Melihat Indonesia dari Kota Hujan: Orasi Arus Bawah

Melihat Indonesia dari Kota Hujan: Orasi Arus Bawah

dok. aksikamisanbgr

kengkawan, mari kita ingat sebentar,

ada satu metode yang dulu mengubah arah sejarah negeri ini. 

vincent bevins menyebutnya jakarta method.
sebuah operasi senyap, sistematis, yang melumpuhkan bukan hanya tubuh,
tetapi juga pikiran, imajinasi, dan solidaritas.

enam puluh tahun lalu, metode itu menangkapi ribuan,
membungkam jutaan, membuat satu generasi gemetar.
dan hari ini, setelah 60 september kemudian
kita masih menyaksikan pola yang sama.
seakan mesin itu tidak pernah benar-benar berhenti mencekik ruang sosial.

kita lihat sendiri: di Bandung, Jogja, Papua, Semarang, Jakarta

di gang-gang kecil, di jalanan kampus, 

orang-orang kembali ditangkap.  

tidak hanya satu, sepuluh, atau seratus, tapi ribuan.

ada mahasiswa yang ditangkap hanya karena mengangkat poster,
ada buruh yang sekadar menuntut upah,
ada petani yang sekadar menuntut tanah,

beberapa adalah kawan yang berbagi napas dan hujan yang sama dengan kita.
dan semua dijawab dengan borgol, dengan pasal, 

dengan ruang pengap 3×3 yang bernama: penjara.

namun yang terasa lebih menyakitkan adalah ini:
tak ada satu dentuman besar yang menghentak.
tak ada gelombang solidaritas yang mengguncang.
seolah semua ini kita terima begitu saja,
seolah penangkapan demi penangkapan hanyalah rutinitas harian seorang aktivis.

pertanyaannya, apakah kita sudah terlalu takut?
apakah teror berhasil menusuk begitu dalam
hingga imajinasi kita habis, hingga solidaritas kita terus menipis?
atau lebih buruk lagi:
apakah kita sudah menormalisasi semua ini,
menyebutnya sebagai “risiko wajar” hidup di negeri yang semua pejabatnya bangsat ini?

zen rs dalam esai-esai pendeknya menulis, bahwa metode ini
tidak hanya menghabisi fisik, tapi juga memutilasi sosial.
mereka mencabut keberanian, mencabut memori,
dan menggantinya dengan rasa malu, rasa gentar, rasa tak berdaya.
dan bukankah itu yang sedang kita rasa?

keberanian kita dipreteli.
solidaritas kita diremukkan.
imajinasi kita dikurung dalam kotak ketakutan.

kengkawan,
kalau setiap kali kita dengar ada yang ditangkap
dan reaksi kita hanya sebatas bisik lirih di grup whatsapp,
maka sesungguhnya kita sudah ikut menjadi kaki tangan dari normalisasi itu.
kalau setiap kali ada yang hilang
dan kita hanya menyebutnya sebagai “nasib sial”,
maka kita sedang menutup mata atas kejahatan yang sedang diulang.

maka kita sudah kalah sebelum berperang.

maka, pertanyaannya bukan lagi siapa yang ditangkap berikutnya,
tetapi, sampai kapan kita membiarkan ini jadi wajar?

kita tahu, teror bekerja dengan mengajari kita untuk diam.
tapi melawan berarti mengajari diri kita sendiri untuk bergerak.
tidak harus dengan dentuman besar sejak awal,
tidak harus dengan massa ribuan yang langsung ke base lawan
gerakan bisa dimulai dari pojok-pojok kecil,
dari grafiti di dinding, dari selebaran di jalan,
dari pertemuan-pertemuan rahasia yang tak ketahuan.
sebab gerakan lahir dari keberanian yang dilatih,
dan kita tahu, seperti ketakutan, keberanian pun juga menular.

dan sejarah, sejarah yang ada di bangsa kita sendiri 

telah banyak memberi pelajaran berarti:
bahwa diam, bahwa ketakutan 

hanya membuat kita berbaris menuju giliran.
dan hanya solidaritas,

solidaritaslah, kengkawan, yang bisa meretakkan mesin ketakutan itu.
karena meskipun mereka punya senjata, pasal, dan penjara,
kita punya sesuatu yang lebih berbahaya:
bahasa, imajinasi dan solidaritas.

dan oleh karena itu, maka mari kita tegaskan lagi,
di Aksi Kamisan Bogor yang ketujuh ini, di oktober yang ketiga

di tragedi Kanjuruhan ini, kita harus menyatakan:

kita tidak takut. kita tidak akan diam.
kita menolak normalisasi penangkapan.

kita menolak segala tindak kekerasan yang dilakukan aparat.

usut tuntas kanjuruhan. bebaskan semua tahanan politik.

dan di penghujung kata ini, mari kita yakini lagi apa yang kita percaya.
solidaritas adalah senjata.
dan senjata itu hanya berarti
kalau kita kokang bersama.

Bogor, 1 oktober 2025

*bahan orasi aksi kamisan bogor ke-7 dan peringatan tiga tahun tragedi kanjuruhan.


Catatan Redaktur Halimun Salaka: Melihat Indonesia dari Kota Hujan: Orasi Arus Bawah ini akan kami buat menjadi tulisan berseri, yang akan mengais, menampung, serta mempublikasikan segala macam orasi keindonesian. Karena tajuknya Melihat Indonesia dari Kota Hujan, maka edisi ini dikhususkan kepada orang-orang yang lahir, menetap, atau sekadar singgah di Kota Hujan untuk membikin secarik orasinya untuk Indonesia. Tak ada pengkategorian seperti apa bentuk orasi yang akan kami tampung. Segala bentuk orasi yang puitis maupun prosais akan kami tampung. Tapi tetap mesti bersumber pada masalah dan mesti mendobrak pagar masalah keindonesiannya. Sebab, kami percaya, segala macam kegelisahan Indonesia mesti dibicarakan secara bersama-sama, dengan gotong-royong sudut pandang antar daerah-kota, salah-satunya. Dan Kota Hujan, Bogor Raya umumnya, mesti ikut andil mengakar-tumbuhkan dialektika segala persoalan Indonesia: walau hanya secarik kata-kata, walau hanya kerisauan semata. Yang terpenting atas nama bangsa dan sebagai manusia merdeka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *