dok. halimunsalaka.com (Ahmad Anggi)
Kita sedang berada dalam satu kurun zaman sungsang di mana semakin modern, semakin banyak orang kesepian. Ada yang mengalami sepi secara manusia, tapi tidak secara Illahi. Adapula yang mengalami seperti Chairil Anwar, “mampus kau dikoyak-koyak sepi”. Ada juga yang mengalami sepi secara jasmani sekaligus rohani. Dan yang terakhir ini berbahaya jika tidak segera tahu diri. Karena bisa berakibat fatal, lalu lari ke luar diri. Lari ke obat-obatan, alkohol, narkoba, dan berbagai macam zat adiksi (kecanduan) lainnya.
Adiksi itu timbul dari orang yang merasa kesepian karena tidak punya teman. Hampa terasa telah begitu menyiksanya sehingga ia lekas pergi mencari jalan keluar diri. Dan yang tak terhindarkan dari jalan keluar diri ini ialah berkembangnya narkoba jenis baru, bahkan paling mutakhir namanya Tiktok, Instagram, dan media sosial lainnya. Indonesia rata-rata anak mudanya, menurut data terakhir, sehari bisa menghabiskan delapan jam lebih di internet, dan menghabiskan tiga jam lebih untuk berselancar di media sosial.
Mabuk online semacam itu bisa dikatakan zat adiksi. Itu pulalah yang membuat kita tidak tahan untuk tidak buka media sosial. Kita selalu terburu-buru membuka pesan saat muncul notifikasi. Memang tidak mudah untuk menghadapinya. Makanya ada penawar sejenis dopamin detox (upaya untuk membatasinya atau menghilangkan racun di dalam diri). Hal demikian ini amat tergantung pada manajemen media sosial masing-masing. Cara menakarnya mungkin dilihat dari seberapa tangguh tahan kita untuk tidak buka Instagram selama beberapa hari, misalnya. Kuatkah kita untuk tidak buka Tiktok selama seharian.
Apakah dengan menghabiskan waktu di internet maupun media sosial itu kita dapat menumbuhkan diri? Mungkin bisa. Mungkin saja tidak sama sekali. Pertanyaan selanjutnya ialah berapa persen kita belajar atau ketawa-ketawi melalui media sosial itu? Lebih banyak mana belajarnya atau ketawa-ketiwinya? Lebih membuat hidupmu bermakna atau penuh omong-kosong?
Media sosial itu memang menyenangkan. Makanya kita sering menertawakan sesuatu yang bodoh, dan kita senang kalau menertawakannya. Tampaknya kita lebih membutuhkan media sosial lebih dari apapun. Hal ini terbukti bahwa ada yang sedang kumpul bersama tapi lebih sering melihat handphone daripada ngobrol. Nongkrong sama teman tapi diem-dieman sambil lihat “setan gepeng” masing-masing. Media sosial telah mendekatkan yang jauh, sekaligus menjauhkan yang dekat. Media sosial telah dirasa ampuh buat membunuh sepinya sendiri. Mabuk online telah dianggap pula sebagai salah satu pelarian untuk menghilangkan rasa sepi yang menekan kian mendesak.
Padahal, rumusnya Allah sedemikian jelas bahwa, semakin kita berusaha keras untuk menghindari kesepian, maka akan semakin dipertemukan oleh rasa sepi terus-menerus. Diburu oleh kesepian yang mencekam. Dilabrak oleh perasaan hampa yang tak terduga kemunculannya. Lalu kita sama tidak tahu harus bersandar pada apa atau siapa, selain sandaran online di media sosial. Karena memang kita semua cuma konsumen dari media sosial. Meskipun tetap ada game (permainan) yang menantang untuk menumbuhkan diri. Ada media sosial yang wajar untuk meningkatkan diri. Dan jangan lupakan juga bahwa ada banyak hal yang tidak ada (atau belum tersedia) di pasar media sosial.
Maka dalam Islam, kita diajarkan untuk tidak boleh lupa menumbuhkan diri. Itulah sebabnya Rumi berpendapat bahwa “manusia itu bodoh, sampai dia mempelajari dirinya sendiri.” Ini bukan soal kepintaran. Ini refleksi tentang kesepian mendalam karena, yang ditinggalkan oleh manusia tetap ditemani oleh Tuhannya. Ini perjalanan batin tentang hati kesepian dengan menjernihkan hati dan pikiran untuk merasakan dan menyadari bahwa kondisi atau sikap “pasrah bongkokan” menurut orang Jawa ialah sebaik-baiknya posisi manusia kepada Tuhannya.
Simbah saya, Emha Ainun Nadjib pernah berpesan, “kau tak harus selalu jadi kekinian. Sesekali kesepianpun perlu kau lakukan.” Itu artinya sepi secara jasmani boleh saja, tapi tidak secara rohani. Selanjutnya, Simbah saya juga menerangkan bahwa “hati para kekasih Allah amat kesepian dari manusia berbicara tak dipahami, bercerita tak dipercaya, mengingatkan tak dituruti. Mungkin justru karena itu Allah mengangkat mereka menjadi kekasih-Nya.”
Dengan demikian, media sosial bukanlah satu-satunya obat penawar bagi kesepian. Karena menemukan Tuhan itu tidak datang dari menonton Tiktok. Itulah sebabnya pula segala yang berbau adiksi perlu diperhatikan lagi, semisal kalau larinya ke media sosial, mungkin ia butuh teman, butuh tempat curhat, atau butuh tempat untuk bersandar. Nah, sepengalaman saya, mendaki gunung menyediakan tempat tersebut, tempat untuk berkumpul, mengembalikan lagi kepada Tuhan, dan menyediakan “wahana” yang menggembirakan.
Di tengah dunia modern yang memberi kemajuan sekaligus kemacetan berpikir yang panjang ini, teman-teman saya di Bogor baru saja melaksanakan kegiatan “Nalusur Lembur” sebagai praktik seni jalan kaki dan lelaku hidup yang menawarkan perjalanan melintasi berbagai medan, mulai dari perkampungan warga, perkebunan, persawahan, perbukitan, dan lintas-antar pedesaan. Kegiatan berjalan kaki sebagai proses utama atau pengalaman ini merupakan “sandaran” yang mungkin dapat menyehatkan secara fisik maupun batin. Barangkali dengan cara hidup yang baik, serta cara-cara hidup sosial yang wajar semacam ini justru menghindarkan kita dari adiksi-adiksi “narkoba” media sosial plus internet tersebut.
Karena semua masa depan itu gelap, makanya Allah selalu hadir lewat apapun maupun lewat siapapun. Sebagaimana lewat “Nalusur Lembur” ini menyediakan kebutuhan kita bersama untuk berkumpul, berbincang, berdialog, dan berdiskusi banyak hal. Sehingga kita tidak perlu obat-obatan untuk menghadapi diri sendiri.
28 Juli 2025