E-BOOK SURAT-SURAT UNTUK BOGOR: EDISI HARI JADI BOGOR KE-543

E-BOOK SURAT-SURAT UNTUK BOGOR: EDISI HARI JADI BOGOR KE-543

Perayaan Hari Jadi Bogor: Sebuah Renungan

Pernahkah kita bertanya, bagaimana awal mula Bogor memperingati hari jadinya untuk pertama kali (tahun 1973) setelah ditetapkan dalam sidang paripurna DPRD Kota dan Kabupaten Bogor (tertanggal 26 Mei 1972)? Tahukah kita jawaban dari pertanyaan tersebut? Apakah meriah perayaan Hari Jadi Bogor untuk pertama kalinya itu? Pada masa pemerintahan siapa untuk pertama kalinya Bogor merayakan hari jadinya? Lalu, bagaimana keterlibatan masyarakat Bogor ketika merayakan Hari Jadi Bogor (HJB) yang pertama kali itu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, kiranya tak usah kita tanyakan hari ini ketika Kota dan Kabupaten Bogor dalam media sosial atau website resminya mempublikasikan arsipnya secara runut perayaan HJB dari mulanya sampai dewasa ini. Maka, untuk mengingatkan mereka tentang pentingnya mempublikasikan arsip, kiranya perlu kami bahas pada tulisan penutup Surat-surat Untuk Bogor #2 kali ini. Kami akan mencoba menelusuri jawaban atas pertanyaan di atas melalui pencarian-pembacaan yang semoga dapat menemukan data-sumber yang memadai untuk menjawab pertanyaan di atas.

Sependek pencarian kami, tercatat perayaan helaran besar Hari Jadi (di Kota) Bogor dimulai pada tahun 2000, ketika pada masa itu dipimpin Walikota Iswara Natanegara. Sumber itu kami temukan di koran Radar Bogor 23/11/2000, yang memuat berita acara plus wawancara bagaimana perayaan Hari Jadi Bogor terselenggara secara meriah, dengan kurang-lebih (katanya) seribu seniman yang kontribusi sekaligus membantu rangkaian acaranya. Tercatat pula tokoh yang diwawancarai Radar Bogor itu bernama Tien Rostini Asikin sebagai koordinator acara pada helaran besar menyambut-merayakan Hari Jadi Bogor tersebut.

Cukup luar biasa jika kita membaca berita wawancara tersebut. Tapi pertanyaannya, bagaimana perayaan sebelum tahun 2000 itu beritanya? Lalu bagaimana kemajuan kegiatan tersebut dari tahun 2000 sampai tahun ini? Apakah hanya semacam ceremony belaka atau memang ada tujuan utama di balik kemeriahan Hari Jadi Bogor itu sendiri?

Jika mencari sumber kesaksian bagaimana perayaan HJB pada mulanya melalui orang-orang yang sudah hidup dan bergiat di tahun 1973 sampai kini, mereka mengatakan bahwa, perayaan HJB dari tahun 1973-1999 diselenggarakan dengan sederhana; seperti selamatan dan doa-doa, tumpengan-makan bersama, yang pada waktu itu Kota dan Kabupaten Bogor merayakan dan memperingatinya di tempat yang sama secara bersama-sama; dan memang mengingat pemerintahan Kabupaten Bogor pada tahun-tahun tersebut masih berdekatan dengan pemerintahan Kota lokasinya.

Entah, apakah bisa kita percayai atau tidak sumber lisan tersebut. Namun, setidaknya kita punya gambaran bahwa memang pada masa sebelum 2000-an itu, secara historis juga Indonesia baru keluar dari krisis ekonomi dan serangkaian konflik internalnya, maka sangat wajar dan pastinya itu juga berdampak pula pada ekonomi dan kehidupan masyarakat Bogor, yang menyebabkan perayaan HJB itu masuk akal diselenggarakan dengan cara sederhana. Dan simpulan sementara, sebelum menemukan sumber lanjutan bolehlah kita putuskan bahwa, dimulainya helaran besar HJB (Kota, entah apakah itu termasuk Kabupaten) jatuh pada tahun 2000, sebagaimana diberitakan Radar Bogor dalam koran cetaknya.

