Bogor Di Bawah Bayang-Bayang Opresi Bahasa: Dari Watter Cannon-Gas Air Mata ke Framing Media

Bogor Di Bawah Bayang-Bayang Opresi Bahasa: Dari Watter Cannon-Gas Air Mata ke Framing Media

dok. pasargratisbgr


Judging a demonstration by its most violent participant, but not judging a police force by its most violent cops is the language of the oppressor.

Ada yang ganjil dalam cara Plokis Bogor merespons aksi demonstrasi yang baru kita lakukan kemarin lalu. Ganjil tapi bukan mengejutkan. Karena polanya selalu sama, hanya dikemas ulang dengan bumbu propaganda yang lebih halus dan semakin lihai (baca: menjijikan).

Di bawah bayang-bayang Tugu Kujang, di mana pada hari Kamis (27/3) ratusan dari berbagai latar belakang—mahasiswa, buruh, pelajar, dan warga biasa—berkumpul dan tengah menyatukan suara, dan dalam kemesraan yang akan menjadi sejarah itu, sebuah panggung teater besar didirikan dengan saksama. Pemain utamanya? Akun Instagram polresta. Naskahnya? Opresi Bahasa. Sutradaranya? Plokis Kota Bogor. Penonton yang dipaksa harus percaya? Kita semua.

dok. analog (wanto)

Playing Victim 

George Orwell dalam 1984 sudah lama memperingatkan kita: Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past.” Plokis tahu betul bahwa dalam pertarungan wacana, yang menguasai narasi adalah yang menang. Maka mereka bergerak cepat, bahkan secepat menangkap maling kelas rakyat. Namun anehnya sangat lamban ketika disuruh menangkap maling kelas penguasa.

Setelah mengirim ratusan pasukan bersenjata ke titik aksi, mereka bilang: massa aksi yang memprovokasi. Setelah menembakkan water cannon berbarengan dengan gas air mata mereka bilang: massa aksi yang mulai duluan. Setelah membubarkan aksi dengan kekerasan, mereka bilang: massa aksi yang anarkis.

Di sini, kita melihat bagaimana kepolisian memainkan playing victim, atau dalam bahasa propaganda ini dikenal dengan teknik “victim inversion—sebuah strategi khas rezim otoriter, di mana aparat (dalam hal ini tentu plokis) yang melakukan kekerasan, justru mengklaim diri sebagai korban. 

Jacques Ellul, dalam Propaganda: The Formation of Men’s Attitudes (1965), menyebut bahwa propaganda modern bekerja bukan dengan memproduksi kebohongan murni, tetapi dengan memutarbalikkan fakta yang ada. Plokis tidak mengatakan mereka tidak menggunakan kekerasan—mereka hanya memastikan bahwa publik percaya massa aksi lebih dulu yang bertindak kasar.

Tapi kepolisian tidak bisa membentuk narasi ini sendirian. Yaps! Mereka butuh sekutu, dan di sinilah media berperan sebagai sekutunya (catatan: tak perlulah saya sebutkan media tersebut, pembaca pasti sudah cekatan memaknainya).

Dari Anjing Penjaga ke Anjing Peliharaan Negara

Dalam idealismenya, media adalah pilar keempat penjaga demokrasi. Merekalah yang menjadi pengawas kekuasaan dan memiliki tanggung jawab atas informasi untuk kepentingan publik. Namun, dalam praktiknya, umumnya di Indonesia, dan khususnya di Bogor, banyak media arus utama bukan lagi menjadi anjing penjaga (watchdog), tapi sudah menjadi anjing-anjing yang dipelihara (oleh kekuasaan).

Tidak percaya? Silahkan saja lihat dan baca pemberintaan ini, ini, dan ini. Masih kurang? Okeeey, lihat lagi yang ini, ini dan ini. semua pemberitaan, bisa kita lihat, semua mengambil sudut pandang dari kepolisian sekaligus menyudutkan massa aksi.

Mengapa ini bisa terjadi? Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power menyebutkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga alat dominasi. Siapa yang mengontrol bahasa, akan mengontrol realitas. Sialnya plokis-plokis yang tidak pintar itu, paham ini. Maka para plokis ini tidak bilang “menyerang” massa aksi, mereka bilang “mengamankan.” Para plokis ini tidak bilang “menyiksa” demonstran, mereka bilang “menertibkan.” Para plokis tidak bilang “menahan secara ilegal,” mereka bilang “mengamankan untuk investigasi lebih dalam.” Tapi, benarkah kenyataannya demikian? Percayakah pembaca sekalian terhadap uraian tersebut?

