dok. AI
Malam itu hujan baru saja reda. Angin dingin merayap ke sudut-sudut gang yang gelap. Di pos penjagaan yang hanya diterangi lampu redup, seorang satpam duduk sambil menggoyangkan kursinya. Matanya berat. Tubuhnya letih, kesepian dan dingin. Ia merindukan kehangatan. “Barangkali tuak bisa menemani untuk mendorong sepi ini”, pikirnya.
Di ujung jalan, terlihat Ani baru saja tiba di kedai tuak diantar si Jopan, pria yang dikenal sebagai “maling profesional” yang belum pernah tertangkap aparat, terlebih tak ada orang yang pernah mengetahui aksinya, bahkan pun mencium aroma tubuhnya juga jari-jari lihainya. Ani menurunkan tasnya dengan anggun, lalu menyisir rambut panjangnya yang basah oleh hujan. Ia tahu, malam itu adalah miliknya—bukan hanya untuk mencari uang, tetapi juga untuk menebar pesona liar yang siap menutupi para kesepian. Seperti biasa, ia membuka dagangan di tempat dagangan orang lain; maka menyebarlah pesona maha hebat seorang pelacur indie ke sekeliling kedai tuak.
Malam makin kelam sehabis hujan membuat Satpam itu betul-betul butuh dorongan melawan sepi. Dalam lamunannya, suasana kedai seakan memanggil-manggilnya dengan lembut; penjaga tuaknya yang murah hati dan rajin menampung para pelanggan, suara kursi reotnya yang merdu, juga deretan botol-botol itu tak kuasa menahan kakinya untuk berjalan menuju tempat di mana segala takdir bisa terjerat. Maka boot-nya segera memecah genangan kecil, menciptakan genangan-genangan lain di jalan tanah yang becek.
Sesampainya di kedai tuak, Satpam itu menemukan takdir lain; matanya bertemu mata Ani. Ular-ular saling melilit dalam tatapan penuh hasrat, labirin-labirin saling terpaut dalam kedipan. Satpam itu coba menyapa, tapi suaranya tertahan di tenggorokan, atau mungkin hilang ditelan kelamnya malam. Ani hanya tersenyum, senyum yang misterius, pelacur muda yang seolah lebih banyak tahu bagaimana memikat pria tanpa sepatah pun kata.
Maka senyum-senyum di kedai itu segera berebut tempat dengan botol-botol tuak. Ani dan si Satpam bermain senyum, penjaga tuak menebar senyum, kursi reot di bawah pinggul Ani tersenyum, topi satpam tersenyum, celana Satpam tersenyum lebar pada senyum Ani yang aduhai, seolah menutup segala kefanaan. Setiap kedip yang mereka tukar seperti permainan catur, masing-masing mencoba membaca langkah berikutnya. Senyum-senyum mereka segera berubah menjadi langkah-langkah menuju takdir yang menggelikan.
Genangan air sisa hujan tersenyum, pecahan kecil sisa langkah boot Satpam tadi terbagi menjadi beberapa genangan oleh langkah Ani. Cipratan-cipratan air tersenyum, kerikil dan batu jalan tersenyum, juga malam tak lupa menitip senyum, namun jauh di kelamnya, malam itu seakan tertawa menyaksikan Satpam yang tergoda pesona Ani. Senyum dan tawa, canda dan takdir mengiringi langkah-langkah mereka. Di tengah malam yang kelam dan hujan yang reda, mereka terperangkap dalam lelucon kisah cinta yang tak sederhana.
Jopan, yang sedari tadi pulang telah sampai rumah pukul setengah dua, mengecek kembali rokok dan koreknya. Rokoknya masih banyak, ia puas dan bersiap untuk berangkat kerja. Ia menyiapkan barang-barang untuk pekerjaan malam itu. Dalam tasnya ada kunci-kunci palsu, obeng, dan sarung tangan kulit sapi asli (konon sapi itu juga hasil rampasan dari kampung tetangga, dagingnya ia jual ke pasar, kulitnya ia olah menjadi pakaian) dan penutup kepala. Ia tidak pernah membawa senjata api; baginya, mencuri adalah seni yang tak membutuhkan lebih banyak kekerasan, kerusuhan, bakar ban, dan gas air mata.
