Sebelum berniat datang, saya mulai bertanya: pada sekarang apa urgensinya dari adaptasi bebas atas suatu naskah yang dipilih itu? Apakah proses adaptasi (yang dilakukan ketiga kelas Lab Teater Ciputat: Jalin-Karya, Bongkar-Muat, Napak-Tilas) naskah drama kanon ini upaya meningkatkan kembali dengan dekonstruksi, penyangkalan, penampikan, perluasan, pendalaman, pengutuhan, pelebaran, pembaharuan, dan atau penyempurnaan makna yang lain dari kemenyeluruhan yang terbaca melalui teks aslinya?
Pertanyaan di atas mungkin terjawabkan melalui masing-masing pertunjukan—dengan segala eksperimen bentuk pemanggungan serta penjelajahan lintas disiplin artistik. Kesemuanya itu lebih mengakrabi suatu pertunjukan yang strukturnya tidak konvensional, malahan cenderung inovatif, radikal mungkin. Seperti, upaya menghadirkan “teater dalam teater”, atau barangkali bisa disebut “meta teater”. Semacam percobaan untuk mengurai ketegangan konflik antara realitas dan fiksi yang dipertemukan di atas panggung.
Melalui program “Buka Dapur” Lab Teater Ciputat, kita segera menduga bahwa tugas aktor itu banyak banget. Aktor mesti juga sebagai kreator, sebagai penulis naskah, sebagai sutradara, sebagai penata panggung, dan masih banyak sebagai lainnya. Betapapun repotnya itu, tiap aktor-kreator harus menerima tantangan demi meningkatkan mutu pertunjukan yang berbasis pada nilai kontekstual dan nilai universal. Saya kira, beginilah mulanya proses adaptasi merupakan dasar disiplin latihan penghayatan akan nilai-nilai universal dan nilai-nilai kontekstual, yang terutama sekali penghayatan akan diri—yang intens dan bertubi-tubi. Inilah yang ngehek dari teater yang kita jalani dan cintai sepenuh hati.
Dua kali saya nimbrung “Dialog Pertunjukan”, tak bicara sepatah kata pun, dan telah mengasak sedemikian banyak perspektif lintas pandang mengenai pertunjukan yang tunai dimainkan. Berkali-kali ada kesempatan untuk bicara, tapi tawaran tersebut tak membuat diri saya merasa pantas untuk berbicara. Pasalnya, dalam forum pertunjukan itu, yang melulu dibicarakan dalam hal penanggapan atas suatu pertunjukan ialah, segala hal-ihwal sekitar pra-pertunjukannya, bukan pembicaraan pasca pertunjukan yang berada di tempat medan estetika diperebutkan dan dipertaruhkan.
Memang semua hal yang telah dibicarakan dalam dialog pertunjukan itu sah-sah saja, tapi mungkin belum menyeluruh, karena tak memberi kesempatan terhadap pemaknaan tiap penonton secara utuh, meluas dan mendalam. Barangkali, menurut forum itu, pertunjukan baru akan berarti kalau ia ditanggapi dan dibahas dari segi-segi “di dalam pertunjukannya”, dan bukan pemaknaan yang secara kewajaran terjadi “di luar pertunjukannya”.
Maksudnya adalah apakah yang ingin disampaikan tiap pertunjukan itu dapat terbaca dan tertangkap dalam penghayatan maupun pemaknaan beragam spektator atau tidak?
Terjawab atau tidak, tergantung pada kehadiran penanggapan tiap penonton, atau umumnya orang biasa-biasa saja. Inipun kalau memang pemaknaan serta penghayatan masih dibutuhkan sebagai batu uji dialog pertunjukan. Andaikan pun tidak, tak masalah. Barangkali, kebermaknaan suatu pertunjukan begitu sepele nilainya untuk dibahas dalam dialog pertunjukan yang bergelimang nilai. Pemaknaan bagaikan vandalisme di tengah rancang bangun estetika ideal pra-pertunjukan pencakar langit. Penghayatan semacam hiburan kasar di antara kehalusan-kehalusan konsep estetika kontemporer.
Tapi sebetulnya apasih yang mesti dipercakapkan dalam jamaknya dialog pasca pertunjukan itu?
Membincangkan seputar teknis pra-pertunjukan seharusnya bisa begini-begitu, seharusnya jangan begitu tapi begini. Membincangkan sedikit tagihan atau tuntutan pertanggung-jawaban tiap aktor-kreator. Membincangkan sekitar laporan-laporan evaluasi dan capaian-capaian pertunjukan yang sama dikemudian hari. Membincangkan sejumlah hal yang mungkin dapat membuat aktor-kreator tersebut makin greget dalam menumbuhkan kekaryaannya. Membincangkan seluruh pemaknaan yang terserap dan mengalirkan kemungkinan secara utuh, menyeluruh dan mendalam.
Intinya, kalau dialog pasca pertunjukan itu hanya pemenuhan atas pemaknaan saja, ia menjadi tidak utuh. Begitupun kalau cuma berisi evaluasi saja, ia kurang menyeluruh. Sama halnya kalau sekedar ulasan pra-pertunjukan, ia tidak lantas mendalam.
Teater bukan kalangan penuh makna. Proses membaca teater bukan proses pembaharuan makna. Karena tidak setiap pertunjukan bagus itu penuh makna. Ada pertunjukan-pertunjukan menarik yang kalau kita tonton, kadang-kadang kita cuma—tetapi sebetulnya bukan cuma—terberikan suasana batin yang tidak jelas, tapi kita merasakan bahwa pertunjukan ini penting. Mungkin karena pertunjukan itu telah mengungkapkan satu segi pengalaman yang kita pernah mengalaminya, tapi tak kunjung menyadarinya. Sehingga peristiwa teater sebagai pengalaman itu merupakan bagian dari diri kita.
Teater adalah penempuhan untuk menghayati dan mengalami suatu pertunjukan. Dari sinilah hakekat pertunjukan senantiasa ditanggap sesuai dengan pribadi masing-masing, meskipun pada akhirnya, ada yang tetap tak bisa disangkal karena sangat mengandung ambivalensi.
Dream — Lab Teater Ciputat & Seoul Factory, Indonesia—Korea Selatan
Dream—selanjutnya disebut Mimpi, dwi karya Indonesia-Korea Selatan ini hasil jalin karya drama komedi cinta “A Midsummer Night’s Dream” William Shakespeare. Yang kemudian sampai dipentaskan tinggal mimpi. Bercerita tentang mimpi sepasang kekasih menerjang bahtera hidup bersama-sama—saling berbagi kelucuan dan menggemaskan. Lebih mirip “drakor teater” ketimbang “film drakor”.
Tampaknya, untuk membicarakan hal besar kita perlu roman picisan buat menopang permainan komedi yang terselubung satir, meski belum sepenuhnya bernuansa kritis.
Sebagai hiburan, Mimpi begitu elok ditatap, dan inilah yang menggembirakan. Sehingga secara pemaknaan juga bisa diperluas dan diperdalam, misalnya, Maha Indah Allah yang karena kebijaksanaan-Nya menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan supaya kita menerapkan formula keseimbangan. Hidup itu ada siang dan malam, laki-laki dan perempuan, susah dan senang, baik dan buruk, Negara dan warga Negara, dan lain sebagainya yang berpasangan. Demikian juga terjadi dalam cara pandang kita terhadap sesuatu. Seringkali kita merasa tidak berdaya bertatap pandang derita dan kesedihan, tetapi cenderung timpang di dalam menakar timbangan rasa syukur dan kenikmatan hidup dari Tuhan. Maraknya kegiatan ekstraktif besar-besaran yang dilakukan pemerintah ternyata justru membuat kita harus lebih banyak menerima kerugian bencana alam, kerusakan lingkungan, dan ribuan korban jiwa. Kita dipaksa mengambil lebih banyak perih demi menyongsong kegemilangan Indonesia emas.
Sedangkan perjodohan antara pemerintah dan rakyat yang dipaksakan oleh politik bengis, ternyata belum bisa memastikan keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan hidup bersama. Bahkan, seluruh kebijakan pemerintah sekarang lebih sering saling menimbulkan pertikaian daripada saling melengkapi. Menjalani hidup bersama pemerintahan semacam ini kalau kita perhatikan sekeliling malah tidak membuat kita bahagia karenanya, meskipun kalau kita zoom out sedemikian jelas menangkap keseluruhan serta keberlimpahan rezeki dari Allah. Kemudian diperparah lagi dengan hubungan alam dan manusia kian semrawut karena lensa politik kita pecah berkeping-keping. Tak mampu melihat penderitaan yang begitu nyata. Tak sanggup menatap kesedihan yang terlampau dalam. Tak bisa memandang persoalan-persoalan hidup yang rill.
Mimpi yang dipentaskan ini ialah, barangkali impian tentang kewajaran hidup di tengah kehancuran, dan harapan akan keseimbangan yang hanya bisa dicapai kalau kita betul-betul mengerti berpasang-pasangan dalam hidup ini. Mengerti bagaimana caranya memastikan kebahagiaan dari segala sisi. Mengerti bahwa dengan berlatih sebelum tiba waktu pementasan adalah proses berkeseimbangan di dalam suka-dukanya.
Mimpi menggelar suatu pertunjukan tentang bagaimana menyiapkan pementasan itu sendiri. Melewati pemanggungan kolaborasi ini, kok saya malah terbawa mimpi akan tanah air. Maksudnya adalah tanah air kita itu aslinya kota global, alam lestari, hutan rimba, bangsa dari segala bangsa, atau yang manakah yang bisa disebut tanah air? Tapi kenapa dalam perspektif pemerintah, rasanya tanah air adalah ketika seluruh rakyatnya mulai kehilangan tanah dan air. Jadi tak ada tempat buat latihan teater, pun tak tersedia fasilitas buat pementasan—yang telah dikabarkan pertunjukan ini. Astaga, apakah ini semua cuma mimpi.
Distrik Terakhir — Riky Arief Rahman, Bandung
Sampailah kita pada Distrik Terakhir dari jalin karya drama absurd “Endgame” Samuel Beckett, dibawakan secara berbeda oleh empat karakter: sang komposer, dokter, si orator, dan seorang yang mengalungi teropong—dalam bentuk eksperimen pemanggungan yang menjalin kekaryaan teater, seni rupa dan musik post-truth.
Set panggung menggambarkan distrik kotor, kumal, lusuh, kusam, yang lebih menyerupai kesuraman dengan segala dekorasinya. Sebuah tempat di mana bau-bau kemiskinan begitu menyengat. Pembayangan atas suatu kondisi bahwa kelak kita berpotensi menjadi negara miskin. Mengingat pembalakan pohon terjadi di mana-mana, kerusakan hutan dan perampasan lahan lingkungan hidup telah melanda hampir seluruh alam Indonesia. Hal ini mungkin mengindikasikan adanya kehancuran total di tengah mitos kemajuan.
Distrik Terakhir adalah bersiap-siaplah siapkan pertanyaan sekaligus jawaban bertahan hidup di dunia yang nyaris kiamat atau di Negara yang penuh bencana buatan politik. Mereka saling berdialog, mengutuk segala kebijakan yang brengsek, dan terus berusaha mengabarkan tragedi eksistensial bahwa kita sedang berada di titik nadir kemanusiaan. Dekadensi ini dieksplorasi sedemikian rupa melalui patahan-patahan dialog yang aneh, jiwa-jiwa liar yang kehilangan pegangan, dan tubuh yang senantiasa mencari arti dari kehampaan yang punya harga. Pada kemudian, apakah hidup menjadi berarti kalau kita memberi makna? Apakah hidup bisa dikatakan hidup kalau pemaknaan mulai kehilangan gairahnya?
Distrik Terakhir menjadi salah satu tempat yang memicu segala policy pemerintahan, tapi tak pernah dianggap sebagai suara warga Negara. Ia punya suara, tapi tak punya hak untuk menyuarakan sesuatu. Ia punya pandangan, tapi tak punya corong untuk menyatakan sesuatu.
Hidup pasca-kiamat semacam ini membuat kita ngeh bahwa kita telah menjadi bangsat yang hanya bisa hidup dalam kegelapan. Kita akan menjadi filsuf yang sehari-harinya sibuk mempertanyakan apa makna hidup ini. Apakah masih ada harga cinta? Apakah kita betul-betul manusia? Apakah kita akan diam saja, saudara-saudara? Bagaimana kita mesti bersikap terhadap ketergantungan menunggu paket putus asa kiriman keadaan politik? Akan ke manakah kita perginya jika kiamat giveaway politik sungguh-sungguh melanda masyarakat? Bimbang kalbu.
Liar Lear — Iskandar GB, Lampung
Pada Liar Lear (dibacanya layer Lear), garapan kelas bongkar-muat naskah drama babon “King Lear” William Shakespeare, menampilkan efek alienasi seperti dalam konsep Brechtian, yang membebaskan Lear dari kondisi katarsis. Makanya Lear di sini, sebagai orang usiran setelah lepas dari sekedar Raja yang gaek. Citra lain yang tampak sekilas Lear adalah gambaran seseorang yang “gagal nyaleg, gila kemudian”. Kalau dalam pemahaman Jawa, Lear bisa berarti sebagai “lengser keprabon” meski belum “madep pandito ratu”. Ada banyak lapisan-lapisan karakter Lear, tetapi si aktor-kreatornya dengan sengaja mengeluarkan sebagian misalnya; raja, badut, dan irisan keduanya—yang kemudian tersebutkan namanya Alex.
Lear dalam pertunjukan ini telah meninggalkan istana dan bermukim di pertapaan yang menyerupai rumah sakit jiwa. Seakan-akan ia sedang menjalani laku yang membijaksanai segala sesuatu, meski tak seorangpun akan percaya. Karena satu-satunya hal yang ia percayai ialah bahwa di dalam keterasingan begini, ia bisa melihat diri seutuhnya dan setelanjangnya. Ia membiarkan jalannya perubahan karakter yang saling tumpang-tindih berebut suatu peran sejauh itu memang diperlukan.
Barangkali, untuk bisa ngomong kebenaran akan banyak hal ia perlu menjadi badut, supaya omongannya tidak dipedulikan karena kebanyakan orang menganggap ia gila. Sebab kita masih terbiasa melihat siapa yang ngomong, bukan apa yang diomongin. Sedangkan kalau diharuskan menyampaikan kritik tentang kebobrokan suatu kerajaan ia malih menjelma Raja, karena ia paham betul segala macam simptom penguasa. Sindrom ini ada dalam tata pemerintahan warisan kolonial. Tetapi jika diperlukan untuk menanggapi kondisi manusia melalui kesengsaraan, ia menyerupai Alex, yang mengalami gangguan mental karena ia kurang kesiapan sedikit untuk berani tidak dipahami oleh banyak orang.
Mungkin Lear hanya bisa dipahami oleh orang yang titis mata hatinya. Bahwa ia tidak sekedar menceracau lewat dialog-dialognya, melainkan juga menggambarkan gejala-gejala sosial secara utuh di dalam pemanggungannya. Sementara ketika ia tersadar, ia buang ilusi demi mengasak lebih banyak perih dan onak duri. Kekuatan dialognya dikemas dengan keterampilan aktor dan kemampuan penguasaan panggung yang lengkap. Ia bisa tidur, terbangun, mendadak termangu, lalu berjoget, bernyanyi lagi, dan terus saja mencerca. Kegilaan yang ditampilkan tidak membuatnya spontanitas menghasilkan kesadaran artifisial, melainkan justru menjurus pernyataan refleksi kesadaran kritis mengenai gejala-gejala lingkungan hidup dan sosial.
Lear, dalam pertunjukan ini, secara gamblang mengingatkan bahwa kita berada pada suatu “zaman bagi yang pandai bersiasat akan selamat”. Tetapi saya tidak ingat pastinya, Lear yang mana yang mampu mengatakan hal ini. Karena memang Lear secara emosional tidak terlibat sepenuh-penuhnya dengan karakter yang ia mainkan. Lear dengan leluasa bisa keluar-masuk karakter tanpa perlu emosi pertunjukan yang berlebih melalui dialognya. Ora patheken. Karena ia telah menempuh jalan yang sunyi, menempuh semua perjalanan yang tak pernah ditempuh.
Ia seolah-olah dengan sadar tidak mampu mengubah dunia atau sistem yang berlaku sekarang ini, terserah-serah penonton yang tekun mengikuti cerita, menanggapi, berargumen, mengambil alih, mempengaruhi keputusan, mengambil jarak, melihat dari segala jurusan, berpengetahuan dan rela bersakit-sakit dalam pembelajaran—yang mungkin akan membalikkan keadaan sekarang yang sedemikian brengsek ditambah para pemimpin egois ini, nanti. Dan sekali lagi, Lear ora patheken.
Malam Tanpa Akhir — Dyah Ayu Setyorini, Surabaya
Malam Tanpa Akhir merupakan episode yang lain dari bongkar-muat naskah filosofis “Malam Terakhir” (Sotoba Komachi) Yukio Mishima. Dalam Malam Tanpa Akhir, unsur feminisme diusung dengan gaya penyangkalan oleh berbagai karakter melalui seorang diri, aktor, dan perempuan. Ketiga karakter itu ia wujudkan atas idiom “berdiri di kaki sendiri”: latihan sendiri, protes sendiri, perbalahan sendiri, argumen sendiri, nge-set panggung sendiri, main sendiri, dan menyutradarai sendiri. Semua serba sendiri. Seperti behind the scenes, menggambarkan proses jauh sebelum tampil di panggung.
