La Pierre au trois croquis (1904)
Kalian tahu apa yang paling cepat menjangkiti mahasiswa baru di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya? Bukan flu, bukan juga masuk angin. Tapi: penyakit ikut-ikutan. Penyakit ini menular lebih cepat dari selebaran panitia ospek. Gejalanya gampang dikenali: ikut organisasi karena semua teman ikut. Nongkrong di kafe yang sama biar dibilang gaul. Beli totebag dengan desain sama biar seragam. Sampai menelan bulat-bulat pepatah usang bahwa nilai IPK adalah tiket emas menuju masa depan cerah.
Inilah yang oleh Pierre Bourdieu disebut doxa. Doxa itu kebenaran yang kalian telan mentah-mentah. Tanpa sempat ngunyah. Ia semacam aturan tak tertulis yang dipelihara kampus dan diwariskan senior. Persis seperti bisikan halus: “Mahasiswa komunikasi itu harus pandai bicara. Mahasiswa sastra itu harus akrab dengan pwisi dan seni.” Padahal, siapa bilang?
Modal-Modal yang Membentuk Seseorang
Bourdieu, si profesor nyentrik dari Prancis itu, punya jurus jitu: kapital. Jangan buru-buru mikir ke bank atau neraca keuangan. Sebab kapital bukan cuma duit. Ada empat macam kapital yang bikin manusia melangkah di jagat sosial:
- Kapital Ekonomi. Uang jajan, kendaraan, handphone keluaran terbaru. Singkatnya: segala hal yang bisa dibeli.
- Kapital Budaya. Bacaan, wawasan, cara ngomong, selera musik. Mahasiswa yang lahap baca marxis, leninis, bacaan anarkis atau nonton film Nolan diam-diam punya kapital budaya lebih tebal ketimbang yang rajin pamer OOTD.
- Kapital Sosial. Jaringan, kenalan, relasi. Di kampus, sering kali “siapa yang kamu kenal” lebih manjur daripada “apa yang kamu tahu.”
- Kapital Simbolik. Prestise, reputasi, pengakuan. Mahasiswa yang fotonya selalu nangkring di spanduk lomba debat atau jadi MC acara kampus, atau yang selalu nongkrong di pelataran depan fakultas, meski dompet tipis, tetap dianggap (atau akan mengganggap) “penting.” Dan terkadang lebih dihormati dibanding yang IPK-nya Cumlaude.
Nah, modal-modal ini nggak berdiri sendiri. Mereka berkelahi. Saling tabrak. Saling baku tumpuk. Dan kalian, mahasiswa baru, sedang jadi arena pertarungan itu.
Habituasi yang Berkesadaran
Kapital yang kalian bawa dari rumah akan mengkristal jadi habitus. Itulah gaya hidup yang otomatis keluar: cara duduk. Cara tawa. Bahkan cara nyapa dosen atau wanita.
- Anak dengan kapital ekonomi tebal biasanya nongkrong di kafe mahal, liburan gampang.
- Anak dengan kapital budaya kuat betah di perpustakaan, obrolannya penuh kutipan buku.
- Anak dengan kapital sosial gampang akrab, tahu siapa yang bisa bantuin urusan KRS. Atau dihubungin buat ngurus event.
- Anak dengan kapital simbolik sudah percaya diri duluan karena punya “cap” dari publik.
Habitus inilah yang bikin kalian beda satu sama lain. Ia bisa jadi belenggu—karena tubuh terbiasa dengan pola lama. Tapi ia juga bisa jadi pintu pembebasan—karena tubuh bisa dilatih membentuk pola baru.
Dari Pertanyaan ke Tindakan
Nah, sampai di sini kita mesti berhenti sebentar dan nanya: mau jadi mahasiswa macam apa
Apakah mau jadi mahasiswa template. Hasil foto copy doxa kampus. yang sibuk mengejar kapital karena takut dianggap aneh dan kontemporer sendirian? Atau mau jadi mahasiswa otentik yang sadar penuh, memilih jalannya sendiri, meski harus melawan arus?
Tapi dalam konteks ini kuta musti ingat. Otentik bukan berarti anti-sosial. Otentik itu sadar. Tahu kenapa ikut organisasi. Bukan sekadar biar dianggap keren. Tahu kenapa ikut kolektif. Bukan sekadar dianggap kiri. Tahu kenapa rajin baca buku. bukan sekadar pamer foto di Instagram. Tahu kenapa nongkrong, bukan sekadar ikut-ikutan.
Rocky Grunge pernah bilang bahwa kampus bukanlah pabrik ijazah. Melainkan pasar ide. Dan di pasar ide, barang palsu seringkali lebih laku dari yang asli. Dan di sini jugalah Bourdieu mengingatkan: kalian harus belajar membedakan mana mitos, mana kenyataan.
Jangan mau jadi mahasiswa template. Lawan doxa yang melenakan. Gunakan kapital kalian—apapun bentuknya—untuk membangun habitus yang benar-benar milik kalian. Itulah satu-satunya jalan untuk jadi manusia otentik.
Note: Tulisan ini yang menjadi acuan untuk mengisi materi PKKMB di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan pada 12 September 2025.
