Koboi Tanpa Kuda

Don Quixote and Horse Head – James Ensor (Belgian, 1860-1949)

Kali pertama menonton orang “menunggangi banteng”, kesan saya langsung jiper, tapi senang dengan itu. Yang saya ingat hanya ngeri, aneh, dan ingin berhenti menonton tayangan itu di televisi. Waktu itu saya masih belum mengerti kenapa liputan tersebut bisa muncul dalam berita olahraga? Apakah itu salah satu cabang olahraga atau semacam pertunjukan?

Apapun jawabannya, saya menolak menonton, kala itu. Saya tidak tertarik dengan tontonan seperti itu. Mungkin karena saya belum banyak menemukan ketertarikan pada sesuatu hal. Mungkin saya merasa itu sangat jauh dari kehidupan tempat saya bertumbuh. Mungkin saya memang penakut. Boleh dibilang pengecut terhadap hal-hal yang menantang gairah dan pesona. Itu dulu, tapi sekarang juga masih, mungkin.

Setelah saya mengorek pengalaman, pembelajaran, dan pemaknaan yang tak seberapa. Saya mendapati sesuatu yang dulu saya hindari, kini selalu punya cara untuk mendekatkan diri pada saya. Yang tidak ingin saya jumpai, malah lebih sering dipertemukan. Begitulah keajaiban hidup. Aneh tapi nyata. Ada fakta, dan ada hal yang benar. Yang terbalik tidak selalu tidak baik. Yang tidak enak belum tentu tidak sehat.

Lagu-lagu koboi, musik country, film-film western, pertunjukan matador, olahraga rodeo, ekspresi artistik, koboi puitik, dokumentasi sastra tak dikenal yang saya arsipkan, buku puisi dari para penyair yang tak dilirik yang saya baca, itu adalah diri saya. Itu semua terarah pada dunia koboi. Erat hubungannya dengan rodeo, matador, kuda, sapi, banteng, peternakan, hutan, sabana, lembah, ngarai, dan hal-hal lain yang membuat hidup tak jemu-jemu.

Dalam budaya koboi, rodeo itu olahraga kompetitif (bertahan di atas pelana selama 8 detik) menunggangi banteng, kuda, dan sapi. Sedangkan matador, pertunjukan monolog tubuh yang liat secara teknik dan gerakan dengan kain atau jubah merah plus pedang untuk mempermainkan banteng dan menuntaskan pertarungan. Keduanya indah nan elok, sekaligus sama-sama mematikan. Kadangkala juga membikin cedera sangat parah

Saya belum pernah melakukannya, apalagi mengalami intrik-konflik-problem kehidupan koboinya, tapi anehnya saya merasa menyukainya. Mungkin yang saya suka-nikmati ialah kehidupan para koboinya. Persahabatannya. Pertemanannya. Perselisihannya. Topi koboinya. Penampilan koboinya. Seni menembaknya. Gairah menjelajahnya. Keliaran petualangannya. Kenakalan pengembaraannya. Tata Kelola peternakannya. Perjuangan pada tanahnya. Segala macam kuda-kudanya. Tipologi kuda-kudanya. Merawat kuda-kudanya. Melatih kuda-kudanya. Sejarah kuda-kudanya. Cerita tentang kuda-kudanya. Nilai-nilai dan gaya hidup koboi yang saya maknai darinya.

Sering saya bercakap banyak hal dengan spirit berkuda sebagai simbolisme. Bertukar pandang tentang gagasan dari sisi filosofi kuda. Pun pemaknaan atas kuda jebul mempengaruhi visi dan ide-ide yang menjadi proses kreatif kesenian saya. Kadang saya pinjam kuda sebagai perumpamaan, amsal. Kadang saya menggunakan kuda sebagai idiom. Kadang saya menunggangi kuda sebagai metafora. Sebagaimana pernah saya menulis: “Teater Saya Bukan Kuda Balap”. Dan kalau untuk mencari solusi dari suatu permasalahan atau menjawab sebuah tawaran sambil berkata, “aku akan berkuda, dan memikirkannya.” Ditambah lagi dalam hidup terkadang ada saat di mana kita memerlukan, membutuhkan, dan menjalaninya dengan gaya kacamata kuda.

Bahkan, sekoboi Baginda Sulaiman diberi izin oleh Allah untuk “menunggangi angin” sebagai sarana spiritual-transportasi menjelajahi lintas galaksi. Perkara kemudian Nabi Sulaiman tidak bisa mengendalikan diri tatkala diberi kesenangan oleh Allah itu urusan lain lagi. Terpenting ialah setia kepada hikmah pengembaraan dan semesta nilai Baginda Sulaiman yang mungkin bisa kita serap sebagai pembelajaran moral.

Pergaulan sejarah tentang kuda dan karya seni sedemikian akrab. Contohnya, banyak seniman yang tertarik pada fisik kuda, kemudian itu dijadikan ide visual dan dituangkan dalam bentuk lukisan. Segala hal ihwal filosofis kuda juga telah menjadi bagian ide para seniman. Seperti dalam benak sejumlah penyair, Umbu Landu Paranggi mempresentasikan “kuda-kuda” sebagai gairah magis dalam puisi-puisinya, Emha Ainun Nadjib menghayati lolongan panjang “Sakitku Ringkik Kuda” dalam cinta seperih apapun aku sampai, Leon Agusta bersiasat dengan “Hukla”, dan Simon Hate merapalkan “Hursa” dalam pertapa kepenyairannya. Onomatope (tiruan bunyi) kuda diserap sebagai metafora, idiomatik, dan perangkat puitika—sebelum kata-kata sakti mereka tercipta dari derap langkah kuda. Lain daripada itu, sisi sejarah kuda juga memuat ritual, tradisi, dan adat—sebagaimana Pasola, suatu pertunjukan perang adat berkuda dalam upacara ritual Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Dalam tradisi Jawa, bab kuda sering diwedarkan sebagai “Ilmu Katuranggan”, boleh dikata ini suatu kemampuan orang Jawa, atau lebih tepatnya sebagai pengetahuan tradisional (untuk detailnya mungkin bisa ditelusuri lebih lanjut sendiri melalui buku “Tjap Djaran”) yang titen terhadap ciri khas suatu makhluk hidup, termasuk juga hewan, yang lalu menafsirkan watak, sifat, dan segala potensinya.

Di samping kuda, ada empat katuranggan lain yang senantiasa kerap disimbolkan: istri (pendamping hidup), keris (pusaka), burung perkutut, dan gamelan (alat musik tradisional). Pada sumber lain juga ada yang menyebutkan: wisma, wanita, turangga (kuda), kukila (burung), dan curiga (keris). Yang jelas jumlahnya sama-sama tetap lima, meskipun tampak sekali perbedaan masing-masing pemaknaan tiap daerahnya.

Pendek kata, ketika saya akan memperistri seseorang, selalu Simbah bertanya kepada saya: “Katuranggane pas, ndak?” Pas ini mungkin berarti serasi, klik, klop, dan kompatibel dalam segala hal. Karena katuranggan itu pengetahuan macam-macam tentang manusia. “Ada jenis manusia macan yang makan daging hewan lain. Ada manusia ular yang menelan seluruh badan manusia. Ada manusia tikus yang apa saja dimakan untuk memenuhi nafsu laparnya,” ungkap Mbah Nun.

Dari kuda itulah saya belajar mengidentifikasi katuranggan “tipologi manusia”, sedangkan rodeo dan matador memberitahu saya satu hal bahwa “saya harus fokus pada pelatihan”. Kita tidak bisa bertanding, jika tidak fokus secara penuh. Fokus itu latihan memusatkan perhatian, meningkatkan kepekaan, dan mengendalikan mental. Barangkali fokus itu, seperti kata koboi, jika suatu impian tak membuat kita takut, berarti itu tidak cukup besar.

Saya tak bisa menjadi koboi tanpa kuda. Tetapi saya akan terus mencoba mengatasi segala hal malang melintang itu seperti sedang menunggangi kuda. Terus mencoba ketangguhan dan semangat juang (para koboi) dalam menghadapi tantangan, baik dalam dunia koboi maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dan andaikan hidup kayak kuda pun, yang sedemikian liar, beringas, nakal, patuh, atau penurut tapi keras kepala, maka kita harus menghadapinya. Kita harus menunggangi di atas pelananya. Karena Allah telah memberikan alam liar, tapi lembah (sebagaimana dalam dunia koboi) ini milik kita. Di sinilah penghidupan kita.

2 Juli 2025

  • Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.

    Lihat semua pos