Mengikuti Arah Angin

Melacak jejak perayaan Hari Jadi Bogor sepertinya kita dituntut mengikuti arah angin, tapi bukan satu arah angin, melainkan bercabang di segala penjuru mata angin. Tujuannya tak tentu, arahnya selalu bergerak, dan seperti tak memiliki titik pasti goals atas kegiatannya. Entah mengapa, kami melihat kegiatan-perayaan HJB sangat lumrah, dan apakah HJB memang terkesan demikian. Bukannya mengatakan tak memiliki tujuan, namun tujuan-tujuan klise terkait sosialisasi dan pelestarian kebudayaan tidak dibarengi dengan pengarsipan plus kajian dimensi kesejarahan. Apakah memang perayaan HJB tidaklah jadi tujuan besar dari dokumentasi kebudayaan plus kesejarahan? Ya, beberapa hal tadi semestinya tetap harus dilakukan meskipun bukan dalam rangka kegiatan-perayaan seperti HJB. Artinya, di luar itu semua, HJB mesti punya titik tolak keberhasilan kegiatan, selain lancarnya rangkaian kegiatan seremonialnya.

Sebagai kegiatan besar sekelas program yang langsung ditangani oleh pemerintahan mulai dari konsep, alur kegiatan, dan tujuan besar kegiatan seyogyanya harus juga—sangat luar biasa dampaknya. Sejauh ini, berita terkait perayaan HJB sendiri tidak begitu lantang terdengar oleh masyarakatnya sendiri. Banyak masyarakat yang juga ternyata tidak tahu, tidak mau tahu, bahkan tidak peduli dengan adanya perayaan HJB ini, apalagi mengenai duduk-perkara muasal terjadinya HJB itu sendiri dan konflik di dalamnya. Ada beberapa kemungkinan penyebab hal itu: mungkin karena woro-woro terkait HJB ini tidak masif, atau HJB dianggap eksklusif (hanya untuk pemerintah, budayawan, dan golongannya) sehingga tidak menjadi kesadaran masyarakat untuk peduli, atau mungkin masyarakat kecewa dengan perayaan HJB yang gitu-gitu saja. Rasanya sulit menentukan yang mana yang jadi penyebab dominan tanpa adanya survei khusus. Namun pastinya ketiga hal itu ada dan sangat mungkin terjadi di dalam kehidupan masyarakat Bogor. Siapa yang tahu?

Jika dibahas pendalaman tinjauannya; pertama, karena pengabarannya tidak masif dan tidak menyentuh semua lapisan masyarakat itu bisa saja terjadi meski di era digital seperti sekarang. Jika dilihat dari sudut pandang ini, alasan cukup masuk akal. Coba saja dicek atau dilihat bagaimana publikasi kegiatan yang cuma alakadarnya. Tidak ada informasi apa itu Hari Jadi Bogor, bagaimana prosesi awalnya, bagaimana sidang paripurnanya, bagaimana dokumentasi perayaan awalnya, dan seterusnya. Kedua, seremonial HJB tak ubahnya serupa perayaan ulang tahun sebuah kelompok. Tak ada kajian lanjutan yang menjadikan HJB itu sebagai perjalanan panjang penelitian hidup hunian Bogor itu sendiri. Seharusnya, segala persoalan HJB itu harus menjadi milik masyarakatnya sendiri, sebab berangkat dan bertolak dari dimensi kesejarahan, kebudayaan, dan identitas leluhurnya.

Angin Pertanyaan & Pernyataan

Sampai pada perayaannya yang mengais angka ke-543 ini, Bogor masih diselimuti kabut tebal dan guyuran hujan lebat, yang lalu mengantarkan angin pertanyaan kita bersama terhadap jalan panjang kesejarahannya. Cukup! Kita tak usah membahas persoalan pengarsipan, sebab Bogor sudah sangat jauh sekali kealpaannya, ia sudah menjelma Malin Kundang di satu sisi, di sisi lain jelas ia Sangkuriang yang lupa bahwa Ibunya adalah sejarah dan Bapaknya adalah kebudayaan.

Sekarang kiranya yang mesti kita renungkan adalah bagaimana Bogor dan hari jadinya tertanggal 3 Juni itu seperti apa sebenarnya muatannya, maknanya, dan peristiwanya untuk kehidupan kita hari ini. Jika meminjam uraian Muhamad Alnoza (dalam wawancara dengan Halimun Salaka), ia dengan tegas mempertanyakan dan mengemukakan bahwa, seharusnya persoalan 3 Juni akan membawa serangkaian refleksi tentang; apakah sekarang ada orang asli Bogor yang berdarah Pakuan Pajajaran? Bukankah buku Sejarah Bogor sendiri, dalam hal ini Pak Saleh dkk. menceritakan ketika Pakuan Pajajaran runtuh, hunian Bogor ini adalah hutan lebat dan kosong. Pada suatu masa, datang seorang dari Sumedang, bernama Tanujiwa yang membabat dan membikin hunian di Bogor yang menjadikan masyarakat Bogor hari ini.

Angin pertanyaan dan pernyataan itu akan membawa renungan pada kita bahwa, mengapa titik nol Bogor tidak mengais Tanujiwa. Memang hari ini kita orang dari—atau katakanlah keturunan sah dari Pakuan Pajajaran? Mengapa kita kurang jujur terhadap rentetan sejarahnya, terlalu meromantisasi anti-kolonial yang sebenarnya tidak memiliki dasar? Bagaimana kita menjawab pertanyaan itu? 

Belum sampai kita menjawab pesta pertanyaan dan pernyataan di atas, kita akan langsung dihadapkan dengan serangkaian peristiwa lainnya, seperti miskomunikasi kita dalam memandang Hari Jadi Bogor sebagai penobatan Sribaduga/Siliwangi saja. Sebagaimana meminjam uraian Mochammad Rizky Candiaz (dalam wawancara dengan Halimun Salaka), ia meneroka kemungkinan penyebab persoalan menggelitik itu, pertama, bisa saja memang dari awal HJB mengarah ke penobatan Sribaduga Maharaja lalu mengalami revisi tahun 80-an oleh Pak Saleh. Kedua, atau bisa jadi dari mulanya itu HJB berpatokan pada peristiwa pemindahan Ibukota secara khusus dan penobatan Sribaduga Maharaja secara penambahan penguat patokannya. Namun pemerintah mensosialisasikannya itu seperti malahan keluar dari interpretasi buku Sejarah Bogor itu sendiri. Misalnya saja di website pemerintah dan pemberitaan media lainnya, malah lebih menekankan pada persoalan penobatan saja tanpa penjelasan sumbernya dari mana.

Baru mau mulai menjawab, kita seperti tak diberi napas, angin pertanyaan dan pernyataan itu lalu membawa persoalan masa kini yang semakin rumit: Bogor yang mengutuk kerusakan lingkungan. Bogor yang mengutuk jalur tambang. Bogor yang mengutuk hak masyarakatnya yang digusur. Bogor yang mengutuk tata lalu lintas acak-acakan-macet. Bogor yang menuntut ruang kesenian. Bogor yang menuntut ruang hijau terbuka. Bogor yang menuntut lapangan pekerjaan. Bogor yang menuntut kesejahteraan pekerja, petani, guru, dan profesi lainnya. Bogor yang menuntut hak masyarakat atas kotanya, atas kabupatennya, atas huniannya. Akhirnya, Bogor terjebak di antara jalan masa silam yang belum termaknai nilainya secara utuh-menyeluruh, menyebabkan ketersesatan menempuh masa depannya sendiri.