Kota Kesenian dan Segala yang Tak Sempat

Kota Kesenian dan Segala yang Tak Sempat

Gezicht op de weg tussen Buitenzorg en Preanger. De groote weg van Buitenzorg naar de Preanger regentschappen (1869) – Johan Conrad Greive (Dutch, 1837–1891)

Sebuah tulisan lahir dari titisan dari tinta keresahan, yang lahir pelan-pelan, dari apa yang terlihat dan terasa dialam keseharian. Bahwa kesenian, dalam banyak kota, kini hanya jadi tontonan biasa. Ia hadir di panggung megah tapi tidak di-obrolan warung. Lalu, ia hidup dalam sorot lampu, tapi absen dari kebijakan yang seharusnya menjaganya. Tak ada kelola yang nyata, hanya euforia sesaat. Dan perlahan, kita lupa: seni bukan hanya hiburan, tapi juga ingatan, perlawanan, dan ruang hidup.

Kita sering dengar kota-kota mengklaim dirinya “kota kesenian.” Ada yang punya panggung megah, mural di mana-mana, dan festival saban bulan. Tapi entah kenapa, ada yang terasa kosong. Seolah kota ini hanya menonton, bukan benar-benar hidup bersama seni itu sendiri.

Aku jadi bertanya, apa yang sebenarnya membuat sebuah kota pantas disebut kota kesenian? Apakah cukup dengan agenda seni di kalender wisata? Apakah cukup dengan dana hibah yang datang tiap tahun sekali? Atau seharusnya lebih dari itu?

Kota yang Tidak Hanya Menampilkan, Tapi Menghidupi

Buatku, kota kesenian bukan soal seberapa sering ia mengadakan konser atau pameran. Tapi seberapa serius kota ini mengurus keseharian para seniman. Apakah mereka punya ruang untuk berproses tanpa harus mengemis izin? Apakah karya mereka diarsipkan, atau hanya ditinggal dalam semarak tepuk tangan usai? Apakah suara mereka cukup didengar saat kota sedang bicara tentang masa depannya?

Tata kelola kota kesenian bukan hanya milik pemerintah. Ia harus dikelola bersama. Oleh yang mencipta, yang mengarsip, yang menonton, yang menjaga lampu tetap menyala. Tapi seringkali, yang bekerja dalam diam malah luput dari perhatian. Yang sibuk menyimpan potongan sejarah malah tak dianggap penting. Padahal, tanpa mereka, kota ini akan kehilangan geliat kehidupannya sendiri.

Perihal ekosistem yang mengakar kuat hari ini, ada cukup banyak ruang yang tidak dilihat oleh mata birokrasi, ruang tamu rumah yang kadang kala disulap jadi ruang diskusi, gudang yang bisa kapan saja  jadi galeri darurat, garasi yang tiba-tiba jadi ruang latihan teater.

Sebuah Kota kesenian yang sesungguhnya tahu persis bahwa ekosistem seni lahir dari kebersamaan. Bukan dari panggung megah semata, tapi dari keberanian orang-orang kecil yang terus berkarya walau tanpa jaminan. Yang menyimpan foto-foto pertunjukan, yang menulis catatan tangan tentang siapa saja yang pernah bicara, yang memungut ingatan agar tidak benar-benar hilang.

Aku percaya, kota kesenian yang utuh adalah kota yang tahu cara mengingat. Bukan cuma mengenang, tapi merawat: siapa yang pernah ada, siapa yang pernah bicara, dan siapa yang dilupakan. Hematku sesuatu yang dikenang dan di rawat bisa dikatakan sebagai arsip. Dan kota kesenian selalu memiliki itu.

Arsip bukan sekadar rak dokumen atau folder digital. Ia adalah cara kita menjaga nyawa atas sesuatu yang telah berjalan. Ia adalah akar, agar generasi selanjutnya tahu, bahwa mereka tak berjalan sendirian.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan saat ini?

Kita tak harus menunggu gedung mewah untuk mulai mencatat, atau hal-hal romantis di luar sana tentabg romantisnya hubungan si punya kebijakan dengan para seniman yang memiliki banyak arsip, mari mulai dari sini: pertama, menulis cerita tentang pertunjukan kecil yang pernah kamu datangi. Kedua, merekam suara obrolan para seniman lokal. Ketiga, menyimpan poster acara yang kamu pikir tak penting. Dan keempat, terus bertanya: apakah kota ini benar-benar mendengar?

Karena kota kesenian bukan hanya slogan. Ia adalah komitmen panjang. Ia adalah kerja sunyi yang dilakoni banyak orang dengan cinta. Dan cinta itu butuh ruang, bukan sekedar  untuk hidup, namun jugai untuk bertahan pada hari-hari selanjutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *