Lelakon Jangka Kinasih di Bawah Langit Betawi

Lelakon Jangka Kinasih di Bawah Langit Betawi

Een straat in het oude deel van Batavia (c. 1860 – c. 1880)

Aku adalah Patih, bukan Patih dari segala Patih di keraton mana pun. Namaku tak lebih dari sehelai daun kering, terselip di antara ribuan lembar buku sejarah yang tak pernah dibuka. Namaku hanya gema dari riuh rendah pasar Jatinegara, yang kini tinggal puing kenangan di benak para sesepuh. Mereka memanggilku demikian, karena aku selalu duduk seorang diri di bangku taman yang kusam. Aku merenung, persis di bawah pohon trembesi tua yang rindangnya seperti kanopi langit yang bocor. Di sini, di jantung kota yang berdetak tak kenal lelah, aku melihat dunia bergerak dalam kesunyian yang riuh. Mereka sibuk dengan keriuhan yang dibuat-buat, dengan janji-janji masa depan yang semu, tanpa tahu, di antara desakan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, ada sekat lain yang menanti untuk disingkap.

Kota Jakarta ini, tak pernah diam. Ia seperti naga raksasa yang terus merayap, menelan apa pun yang ada di hadapannya, dari lapak-lapak kecil hingga rumah-rumah kuno yang sarat cerita. Emak sering bercerita, dulu tempat ini adalah hamparan sawah dan ladang. Ada sungai yang bening airnya, ada kerbau yang berendam riang, dan langitnya, ah, langitnya begitu lapang, tak dihalangi oleh tembok-tembok beton yang dingin. Sekarang, semuanya berubah. Udara yang dulu sejuk, kini pekat oleh asap. Tanah yang dulu gembur, kini keras dilapisi aspal. Dan aku, Patih, adalah saksi bisu dari pergantian musim yang tak pernah usai.

Mereka bilang, aku aneh. “Kenapa betah sekali duduk sendiri, Patih?” tanya seorang gadis penjual kerak telor, dengan senyum yang sehangat arang dagangannya. “Lihatlah, semua orang sibuk, kenapa kamu tidak ikut sibuk?”

Aku hanya menatapnya, bibirku membisu. Bagaimana aku harus menjelaskan? Kata-kata tercekat di tenggorokanku. Bagaimana aku harus menjelaskan bahwa kesibukan mereka itu ilusi? Bahwa di balik layar kesibukan, ada hal-hal lain yang terjadi, yang tak kasat mata? Semua hanya bisa kutelan sendiri, menjadi simfoni sunyi yang hanya terdengar di dalam kepalaku.

Sejak kecil, aku sudah merasakan perbedaan ini. Saat anak-anak lain sibuk bermain kelereng atau petak umpet, aku lebih suka memandangi bayangan awan yang bergerak di genangan air hujan. Di sana, aku melihat lebih dari sekadar pantulan. Aku melihat peradaban lain, kota-kota yang terbalik, dengan istana-istana megah yang terbuat dari kristal cair, dihuni oleh makhluk-makhluk bersayap yang berpendar.

Orang-orang, terutama Emak, khawatir. “Jangan terlalu banyak melamun, Nak. Nanti kesambet.”

Emak tak tahu, lamunanku bukanlah lamunan biasa. Ia adalah jendela. Jendela yang terbuka ke alam lain, ke alam yang disebut Jangka Kinasih. Ini bukan nama yang kutemukan di buku pelajaran atau dongeng pengantar tidur. Nama ini datang begitu saja, melesat ke dalam benakku seperti sebilah panah cahaya.

Jangka Kinasih adalah sebuah kota di bawah tanah, di balik lapis demi lapis fondasi Jakarta. Konon, kota itu dibangun oleh leluhur kami, sebelum kolonial datang, sebelum menara-menara ini menjulang. Mereka adalah orang-orang yang tak ingin tunduk pada modernitas. Mereka memilih untuk bersembunyi, membawa serta seluruh pengetahuan, kearifan, dan keajaiban mereka. Kota itu terbuat dari bahan yang tak bisa dibayangkan oleh nalar manusia: batu-batu yang bisa bernyanyi, air yang bisa mengingat, dan pohon-pohon yang akarnya adalah jaringan komunikasi antar-waktu.

Aku tahu semua ini dari bisikan. Bisikan-bisikan yang datang dari segala penjuru kota, dari retakan aspal yang kering, dari sela-sela ubin stasiun yang dingin, dari desah angin yang melintasi kabel-kabel listrik. Bisikan-bisikan itu bercerita tentang keindahan yang tersembunyi, tentang teknologi yang sejati, yang bukan sekadar rangkaian kode biner, melainkan harmoni antara manusia dan alam.

Bisikan itu, bisikan dari Jangka Kinasih, sering kali datang saat aku duduk di sini. Saat jalanan mulai lengang, saat lampu-lampu kota mulai meredup, saat suara klakson berganti dengan dengung mesin pendingin yang sayup. Dari bangku ini, aku bisa mendengar mereka. Mereka memanggilku, mengundangku untuk kembali, untuk menyatu dengan mereka. Mereka bilang, aku adalah salah satu dari mereka. Aku adalah penjaga pintu, yang lahir di permukaan untuk suatu tujuan. Tujuan yang tak pernah kumengerti dengan utuh, tapi yang kurasakan kehadirannya begitu kuat.

Beberapa waktu lalu, ada insiden besar di kota. Proyek pembangunan sebuah stasiun baru digarap besar-besaran, hingga menggali lebih dalam dari yang pernah dilakukan. Pihak kontraktor menemukan struktur aneh, semacam batu pualam yang memancarkan cahaya redup dan mengandung relief yang tak pernah dilihat sebelumnya. Mereka panik, menghentikan pekerjaan, dan memanggil para ahli. Tapi tak ada yang bisa memecahkan misteri itu. Mereka menyebutnya “temuan purba yang tak teridentifikasi.”

Aku, dari kejauhan, hanya bisa tersenyum. Itu bukan peninggalan purba. Itu adalah gerbang. Salah satu dari sekian banyak gerbang menuju Jangka Kinasih. Gerbang yang secara tak sengaja terbuka karena ulah tangan-tangan serakah.

Sejak saat itu, bisikan-bisikan menjadi semakin kuat. Mereka tak lagi hanya bisikan, melainkan desakan. “Kembalilah, Patih. Waktunya sudah tiba.”

Aku bimbang. Hidupku di sini, di permukaan, memang tak istimewa. Tapi aku punya Emak. Aku punya kenangan tentang senyum penjual kerak telor. Aku punya bangku ini, di bawah trembesi tua, yang menjadi saksi bisu setiap tetes air mata dan setiap helai senyumku. Jika aku pergi, jika aku menuruti panggilan itu, apakah semua ini akan hilang? Apakah aku akan dilupakan, seperti sejarah yang terkubur di bawah aspal?

***

Suatu malam, langit Jakarta begitu cerah, tak ada awan, bulan purnama bersinar bulat. Aku duduk di bangku ini, memandangi bintang-bintang yang tampak seperti remah-remah cahaya yang ditabur. Tiba-tiba, bangku ini terasa berbeda. Bukan lagi bangku kayu yang kusam, melainkan sesuatu yang hidup, yang bergetar. Retakan-retakan di aspal dan di sekitarku mulai membesar, memancarkan cahaya hijau pudar.

Dari celah itu, terdengar suara yang lebih jelas, bukan lagi bisikan. Itu suara seorang perempuan, suaranya jernih, seperti air yang mengalir di sungai. “Patih,” katanya, “jangan takut. Kami tidak akan mengambil apapun darimu. Kami hanya ingin kau menjadi jembatan. Jembatan antara dua dunia yang terpisah.”

“Jembatan?” tanyaku. Suaraku bergetar.

“Ya. Jembatan. Kau bisa membawa pengetahuan mereka ke dunia kami, dan kau bisa membawa kearifan kami ke dunia mereka. Kau bisa menunjukkan kepada mereka bahwa ada cara lain untuk hidup. Cara yang tak merusak, cara yang selaras.”

Aku terdiam. Selama ini, aku hanya menganggap diriku sebagai pengamat, sebagai saksi. Aku tak pernah berpikir bahwa aku punya peran. Aku tak pernah membayangkan bahwa keanehanku ini, yang selalu membuatku merasa terasing, adalah sebuah anugerah.

Kupalingkan wajahku ke arah gedung-gedung tinggi yang seolah-olah berlomba menggapai langit. Kulihat cahaya-cahaya di jendela mereka, seolah-olah setiap jendela adalah mata yang terjaga, menyaksikan segala hal yang terjadi di bawah. Aku tahu, di balik setiap jendela itu, ada cerita. Ada kegelisahan, ada kesepian, ada ambisi yang tak pernah padam. Mereka semua, seperti aku, adalah manusia-manusia urban yang terjebak dalam labirin beton.

Dan aku, Patih, punya kesempatan untuk menunjukkan jalan keluar. Aku punya kesempatan untuk memperkenalkan mereka pada Jangka Kinasih, pada dunia yang penuh keajaiban, pada dunia yang tak didominasi oleh kekuasaan dan uang, melainkan oleh harmoni dan kebijaksanaan.

Bangku yang kududuki kini terasa hangat. Retakan di aspal yang bercahaya mulai membentuk pola, seperti peta. Aku mengulurkan tanganku, menyentuh pola itu. Pola itu membalasnya, memancarkan sensasi listrik yang lembut.

“Kami menunggumu, Patih,” bisik suara itu lagi. “Kami akan membimbingmu.”

Aku menghela napas, sebuah napas yang terasa berbeda. Napas yang tak lagi berbau asap kendaraan, melainkan wangi tanah basah dan daun-daun yang baru mekar. Aku memejamkan mata, membiarkan diriku sepenuhnya diserap oleh sensasi itu.

Sesaat kemudian, semuanya lenyap. Bangku itu masih ada, tetapi di sekitarku, tak ada lagi gedung pencakar langit. Aku berada di dalam Gua, yang dindingnya terbuat dari kristal yang berpendar. Di atas sana, di langit-langit Gua, ada bayangan kota Jakarta. Kota yang kubiarkan di belakang.

Aku melangkah maju. Dari jauh, terdengar suara gemuruh, bukan gemuruh mesin, melainkan gemuruh air terjun. Cahaya dari kristal-kristal itu menari, membentuk bayangan yang mengajakku untuk menari bersamanya.

Aku tersenyum. Aku bukan lagi Patih si pengamat, Patih si penyendiri. Aku adalah Patih, jembatan. Jembatan antara dunia yang sesak dan dunia yang lapang. Aku akan kembali, pada saatnya. Untuk menceritakan kepada mereka, kepada orang-orang di kota yang tak pernah tidur itu, bahwa ada hal-hal yang tak kasat mata, yang menanti untuk ditemukan. Bahwa di bawah kaki mereka, ada keajaiban yang tersembunyi, yang dinamakan Jangka Kinasih. Dan bahwa dunia mereka, yang mereka anggap nyata, hanyalah sehelai kain tipis yang bisa robek kapan saja.

Aku berjalan lebih dalam, menuju gemuruh air dan cahaya yang menari. Aku tidak lagi takut. Aku merasa lengkap. Akhirnya, aku telah menemukan rumahku. Dan di sinilah lelakonku dimulai. Bukan sebagai sejarah yang terlupakan, melainkan sebagai babak baru yang baru saja dimulai.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *