Alam Media Hidup

dok. halimunsalaka (monolog mata kamera × gunung salak)


Pergaulan hidup dengan ekosistem (alam) merupakan patron kebudayaan, yang telah turun-temurun berkembang selama ini di masyarakat. Dengan pola hubungan interaktif antara organisme hidup dan lingkungan di dalam hutan. Dari sinilah pengetahuan tentang alam mulai diproduksi-didistribusikan melalui interaksi, percakapan, dan pergumulan masyarakat. Yang lalu menjadi kesadaran kolektif bagi suatu masyarakat, bernama kebudayaan. Suatu kebudayaan sepanjang ditempa badai asimilasi dari segala arah, perkembangan dinamisme kehidupan manusia, hingga beragam rupa akulturasi di luar prediksi yang lampau, kini dan nanti juga. Apa-apa yang esensial dan inti dari kebudayaan ini dapat dilihat melalui kearifan/pengetahuan lokal, kepercayaan, kebatinan, serta laku hidup sehari-hari.

Tulisan ini bukan bahan perdebatan benar-salah antara alamiah gaib versus logika rasional, melainkan untuk menggali, menakar dan menimbang apa yang indah, baik dengan kembali memperkuat riset maupun sekadar berprentesi sebagai gangguan pada kekuasaan, dan ini semata-mata bersumber dari orang yang tak berdaya, alias prihatin hati saya sendiri.

Tapi kacamata saya ini tampak buram, dari kejauhan samar-samar memandang berbagai latar belakang kebudayaan, menatap keberlimpahan alam dengan keanekaragaman hayati, serta mengamati kilasan-kilasan perusakan alam. Perkenankanlah kiranya ini sebagai percobaan mendialogkan wacana tradisi dengan wacana kontemporer dalam gelanggang multikultural dan multidimensi. Mencoba pola ungkap yang tragis dari perspektif dan paradigma budaya.

Saya khawatir headline news “alam media yang membunuhmu” akan segera terbit. Apabila suatu ekses eksploitasi alam tak bisa dihentikan dengan pendekatan apapun, sebab semua pihak yang berkepentingan profit telah sedemikian keras kepala, bahkan harus kepala batu untuk terus merusak alam. Serusak-rusaknya demi proyek-proyek yang berkedok pembangunan berkelanjutan maupun pembangunan berwawasan lingkungan.

Tetapi pada kenyataannya, proyek-proyek pertambangan, pariwasata, hutan tanaman industri, food estate, IKN, reboisasi, PIK 2, perampasan tanah, perampokan lahan hidup, serta sejumlah daftar penggusuran/pengusiran paksa lainnya, ditambah pula dengan adanya perubahan iklim, dan ini semua akan terus merajalela, namun adapula yang mangkrak. Lebih celakanya lagi, mungkin, bahwa seluruh pembangunan ini tidak pernah memikirkan bagaimana memanusiakan manusia alih-alih berwawasan budaya, lingkungan saja belum.

Barangkali juga karena mereka tidak peduli, tidak punya perhatian khusus, dan tidak mau mengerti tentang semacam kepercayaan silam maupun kebatinan tersendiri yang “disembah” seperti: pohon, tanah, batu, mata air, dan beragam kepercayaan desa/adat lain menurut masing-masing daerah. Tiap masyarakat punya mekanisme kulturalnya sendiri. Misalnya, pohon-pohon yang ada di Bali disarungi kain—yang biasanya bermotif kotak hitam dan putih—yang disebut poleng. Kearifan lokal ini merupakan budaya dan keyakinan masyarakat Bali pada leluhur sekaligus ajarannya. Selain untuk mengantisipasi kemungkinan buruk penebangan pohon-pohon secara liar, juga berarti sebagai bentuk penghormatan manusia kepada Tuhan seru sekalian alam, bahwa seluruh pohon-pohon adalah ciptaan-Nya, dan pohon-pohon-Nya ini ditugasi untuk memberikan manfaat oksigen bagi kehidupan manusia, sekalian sumber makanan bagi makhluk lainnya. Daya fungsinya luas sekali, energinya pun selalu dirasakan oleh manusia, kecuali mati/ditebang putus diakar.

Juga ada pengetahuan lokal bahwa kalau mau mendaki Gunung Agung dilarang membawa susu sapi atau daging sapi atau hal-hal yang ada kandungan sapinya, sedangkan kalau di Gunung Lawu pantangannya dilarang memakai baju berwarna hijau. Demikian juga berlaku pada gunung-gunung maupun desa-desa lainnya punya pantangan-pantangan tersendiri. Apa yang menyebabkan ini-itu dilarang silakan telusuri lebih lanjut sendiri saja. Pendeknya, dari sini pulalah kita dapat mengetahui hubungan interaksi manusia dengan alamnya, plus menghayati cara-cara hidup dan cara-cara berpikirnya. Bahwa “rumus itu bukan hukum alam”, sebagaimana kata Niels Bohr, “sains itu bukan kita mencari kebenaran tentang alam, tapi bagaimana alam bercerita kepada kita, dan kita mendengarkan apa yang kita dengar dari alam”.

