Bendera Bajak Laut dan Ketakutan Negara

Bendera Bajak Laut dan Ketakutan Negara

Yang ditakuti negara bukan bendera bajak laut. Juga bukan gambar tengkorak dengan topi jerami yang dikibarkan di rumah-rumah atau truk-truk.

Yang mereka takutkan adalah ketika rakyat mulai merasa lebih terwakili oleh simbol fiksi daripada simbol resmi yang mereka agungkan dengan segala kesakralannya.

Karena di negara ini, nasionalisme bukan soal rasa, tetapi soal ritus.

Merah putih menjadi sakral bukan karena ia menyentuh hati, tapi karena ia dicangkokkan terus-menerus ke kepala kita sejak kecil:

lewat lagu wajib, upacara hari Senin, dan pelajaran PPKN.

Negara hidup dari simbol-simbol—bendera, lambang, lagu kebangsaan—karena dari situlah mereka membangun imajinasi kolektif.

Kita tidak kenal semua warga negara lain, tapi kita diajarkan untuk membayangkan bahwa kita satu.

Itulah yang disebut Benedict Anderson: “imagined communities.”

Tapi ketika simbol tandingan mulai tumbuh, yang tidak lahir dari negara, tidak diatur lewat pasal, tapi dicintai karena memberi ruang imajinasi yang terasa lebih jujur. itulah krisis.

Karena jika orang mulai percaya pada bendera lain, yang tidak menjanjikan loyalitas buta, tetapi justru membayangkan dunia tanpa penindasan, dengan solidaritas yang tidak dipaksakan, maka simbol resmi negara kehilangan hegemoni pemaknaan.

Dan ini bukan soal anime. Bukan soal One Piece. Ini soal siapa yang berhasil menciptakan rasa “kita”.

Lalu datanglah bendera Jolly Roger. Bendera tanpa UUD, tanpa DPR, tanpa aparatur sipil, tapi justru mampu menawarkan sebuah bangsa yang dibayangkan secara bebas. Di mana kesetiaan dibangun dari kepercayaan, bukan dari ancaman.

Dan negara, tentu saja, panik. 

Dan sekarang bayangkan sekelompok pejabat duduk melingkar, rapat darurat dengan wajah tegang, menatap layar yang menampilkan gambar tengkorak pakai topi jerami berkibar di belakang truk. Di halte. di acara-acara kolektif. Di stasiun kereta. Di rumah-rumah warga.

“Ini ancaman,” kata salah satu. 

“Simbol separatis. Bisa merusak nasionalisme.” kata bapak yang lain.

Lalu keluarlah larangan. Bukan untuk mafia tambang. Bukan untuk pengemplang pajak. Tapi untuk para nakama.

Karena di mata mereka, ketika simbol bisa ditertawakan, ketika bendera bisa diganti, maka nasionalisme bisa runtuh. Dan ketika nasionalisme runtuh, dasar kekuasaan pun ikut goyah.

Maka simbol harus dijaga, bahkan dengan paranoia.

Yang lucu dianggap subversif.

Yang fiksi dianggap berbahaya.

Karena kalau rakyat punya simbol yang bisa mereka pilih sendiri, yang bisa mereka maknai sendiri, maka negara kehilangan kendali atas apa arti “kita”.

Tapi disinilah letak kekeliruannya: rasa memiliki tidak bisa dibentuk lewat sensor.

Cinta tanah air tidak tumbuh dari undang-undang, tapi dari kepercayaan. Dari pengalaman hidup yang adil dan bermakna.

Dan ketika dunia nyata gagal memberi itu, rakyat akan mencari tempat lain untuk percaya. Mereka akan membangun harapan lewat cerita, menciptakan solidaritas lewat fiksi, dan mempercayai simbol lain. Dan ini bukan karena mereka bodoh, tapi karena dunia nyata sudah terlalu lama mengkhianati imajinasi mereka.

Dan hari ini, negara kalah narasi. Bukan oleh oposisi. Bukan oleh gerakan bawah tanah. Tapi oleh imajinasi kolektif yang lebih jujur, lebih hidup, dan lebih menggugah, meskipun lahir dari halaman manga.

Dan mungkin, itulah bentuk pemberontakan paling berbahaya hari ini: dengan bukan mengganti presiden, tapi mengganti siapa yang layak dipercaya. Dan hari ini, dalam pertarungan membentuk imajinasi kolektif itu, negara tampaknya kalah telak oleh Eiichiro Oda.

#bersambung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *