Island of the Dead (1880) Arnold Böcklin (1827-1901)
Prosedur
di ruang berbau tinta dan sumpah
jasad diukur timbangan yang hanya
kenal prosedur, bukan denyut
seragam dinas bersih
tapi sibuk menyeka jejak
yang belum sempat bicara
ratapan disalin derau di koridor sunyi,
dan laporan dianggap ritual musim hujan:
banyak banjir, tapi tak satu pun menyentuh
sumur keadilan
“kami prosedural,” katanya
sementara jam dinding menyaksikan
tangan dinas membuka kunci
yang seharusnya mengamankan,
bukan menyusup
tak ada darah di berita acara
sebab tinta lebih sakti
dari luka
pagi itu tubuhnya pulang sebagai angka
baris kedelapan belas
dalam tabel yang enggan menangis
gema yang dipendam algoritma
dan dari jendela kantor yang ber-AC
negara pun minum kopi
menunggu gilirannya untuk menyangkal
kemerdekaan.
(2025)
Pajak dan Lelaki Berwajah Seribu
di lorong bau cemas dan sisa senin
datang lelaki bersetelan angin
ia tak menawarkan apa pun
sebab harga diri kami hangus sejak ia
mengedipkan birokrasi
ia hanya membuka map
isinya doa, denda, dan daftar panjang kesalahan
yang bahkan belum kami lakukan
ia menghampar meteran feodal
menakar gerobak seolah menakar nasab
lalu ia berkata: “ini bukan tanahmu,
hanya izin yang tertunda napasnya
sebab kau tak mencicil debu yang kau pijak.”
kami diukur
bukan dari lenguh subuh
bukan dari sunyi yang kami suapi di punggung bocah
tapi dari bilangan yang tak pernah mampir ke dapur
dari huruf-huruf yang dikira emas
padahal kami tak pernah mengucapkannya tanpa tersedak
di negeri ini, saudara-saudariku
para pencuri bersalin rupa jadi notulen,
sementara penjaga tungku dituduh membakar
konstitusi dengan sendoknya
aku bertanya pada langit yang murung
kenapa cahaya itu mengembara bebas?
ia menjawab lirih, sambil menggulung petir ke lengannya:
“mereka tak simpan kuitansi atas hujan.”
di malam sunyi
aku mimpi jadi angka
dipotong, dijumlah,
lalu masuk ke lubang resesi
dan lelaki berwajah seribu itu
terus menghitung kami
sampai lupa bahwa
kami masih manusia.
(2025)
Indonesia Raya dalam Nada Minor
aib tanpa topeng
dilegalkan di layar TV
merajalela
segala sandiwara jadi kitab suci
babak sebuah dosa berstempel keluarga
Indonesia
di berbagai forum tumbuh benalu
tanpa akar, merambat di lidah aturan
mengugurkan logika:
ini kuburan bangsa. Ini kuburan makna
lihatlah! segala keputusan
lahir dari mimpi yang mabuk kursi
di menara gema yang sunyi
kursi-kursi mendengkur-risau
membiarkan palu menari di udara
bukan untuk mengadili
tapi jadi irama pesta-prahara
“kritik” sama dengan “kudeta”
pujian dilelang seperti artefak
dan keadilan? di mana keadilan?
ia numpang di kardus mie instan
dititipkan pada penjilat tangan
rakyat patuh pada mantra:
“banyak anak, banyak utang… eh, rezeki.”
harga sembako jadi teka-teki,
tapi hinaan bodoh dianggap pelecehan suci
Indonesia adalah naskah segala tragedi
lakon tanpa kompas penokohan
yang memanggil televisi sebagai “bapak”
tapi ah, mari tertawa
sebab tawa lebih Indonesia
daripada menangiskan Nusantara
kini walau Indonesia masih dinyanyikan
ia telah berubah menjadi nada minor
dengan bibir bergetar dan mata menunduk
ke arah tanah yang tak lagi ingin tumbuh
ke arah air yang tak lagi mengalir.
(2025)