan administratif tentang bagaimana ketersediaan dan apa kekurangan pelayanan publik di wilayah (calon DOB) Kabupaten Bogor Barat, diperlukan kepastian gambaran wilayah yang akan menjadi titik Pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor Barat itu sendiri. Dari kedua nominasi pilihan, sebagaimana bahasan sebelumnya dalam edisi Geografis, Kecamatan Cigudeg dan Kecamatan Rumpin adalah wilayah terpilih untuk dijadikan pusat. Namun, jika kita melihat Perda No 1 Tahun 2024 tentang RTRW Kabupaten Bogor 2024-2044, di situ (masih) ditetapkan Kecamatan Cigudeg sebagai calon Pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor Barat. Maka, sebagai pintu gerbang ke arah bahasan pemetaan administratif, perlulah kita sepakati terlebih dahulu, khususnya dalam catatan ini, akan dipilih Kecamatan Cigudeg sebagai gambaran Pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor Barat. Dengan begitu, pembahasan pemetaan administratif ini akan terarah secara sistematis, runtut, dan merefleksikan.
Berbicara mengenai administratif, kami teringat bahasan Dr. Bhakti Nur Avianto (Filsafat Administrasi. 2021), yang menguraikan pengertian filsafat administrasi sebagai proses berpikir secara matang, terstruktur, dan mendalam terhadap suatu hakikat dan makna yang terkandung dalam materi ilmu administrasi. Disadari atau tidak, sejauh pemahaman kami, sesungguhnya ilmu administrasi memfokuskan diri terhadap aspek manusia, terutama pelaksanaan aktivitas, dilakukan secara kerjasama. Dalam mewujudkan kerja sama itu diperlukan kematangan pengaturan dan ketertiban dalam keteraturan agar upaya pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dapat terwujud dengan baik dan memuaskan dari seluruh elemen yang terlibat.
Dengan begitu, bisa kita kerucutkan bahwa, pengertian administrasi, dalam hal ini administrasi publik juga mengupayakan bagaimana proses penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat kolektif menjadi kegiatan pemerintahan yang bersifat manajemen: perencanaan, pengorganiasian, pelaksanaan, pengawasan pembangunan—dengan mekanisme kerja dan dukungan sumber daya manusia—serta dukungan administrasi atau tata laksananya. Dalam mekanisme kerjanya juga diperlukan partisipasi stakeholders pembangunan, sumber daya manusia sebagai penyelenggara disokong oleh stakeholders yang berkualitas. Maka secara garis dan basis ontologi, penguatan itu akan terjadi sebagaimana mestinya dalam bangunan yang kokoh—serta menjadi satu kesatuan yang utuh dalam pengembangan tata kelola administrasi publik.
Pada persoalan pemekaran DOB Kabupaten Bogor Barat, Komite Persiapan Pemekaran melalui Aliansi Masyarakat Untuk Pemekaran Bogor Barat (AMUK BOBAR) telah mendeklarasikan tiga poin landasan utama dalam bentuk piagam tuntutannya. Keterkaitan dengan pembahasan ini ada pada poin kedua (atau B) piagam tersebut, yaitu menyoal pada ketimpangan pemerataan pembangunan sebagai sarana prasarana pelayanan dasar seperti bidang kesehatan, pendidikan, dan keamanan yang tidak sebanding dengan luas dan jumlah penduduk Bogor Barat. Kami akan coba memaparkan lebih jelas informasi terkait hal tersebut sesuai dengan data yang kami dapat dan kenyataan yang tergambarkan.
Selain itu, kami juga akan menggambarkan bagaimana potret-potret lain tentang peningkatan pelayanan publik yang seharusnya lebih efektif, jika daerah Bogor bagian Barat ini bisa memiliki pemerintahan sendiri. Kita coba lihat dampak dari jauhnya pengawasan dari pusat pemerintahan daerah terhadap kehadiran pemerintah sendiri dalam melayani masyarakat, terkhusus pada pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Namun, tidak menutup kemungkinan pelayanan (sebagai bentuk kehadiran pemerintah di tengah masyarakat) dapat pula dibahas prasarana ketersediaan dan kekurangannya. Misal saja, bagaimana keluh kesah masyarakat dalam hal pelayanan keadministrasian penduduk dan pelayanan publiknya.
Simpul Pelayanan Publik Kesehatan
Untuk mengetahui keluh kesah masyarakat menyangkut keadministrasian penduduk dan pelayanan publik, dalam sub ini akan coba kami bahas bagaimana gambaran pelayanan kesehatan. Kita akan mulai dari bagaimana WHO (World Health Organization atau Badan Kesehatan PBB) memberikan angka rasio perbandingan satu tempat tidur rumah sakit berbanding dengan seribu penduduk. Kabupaten Bogor sendiri memiliki jumlah tempat tidur di 29 rumah sakit (swasta dan pemerintah), 107 Puskesmas, 121 Puskesmas Pembantu (Pustu), dan 202 klinik, ditambah satu cikal bakal RSUD Parung yang baru beroperasi sebagai klinik rawat jalan, dengan jumlah tempat tidur 4.120 unit. Jika melihat perbandingan jumlahnya dengan rasio jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebesar 5,4 juta jiwa, maka jumlah tersebut jelas sangat kurang. Secara garis besar, kita akan melihat bagaimana Kabupaten Bogor sendiri kekurangan 1.257 tempat tidur rumah sakit. (Baca: Jauh Di Bawah Standar WHO, Kabupaten Bogor Kekurangan 1.250 Tempat Tidur Rumah Sakit, Pakuanraya.com, 2024).
Hitungan di atas jelas mengukur taraf perbandingan rasio yang ditetapkan WHO, belum pada pemerataan sejumlah pelayanan kesehatan tersebut dengan kebutuhan masyarakat Kabupaten Bogor serta persebaran yang sangat luas. Artinya, memungkinkan sekali masyarakat akan beralih pada pelayanan kesehatan dari daerah lain seperti ke Kota Bogor, Tangerang, Lebak, Sukabumi, Depok, Bekasi dan Jakarta, tergantung wilayah mana yang sangat dekat dengan hunian masyarakat. Jika ditanya kepada masyarakat Tenjo atau Parungpanjang misalnya, apakah mereka akan memilih menuju RSUD Leuwiliang atau Cibinong, atau mereka akan menuju rumah sakit terdekat dari hunian mereka, semisal di Tangerang atau bahkan Serang? Persoalan itu tentu saja mereka sendiri yang mempunyai jawaban dan kesanggupannya!
Hal itu sejalan dengan laporan bogor-kita.com, tentang warga Parungpanjang yang sudah sangat membutuhkan sarana pelayanan kesehatan berupa rumah sakit (Baca: Warga Parungpanjang Minta Rumah Sakit. 2022). Pemkab Bogor yang sejatinya sudah ada aset dari fasilitas umum dan fasilitas sosial seluas 8.000 meter di wilayah Parungpanjang, namun masih terkendala anggaran untuk membangun fasilitas kesehatan berupa rumah sakit umum di sana. Bahkan, sempat ada rencana dari PMI untuk membangun rumah sakit umum di Parungpanjang dan sempat menjadi angin segar di balik angin berdebu di sana. Namun sekali lagi, hal itu terkendala anggaran. Pemkab Bogor terus mengupayakan pembangunan rumah sakit dengan menggaet investor swasta yang bekerja sama dengan Pemkab Bogor, namun hingga sekarang masih belum jelas keberlanjutan upaya ini. Tentu, solusi bagi masyarakat sekitar yang membutuhkan layanan kesehatan yaitu memanfaatkan fasilitas yang bisa dijangkau, seperti ke wilayah Tangerang, walaupun jaraknya bisa belasan sampai tiga puluh kilometer. Melihat gambaran ini, tentu akan menjadi pekerjaan rumah yang menanti bagi calon DOB Kabupaten Bogor Barat, yaitu meninjau persoalan yang dihadapi masyarakat di bidang kesehatan, yang bahkan sekelas Kabupaten Bogor saja masih menghadapi kendala dan membuat citranya di masyarakat sekitar sangat jauh dari harapan.
Memang, tidak mudah untuk mengatakan bahwa pelayanan kesehatan seperti di atas sebagai kesimpulan bahwa Kabupaten Bogor sangat berkekurangan. Kehadiran pemerintah dalam hal pelayanan kesehatan masyarakat pasti sudah semaksimal mungkin dengan jumlah puskesmas yang banyak serta puskesmas pembantunya. Persoalannya adalah apakah pelayanan yang ada di setiap kecamatan yang diwakili puskesmas mencukupi terkait pelayanan permasalahan kesehatan yang kompleks seperti ICU, ICCU, NICU, laboratorium pelayanan kesehatan khusus atau spesialis, dan lain sebagainya? Tentu mereka membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih lengkap dan besar semisal klinik atau bahkan rumah sakit. Hal itu kemudian jadi pertanyaan, apakah jarak hunian masyarakat dengan fasilitas rumah sakit (memadai) yang ada dan dibutuhkannya sudah merata?
Sejauh ini, pemerintah Kabupaten Bogor juga telah berupaya hadir di kehidupan masyarakat dan bidang kesehatannya dengan mengadakan mobil siaga di desa-desa. Walaupun ketersediaan mobil tersebut juga bukan hanya diperuntukan dalam membantu pelayanan kesehatan, namun mobil ini kerap digunakan untuk aktivitas urgensi desa lainnya. Setiap mobil siap melayani masyarakat yang membutuhkannya untuk membantunya menempuh jarak yang jauh menuju fasilitas kesehatan yang dituju. Sekali lagi, jika berbicara efektivitas satu mobil per-desa ini, yang diharuskan melayani ribuan masyarakat di desa, tentu sangat tidak sebanding. Belum lagi, kadang mobil ini sulit (masyarakat sungkan atau sulit aksesnya?) bersentuhan dengan masyarakatnya. Bahkan, kadang-kadang aneh dan ajaibnya ada saja oknum-oknum yang menggunakan fasilitas ini untuk kepentingan lain seperti liburan dan berwisata (Baca: Mobil Siaga Dipakai Wisata Plt. Bupati Bogor Geram, Lead.co. 2022). Alhasil, banyak orang yang meragukan fasilitas mobilitas warga ini dalam hal efektivitas pelayanannya kepada masyarakat, termasuk dalam membantu mobilitas mengenai kesehatan,
Katakanlah, Bogor Barat telah resmi menjadi DOB, permasalahan akan muncul kemudian jika pemerintah DOB Kabupaten Bogor Barat tidak sigap dalam menyikapi soal peningkatan pelayanan kesehatan—yang menjadi salah satu tuntutan penting masyarakat, tentu itu akan memicu konflik baru. Jika berbicara data, DOB Kabupaten Bogor Barat dengan 14 kecamatan-nya memiliki fasilitas kesehatan sejumlah 36 Puskesmas dan Puskesmas pembantu, juga tiga rumah sakit yang tersedia (BPS Kab. Bogor, 2023). Dengan jumlah itu, jelas pasti belum mencukupi rasio yang ditetapkan WHO. Pasalnya, persebaran sarana prasarana yang ada di wilayah barat Kabupaten Bogor ini jelas sangat sedikit. Meskipun di data rumah sakit menurut BPS Kabupaten Bogor terdapat tiga rumah sakit umum yang berada di wilayah barat Kabupaten Bogor. Rumah sakit tipe C yang berada di barat berjumlah 3 yaitu: RS Karya Bhakti Pratiwi, RS Asy Syifa Leuwiliang, (dan RS Medika Dramaga yang secara administrasi terdaftar di Kota Bogor menjadi salah-satu opsi bagi masyarakat Kabupaten Bogor wilayah barat dan sekitarnya), sedangkan tipe B hanya ada di RSUD Leuwiliang, yang keempatnya RS itu berpusat pada jalur utama jalan Dramaga ke Jasinga.
Bayangkan saja, jika masyarakat Sukajaya, Tenjolaya, Pamijahan, Parungpanjang, Nanggung, Tenjo, Rumpin, dan Jasinga akan berobat ke rumah sakit-rumah sakit di atas tersebut, mereka tentu akan menempuh jarak yang jauh untuk mencapai titik-titik pelayanan masyarakat yang memadai. Hal ini menjadi persoalan lain di luar rasio perbandingan jumlah tempat tidur rumah sakit dan jumlah penduduk DOB Kabupaten Bogor Barat, nantinya. Selayaknya, hal yang menjadi tuntutan dan menjadi salah satu fokus utama pembangunan nantinya—dengan juga memikirkan jarak pelayanan kesehatan tersebut dengan masyarakat sekitar yang mengelilinginya. Misalkan, pemerintah segera membangun rumah sakit tipe C yang dapat mencakup dan melayani masyarakat yang selalu mengeluhkan jauhnya pelayanan kesehatan tersebut.
Maka, untuk melengkapi kekurangan fasilitas kesehatan bagi masyarakat wilayah Bogor bagian barat, calon DOB Kabupaten Bogor Barat harus menyiapkan atau menyediakan fasilitas kesehatan berupa rumah sakit C setidaknya dua buah, dan rumah sakit B setidaknya satu buah. Mengapa demikian? Mari kita bandingkan. Jika merujuk data rumah sakit yang termasuk pada DOB Kabupaten Bogor Barat di atas, setidak-tidaknya hanya akan memenuhi rasio perbandingan WHO sekitar 400.000 sampai 800.000 jiwa—ketika dibandingkan dengan ketersediaan tempat tidur rumah sakit yang ada. Sejatinya, hitungan itu berasal dari 36 Puskesmas yang diperkirakan memiliki minimal 10 buah tempat tidur, dua rumah sakit umum tipe C yang minimal memiliki 100 tempat tidur, dan rumah sakit tipe B yang minimal memiliki 200 tempat tidur. Dan jika pada awal berdirinya DOB Kabupaten Bogor Barat, sekurang-kurangnya mesti merencanakan untuk setidaknya membangun dua buah rumah sakit umum tipe C dan satu buah rumah sakit umum tipe B, maka angka rasio akan bertambah setidaknya 400.000 jiwa (1,2 juta jika dijumlahkan dengan data sebelumnya). Itu pun masih dirasa kurang dengan jumlah penduduk DOB Kabupaten Bogor Barat yang diperkirakan mencapai 1,6 juta.
Persoalan di atas belum mencakup persyaratan lainnya yang banyak dibahas dalam Permenkes No. 3 Tahun 2020, Permenkes No. 340 Tahun 2010, dan Permenkes No. 24 Tahun 2016. Peraturan-peraturan tersebut jelas membahas standarisasi dalam hal pembangunan, kriteria rumah sakit, standar pelayanan, tenaga medis, dan sarana prasarana pelayanannya. Yang perlu digaris-bawahi yaitu salah satunya pada pemilihan lokasi yang juga diatur pada permenkes di atas. Pemilihan lokasi ini bergantung pada seberapa mudah rumah sakit ini dapat diakses masyarakat, ketersediaan lahan parkir, jaringan infrastruktur, bebas dari kebisingan, polusi, dan gangguan lainnya, termasuk kerawanan bencana. Belum lagi, pemilihan lokasi rumah sakit juga harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah atau Tata Bangunan Lingkungan kabupaten dan kota setempat. Juga, peruntukan lahan untuk rumah sakit pun harus diperhatikan dan menjadi syarat yang harus dipenuhi (Baca: Rumah Sakit Tipe C di Kecamatan Pontianak Utara, Jurnal Mosaik Arsitektur Vol. 10 No. 2 Tahun 2022).