Dan kata-kata ini kemudian dikutip mentah-mentah oleh media. Judul-judul berita pun muncul:

  1. Bentrokan Pecah, Polisi dan Massa Aksi Saling Serang
  2. Polresta Bogor Amankan Sejumlah Demonstran yang Berbuat Onar
  3. Pedagang Jadi Korban Aksi Demonstrasi yang Ricuh

dok. analog (wanto)

Untuk berita nomor 1 dan 2, yang memframing dengan berita “bentrok” dan “Ricuh”, pertama-tama kita harus tahu penggunaan kata bentrok di sana pun tidak tepat. Mengapa? Karena bentrokan bisa terjadi ketika dua kekuataan itu sama kuat. Faktanya massa aksi tak ada yang membawa senjata, mereka hanya membawa aspirasi, membawa pamflet, dan membawa keresahannya. Kalaupun ada senjata yang dibawa oleh massa aksi, itu hanyalah kata-kata, dan rasa solidaritas saling percaya. Pertanyaannya, apakah kata-kata dan rasa percaya bisa melukai dan membuat bocor kepala?  

Dalam hal ini jelas, maka, di aksi kemarin bukanlah sebuah bentrokan. Sebab dari awal tidak ada yang seimbang. Jadi, janganlah diasumsikan massa aksi dengan plokis itu sama-sama bersenjata. Sama-sama brutal. Sebab, mari kita lihat kenyataan di lapangan: (1) faktanya plokis datang lebih dulu ke titik aksi, dan seiring waktu terus menambah pasukan dengan jumlah pasukan besar. Mereka membawa tameng, pentungan, gas air mata, dan water cannon; (2) Jika melihat siaran langsung dan video-video yang tersebar di media sosial, kita bisa melihat plokis lah yang bertindak represif lebih dulu, dengan menutup akses jalan, mengepung massa, dan menembakkan water cannon serta gas air mata; dan setelah itu (3) Plokis melanjutkan aksi sewenang-wenangnya dengan menangkap demonstran secara ilegal. Bahkan Pers dan medis ikut jadi korban.

Untuk berita nomor 3, gerobak pedagang hancur? Ya, memang hancur. Tapi bukan karena demonstran, tapi karena water cannon yang ditembakan oleh plokis. Dan sekali lagi, water cannon itu ditembakkan dengan tanpa pemberitahuan. Di banyak rekaman, terlihat bagaimana tembakan air itu kemudian ikut menerjang gerobak pedagang yang ada di sekitaran Bina Marga. Dan gerobak dagangan yang hancur itu semua basah. Pertanyaannya, air apa yang bisa menjatuhkan gerobak dagangan? Ya, tentu saja air yang ditembakan dengan daya kencang, dan water cannon menembakkan air yang sangat kencang. Jadi jelas berita massa aksi yang menghancurkan gerobak pedagang adalah false attribution dalam teori propaganda. Plokis merusak, lalu menuduh demonstran yang melakukannya. Ini jelas merupakan bentuk framing. Bentuk pengkambinghitaman.

Tapi framing ataupun bentuk kejahatan mau bagaimana pun selalu meninggalkan celah. Dan pembaca tau celahnya di mana? Di berita yang dikontenkan plokis di akun instagramnya, diberitakan bahwa ada satu gerobak yang hancur. Tapi korban yang di-undang oleh plokis ada empat pedagang. Pertanyaanya apakah satu gerobak dimiliki oleh 4 orang? Selain itu, apakah media ada yang menanyakan apakah para pedagang itu benar-benar menjawab kebenaran dengan tanpa ada tekanan? Ya, seharusnya pembaca bisa menilai sendiri dari uraian tersebut: mana yang benar, mana yang salah tapi maksa menjadi benar.

Sementara itu, di media sosial, beredar rekaman visual yang menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa tidak ada media arus utama yang memberitakan dari sudut pandang ini? Ke mana sebenarnya haluan media arus utama kita, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi?

  • Polisi Menyemprot Water Cannon ke Massa Aksi, Memicu Kericuhan
  • Demonstran Direpresi Polisi Saat Ingin Membubarkan Diri,
  • Demonstran Ditangkap, Ditahan, dan Dianiaya di Kantor Polisi
  • Medis Diintimidasi, Pers Direpresi dan Ditangkap Sewenang-wenang Oleh Polisi
  • Kios Pedagang Kaki Lima Hancur oleh Water Cannon Polisi, Bukan oleh Massa Aksi

Mengapa sudut pandang ini jarang muncul? Jawabannya, lagi dan lagi dengan mudah dapat pembaca temukan. Karena media-media mainstream memang sudah dikooptasi oleh kekuasaan: oleh pemerintahan: oleh Plokis yang punya alat lengkap untuk melakukan kekerasan. Dan lebih dari itu, media-media di Bogor (tampaknya memang) memiliki relasi erat antara parcok, pemilik modal, dan kepentingan politik. Maka tak heran berita yang mereka angkat bukan lagi soal kebenaran lapangan, tetapi soal narasi siapa yang ingin mereka menangkan.

