Kita kadung menerka bahwa filsafat adalah urusan kepala: soal logika, soal sebab-akibat, soal Tuhan dan ketiadaan-Nya. Tapi tahukah Anda bahwa orang Sunda, barangkali dengan sengaja, menyimpan filsafatnya di tempat yang tak terduga: di dalam tawa. Di antara kegetiran dan kebodoran. Di jeda antara dongkol dan banyol. Sebuah ruang kecil yang tidak bisa diklaim oleh kekuasaan, tidak pula didefinisikan oleh ilmu, tapi hidup dan tumbuh di tengah-tengah obrolan warung, cerita rakyat, dan guyonan yang berpindah dari panggung ke panggung.
Saya selalu curiga bahwa orang Sunda tahu: dunia ini berat. Oleh karenanya, mereka hanya memilih untuk tidak ikut-ikutan membuatnya tambah berat. Maka lahirlah sebuah filsafat yang tidak dibangun dari sistem, melainkan dari suasana. Filsafat yang tidak dirumuskan dalam silogisme, tapi dalam gerak bahu yang turun naik karena ngakak. Sebuah cara untuk hidup bersama luka tanpa menjadi korban darinya. Sebuah kejenakaan yang menolak menjadi sinis. Jika dunia adalah panggung drama, orang Sunda masuk ke dalamnya sebagai pelawak, bukan karena tak tahu cara menjadi pahlawan, melainkan karena sadar bahwa tertawa sesekali lebih revolusioner ketimbang orasi.
Dalam Amanat Galunggung, sebuah naskah Sunda Kuno abad ke-15, terdapat satu ajaran pendek: “hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke.” Ada dahulu, ada sekarang. Tak ada dahulu, tak akan ada sekarang. Satu kalimat yang bagi kebanyakan orang hanyalah pepatah biasa, tetapi bagi yang mau mendengar dengan telinga kesabaran, itu adalah metafisika kultural. Orang Sunda tidak memuja masa lalu sebagai keemasan, tapi tidak pula memutuskannya dari masa kini. Mereka tahu hidup adalah kesinambungan, bukan kontestasi. Maka dari itu, saat yang lain sibuk membenahi masa depan dengan retorika revolusi, filsafat Sunda justru merawat saat ini dengan secangkir kopi dan celetukan. Masa lalu bukan hanya sejarah, tapi juga bahan lelucon.
Saya ingat suatu sore di tengah sawah di Ciburuy ketika sedang ngurek (memancing belut), seorang petani tua berkata pada saya, sambil menghalau angin dengan sarungnya, “Hirup mah, tong dikieukeun teuing. Tong digancangkeun teuing. Lamun teuing, sok teu puguh.” Hidup itu, katanya, jangan dilambat-lambatkan, jangan juga dipercepat. Kalau serba “teuing”, nanti malah tidak jelas. Dan memang, barangkali filsafat Sunda bersikukuh alias berpegang teguh pada prinsip ini: teuing adalah tanda bahwa kita tidak memaksakan diri untuk tahu segalanya. Dalam dunia yang begitu terobsesi dengan pengetahuan, orang Sunda justru tenang dalam ketidaktahuan. Bukan menyerah, tapi mengakui batas. Di sanalah, kebijaksanaan tumbuh bukan dari kepastian, tapi dari kesediaan untuk tidak sok tahu dan gegabah.
Ada semacam kesediaan dalam kebudayaan Sunda untuk hidup dalam ketidakpastian yang humoris. Kita sering membayangkan kebijaksanaan sebagai sesuatu yang agung, berat, seperti patung-patung para filsuf Yunani. Tapi di tanah Sunda, kebijaksanaan bisa datang dari mulut Cepot alias Astrajingga—salah satu tokoh wayang golek dalam pewayangan Sunda
yang hidungnya merah dan tingkahnya sembrono. Ia berlagak bodoh, tapi di situlah letak kejelian. Ia menertawakan para raja, para dewa, para petinggi yang sering terlalu sibuk mempertahankan kehormatan sampai lupa akan kelucuannya sendiri. Lelucon menjadi cermin: yang kita tertawakan sesungguhnya adalah bayangan kita sendiri.
