dok. arsip nasional republik indonesia x IPB
Ketika kita berbicara tentang Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, apa yang pertama kali terlintas di benak kita? Mungkin yang terlintas di benak kita adalah pasukan Belanda dengan seragam birunya, atau mungkin tentang Soekarno dan Hatta yang ditangkap dalam kondisi setengah sadar—seperti orang yang terjaga dari mimpi buruknya.
Tapi di balik gemuruh tembakan dan laporan diplomatik, ada satu kota yang justru diam-diam memegang peran yang sangat penting dalam kelangsungan hidup bayi Indonesia. Kota yang orang sering anggap sebagai tempat ngademnya orang Jakarta atau pasangan muda yang pengen “menikmati angin sepoi-sepoi Kebun Raya”, ternyata jadi tempat penampungan para pemimpin republik yang kebingungan, terasing, tapi tak mau kalah.
Bogor yang Merisau
Sebagai seorang warga negara biasa, kita mungkin berpikir, “Bogor? Apa urusannya dengan sejarah besar ini?” Tapi jangan salah, Bogor tahun 1948 bukan cuma tempat buat ngadem sambil makan soto mie atau doclang. Kota ini, yang terkenal dengan hujannya, justru jadi tempat para pemimpin kita yang mendadak “dibuang” dari panggung politik besar setelah serangan Belanda.
Soekarno dan Hatta? Mereka nggak lagi bisa tinggal di rumahnya. Lantas kemana? Ke Bogor, tentu saja! Cindy Adams, di dalam bukunya “Soekarno: An Autobiography” menuliskan, Soekarno-Hatta bersama para menteri yang mungkin udah kehabisan ide, mengungsi ke Bogor. Mencari inspirasi sambil duduk santai di kursi taman—dan tentu ngobrolin nasib bangsa.
Di tengah kekosongan Jakarta dan Yogyakarta yang jatuh, Bogor pada Desember 1948 dengan segala kesederhanaannya, menjadi saksi pertempuran besar antara diplomasi dan kenyataan. Pejabat bertemu, berbicara tentang “kebebasan”, sementara takdir ditentukan oleh kekuatan internasional. Dalam kesunyian itu, kita belajar bahwa kadang bukan senjata yang berbicara, melainkan diplomasi yang mengukir jalan.
Berdiplomasi Dalam Sunyi, Dan Mendunia
Begini cerita singkatnya: Setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II dan mencaplok Yogyakarta, di mana Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta di-penjara, situasi semakin kacau. Tapi jangan salah, meskipun Jakarta telah jatuh, meskipun banyak pemimpin kita yang sudah dijebloskan ke penjara, di Bogor, tepatnya di 76 tahun yang lalu, sekelompok diplomat yang sudah kehabisan cara menyusun strategi internasional mulai berkolaborasi dengan semangat perjuangan yang tak tampak di permukaan.
Di sinilah terjadi pertemuan krusial yang menentukan perjalanan diplomasi Indonesia, meskipun sering terlupakan dalam buku-buku sejarah. Saat itu, para diplomat Indonesia tahu betul bahwa selain perlawanan di lapangan, dunia internasional juga harus dilibatkan.
Nah, di sinilah Bogor kembali memainkan peran vital. Sebab Bogor kemudian menjadi tempat bertemunya berbagai “generasi diplomasi” Indonesia: dari diplomat yang kecewa dengan kondisi pasca World War, sampai pejabat yang lebih suka “nongkrong” di teras rumah sambil berbicara tentang cara memanipulasi opini internasional.
Di kota, yang sekarang jadi Kota Indie Rock inilah, para pemimpin Indonesia, termasuk Sutan Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya, menggelar perundingan-perundingan penting untuk menggalang kekuatan internasional demi menekan pihak Belanda.
Satu hal yang pasti: para pemimpin Indonesia di Bogor saat itu tidak cuma pakai otak, tapi juga otot. Tapi ototnya bukan untuk angkat senjata, melainkan untuk mencari jalan keluar di tengah keruwetan politik. Diplomasi pada waktu itu kadang terasa seperti acara Lapor Pak yang dipenuhi sindiran dan drama. Ya, itu juga yang terjadi di Bogor. Indonesia saat itu lebih banyak bernegosiasi dengan politik internasional, sambil berharap agar “cold war” tidak benar-benar membuat kita terlantar.
Tidak Ada Hujan di Desember 48
Jika Desember adalah bulan yang biasa dianggap penuh harapan, tetapi bagi Indonesia, di tahun 1948 khususnya, bulan itu justru penuh dengan ketegangan yang penuh dengan ironinya sendiri. Bagaimana tidak, sementara dunia luar mungkin sedang sibuk dengan urusan Perang Dingin, di dalam negeri, bangsa kita harus menghadapi kenyataan pahit: agresi militer besar-besaran dari Belanda.
Setelah serangan Belanda yang memporak-porandakan banyak wilayah, Bogor menjadi “tempat penyelamatan” bukan hanya bagi para pemimpin, tetapi juga bagi semangat perjuangan yang masih tersisa. Di sinilah peran Bogor terasa semakin relevan—sebagai kota yang lebih dari sekadar tempat “melarikan diri” para pemimpin, tetapi juga sebagai pusat dari pertemuan internasional yang meresahkan banyak pihak.
Kita mungkin sering mendengar cerita tentang Bandung yang penuh peristiwa besar, atau Jakarta yang menjadi simbol pusat pemerintahan. Tetapi jika kita bicara soal Bogor, itu bukan hanya soal kopi Liong atau Kebun Raya, tetapi juga soal semangat yang tak pernah surut meskipun seringkali hanya terlihat di balik layar. Banyak yang lupa bahwa pertemuan-pertemuan yang tampak biasa saja ini justru memiliki dampak besar terhadap arah perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Kalau dibandingkan dengan kita hari ini, mungkin ini mirip dengan acara konsolidasi yang diadakan di kafe-kafe elit Jakarta, di mana banyak ngobrol tapi sedikit tindakannya. Tetapi di Desember tahun 1948 itu, meskipun terkadang terasa lebih mirip dengan drama yang berlebihan, keputusan-keputusan krusial yang diambil di Bogor nyata menentukan.
Belanda mungkin merasa “menang”, tetapi perhatian dunia semakin meningkat, sehingga tekanan internasional kepada Belanda semakin kuat. Dan benar, tak lama setelah itu, tekanan internasional terhadap Belanda semakin kuat. Walaupun Indonesia saat itu sering dipandang sebelah mata oleh dunia internasional, perjuangan diplomasi yang muncul dari Bogor memberi angin segar dalam geliat sejarah Indonesia.
Jadi, begitulah cerita Bogor dalam Agresi Militer II. Kota yang tak banyak dibicarakan dalam buku sejarah besar, tetapi justru memegang peranan penting dalam mempertahankan kehormatan bangsa Indonesia. Di bulan Desember 1948, di tengah segala keterbatasan dan kekalutan, Bogor mengajarkan kita satu hal: perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia bukan hanya terjadi di medan perang, tetapi juga di ruang-ruang diplomasi yang kadang penuh kebingungan dan keraguan. Diplomasi itu bukan cuma soal jadi orang pintar dalam berbicara, lebih jauh dari itu ia melibatkan persoalan bertahan meski di tengah ketidakpastian.
Sumber Rujukan:
- Adams, Cindy. (1966) “Soekarno: An Autobiography”. Gunung Agung.
- Kartodirdjo, Sartono. (1988) “Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Belanda (1945-1949)”. Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. (2001) “A History of Modern Indonesia Since c. 1200”. Stanford University Press.
Penanam kesan.