Negara Selalu Membutuhkan Ormas Preman Untuk Membudayakan Kekerasaan

Polisi tidak sekadar bertugas mengendalikan massa, tetapi juga membentuk opini publik tentang demonstrasi itu sendiri. Dengan cara ini, kepolisian tidak hanya bertindak sebagai alat represi negara, tetapi juga sebagai produsen kebenaran versi penguasa. 

Namun, represi langsung oleh kepolisian saja tidak cukup. Untuk memastikan bahwa gerakan protes tidak berkembang lebih luas, negara sering kali menggunakan strategi lain: menciptakan konflik horizontal. Salah satu alat yang digunakan dalam strategi ini adalah organisasi masyarakat (ormas) yang diberdayakan untuk menghadapi massa aksi, yang sering kali dengan dalih-slogan menjaga ketertiban. 

Sejak Reformasi, kita menyaksikan bagaimana ormas-ormas tertentu mendapatkan keleluasaan untuk bertindak layaknya kepanjangan tangan negara. Dalam banyak kasus, negara tidak selalu bisa menggunakan aparat resmi untuk menekan perlawanan. Maka, dibanyak kesempatan, negara membiarkan ormas peliharaannya berkeliaran untuk menjadi kontrol sosial.  Untuk itu, negara butuh preman untuk melakukan pekerjaan kotornya sekaligus mengarahkan konflik ini menjadi konflik horizontal, bukanlah vertikal. Warga negara vs warga negara. Dan untuk memuluskan ini, maka, ormas peliharaan dibiarkan berkeliaran, mengancam massa aksi, membubarkan demonstrasi, dan menyebarkan propaganda tandingan.

Di Bogor, pola ini terlihat jelas. Sehari setelah aksi, beberapa ormas tertentu muncul di bekas titik aksi. Perannya jelas. Dan tugasnya sederhana: menciptakan narasi tandingan bahwa massa aksi bukanlah representasi suara rakyat. Tetapi justru pengganggu stabilitas sosial. Hasilnya? Plokis bisa berpura-pura netral, sementara represi tetap berjalan dengan tangan lain.

Ini juga sebenarnya bukan hanya terjadi di Bogor. Kita tahu situasi-kondisi di Malang, Surabaya, Bandung, dan kota lainnya sudah lebih dulu merasakannya. Maka semua yang terjadi dan diberitakan oleh Plokis dan media-media arus utama yang memberitakan jalannya demonstrasi yang terjadi kemarin, harus kita lihat secara keseluruhan dan berkelindan. Semua diniatkan. Semua direncanakan dengan satu tujuan: mengendalikan narasi.

Louis Althusser mengatakan bahwa negara bekerja dengan dua cara: yaitu ideologi dan represi. Ideologi digunakan untuk membuat kita percaya bahwa negara itu baik, plokis itu pelindung, hukum itu adil. Tapi kalau ideologi gagal? Tentu saja negara akan menggunakan alat represi. Dan alatnya adalah Polisi dan Tentara.

Berita-berita pun menunjukkan bahwa alat-alat negara itu ditugaskan untuk menangkap demonstran dengan sewenang-wenang. Dengan tanpa dasar hukum yang jelas. Mereka yang tertangkap, dan dibawa ke kantor plokis, selain kehilangan kebebasan, juga menjadi korban represi fisik dan psikologis. Dan semua itu dilakukan dalam ruang tertutup. Tanpa kamera. Tanpa liputan media. Tanpa jejak-jejak, selain kesaksian para korban itu sendiri, yang sialnya sulit untuk kembali kita usut sebagai tindak kekerasan yang telah mereka lakukan.

dok. analog (wanto)

Inilah, saudaraku, lanskap informasi di Bogor: plokis mengendalikan narasi, media mengamini, ormas membantu represi, dan kita—orang-orang yang hanya ingin bersuara—dijadikan kambing hitam. Sementara itu, kekerasan negara yang terjadi di balik tembok Polresta tetap tersembunyi.

Sejarah sudah membuktikan bahwa plokis tidak pernah benar-benar dibuat untuk mengayomi rakyat. Plokis ada untuk melindungi status quo. Untuk menjaga agar kekuasaan tetap di tempatnya, dan sekaligus agar yang berani melawan diberi peringatan.

Jadi, kalau ada yang bertanya, “mengapa plokis bertindak seperti ini?”. Jawabannya sangat sederhana: karena itulah tugas mereka sejak mereka ada di Tanah Air kita. Mereka diciptakan untuk melindungi penguasa dan elit pemilik modal. Dan kalau ada yang bertanya, jadi, siapa yang harus kita percaya?. Jawabannya juga sangat sederhana: percayalah pada apa yang tak diberitakan. Percayalah pada rekaman-rekaman yang dihapus. Pada jurnalis yang diintimidasi. Pada demonstran yang dianiaya tanpa liputan dan tanpa jejak rekamnya. Percayalah pada apa yang berusaha disembunyikan. Karena disitulah kebenaran bersemayam.***