Di satu pertunjukan wayang golek, saya teringat pernah mendengar Cepot berkata pada Arjuna: “Kade kang, tong loba mikir, engke nyeri sirah, kabogoh leungit.” Hati-hati, jangan terlalu banyak mikir, nanti sakit kepala, pacar hilang. Penonton tertawa keras. Tapi Arjuna diam. Barangkali, diamnya adalah pengakuan. Di dunia Cepot, filsafat bukanlah tentang mencari kebenaran absolut, tapi tentang menemukan cara agar kepala tidak meledak oleh harapan. Di situlah banyol berubah menjadi perisai: pelindung dari ekspektasi yang membebani.
Barangkali itulah sebabnya, dalam sejarah panjangnya, orang Sunda lebih sering memilih humor sebagai bentuk resistensi. Ketika wilayahnya dipaksa tunduk oleh kekuasaan, mereka tidak membalas dengan senjata, tapi dengan sindiran. Ketika tanahnya direbut proyek, mereka tidak membakar bendera, tapi menggambar karikatur. Ketika suara mereka dipinggirkan, mereka menciptakan lagu-lagu jenaka yang merayakan ketidakberdayaan sebagai bentuk perlawanan. “Kami kalah,” kata mereka, “tapi lihat, kami masih bisa tertawa.”
Dengan demikian, tertawa menjadi bentuk terselubung dari tekad untuk tetap hidup sebagai manusia merdeka.
Ada satu kisah tentang Ki Lengser, tokoh simbolik dalam upacara adat Sunda. Ia berjalan paling depan dalam iring-iringan resmi, menari-nari dengan gerakan jenaka, lidah menjulur, mimik jenaka. Ia bukan raja, bukan pendeta, tapi ia memimpin arak-arakan. Ki Lengser adalah semacam badut suci. Ia mewakili kekuasaan yang sudah tidak sakral, karena bisa ditertawakan. Dalam dirinya, struktur hierarkis dibongkar pelan-pelan lewat humor. Bisa dibilang ia adalah filsuf dalam bentuk badut. Seperti Socrates yang menyaru sebagai orang bodoh di pasar Athena, Ki Lengser menari di depan rakyat dengan perut buncit dan tawa parau, tapi setiap langkahnya adalah sindiran kepada kekuasaan. Dan seperti Socrates pula, ia dibenci oleh orang yang terlalu serius.
Ajip Rosidi pernah secara implisit mentekskan bahwa “Sunda bukan hanya soal bahasa dan wilayah, tapi cara merasa.” Dan cara merasa orang Sunda adalah cara yang lembut tapi tidak lunak, ringan tapi tidak remeh. Dalam kelembutan itu, ada kekuatan untuk tidak meledak dalam kemarahan, melainkan mengendap dalam ketawa getir. Seperti pelawak yang tahu bahwa panggung bisa runtuh, tapi tetap melucu sampai tirai ditutup. Inilah bentuk kearifan yang jarang kita temukan dalam tradisi filsafat Barat: penerimaan terhadap absurditas tanpa menjadi apatis.
Dalam konteks modern, filsafat Sunda ini seolah terpinggirkan. Dunia kota lebih senang pada retorika formal, pada argumen yang dibingkai akademik. Banyolan dianggap tak intelektual. Tapi justru di situlah ironi terbesarnya: tawa yang dulu menjadi senjata budaya kini dianggap gangguan. Padahal, dalam satu tawa itu, terkandung lebih banyak empati daripada dalam sepuluh seminar filsafat. Kita lupa bahwa banyol adalah cara orang biasa mengolah ketidakadilan tanpa menjadi mesin kemarahan. Seolah kita ingin membasmi tawa demi keseriusan yang steril.
Kabayan, tokoh fabel Sunda yang dikenal karena kemalasannya, adalah prototipe dari filsafat ini. Ia tidak bekerja keras, tidak berdebat, tidak ingin menang. Tapi justru dalam kemalasannya itu, ia menunjukkan absurditas sistem. Ia mengolok birokrasi, menertawakan moralitas palsu, dan mengacaukan logika ekonomi. Dalam satu kisah, Kabayan disuruh menjual kambing ke pasar, tapi pulang membawa cambuk. Saat ditanya, ia berkata: “Embe na kabur, nu bisa dipulangkeun mah cambukna.” Satu pernyataan bodoh, tapi penuh sindiran: tentang harapan dan hasil, tentang usaha dan absurditas dunia yang tidak selalu linear.
Tentu saja apa yang diajarkan Kabayan bukan cara menjadi sukses, tapi cara bertahan hidup tanpa kehilangan rasa humor. Dan itu, dalam dunia hari ini, adalah pelajaran yang penting. Dunia modern menyuruh kita produktif, cepat, efisien. Tapi filsafat Sunda bertanya: untuk apa? Apakah tidak lebih baik melipir ke warung kopi, mendengar banyolan tukang parkir, dan tertawa atas ketololan bersama? Bukankah tidak jarang kebijaksanaan bukanlah hasil dari proses berpikir yang panjang, melainkan hasil dari kemampuan menertawakan diri sendiri.
Ada sesuatu yang ingin kita pelajari kembali dari cara Sunda menanggapi dunia. Bukan untuk menjadi naif, tapi untuk kembali percaya bahwa banyol adalah bagian dari kebijaksanaan. Bahwa filsafat bisa mengalir lewat cerita rakyat, lewat sindiran Cepot, lewat kesunyian yang dipecah oleh gelak tawa. Bahwa kemarahan bisa dikelola dengan kecerdikan yang jenaka. Dalam tertawa, ada kelegaan; dalam kelegaan, ada ruang untuk berpikir; dan dalam berpikir yang ringan, barangkali kita bisa melihat dunia dengan cara yang lebih waras.
Dalam bayang-bayang kerusakan lingkungan, pembangunan yang rakus, dan kekuasaan yang makin semena-mena, tawa tetap punya tempatnya. Seperti kata pepatah Sunda, “nu cicing meunang dua, nu ceurik meunang tilu, nu seuri meunang sadayana.” Yang diam dapat dua, yang menangis dapat tiga, tapi yang tertawa dapat semuanya. Sebuah cara pandang yang membalik logika penderitaan. Di mana tawa bukan sekadar pelarian, tapi bentuk kepemilikan terhadap nasib.
Akhirnya, kita sampai pada satu pertanyaan yang mungkin sederhana tapi tak gampang dijawab: apa artinya menjadi bijak di tengah kekacauan? Filsafat Sunda menjawab tanpa pretensi: menjadi bijak berarti tahu kapan harus marah, tapi juga tahu kapan harus menertawakan amarah itu sendiri. Tertawa bukanlah bentuk kekalahan, tapi cara untuk tetap waras ketika semuanya tampak sinting.
Sebab di balik banyol, tersembunyi satu keberanian yang tak keras, tapi tetap tajam. Keberanian untuk berkata: “Saya tahu dunia ini tidak adil. Tapi saya juga tahu, saya tidak akan membiarkan dunia merenggut tawa saya.” Sebuah keberanian yang tidak berteriak, tapi berdiri tegak sambil tersenyum, meski di tengah reruntuhan.
Dan barangkali itulah bentuk tertinggi dari filsafat: bukan kemenangan dalam debat, tapi kemampuan untuk tetap tersenyum, bahkan ketika hati rungkad. Bukan untuk menyangkal rasa sakit, tapi untuk merayakan hidup yang tetap berjalan—dengan dongkol, dan banyol, saling berpelukan di bawah panon poe.
Dalam tawa itu, orang Sunda tidak sedang melupakan dunia, tapi sedang menciptakan dunia alternatif: dunia di mana membanyol diterima sebagai hal paling manusiawi yang bisa dilakukan di hadapan tragedi.
Akhir kata, saya ingin menutup tulisan ini dengan kutipan sangat bijak yang saya dapatkan ketika selesai meditasi di pemandian air panas—di Ciasmara bersama Mangs Teguh dan Mangs Noza, “Mending ngabanyol tibatan kukulutus teu puguh-puguh ngabangus kontol.”