Apakah Ketakutan terhadap Kematian adalah Penggerak Kehidupan?

Apakah Ketakutan terhadap Kematian adalah Penggerak Kehidupan?

Luca Signorelli Painting his Dead Son (1851) Frederic Leighton (English, 1830-1896)

Ada yang diam-diam selalu hadir dalam kehidupan kita, tapi jarang benar-benar disapa: kematian. Ia seperti suara samar di ujung hari, tak terdengar jelas, tapi cukup untuk mengganggu tidur. Kita tidak membicarakannya, bukan sebab tabu, melainkan sebab terlalu dekat. Lebih dari urat nadi. Ia bukan hal yang asing, tapi sesuatu yang terlalu erat untuk bisa dilihat secara jauh bin menyeluruh.

Kita hidup dengan kesadaran bahwa semua ini akan berakhir. Tapi kesadaran itu, entah bagaimana, tidak membuat kita berhenti. Justru sebaliknya. Kita bangun, bekerja, melukis, mencintai, menulis, membangun sesuatu—bukan untuk hidup selamanya, tapi agar hidup ini tidak terasa sepenuhnya sia-sia.

Mungkin tidak ada dorongan yang lebih kuat dalam hidup ini selain ketakutan. Tapi bukan ketakutan yang menjerit-jerit, atau membentur-benturkan kepala ke dinding, melainkan yang diam. Yang menyelinap masuk di sela-sela percakapan, dalam waktu-waktu kosong, dalam kebiasaan-kebiasaan yang kita ulang seakan tak berujung pangkal. Ketakutan itu pelan, halus, bahkan sering berwajah tenang.

Dan barangkali kita tidak benar-benar digerakkan oleh harapan, melainkan oleh kekhawatiran. Kekhawatiran bahwa suatu hari tak ada lagi yang tersisa dari kita. Tak ada satu pun yang mengingat nama kita dengan suara yang hangat dan lantang. Tak ada satu pun yang menyebut kita tanpa terpaksa. Tak ada yang menyisakan ruang.

Maka kita menanam jejak. Dalam bentuk pekerjaan. Dalam bentuk hubungan. Dalam bentuk cerita. Kita ingin ada yang tertinggal, walau sekecil ingatan, ketika tubuh tak lagi ada. Kita tahu semua akan berlalu, tapi ada sesuatu dalam diri kita yang menolak untuk benar-benar hilang tanpa bekas.

Sikap ini, di satu sisi, membuat kita lebih hati-hati. Kita menjadi pengamat yang jeli terhadap waktu. Kita belajar menunda, belajar memilih, belajar melepaskan. Kita berhenti sejenak sebelum mengambil keputusan. Kita sadar bahwa tidak ada yang kekal, dan justru sebab itu, setiap pilihan menjadi penting. Ketakutan terhadap kematian membuat kita tidak sembarangan hidup.

Namun pada sisi lain, ketakutan itu bisa menjadi kecemasan yang memenjarakan. Ia membikin kita mengejar sesuatu yang tidak pernah cukup. Kita ingin dikenang, meski tak tahu oleh siapa. Kita ingin bermakna, tapi tak tahu ukuran apa yang bisa menentukannya. Kita ingin hidup selamanya, tapi tak pernah benar-benar hidup.

Menariknya, hidup yang digerakkan oleh ketakutan bisa tampak sangat produktif. Kita bekerja keras, menyusun rencana, membangun impian, menata masa depan. Tapi semua itu bukan sebab kita ingin, melainkan sebab kita takut mampus. Takut tertinggal. Takut tak punya warisan. Takut dilupakan. Takut tidak penting.

Banyak dari kita yang terjebak dalam ambisi untuk menaklukkan kerajaan waktu. Kita mengabadikan diri dalam foto, dalam tulisan, dalam lagu, dan seterusnya. Kita menamai anak dengan nama kita sendiri. Kita mendirikan yayasan. Kita membangun rumah di atas rumah. Kita berpikir: mungkin dengan begitu, kita akan tetap hidup meski tak lagi bernapas.

Tapi semua itu, pada akhirnya, juga akan hilang. Segalanya bisa rubuh. Ingatan bisa luntur. Waktu punya cara sendiri untuk melupakan. Tidak ada yang benar-benar kekal. Tidak ada yang bisa menantang usia.

Namun bukan berarti semua itu sia-sia. Justru sebab hidup akan berakhir, setiap hal kecil yang kita lakukan menjadi berharga. Sapa yang lembut. Tawa yang singkat. Waktu yang diluangkan. Puisi yang dikarang. Semua itu tidak besar, tapi punya tempatnya sendiri. Hidup bukan tentang mengalahkan kematian, tapi tentang menanam makna sebelum Izrail datang.

Ketakutan terhadap kematian adalah pengingat yang setia. Ia alarm paling nyaring bahwa kita punya ending. Bahwa kita tidak bisa mempunyai segalanya. Bahwa kita mesti memilih. Ia memberi ukuran, memberi irama, memberi penekanan. Ia umpama jeda dalam orkestra, yang membuat suara menjadi seratus kali lebih terasa.

Seseorang boleh jadi bertanya, apakah hidup tanpa ketakutan itu mungkin?

Mungkin tidak. Ketakutan, dalam dosis yang cukup, membuat kita terjaga. Ia menjaga kita dari kelalaian. Dari sikap sembrono. Dari pengabaian terhadap sesama. Ketika kita takut kehilangan seseorang, kita belajar merawat. Ketika kita takut gagal, kita belajar bersungguh-sungguh. Ketika kita takut mampus, kita belajar hidup.

Dengan demikian ketakutan itu perlu dikenali, bukan diusir. Ia bukan untuk dilawan, tapi untuk dipahami. Kita tidak mesti selalu berani. Kita hanya perlu jujur. Bahwa kita cemas. Bahwa kita tak tahu. Bahwa kita gelisah.

Ada banyak cara kita menyembunyikan ketakutan itu. Ada yang jadi religius. Ada yang jadi pekerja keras. Ada yang jadi pemarah. Ada yang jadi pelawak. Semua itu bentuk mekanisme pertahanan diri. Kita tidak ingin tampak kecil di hadapan ajal yang tak bisa ditawar.

Namun mungkin yang paling jujur adalah mereka yang diam. Yang tidak banyak berkata-kata tentang hidup, tapi menjalani hari-harinya dengan perlahan. Yang tidak banyak menulis tentang makna, tapi menyapa orang-orang dengan hangat. Yang tidak berkoar tentang warisan, tapi hadir ketika dibutuhkan. Mereka tahu, tanpa perlu mengatakan, bahwa hidup ini akan selesai.

Dan justru sebab tahu akan selesai, mereka tidak terburu-buru. Tidak tergesa. Tidak rakus. Mereka cukup.

Hidup tidak perlu sempurna. Ia hanya perlu utuh. Tidak mesti besar, tapi terasa. Tidak mesti kekal, tapi dikenang sebentar pun tak apa. Kita hidup bukan untuk dikenang selamanya, tapi untuk dikenang dengan benar.

Kematian, dalam pengertiannya yang paling sederhana, adalah batas. Dan batas, alih-alih menyempitkan, justru memberi bentuk. Ibarat bingkai pada lukisan. Tanpa bingkai, segala sesuatu bisa melebar ke mana-mana, kehilangan makna.

Maka mungkin benar: ketakutan terhadap kematian adalah penggerak kehidupan. Ia cahaya redup di ujung lorong. Tidak menyilaukan, tapi cukup untuk membuat kita melangkah. Tidak tergesa-gesa, tapi juga tidak berhenti. Ia tidak perlu ditakuti sepenuhnya. Cukup dikenali, agar kita tidak hidup dalam penyangkalan.

Sebab yang benar-benar menyedihkan bukanlah kematian, tapi hidup yang tak pernah benar-benar dijalani.

Dan kita tahu, kita semua menuju ke pelukan ketewasan. Tapi sebelum sampai, kita bisa menulis. Kita bisa melukis. Kita bisa melagu. Kita bisa duduk bersama. Kita bisa tertawa pelan. Kita bisa berpelukan. Kita bisa berciuman. Kita bisa mendengarkan. Kita bisa menunggu. Kita bisa mencintai. Kita bisa hidup.

Tak ada yang bisa kita lakukan selain menatap tajam mata kematian dalam-dalam.

“…
Cracked eggs, dead birds
Scream as they fight for life
I can feel death, can see its beady eyes
All these things into position
All these things we’ll one day swallow whole

And fade out again
And fade out again

Immerse your soul in love
Immerse your soul in love.”

—Radiohead – Street Spirit (1995)

  • Moch Aldy MA

    Moch Aldy MA adalah seorang pengarang, pendiri Gudang Perspektif, redaktur Omong-Omong Media, dan editor buku OM Institute.

    Lihat semua pos