Dalam kesendirian itu, ia menyampaikan dialog-dialog berisi tafsiran ulang atas pembacaan Sotoba Komachi dengan pendekatan feminisme. Ia membantah dengan nada pernyataan bahwa naskah itu berbicara tentang perempuan, ditulis oleh seorang laki-laki, lalu dimainkan oleh sepasang laki-laki dan perempuan. Terus mempertanyakan kenapa perempuan selalu digambarkan sedemikian rupa nan tak berdaya dalam pandangan laki-laki? Tak mungkin saya menjawabnya. Tak elok bila saya menanggapinya. Karena ia melalui pertunjukannya, seolah-olah ingin menyindir laki-laki tahu apa tentang perempuan. Kalau sedemikian tahu, lantas kenapa yang diketahuinya selalu cenderung melemahkan perempuan. Kenapa laki-laki selalu menulis dalam hal membicarakan perempuan hanya sebagai pelengkap penderita dengan segala keterbatasannya. Itupun kalau bukan membicarakan ini, paling pol membahas kecantikan.
Atas dasar itulah, ia hendak menyampaikan betapa perempuan ternyata masih terbelenggu dalam perimbangan pandangan laki-laki. Hal ini kemudian ia tampilkan dengan menjelmakan peran Komachi sebagai wanita tua bangka yang miskin, yang diliputi bayang-bayang kecantikan masa mudanya, yang memantulkan cermin retak cinta. Bagaimana dulunya ia pernah diagungkan lewat sajak-sajak, dicintai secara obsesif. Darinya mungkin kita belajar bahwa tak ada wanita jelek di mata laki-laki yang sungguh-sungguh mencintainya. Cinta sejati tidak bertahan karena rupa—yang ketika ia tua rasanya cinta mungkin berkurang, tetapi dari keindahan jiwa dan hati terdalam, dari karakter maupun akhlaknya.
Pertunjukan flat ini barangkali lebih tampak menguraikan penyesalan dan kesepian yang panjang, tapi dengan pembawaan kritis terhadap segala realitas yang telah menimpa dirinya. Semisal, kalau ia cantik, ia tak perlu latihan untuk ikut audisi, sebab kemungkinan besar ia lolos audisi karena kecantikannya, bukan karena keterampilan dan keuletan dirinya sebagai seorang aktor. Penilaian semacam ini mungkin, baginya, sangat tidak manusiawi, tapi kenapa kemafhuman ini kadung dinormalisasi secara umum.
Jujur, saya tak paham penderitaan macam apa yang telah menimpa Komachi, yang kemudian suara-suara perih itu diungkapkan melalui pertunjukan. Atau jangan-jangan saya belum cukup menderita untuk bisa menjelajahi selubung simbolisme yang terkandung dalam linimasa interteksnya. Saya tak bisa membaca maksud “menaklukan tujuan”. Juga termasuk gagal dalam menyelami pengertian “perjalanan tanpa akhir”. Keduanya itu seperti daerah yang ingin ia tuju, ingin ia capai. Tetapi tujuan itu yang mana? Tanpa akhir itu seperti apa? Astaga, alangkah begonya laki-laki seperti saya ternyata belum pantas mudeng perempuan dalam pembayangan perempuan itu sendiri. Padahal, naskah itu habis dibongkar, lho kok, mogok lagi pemaknaannya.
Egol Ngger — Alfian Darmawan, Magelang
Konon, pertunjukan napak tilas melalui kesenian tradisi Lengger dari Jawa Tengah ini dianggap sebagai pertunjukan seksual nan sensual. Tapi saya melihatnya sebagai ujian iman, bagi laki-laki, yang setiap menunaikan ibadah Jumat’an selalu dinasehati untuk meningkatkan iman dan takwa. Seolah-olah Egol Ngger dengan segala manifestasi tubuh erotisnya, hadir untuk menguji seberapa tangguh tahan iman kita?
Ini satu pertunjukan “tamparan keras” yang menggembirakan supaya kita eling o ngger. Hidup ini bulatan. Kemenyeluruhan. Kalau cara pandang (termasuk pijak pandang, resolusi pandang, sisi pandang, gaya pandang, jarak pandang, bulatan pandang) kita tidak utuh, kita akan terkurung dan terjebak dalam penalaran—yang sepotong-sepotong lagi setengah-setengah.
Egol Ngger mempresentasikan bahwa sebetulnya kita ini terpecah-belah, tidak utuh dalam memandang manusia. Ia menyiratkan bahwa selama ini kita melihatnya hanya sebagai laki-laki, sebagai perempuan, sebagai waria, dan bukan sebagai seorang manusia. Kita tidak serius terhadap penjelajahan nilai bahwa di dalam kelelakian itu ada sifat keperempuanan, dan di dalam keperempuanan itu ada sifat kelelakian. Manusia itu, ya, kelelakiannya juga keperempuanannya, bukan sekedar laki-laki atau sekedar perempuan. Sama halnya kosong dan isi menurut keadaan.
Egol Ngger yang menapak-tilasi tari Lengger ini mengingatkan saya kepada tari Topeng Losari. Keduanya sama-sama menerapkan tari sebagai spiritual. Menari sebagai doa khusus dan persembahan rasa syukur. Menari sebagai sesaji yang sakral, dan dalam rangka ritual. Bedanya, mungkin, tari Topeng Losari pakai topeng, dan harus menari sambil menutup mata. Ia menari tanpa pamrih dilihat orang. Ia menari dengan mata tertutup sebagai laku spiritual persembahan serta pengabdian hamba kepada Tuhan sekalian alam. Sehingga kemudian segala macam gerak tubuhnya bisa mengandung unsur-unsur gerak tari kelelakian maupun keperempuanan.
Barangkali, Egol Ngger adalah suatu proses keawasan untuk membangun kembali keutuhan dan keseimbangan manusia. Yang dikatakan sebagai manusia adalah ciptaan Tuhan dengan segala kelengkapan nilai-nilai kemanusiaan. Karena tak mungkin manusia bisa disebut manusia apabila hanya tubuh tanpa nyawa, akal tanpa hati, ilmu tanpa iman, dan lain sebagainya secara berpasang-pasangan.
Hidup ini kalau mau dipandang buruk, ya, buruk. Begitupun dilihat baik, ya, baik. Tetapi yang terpenting ialah di dalam keburukan itu juga ada kandungan baiknya, dan di dalam kebaikan itu juga ada muatan buruknya. Keduanya saling berdialektika, mencari dan menemukan pijakan keseimbangan, presisi dalam hidup ini.
Malin Kundang Lirih — Fajar Eka Putra, Padang Panjang
“Betapa berat menjadi anak laki-laki di Negeri kita!” Ini sepenggal pasase dialog dalam pertunjukan memori Malin Kundang Lirih, terangkat dari suatu pembacaan napak tilas kisah Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu. Ia berkisah lain dari yang kita kenal. Ia bukan mengisahkan tentang kedurhakaan, kepahlawanan, melainkan tentang keluh kesah—dari perspektif Malin Kundang yang dihidupi lewat panggung. Dari corong mulut ekspresif seorang Malin Kundang itu, sebagian dari kita mungkin segera tahu, bahwa ia protes. Protes terhadap segala situasi plus keadaan yang seluruh pemaknaan atas dirinya selama ini dikukuhkan dalam kebekuan konotasi dan stigmatisasi negatif.
Cap buruk sedemikian melekat dalam dirinya. Dalam relasi keluarga, ia dianggap seorang anak yang durhaka, yang pantas dikenang sebagai pelajaran moral untuk tidak ditiru. Tetapi dalam pertunjukan ini, ia dimanifestasikan sebagai gambaran seorang anak laki-laki—yang sayangnya tidak meng-universal-kan diri, malahan terkurung demi mem-partikular-kan diri, yang oleh Umar Junus disebut sebagai “menjadikan diri takuniversal”. Saya kira inilah problematisnya. Tak perlulah ia me-Minangkabau-kan dirinya, karena memang sudah ketara ia berasal dari sana. Upaya semacam ini justru mengalami kebuntuan karena sangat mungkin dituding dengan nada negatif bahwa ia sedang meng-glorifikasi-kan diri. Penapak-tilasan ia atas kaba Malin Kundang terjebak dalam persoalan domestifikasi yang berarti bukan universalitas. Ia seolah-olah cuma urusan dalam Negeri, bukan meng-Indonesia. Ia seakan-akan cuma dongeng yang baik tentang kedurhakaan sebelum kita tertidur.
