dok. halimunsalaka/handykapermana
17+8, 6, 136, 1, 10. Angka-angka jadi terdengar mendebarkan akhir-akhir ini. Dan kita sampai di episode paling hina dari peradaban politik nasional di mana akumulasi dari keterhimpitan, kebingungan, kemiskinan, kecemasan, kesedihan, penderitaan bahkan sampai kematian–direspon bukan dengan pengunduran diri, permintaan maaf, atau perasaan bersalah, tapi justru dengan kecurigaan, tuduhan, ancaman, yang sialnya: dilontarkan penuh keangkuhan.
Kebijakan anjing lanjut part 2: bukannya berhenti malah lanjut membunuh. Sayang bahasa Indonesia tidak punya kata yang lebih biadab dari “biadab”. Liat, bahasa aja gak mampu menampung kerendahan ini dengan kemungkinan kata yang disediakan oleh huruf A sampai Z. Bahasa gak siap. Apalagi orang tua Affan dan 9 korban lainnya sejak seminggu terakhir.
Kita bukan lagi sedang mewarisi trauma. Kita bahkan mewarisi kegilaan yang betapapun akal menolak buat percaya, tapi itu terjadi. Bahwa orang dilindes pake mobil baja itu bukan acara sulap atau atraksi kanuragan, itu tindakan nyata yang dilakukan aparat negara terhadap rakyatnya. Dan anyir darah hari ini akan terus menguar sampai 7 generasi ke depan. Sialnya, kita yang akan menceritakan ini semua dengan segala beban moral dan akal sehatnya.
17 dalam seminggu, 8 dalam setahun, dan kita musti meneruskannya sampai ke yang paling jauh dan mengakar: awal kelahiran negara ini. Kita harus sampai pada pertanyaan-pertanyaan radikal tentang asal-usul semua kebusukan menahun ini. Apa yang membuat kita semua serendah ini? 27 Tahun lalu kita gagal, semoga hari ini tidak. Semua harus dipikirkan ulang. Semua harus mundur ke belakang untuk bisa maju ke depan. Kita udah terlalu sering mengaggap nyawa adalah mainan, padahal Allah bikin manusia gak main-main.
Pertama, kembali ke teks proklamasi:
- Kalimat “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll” itu, pemindahan kekuasaan dari siapa kepada siapa?
- Apakah pernah, belum, atau sudah selesai pemindahannya?
Kapan batas waktu dari “dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”? - Apakah 10, 15, 35, 40, 80, 90, atau 100 tahun sejak dibacakan? Atau kapan?
Kedua, keabsahan kepemilikan tanah air:
- Siapa pemilik resmi tanah air ini sebelum Indonesia lahir?
- Sebelum Republik ini lahir, siapa yang berkuasa atas kepemilikan tanah-tanah di sepanjang Sabang sampai Merauke?
- Mereka yang berkuasa dan punya hak milik penuh atas tanah ini adalah nenek moyang kita semua, apakah mereka semua diikutsertakan dalam pembentukan negara ini?
- Apakah para nenek moyang penguasa ini (baik raja maupun sultan) setuju?
- Apakah mereka semua merestui?
Ketiga, keputusan membentuk negara dalam format Republik:
- Apa landasan para pendiri negara memutuskan untuk membuat negara dengan format republik?
- Apakah republik merupakan kelanjutan dari aspirasi nenek moyang bangsa ini tentang pengelolaan tanah air dan rakyat?
- Atau sebenarnya kita cuma sedang mengadopsi cara berpikir bangsa yang bukan diri kita?
- Sebelum ada republik dan semua sistem tata negara modern, apa sistem yang kita bangun di atas tanah ini? Kenapa tidak meneruskannya dengan tetap terbuka pada hal-hal baru dari luar?
- Kenapa kita menciptakan sesuatu yang benar-benar baru dan kita sendiri tidak pernah melakukannya sebelumnya?
- Bukankah itu terdengar gambling dan coba-coba?
Ibarat keluarga yang sudah menjalani rumah tangga selama puluhan tahun dan terasa makin toxic, jangan-jangan memang salah sejak akad nikahnya?
5 September 2025