Sejauh pengamatan kami, dari empat belas kecamatan yang masuk ke DOB Kabupaten Bogor Barat, dibarengi dengan tinjauan wilayah layanan kesehatannya, penyediaan layanan kesehatan baru berbentuk RS semestinya terbangun di Kecamatan Cigudeg dan Parungpanjang. Sebab, dari kedua kecamatan itu, kami melihat Kecamatan Cigudeg (135.373 jiwa) akan menjadi pusat pemerintahan, dan sebagai pusat tentu saja sudah selayaknya mempunyai pelayanan kesehatan yang memadai setidaknya rumah sakit umum tipe B, sekaligus dapat menjadi sentralitas untuk Kecamatan Sukajaya (67.988 jiwa), Nanggung (99.812 jiwa), Leuwisadeng (77.871 jiwa) dan Jasinga (107.493 jiwa) dalam menikmati fasilitasnya. Lalu Kecamatan Parungpanjang (118.727 jiwa) adalah wilayah yang sangat rentan untuk beralih memilih ke rumah sakit di Tangerang dan Tangerang Selatan—dibandingkan ke wilayah Leuwiliang dan Dramaga, atau wilayah Bogor bagian Barat lainnya. Maka pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan memadai di sana sangat diperlukan, ditambah dapat pula menjadi sentralitas bagi Kecamatan Tenjo (73.845 jiwa) dan sebagian warga Cigudeg yang berbatasan dengan Parungpanjang juga dapat menikmati fasilitasnya. Satu lagi, rumah sakit umum tersebut bisa ditempatkan di Kecamatan Rumpin (147.432 jiwa) yang dampaknya bisa dinikmati juga fasilitasnya oleh sebagian warga Kecamatan Leuwiliang (125.552 jiwa) dan Kecamatan Ciampea (170.206 jiwa) yang berbatasan dengan Kecamatan Rumpin.
Jika perencanaan untuk persebaran telah bisa dilakukan dengan kajian yang lebih lengkap dari sekadar asumsi di atas, maka pertanyaannya sekaligus langkah selanjutnya akan mengarah pada bagaimana keterkaitan rencana pembangunan rumah sakit tersebut dengan sejumlah peraturan pada Permenkes yang sebelumnya sudah dijelaskan? Apakah sejumlah kecamatan tersebut dapat memenuhi prasyaratnya? Yang pasti, aksesibilitas menuju rumah sakit harus lebih dulu direncanakan dengan mempertimbangkan lahan mana yang mungkin bisa menjadi tempat berdirinya rumah sakit tersebut. Namun jika dilihat dari kepemilikan aset dan jumlah lahan kosong, kami melihat ketiga kecamatan tersebut tentunya memenuhi syarat. Dan jelas, pertimbangan kemitigasian dan perencanaannya harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang akan dirumuskan oleh pemerintah DOB Kabupaten Bogor Barat. Sekompleks inilah jika suatu pemerintah daerah akan membangun rumah sakit umum daerah atau memberikan izin pembangunan rumah sakit kepada swasta.
Setidaknya, pembangunan dan pengadaan rumah sakit umum ini harus masuk kepada rencana pembangunan jangka pendek dan menengah, karena fasilitas ini yang juga sangat dibutuhkan dan didambakan oleh masyarakat di wilayah barat Kabupaten Bogor hari ini. Jika tidak, kita bisa bayangkan betapa kecewanya masyarakat DOB Kabupaten Bogor Barat jika yang dituntutnya dan disodorkan sebagai keluhan kepada Pemkab Bogor hari ini, juga tidak bisa diselesaikan sendiri oleh dirinya ketika sudah mandiri. Yang ada, masyarakat tetap tak dapat merasakan apa dampak pemekaran ini secara langsung dan nyata, khususnya di bidang pelayanan kesehatan. Semoga saja, di tengah minimnya anggaran karena beban memekarkan suatu wilayah yang tentu tak semurah dan semudah apa yang dibayangkan, calon DOB Kabupaten Bogor Barat tetap mengedepankan unsur-unsur pelayanan kesehatan, pendidikan, dan juga keamanan, sebagaimana salah satu poin dari apa yang diharapkan dan menjadi tuntutan masyarakat Bogor Barat.
Simpul Pelayanan Publik Pendidikan
Setelah membahas pelayanan sektor kesehatan yang begitu penting sekaligus kompleks persoalannya, pelayanan pendidikan juga tak kalah penting bahkan juga tonggak dalam unsur keadministrasian pelayanan publik. Pertanyaannya, bagaimana pelayanan pendidikan, baik ketersediaan sekolah tiap kecamatan, fasilitas-fasilitasnya, dan tenaga pendidiknya di wilayah calon DOB Kabupaten Bogor Barat? Namun sebelum masuk ke hal itu, sebagai salah satu tuntutan masyarakat dengan dasar bahwa pemerataan dan persebaran sarana prasarana pendidikan di wilayah barat Kabupaten Bogor, mari kita tilik terlebih dahulu bagaimana kenyataan yang dimiliki Pemkab Bogor hari ini dalam hal pendidikan.
Mari kita lihat dengan saksama, fasilitas pendidikan di Kabupaten Bogor berupa sekolah berjenis negeri dan swasta, baik yang berafiliasi dengan Dinas Pendidikan ataupun Kementerian Agama (madrasah). Sejauh pencarian data sumber yang kami dapati, Kabupaten Bogor memiliki sekolah dasar negeri dan swasta berjumlah 1.901 sekolah (negeri 1.537 dan swasta 364) dan madrasah ibtidaiyah berjumlah 662 madrasah (negeri 2 dan swasta 660). Sedangkan sekolah menengah pertama negeri dan swasta berjumlah 779 sekolah (negeri 107 dan swasta 672) dan madrasah tsanawiyah berjumlah 358 madrasah (negeri 4 dan swasta 354). Kemudian jumlah sekolah menengah atas sebanyak 228 sekolah (negeri 45 dan swasta 183) dan madrasah aliyah sebanyak 136 madrasah (negeri 5 dan swasta 131). Selain itu, jumlah sekolah sekolah menengah kejuruan sebanyak 375 sekolah (negeri 11 dan swasta 364) dan sekolah luar biasa sebanyak 6 sekolah (negeri 1 dan swasta 5). Selain itu ada beberapa sekolah yang berbasis agama/teologi lainnya dan sekolah kerja sama yang memberikan warna menarik bagi dunia pendidikannya (diolah dari data referensi Kemendikbudristek, 2024).
Jika kita satukan jumlah total sekolah yang berada di wilayah Kabupaten Bogor, baik negeri, swasta, dan madrasah: dari tingkatan dasar, menengah, atas dan kejuruan, sekaligus sekolah berbasis agama/teologi, kurang-lebih akan berjumlah 4.445 sekolah (belum termasuk sekolah berbasis agama/teologi). Dari banyaknya sekolah yang berada di wilayah Kabupaten Bogor itu, jika kita mengacu pada kajian Wajib belajar 12 tahun dalam realita di wilayah Kabupaten Bogor oleh Yuliwati di Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (2023), kondisi akses pendidikan yang ada di wilayah Kabupaten Bogor, sangat tidak mendukung implementasi Wajib Belajar 12 Tahun. Hal ini dipengaruhi dengan adanya kebijakan otonomi daerah, pemberlakuan sistem zonasi saat PPDB atau memindahkan siswa sekolah wilayah lain. Sekolah yang berdekatan di satu lokasi, sementara di lokasi lain tidak ada sekolah, membuat akses pendidikan menjadi tidak imbang. Daya jangkau transportasi yang minim angkutan umum untuk wilayah terpencil dan tidak memiliki sekolah. Jumlah siswa yang tidak sesuai dengan jumlah sekolah yang ada pada satu kecamatan menjadikan akses pendidikan ini menjadi sulit. Kultur dan budaya yang mempengaruhi kegiatan belajar siswa, dilarangnya penggunaan teknologi, internet, dan sebagainya yang akhirnya meningkatkan angka putus sekolah dan tidak tercapainya implementasi 12 tahun.
Pengembangan Wajib Belajar 12 Tahun ini, sulit diwujudkan karena adanya pengembangan kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayah kecamatan tertentu disamakan dengan di kecamatan lainnya. Program-program yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kab. Bogor tidak tepat guna, seperti Beasiswa Pancakarsa yang diperuntukkan bagi pemuda yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, sedangkan kebutuhan untuk menyelesaikan Wajib Belajar 12 Tahun belum maksimal keberadaannya. Kebijakan-kebijakan yang belum tersosialisasi di masyarakat, tidak adanya edukasi yang dilakukan oleh pemangku kepentingan, tidak adanya koordinasi antara jenjang pendidikan sebelumnya dengan jenjang pendidikan yang ada di atasnya. Contoh paling sederhana, angka putus sekolah tidak ada koordinasi antara data jumlah lulusan tingkat SMP sederajat dengan jumlah daya tampung tingkat SMA sederajat, sehingga mudah untuk diketahui berapa yang tidak melanjutkan. Begitupun pada koordinasi-koordinasi yang berkaitan dengan yang diatur oleh pemerintah provinsi dengan pemerintah daerah. Seperti putus link data. Kebijakan dan program-program yang sudah dilaksanakan tidak adanya proses evaluasi dan pengukuran keberhasilannya. Apakah sesuai tujuan, rencana, anggaran, dan pelaksanaan dengan target sasaran keberhasilan tersebut. Hanya tiba-tiba terjelaskan, program ini tidak berhasil, kebijakan ini gagal, tanpa tahu penyebab, akibat, dampak yang dihasilkan sehingga bisa memberikan solusi dan keputusan terbaik untuk kebijakan atau program tersebut.
Mari kita lihat kenyataan dalam hal kajian APM (Angka Partisipasi Murni). APM merupakan cara untuk mengetahui banyaknya siswa yang bersekolah pada jenjang tertentu. Perhitungan APM dilakukan dengan menggunakan persentase dari perbandingan antara jumlah kelompok umur tertentu yang masih bersekolah dengan jumlah kelompok umur tertentu. Misalkan, kita lihat APM Tahun 2022: SD 95,92%. SMP 84,43%. SMA 48,44%. Dari data yang didapat dari BPS Kabupaten Bogor tersebut, kelompok umur SD (7-12 tahun) yang masih bersekolah dibandingkan dengan kelompok umur 7-12 tahun memperoleh angka persentase 95,92%. Artinya ada kelompok umur 7-12 tahun yang tidak sedang menempuh jenjang SD yaitu sebesar 4,08%. Begitu pula dengan SMP dan SMA yang memiliki persentase yang cukup besar yaitu ada 15,57% kelompok umur 13-15 tahun yang tidak sedang menempuh jenjang SMP, dan ada 51,56% kelompok umur 16-18 tahun yang tidak sedang menempuh jenjang SMA.
Selain kita dapat melihat jumlah anak yang bersekolah dari perbandingan APM, kita juga dapat melihat seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah memanfaatkan fasilitas pendidikan yang ada dapat dilihat dari persentase penduduk yang masih bersekolah pada usia tertentu yaitu dengan melihat Angka Partisipasi Sekolah (APS). APS Tahun 2021 di Kabupaten Bogor memiliki angka: 7-12 Tahun (SD) 99,77%. 13-15 Tahun (SMP) 91,46%. 16-18 Tahun (SMA) 55,52%. Melihat data tersebut, sampai pada tahun 2021, masih ada masyarakat yang belum memanfaatkan fasilitas pendidikan atau putus sekolah dengan rincian: kelompok umur SD sebesar 0,23%, kelompok umur SMP sebesar 8,54%, dan kelompok umur SMA sebesar 44,48%. Adanya kenyataan masyarakat yang belum bisa memanfaatkan fasilitas pendidikan menandakan adanya hambatan dalam pembangunan bidang pendidikan, utamanya yang berkaitan dengan jangkauan pendidikan bagi masyarakat yang juga dipengaruhi oleh hal ekonomi, ketersediaan fasilitas, dan juga akses/jarak masyarakat dengan fasilitas pendidikan yang ada. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2022).
Kemudian, setelah melihat jumlah total sekolah di Kabupaten Bogor, pertanyaan selanjutnya adalah, ada berapa banyak sekolah yang berada di wilayah DOB Kabupaten Bogor Barat? Sejauh pencarian data yang kami susuri, berikut kami susun-uraikan jumlah sekolah di wilayah Kabupaten Bogor bagian Barat: SD Negeri: 596. SD Swasta: 46. MI Negeri: 1. MI Swasta: 255 = total tingkatan dasar berjumlah 898 sekolah. SMP Negeri: 41. SMP Swasta: 191. MTS Negeri: 1 = total tingkatan menengah berjumlah 233 sekolah. SMA Negeri: 14. SMA Swasta: 41. MA Negeri: 2. MA Swasta: 42. SMK Negeri: 1. SMK Swasta 99 = total tingkatan atas berjumlah 199 sekolah. Maka, total keseluruhan sekolah dari dasar, menengah, dan atas di wilayah Kabupaten Bogor bagian Barat berjumlah 1.330 sekolah. Dengan jumlah sebesar itu tentu fasilitas pendidikan dirasa cukup untuk melayani penduduk usia sekolah (7-18 tahun atau tingkat jenjang SD, SMP, dan SMA). Namun, pertanyaannya bagaimana dengan pemerataan kehadiran fasilitas pendidikan tersebut, serta kualitas pendidik, tenaga kependidikan dan sarananya?
Kualitas pendidikan tentu akan dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang terkait berupa tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, kurikulum, dukungan eksternal, serta sarana prasarana yang tersedia. Jika berbicara jumlah tenaga pendidik dan tenaga kependidikan (ASN dan Non-ASN) sepertinya, DOB Kabupaten Bogor Barat masih bisa bernapas lega. Belum lagi, tingkat pendidikan para tenaga pendidik yang ada juga dirasa sudah cukup baik dan memadai. Namun hal itu terlepas dari linieritas dan kesejahteraan mereka yang harus terus diperhatikan untuk dapat terus mendukung peningkatan kualitas pendidikan yang akan melayani masyarakat nantinya.
Dalam permasalahan pemerataan kehadiran fasilitas pendidikan di lingkungan pemukiman penduduk, kita sejatinya bisa melihat sendiri atau menghitung rasio jumlah penduduk yang akan dilayani oleh instansi pendidikan tersebut. Mengapa demikian? Karena akan menjadi permasalahan baru jika hal ini tidak menjadi perhatian khusus. Adanya fasilitas pendidikan yang sepi dengan siswa beserta fasilitas pendidikan yang tak terawat akan menjadi efek domino kemudian. Kenyataannya, ada saja satuan pendidikan yang mengalami penurunan jumlah siswa atau minimal belum memenuhi/mendekati kuota maksimal pelayanan (khususnya sekolah swasta) sesuai dengan rasionalisasi dari peraturan yang berlaku, termasuk di wilayah DOB Kabupaten Bogor Barat. Hal ini bisa saja terjadi karena terlalu dekatnya lokasi atau keberadaan antar-fasilitas pendidikan tersebut, sedangkan sebagian warga tidak bisa mengaksesnya karena biaya transportasi dan akomodasi yang membebani mereka. Dan di daerah mereka tidak terdapat fasilitas pendidikan yang bisa mereka manfaatkan. Tentu ini harus menjadi perhatian serius bagi DOB Kabupaten Bogor Barat nantinya agar pelayanan dalam hal pendidikan dapat dirasakan setiap lapis masyarakat yang tersebar sampai ke pelosok daerahnya.
Pasalnya, fasilitas-fasilitas yang terdekat dengan masyarakat yang berada di pedalaman atau jauh dari pusat keramaian, memiliki kualitas yang kurang memadai. Misal saja di Kecamatan Nanggung, dilansir dari ritizen.republika.co.id. 2023, masih kurangnya tenaga kerja dan fasilitas pendidikan menjadi permasalahan yang umum di sana. Terdapat sejumlah sekolah yang memiliki sarana dan prasarana yang tidak mendukung pembelajaran di sekolah. Melansir data dari Kecamatan Nanggung pada tahun 2022 terdapat 9 Sekolah Dasar (SD) yang berstatus rusak berat dan 14 Sekolah Dasar (SD) rusak ringan. Persoalan itu sejalan pula dengan apa yang dialami SDN Parakanmuncang 01, kecamatan Nanggung, kondisi gedung belajar-mengajarnya yang sudah termakan usia. Bangunan tersebut sudah dibangun sejak 2018 silam, namun kondisinya sungguh memprihatinkan. Dengan jumlah murid 350 orang hanya memiliki 4 ruang kelas, dapat dipastikan hal itu tak akan membuat nyaman untuk proses kegiatan belajar-mengajar bagi guru dan peserta didiknya. Bahkan terlihat beberapa fasilitas gedung lainya mengalami kerusakan baik di bagian atap gedung, plafon sekolah serta beberapa fasilitas lainnya, hal tersebut tentunya sangat mengkhawatirkan serta mengganggu keselamatan para siswa dan siswi (rri.co.id. 2024).
Hal itu terbaca jelas, ketika masih banyaknya sarana prasarana sekolah yang belum layak di Kabupaten Bogor pernah menjadi sorotan anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor kala itu, Daen Nuhdiana (sundaurang.id. 2023). Minimnya sarana sekolah tersebut membuat miris karena berbeda dengan jargon Kabupaten Bogor itu sendiri: termaju. Nyatanya sarana prasarana dunia pendidikan di Kabupaten Bogor masih jauh dari harapan masyarakat. Maka, pemekaran DOB Kabupaten Bogor Barat ini memungkinkan dan tentu akan menjadi harapan bersama bahwa pemerintah baru itu akan memperbaiki pemerataan fasilitas pendidikan, baik di tingkat dasar maupun lanjutan, serta menyediakan lebih banyak tenaga pendidik berkualitas sesuai dengan linieritasnya, yang memadai melalui perencanaan dan peran dari pemerintah baru itu sendiri. Rentang kendali yang lebih pendek dan alokasi fiskal yang lebih merata itu sudah seharusnya menjadi modal dasar bagi peningkatan pelayanan bidang pendidikan pada suatu daerah, khususnya calon DOB Kabupaten Bogor Barat. Nantinya, mudah-mudahan, nilai APK dan APS yang menjadi salah satu tonggak keberhasilan pembangunan bidang pendidikan di DOB Kabupaten Bogor Barat dapat sesuai harapan. Artinya, masyarakat akan merasakan langsung dampak kehadiran pemerintah baru DOB Kabupaten Bogor Barat.
Refleksi Pembacaan Halimun Salaka
Ketika sudah menelusuri sedikitnya beberapa bahasan pada persoalan aspek kesehatan dan pendidikan di wilayah calon DOB Kabupaten Bogor Barat itu, refleksi pembacaan kami mengarah pada bagaimana persoalan jauhnya pelayanan publik kependudukan wilayah Kabupaten Bogor bagian Barat ke Pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor, menyebabkan kurangnya pemerataan pelayanan kesehatan maupun pendidikan, baik dari fasilitas maupun ketersediaannya. Jarak yang jauh antara pusat pemerintahan (Kabupaten Bogor) dan sebagian besar wilayah Bogor bagian Barat itu menjadi kendala utama dalam aksesibilitas pelayanan kependudukan. Masyarakat kecil, terutama yang tinggal-berumah di daerah terpencil misalnya, seringkali harus menempuh perjalanan yang jauh dan menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengurus dokumen seperti KTP, KK, akta kelahiran, dan sebagainya. Hal ini tidak hanya merepotkan mereka, tetapi juga berpotensi menimbulkan biaya tambahan bagi masyarakat. Sebab, walaupun sudah ada ketersediaan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) kependudukan di tingkat kecamatan, bahkan desa, kadang-kadang kurang melayani dan seringkali mengharuskan masyarakat memberi upah ongkos kepada pihak pelayan dari uang sakunya.
Itulah mengapa, selain fasilitas dan pemerataan pembangunan, jarak dan sentralitas menjadi pemicu utama tuntutan masyarakat akan DOB Kabupaten Bogor Barat. Dengan dipilihnya Kecamatan Cigudeg sebagai calon Pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor Barat, aspek sentralitas akan memberikan dampak pemerataan bagi kecamatan lainnya yang masuk ke calon DOB Kabupaten Bogor Barat. Selain itu, tingkat keamanan di Bogor Barat juga mesti menjadi perhatian serius, terutama di daerah-daerah yang jauh dari calon pusat pemerintahan (Kabupaten Bogor Barat). Kejahatan seperti pencurian, perampokan, dan tindakan kriminal lainnya masih sering terjadi. Kami rasa, untuk meningkatkan keamanan, perlu dilakukan beberapa langkah sekaligus upaya pemerintahan baru nantinya. Aspek keamanan ini juga menjadi salah satu poin tuntutan masyarakat Bogor bagian Barat untuk direalisasikan. Mungkin, dengan meninjau apakah tiap kecamatan di wilayah DOB Bogor Barat sudah memilih kantor/pos polisi, misalnya. Sepengetahuan penelusuran kami, kantor/pos polisi di wilayah calon DOB Kabupaten Bogor Barat belum merata. Contohnya Kecamatan Pamijahan, Kecamatan leuwisadeng, dan Kecamatan Sukajaya, merupakan bagian wilayah (calon DOB) yang tidak memiliki pos keamanan, menyebabkan masyarakat akan beralih ke kecamatan terdekat untuk sekadar mengadu apa yang terjadi di sekitaran mereka. Studi kasus itu membawa gambaran, selain kantor/pos keamanan tiap kecamatan, perlu juga meningkatkan jumlah personel keamanan dan frekuensi patroli, terutama di daerah-daerah yang dianggap rawan. Tidak kalah penting, perlu dilakukan pemetaan titik-titik rawan kejahatan dan juga bencana, sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan yang lebih efektif. Walaupun kita tentu sadar, persoalan itu juga perlu melibatkan masyarakat secara aktif dalam menjaga keamanan lingkungan melalui pembentukan ronda atau sistem keamanan lingkungan (Siskamling), dan sangat perlu adanya peningkatan penerangan jalan umum di daerah-daerah yang minim penerangan, karena kurangnya penerangan seringkali dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan.
Setelah merefleksikan tingkat keamanan, ketersediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan di Bogor Barat juga masih belum merata. Ketersediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan di calon DOB Kabupaten Bogor Barat nyatanya masih menjadi tantangan. Jika kita tinjau dari perspektif modal manusia-nya Adam Smith (dikutip dari Ensiklopedia Pendidikan Internasional Edisi Ketiga Tahun 2010), investasi dalam sektor kesehatan dan pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Namun, di beberapa daerah yang sudah kita bahas pada sub-bab kesehatan dan pendidikan, mengenai jumlah fasilitas kesehatan dan sekolah di beberapa daerah (pelosok-terpencil) calon DOB Kabupaten Bogor masih kurang, sementara di daerah lainnya (yang aksesibilitasnya baik) justru berlebih. Hal ini menyebabkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan menjadi tidak merata. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi, maka perlu dilakukan perhatian beberapa hal ketika Kabupaten Bogor Barat telah sah menjadi DOB: pemetaan dan pemerataan pelayanan publik.
Sebagaimana telah kami uraikan pada sub-bab di atas, pertama sangat diperlukan evaluasi terhadap distribusi fasilitas kesehatan dan pendidikan yang ada di wilayah calon DOB Kabupaten Bogor Barat, serta identifikasi daerah-daerah mana saja yang masih kekurangan fasilitasnya. Kedua, perlu adanya penambahan dan ketersediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan di daerah-daerah yang tertinggal-kekurangan, serta peningkatan kualitas sarana dan prasarana yang sudah ada. Ketiga, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan dan pendidik melalui pelatihan dan pengembangan profesional yang linieritas sesuai bidang pengampunya. Selain itu, perlu adanya pemanfaatan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, misalnya melalui pembelajaran jarak jauh atau penggunaan platform pembelajaran online interaktif dengan sekaligus bantuan secara berlanjut mengenai layanan internet, dan seterusnya – dan sebagainya.
Akhirnya, pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Bogor Barat diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada di wilayah bagian Barat Kabupaten Bogor, seperti ketidakmerataan pelayanan publik, terbatasnya anggaran, dan kurangnya perhatian dari pemerintah Kabupaten Bogor sebelumnya. Namun, pemekaran juga tentu membawa sejumlah tantangan ke depannya. Salah satu tantangan utama adalah ketersediaan anggaran. Pemerintah daerah baru perlu memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk membiayai seluruh operasional pemerintahan dan pembangunan. Selain itu, perlu adanya koordinasi yang baik antara pemerintah daerah baru dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Untuk memastikan keberhasilan pemekaran, perlu dilakukan perencanaan yang matang, melibatkan seluruh stakeholders, dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Dengan begitu, apakah masyarakat sudah meninjau jauh persoalan pemekaran itu secara matang dan mendalam? Lalu, apakah masyarakat juga telah menyadari bagaimana dampak buruk dan baiknya atas pemekaran itu sendiri sekaligus meninjau bersama-sama persoalan pemekaran secara matang dan mendalam?
Pada suatu waktu menziarahi Bogor: ruang hidup telah kembali ke akar dan kembali ke sumber!