Kalau saja Malin Kundang adalah semua pria atau seluruh laki-laki di muka bumi, artinya setiap diri kita juga punya durhakanya masing-masing. Seperti misalnya, Negara durhaka kepada rakyatnya. Pemerintah durhaka kepada seluruh kekayaan alam ciptaan Tuhan. Hukum durhaka kepada keadilan. Seluruh kebijakan Negara ini durhaka kepada suara warga Negara. Tentu saja pembayangan saya ini hanyalah Malin Kundang versi gemblung, bukan Malin Kundang Lirih dengan segala pencitraan anak laki-laki Minangkabau—sebagaimana tampak melalui kostum serta ciri-ciri lainnya yang mendukung capaian bentuk ekspresifnya yang purna.
Kalau yang disorot Malin Kundang Lirih versi keluh kesah dirinya itu, apanya yang mau ia tanggapi selain isu-isu primordial di sekitarnya? Cobalah perlebar, perluas, perdalam lagi dalam menapak-tilasi Malin Kundang. Sehingga durhaka bisa diperlebar pembacaannya, keluh kesah bisa diluaskan penanggapannya, dan rantau bisa diperdalam pemaknaannya. Supaya penonton seperti saya bisa merasakan Malin Kundang adalah mungkin diri saya sendiri, di mana rantau adalah kesiapan diri untuk berani tidak menjadi apa atau siapapun saja. Itupun kalau kita mau jujur bahwa kita juga bisa dikatakan durhaka karena telah memenggal keutuhan dan kemenyeluruhan hidup ini.
Buku Kredit — Jamaluddin Latif, Yogyakarta
Aktor-kreator dari Yogyakarta ini telah menunaikan “hutang” tontonan yang segar, membuat kita lupa hutang mana yang belum lunas, meski esok harus kembali bekerja dan menyicil segala utang-piutang. Adapun kesan yang muncul tatkala menonton pertunjukan partisipatoris itu ialah, tampaknya kita terlalu sibuk mencari nafkah demi “gali lobang tutup lobang” sampai lupa menjalani hidup. Di satu sisi, hutang bikin kita greget bekerja, namun di sisi lain, melalaikan kita pada banyak hal dalam hidup yang patut disyukuri dan dinikmati.
Meskipun pada kenyataannya, zaman telah membuat hutang menjadi karakter hidup itu sendiri, sebagaimana terpantul melalui Buku Kredit, yang seolah-olah hendak menyampaikan bahwa hutang adalah juga rezeki dari-Nya. Sekaligus ia meragukannya dengan mempertanyakan: “Apakah betul kita hidup benar-benar lunas dalam liang kemiskinan? Aku harus apa untuk jadi manusia yang lunas? Aku harus apa dengan garis takdir menjadi miskin dan berhutang dengan sisa-sisa kehidupan? Apakah kalian bisa melunasi buku kredit saya?”
Gembira rasanya menonton bagaimana Buku Kredit menggedor keawasan kita, betapa selama ini kita tidak serius terhadap nilai-nilai, tidak serius dalam menerapkan kewajaran hidup yang manusiawi. Pandangan kita terhadap manusia sedemikian temeh karena terlampau dibatasi dalam ukuran pecahan angka-angka, ditakar dengan nominal-nominal. Hal inilah yang membuat kita gagal menatap manusia dengan pendekatan hidup yang substansial maupun esensial.
Buku Kredit tampaknya tunai mengangkat isu paling fundamental dari akar permasalahan manusia, tapi jangan lantas kemakan godaan hiburannya. Karena di dalam kegembiraan juga ada kesedihan-kesedihannya. Yang terpenting Buku Kredit telah membuat kita tertawa sekaligus merenung. Ia tampil dengan humor yang serius. Dengan komedi yang ciamik. Dengan kebersahajaan yang anggun. Dengan kesanggupan berada di jalan kemiskinan dan terus membayar hutang. Inilah kegagahan dalam hidup yang kian kemari tumpul tajinya di hadapan hutang. Karena hutang telah menampakkan dirinya sebagai jebakan canggih yang berkamuflase menyerupai jalan pintas.
