Village of Bethany and the Dead Sea (1804)
Pagi itu langit begitu suram. Wajah-wajah begitu muram. Dentuman semalam menyapu mega-mega yang berarak melarikan diri ketakutan, sebab di mana-mana terjadi ledakan. Akan tetapi ketika itu pula semakin menyala bara suar perlawanan. Serangan semalam menyisakan reruntuhan amarah yang berserakan rata dengan tanah lalu tenggelam dalam genangan tubuh-tubuh manusia tak bersalah. Kemudian dari bawah reruntuhan itu bagaikan terlihat jalan bebas hambatan menuju sorga, yang mengantarkan langkah jiwa-jiwa bersahaja berjalan ke atas nirwana menembus asap bekas ledakan yang membumbung tinggi dari permukaan bumi Yerusalem.
Hari ini masih sama saja. Sama seperti hari-hari yang lalu sejak mereka menjejakkan kemerdekaannya di sini, di tanah yang suci ini. Pagi ini pun masih dengan angin yang menghembuskan aroma mesiu yang sudah seperti sahabat bagi lubang hidungku, juga bagi orang-orang di sini. Situasi konflik seperti ini dapat dengan mudah memisahkan orang-orang dengan nyawanya bahkan dengan segala hal yang mereka miliki, tak terkecuali hal-hal yang paling mereka cintai sekalipun. Kehilangan boleh jadi adalah hal yang paling mengerikan daripada kematian itu sendiri di situasi seperti ini. Dan bagi Suster Angeline, malam adalah waktu yang paling menakutkan di saat kondisi konflik seperti ini, ia bukan takut akan kematian dirinya. Tetapi yang paling ia takutkan adalah pergi tidur di malam hari kemudian terbangun keesokan harinya bersama kabar duka bahwa orang-orang yang dicintainya telah tiada. Karena bagi Suster Angeline, kematian orang-orang yang dicintainnya adalah yang paling mengerikan daripada kematiannya sendiri. Ia tidak pernah terbayang menahan kepedihan ditinggalkan oleh orang tersayang ketika membuka pejaman mata saat pagi tiba.
Sejak peristiwa serangan udara itu, barangkali, sudah nyaris tiga minggu Suster Angeline menunggu kepulangan kekasihnya yang izin pamit untuk menggali parit beberapa waktu lalu, dan mungkin sejak itulah Suster Angline tidak lagi mendapat kabar dari kekasihnya. Namun hidupnya mesti terus berlanjut, Suster Angeline harus pergi ke tempat di mana ia mengabdi pada kemanusiaan. Tempat di mana nyawa angkat kaki dari tubuh-tubuh tidak berdaya. Tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk membuat nyawa-nyawa itu tidak lekas buru-buru angkat kaki dari tubuh-tubuh tidak berdosa. Tempat di mana perlawanan dihembuskan untuk terakhir kalinya.
Ada banyak hal yang harus kamu ketahui Nicholas, tentang keadaan di sini yang semakin semrawut tidak terkendali, korban terus berjatuhan tidak mengenal usia dan tidak mengenal siapa. Kata suara renungan Suster Angeline dalam kepalanya yang sedang berkecamuk. Nyawa dari tubuh-tubuh tidak berdosa seperti berguguran begitu saja tiada harganya, bagaikan rerimbun daun yang berguguran di musim senja.
Sebagai perawat di sebuah negara yang sedang berkonflik, beberapa hari ini tugas Suster Angeline selalu lebih banyak dari biasanya. Oleh sebab itu, dia tidak sempat untuk mencari keberadaan kekasihnya di dalam kondisi seperti ini, Susuter Angeline hanya bisa menunggunya dalam doa. Namun apakah doa-doanya dapat menembus hiruk-pikuk peperangan seperti ini, ketika lorong-lorong dan seisi ruangan di penampungan dipenuhi oleh kelelahan atas nasib manusia, sebab tak ada hentinya orang-orang lalu lalang berseliweran ke sana ke mari, mencoba mencegah kematian terjadi atau mencari orang terkasihnya yang mungkin saja menjadi salah satu korban, yang dibawa oleh para relawan ke suatu ruangan di gedung ini?
O, Nicholas, tangisan dan amarah menyatu di sini bersama jerit kesakitan dan jeritan pilu, di sebuah bangunan yang menjadi saksi orang-orang menghembuskan perlawanan terakhirnya. Sungguh jelas kudengar isakan seorang ibu yang putus asa di samping buah hatinya yang sedang sekarat dengan tubuh dilumuri darah dan luka akibat serangan udara. Terus terang saja, semua merasa kelelahan dan ketakutan di sini, tapi perlawanan harus tetap ditegakkan, bukan? Seperti yang selalu kau katakan kepadaku ketika senja nyaris mencair ke dalam Laut Mati.
***
Ketika kengerian malam nyaris muncul kembali di antara langit dan permukaan Laut Mati hari itu, Suster Angeline berjalan menderu bersama waktu, menyusuri lorong gedung penampungan dengan pikiran yang tertuju pada kekasihnya yang entah di mana, dan lalu terngianglah kata M.E.R.D.E.K.A jauh di kedalaman hatinya. Kemudian dari ujung lorong terlihat banyak langkah kaki berderap dengan kecepatan penuh menuju ke arahnya. Nampak 4 orang di ujung lorong sedang berlari, tangannya memberi kode supaya orang-orang menyingkir memberi jalan. Sambil membawa tandu dengan di atasnya ada tubuh manusia yang sedang terbaring tidak berdaya dengan wajahnya yang berlumuran darah segar, orang-orang itu semakin dekat ke arah Suster Angeline. Oh, nampaknya lagi dan lagi aku kedatangan pekerjaan untuk ke seribu kalinya hari ini, pikir Suster Angeline. Ada seseorang yang harus ia tolong nyawanya. Ada keluarga yang berharap besar kepadanya untuk bisa menolong nyawa orang di atas tandu itu.
Semakin dekat langkah yang berlarian itu, darah yang membasahi tubuhnya pun semakin menetes-netes dan kian membasahi lantai. Di lorong itu yang semerbak aromanya membuat orang-orang menjadi geram, berteriak-teriak dengan amarah yang membuncah meluap-luap. Sementara Suster Angeline, terdiam tak berdaya beberapa saat ketika tandu itu tepat berlalu di depannya. Mata Suster Angeline bersitatap dengan mata yang setengan tertutup. Tubuhnya nyaris tenggelam dalam balutan darah yang mengalir nyaris sekujur tubuh orang itu, yang paha kirinya nampak hampir putus akibat luka yang disebabkan ledakan rudal, sengaja diluncurkan kencang ke arah orang-orang tak bersalah. Suster Angeline terpaku sebab pada wajah korban itu terdapat seraut wajah yang sangat ia kenali, seraut wajah yang sangat ia cintai, yang selalu ia nantikan kepulangannya sejak beberapa waktu lalu ketika mereka saling berpamitan.
O, Nicholas sayangku, pancaran sinar perlawanan itu Nicholas, masih sangat sengit menyinar dari sela-sela kulit wajahmu, meskipun sudah tertutup oleh pekatnya rasa sakit yang membasahi wajahmu, lalu sekujur tubuhmu, lalu lantai-lantai yang dilalui oleh tandumu. O Nicholas, ternyata tubuh di atas tandu itu adalah tubuhmu yang selalu kunantikan kepulangannya dengan setia di sini sejak saat kau berpamitan waktu itu. Tetapi bukan kepulangan semacam ini yang selalu aku harapkan, Nicholas. Isak Suster Angeline saat mengejar di belakang tandu yang membawa Nicholas. Tidak mengherankan jika pancaran sinar perlawanan dari seraut wajah itu sangat familiar baginya.
Suster Angline tidak kuasa menahan kepedihan, air matanya berderai bersama kegetiran yang tiba-tiba hadir. Semua orang di sekitarnya mencoba menguatkannya agar tetap tegar dalam menerima segalanya, tapi ia tak cukup siap dan kuat, badannya lemas lesu tersedu mengikuti perginya tandu. Lantas Suster Angeline pingsan tak sadarkan diri, ia pergi menuju alam bawah sadarnya tepat ketika berada di depan pintu ruangan yang mendekap tubuh Nicholas dengan malang. Jangankan untuk membantu mencegah nyawa Nicholas agar tidak buru-buru angkat kaki dari tubuhnya, menjaga tubuhnya sendiri agar tetap berdiri tegak menerima semuanya saja Suster Angeline tak kuasa. Ia hanya larut terjatuh ke alam bawah sadarnya bersama kegetiran yang menyerang.
Barangkali aku terlelap kemudian aku bermimpi barang sekejap, sebab lelahnya hari yang kujalani selalu dipenuhi dengan ledakan di mana-mana, suara desingan peluru yang memburu siapa saja, serta kedatangan tubuh-tubuh tidak berdosa yang tak berdaya atau bahkan telah tidak bernyawa. Terus terang saja itu sangat melelahkan fisik dan batinku. Di alam bawah sadarku kamu muncul di ujung lorong itu, tetapi kau datang tidak berada di atas tandu dan berlumuran darah Nicholas. Dari ujung lorong itu kamu buru-buru melempar laras panjang rakitanmu itu dan berlari memelukku. Tetapi aku tidak sedang bermimpi, aroma darahmu itu terlalu nyata untuk hidungku yang sudah terbiasa menghirup aroma mesiu setiap hari. Rasa sakit ini terlalu besar dari ledakan bom yang selalu mereka luncurkan setiap malam. Kepedihan ini terlalu nyaring dari suara peluru yang mendesing.
***
Hari pun sudah gelap ketika senja telah sepenuhnya mencair ke dalam Laut Mati. Sudah tidak ada lagi butiran darah yang menetes-netes ke lantai dari tubuh pria itu. Dan Suster Angeline pun membuka sebelah matanya dengan terpicing-picing masih setengah terbuka dan setengah tertutup, sambil mengusap-ngusapkan jarinya dengan penuh gemetar ke matanya, menatap ke arah kekasihnya yang telah membiru kaku: mulutnya pun telah kelu membisu tak bisa lagi meneriakkan kata merdeka. Hari itu nyawa Nicholas telah sepenuhnya gugur seperti senja yang mencair ke dalam Laut Mati.
O, Nicholas, aku bersumpah dari sungai hingga laut, aku berjanji akan tetap mencintaimu di rumah kita yang sudah menjadi reruntuhan di samping jalan dekat rumah peribadatan itu, sampai tanah ini merdeka seperti yang selalu kamu janjikan kepadaku ketika kita berada di meja makan setiap malam.***