Pukul 3 pagi, saat kebanyakan orang terlelap dalam mimpi, Jopan melangkah dengan penuh kehati-hatian menuju rumah-rumah kosong yang menjadi sasarannya. Dengan lihainya, ia membuka jendela dan masuk ke dalam tanpa meninggalkan jejak yang terlalu mencolok.
Dalam peralihan malam ke pagi itu, Jopan menemukan kenikmatan maha syahdu dalam kegiatan kriminal yang ia lakukan. Menjarah harta orang lain, merampas kekayaan tanpa belas kasihan, menjadi candu bagi jiwa hitamnya. Tetapi di balik senyum tipisnya, tersembunyi kepahitan dan kelam yang tak terucapkan.
Di dalam rumah-rumah yang sepi, Jopan merasa seperti raja yang menguasai kerajaan bayangan. Namun, semakin banyak harta yang ia rampas, semakin besar juga beban dosa yang menghantuinya. Setiap langkah yang ia ambil, setiap harta yang ia curi, semakin dalam ia terjerat dalam kegelapan yang tak berkesudahan.
Pada pukul 3 pagi itulah saksi bisu dari kejahatan yang dilakukan oleh Jopan. Di antara gemuruh angin malam menuju pagi dan nada-nada hening, ia terus melangkah tanpa rasa bersalah. Namun, dalam kedalaman hatinya, ia tahu bahwa pilihannya telah membuatnya terperangkap dalam labirin kelam kehidupan yang tak berujung.
Malam kelam berganti menjadi pagi yang cerah, sinar mentari mulai menerobos kamar-kamarnya yang gelap. Jopan menyadari bahwa kegiatan kriminal yang ia lakukan tidak akan membawanya pada kebahagiaan yang sesungguhnya. Dalam sunyi yang memilukan, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk meninggalkan kegelapan dan mencari cahaya yang sesungguhnya dalam hidupnya. Namun, langkah itu terasa begitu berat baginya yang telah terbenam terlalu dalam, dalam dosa dan ketidakteraturan.
Di waktu yang sama, di belahan dunia yang lain, ada Satpam yang merapikan kancing bajunya setelah menumpahkan berahinya, ia kembali melangkah ke pos tempat kerjanya, meninggalkan seorang wanita di kamar mandi.
Di balik tirai jendela yang digantung longgar, cahaya remang-remang ruangan yang redup merambat ke sudut kamarnya. Ani, seorang pelacur dengan tubuh letih setelah seharian mengais rezeki dengan cara yang kurang terhormat, tengah berendam dalam air hangat yang merilekskan tubuhnya. “Lagi pula, apa makna kehormatan di tengah masyarakat maling? Cuma gincu belaka”, pikirnya, sambil mengalirkan air ke tubuhnya yang lapuk oleh kelelahan dan dosa-dosa yang ia lakukan.
Waktu terus bergulir, matahari mulai merunduk di balik cakrawala, mengirimkan sinar keemasan yang hampir pudar. Ani keluar dari bak mandi dengan langkah gontai, mengelap tubuhnya dengan kain lembut. Namun, di antara gemuruh air dan guratan bayang-bayang di dinding, rasa kesal mulai menyelinap ke dalam hatinya.
“Kenapa Jopan belum juga memberi kabar?”, gumamnya pelan sambil menggosok-gosok rambut yang kusut dan basah. Seharusnya, Jopan telah menjemputnya sejak tadi setelah Ani selesai dengan pelanggannya. Tapi ada kekosongan dalam relung hatinya saat itu, sebuah kekosongan yang semakin membuat hatinya terasa hampa.
Dengan langkah tertatih, Ani mengambil ponselnya dan memesan ojek-online untuk membawanya pulang. Langit mulai terang, bola lampu jalanan mulai berpendar, menciptakan bayang-bayang yang terus mengintai di sudut-sudut kegelapan. Dalam hatinya yang hampa, Ani berharap bahwa malam ini tidak akan merenggut lebih banyak lagi darinya.***
Musikus dan Penulis