Memang belit hutang merupakan suatu keniscayaan. Cobalah hitung berapa banyak “pinjol” yang tersedia dan beredar di mana-mana. Berapa banyak orang yang ngutang “pinjol” demi “judol” sambil berharap untung dan bisa melunasi hutang tersebut, tapi seringnya apes kemudian, “judol” kalah malah hutang “pinjol” bertambah. Berapa banyak orang yang sampai rela berhutang dengan taruhan nyawa. Belum lagi kita sering mendengar banyak keluhan humor hutang: sebulan kerja hanya cukup buat bayar hutang, yang ngutang lebih galak daripada yang ngutangin, ngutang gampang bayar sulit, pinjam dulu seratus lalu lupa kemudian, dan lain sebangsanya.
Tapi persoalannya kita enggan mencari tahu bahwa hutang sebetulnya cuma akibat dari pemiskinan secara struktural. Sistem yang berlaku sekarang lebih senang kepada orang yang berhutang daripada orang yang bekerja untuk mencukupi kehidupan keseharian. Kita berada dalam satu kurun di mana hutang tampak lebih menggoda lantaran sekali mencoba bakal keterusan dan ketagihan. Ini juga satu keadaan miris di mana “pinjaman online” menjadi satu-satunya hal yang dipercayai tanpa pernah tahu bahwa ada sesuatu yang harus diperjuangkan dalam hidup. Bahwa kenikmatan tertinggi ialah kalau kita ngeh untuk “membatasi” nafsu tersebut, sengeh-ngehnya mungkin berani bilang “tidak” kepada hutang, kecuali.
Made In China — Ngaos Art, Tasikmalaya
Made In China adalah semacam perenungan panjang atas pertanyaan: kenapa semua barang (mainan dan lain sebagainya) diciptakan dari China? Dan andaikan ini terjawab, mungkin akan menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan lain sampai ke akar permasalahannya.
Zaman telah membuatnya tidak sederhana, kebahagiaan adalah barang mewah. Dan ukuran kebahagiaan kita seolah-olah ditentukan oleh seberapa banyak kepemilikan kita atas suatu materi. Kebahagiaan adalah ketika kita bangga menjadi raja konsumerisme sekaligus budak industrialistik. Adalah ketika kita gemar mewujudkan keinginan dangkal yang harus terpenuhi, daripada kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi. Adalah ketika kita lebih senang membeli karena ingin ketimbang butuh. Beginilah keadaannya kalau kita terlalu sering bertindak secara impulsif, dan mengabaikan segala macam pertimbangan yang wajar. Di mana konsumerisme tidak jadi arena dialektika kebutuhan dan keinginan.
Sementara khas dialektika pertunjukan ini ialah adanya peran bias gender antara Ibu dan Anak. Semula aktor laki-laki merepresentasikan sebagai Mama, sedangkan aktor perempuan merepresentasikan sebagai Anak laki-laki, lalu kemudian pada gilirannya kembali berganti peran, si aktor perempuan menjadi Mama, dan si aktor laki-laki menjadi Anak. Ini kombinasi yang sempurna. Artinya, setiap aktor tersebut berbakat motivator, paling tidak, seluruh pasase dialog gugatannya telah sukses menyindir habis-habisan masyarakat konsumtif yang laris termakan hiburan.
Ia tampil penuh kritik sekaligus humor. Ia mengandung satir sekaligus kejujuran. Ia menyindir dengan sinis sekaligus polos. Ia menyuarakan sesuatu secara sarkas sekaligus menggembirakan. Made In China ini bukan lagi buatan China, melainkan suatu produk segar nan absurd teater Indonesia, Ngaos Art.
Salah satu hal yang saya sukai dari Made In China ialah seluruh material dialognya berbahan dasar logika anak-anak. Sebab, “dunia ini made in konflik, maka kita harus menjadi made in peace.” Ia mengingatkan kita akan pentingnya menjadi kanak-kanak abadi, yang melihat segala persoalan hidup dengan polos, jujur dan apa adanya. Jadi terus saja ceriwis. Terus saja cerewet. Terus saja berani bertanya. Terus saja berlatih seni bertanya.
“Mama, apa surga juga buatan China? (Bukan, itu buatan langit. Tapi neraka sudah diperbanyak di sini, Nak.)”
Darinya kita belajar bahwa hidup bukan seolah-olah akan menjadi berarti kalau kita memiliki segala sesuatu, melainkan justru menjadi berarti kalau kita berani memberi makna pada hidup ini. Karena yang paling berharga dari hidup ini ialah tergantung bagaimana cara kita merasakan dan mengalami langsung—memberi makna dan memberi arti pada segala sesuatu dengan hati yang memahami.
17 Desember 2025