Akan tetapi, pengetahuan tentang alam yang telah menjadi kepercayaan/kebatinan suatu masyarakat saat ini, seperti mengalami degradasi, kalau bukan penyelewengan-penyelewengan, bahwa suatu cara berpikir yang berlandaskan tradisi “akal dhemit”, maupun berakar-urat dalam kepercayaan terhadap segala yang gaib, mistik, klenik, dan mitos-mitos ini seringkali ditampik oleh cara berpikir modern, atau cara filsafat barat—yang selalu mengandalkan rasionalitas. Apa-apa yang berbau kebatinan seolah-olah harus dibasmi setuntas-tuntasnya karena merusak cara berpikir dan membikin macet laju pemikiran.

Alih-alih memberantas, malahan pada sekarang itu semua dijadikan sebagai materi hororistik. Coba tengoklah, ada konten-konten berbau mistis yang muncul tiap hari di media sosial kita, ada banyak film-film horor yang tayang di bioskop kesayangan kita, adapula obyek-obyek wisata horor seperti rumah hantu, ada podcast berbagi bercerita seputar pengalaman horor/mistis, ada traveling-traveling jelajah ke tempat-tempat angker, ada vlog-vlog tentang berburu hantu, dan seterusnya. Plus di-era revolusi industri ini semuanya “berfokus pada otomasi pekerjaan dan efektivitas mesin dan teknologi”, dan akan berkembang lagi ke “optimasi jam kerja untuk menyelesaikan pekerjaan dan optimasi pengetahuan dengan bantuan AI.”

Sehingga otomatis pula, logika yang sedemikian lama diagung-agungkan dan dipuja-puja secara taklid buta ini sedang berada di titik nadir sedasar-dasarnya, seperti tersungkur dan bertekuk lutut di hadapan teknologi raksasa, di hadapan kemudahan untuk menelan seluruh dunia eksternal, tanpa ada pertimbangan-pertimbangan yang menjadikannya bargaining dengan pertanyaan-pertanyaan. Cara-cara hidup dan cara-cara berpikir yang semula dianggap mistis, sekarang telah menghadirkan kemistisannya yang lebih mistis, bengis, dan horor sekali. Tenaga manusia pelan-pelan akan menjadi tenaga AI, biarkan teknologi yang berpikir dan lebih hidup daripada manusianya. Bukankah mengerikan logika mistika sekarang. Kita tidak punya ruang untuk misteri tentang Tuhan, alam, manusia, bahkan kehidupan. Kita tidak perlu bertanya tentang alam, diri sendiri, dan tidak sanggup mendengarkan suara dari dalam dirinya sendiri.

Apalah artinya berfilsafat bila terpisah dari pertanyaan-pertanyaan. Sepertinya saya melihat menara tinggi filsafat dirubuhkan justru oleh “musuh-musuh”-nya, dunia eksternal yang selama ini ditampik dan dimarginalkan—dengan tuduhan memperlambat laju pikiran. Filsafat terjebak dalam era tuntutan efektivitas teknologi dan mesin yang sewaktu-waktu akan segera menggantikan tenaga manusia. Karena ketidakramahan subjek-subjek kapitalis dan mesin dan teknologi mutakhir terhadap perkembangan manusianya.

Jangan kaget apabila ada suatu masa di mana menjaga dan melestarikan alam dianggap sebagai bentuk kejahatan Negara. Sebab kita enggan mendengarkan alam, kita tidak lagi tangguh-tahan ditempa masa ujian alam dulu. Apa yang akan terjadi kalau kita lupakan hubungan ini. Sementara, menurut kepercayaan turun-temurun, bahwa fungsi tanah, batu, pohon, dan air itu dianggap sama dengan tubuh manusia. Baginya, air adalah darah, batu adalah tulang, dan tanah adalah daging/tubuh. Hutan adalah kulit, paru-paru, dan juga rambut. Merusak alam berarti merusak manusianya. Dan manusia yang telah dirusak asas tatanan hidupnya, justru makin sering melakukan tindakan-tindakan destruktif dan perilaku-perilaku eksploitatif.

Padahal, kemungkinan mitos dan mitologi dapat menjadi upaya masyarakat untuk memulihkan alam. Misalnya, bikinlah mitos yang bersumber dari interaksi masyarakat setempat mengenai perburuan badak bercula satu, agar supaya perburuan liar itu dihentikan segera karena kalau tidak “penghuni alam” yang membesarkannya akan menghantui sepanjang hidup. Ini satu upaya dari banyak hal yang mungkin bisa kita lakukan demi kepedulian terhadap alam dan lingkungan.

Barangkali seluruh potensi kebudayaan daerah/tradisional, kepercayaan/kebatinan desa, pengetahuan/kearifan lokal ini bukan semata-mata kita anggap sebagai logika mistika, yang harus dikucilkan, yang terpinggirkan, yang terasing akibat polarisasi dan dikotomi desa-kota. Melainkan harus kita renungi bersama supaya tetap eling lan waspodo. Yang perlu dihadirkan spiritnya, yaitu semangat dalam “nguri-nguri” kebudayaan leluhur, menjaga dan melestarikan kepercayaan turun-temurun ini demi untuk memulihkan kerusakan alam. Kelak, semoga dapat menegakkan keadilan dalam perspektif “alam dan kehidupan” yang bersifat universal. Memang tak bisa dipungkiri juga, bahwa permasalahan ini sungguh-sungguh konkret plus kompleks, rasa-rasanya sukar diatasi hanya dengan refleksi dan kontemplasi. Ahimsa!

22 November 2024