Mariazeller Wallfahrer in Kapfenberg rastend (1857)

Hingga kini, aku masih sering kembali ke sana. Ke sudut gang yang berlumut, tempat gerbang keajaiban itu bersembunyi di balik ceceran puntung rokok dan aroma kopi sisa semalam. Bau amis genangan air hujan yang bercampur dengan asap knalpot, menjadi parfum nostalgia yang membiusku. Aku adalah seorang saksi yang tak pernah benar-benar pulang, karena di hatiku, kota ini telah menjelma menjadi sebuah entitas yang hidup. Sebuah raksasa yang bernapas melalui sumpah serapah, cinta, dan benci dari jutaan manusia yang bersemayam di dalamnya.

Namaku Sekar, dan aku bukan berasal dari tempat ini. Aku adalah anomali, seorang pengembara yang terdampar di tengah beton-beton yang menjulang. Kota Jakarta ini telah menelanku utuh-utuh, kemudian memuntahkanku kembali dengan segenap ingatan baru yang menyakitkan. Dahulu, aku percaya bahwa kota ini hanyalah kumpulan gedung, jalanan, dan manusia yang sibuk mengejar fatamorgana. Namun, aku salah, amat sangat salah.

Aku mengingat malam itu, malam yang mengubah segalanya. Langit mengamuk, menumpahkan isinya tanpa ampun. Petir menyambar seperti cambuk, dan angin menderu bagai raungan monster yang kelaparan. Aku terjebak di gang sempit dekat stasiun, tempat para pemabuk dan gelandangan biasa bersemayam. Tepat di samping tong sampah yang penuh, aku melihatnya. Sebuah pintu kecil yang berputar-putar seperti pusaran air. Ia mengeluarkan cahaya pirus yang berdenyut seolah bernapas. Tak ada gagang, tak ada engsel. Hanya sebuah portal yang mengundang, dengan bisikan yang hanya bisa kudengar di dalam kepalaku.

“Masuklah, Sekar. Lihatlah apa yang telah mereka lakukan pada kota ini. Mereka telah mengutuknya.”

Bisikan itu milik seorang lelaki tua yang duduk di bangku kayu lapuk di seberang gang. Namanya Mbah Gondel. Rambutnya putih, panjang dan lebat. Wajahnya dipenuhi keriput, seolah-olah setiap garis di wajahnya adalah peta dari ribuan perjalanan yang telah ia lalui. Matanya, meskipun cekung, tetapi memancarkan cahaya yang aneh, seolah-olah ia bisa melihat apa yang tak bisa dilihat oleh orang lain. Aku sempat ragu, namun rasa penasaranku jauh lebih besar daripada ketakutanku. Dengan tangan gemetar, aku menyentuh pusaran cahaya itu.

Sensasi yang kurasakan tak dapat kujelaskan. Rasanya seperti ribuan jarum menusuk kulitku, namun juga seperti kehangatan yang memelukku erat. Aku terlempar, bukan ke dimensi lain, melainkan ke dalam esensi kota itu sendiri. Aku menyaksikannya. Aku melihat denyut nadinya, aku mendengar detak jantungnya. Dan yang paling mengejutkan, aku melihat gema. Gema dari setiap kata, setiap emosi, yang dilepaskan di kota ini.

Gema sumpah serapah, misalnya. Sumpah serapah dari seorang sopir taksi yang terjebak macet, gema dari seorang pedagang kaki lima yang gerobaknya digusur, gema dari seorang anak yang menangis karena mainannya hilang. Semua kata-kata itu tidak hilang begitu saja. Mereka naik, melayang di udara, berkumpul, dan menyatu. Mereka membentuk awan hitam yang menggantung di atas gedung-gedung tinggi. Awan itu adalah kabut polusi yang sebenarnya, yang terbuat dari kekesalan dan amarah. Ketika awan itu terlalu berat, ia akan meledak dalam bentuk hujan badai yang melumpuhkan kota.

Aku juga melihat gema dari kata-kata yang baik. Gema dari ucapan terima kasih seorang anak pada ibunya, gema dari sapaan ramah seorang tetangga, gema dari tawa yang meledak di sebuah kedai kopi. Gema-gema itu berwarna-warni. Ada yang hijau seperti daun muda, ada yang biru seperti langit pagi, ada yang merah jambu seperti pipi anak kecil. Gema-gema itu mengalir seperti sungai, mengairi jalanan, menyirami taman-taman kota, dan membuat bunga-bunga bermekaran. Namun, jumlahnya tidak sebanding dengan gema yang berwarna hitam.

Mbah Gondel mengatakan bahwa kota ini adalah sebuah cermin. Ia mencerminkan apa yang ada di dalam hati para penghuninya. Jika hati mereka kotor, maka kota ini juga akan kotor. Jika hati mereka gelap, maka kota ini juga akan diselimuti kegelapan. Dan sebaliknya. Namun, selama ini, yang selalu menang adalah sisi yang gelap.

“Lihatlah, Nduk,” bisik Mbah Gondel, yang entah bagaimana telah berdiri di sampingku. “Mereka pikir, mereka hanya membuang kata-kata kosong. Mereka tak sadar, setiap kata yang mereka ucapkan, memiliki berat, memiliki bentuk, dan memiliki nyawa.”

***

Sejak malam itu, aku menjadi seorang pengamat. Aku bisa melihat apa yang tak bisa dilihat oleh orang lain. Ketika orang-orang mengumpat, aku bisa melihat gumpalan kabut hitam yang melayang dari mulut mereka. Ketika orang-orang tertawa bahagia, aku bisa melihat kilauan cahaya berwarna-warni yang bertebaran di udara. Aku melihat bagaimana semua emosi itu berinteraksi, bagaimana mereka saling bersinggungan, dan bagaimana mereka membentuk takdir kota ini.

Aku pernah mencoba untuk menghentikannya. Aku pernah berdiri di tengah jalan raya, mencoba meneriakkan kata-kata baik. Aku menyanyikan lagu-lagu gembira, aku mengucapkan kalimat-kalimat pujian. Namun, suaraku tenggelam, tenggelam di bawah suara klakson, di bawah sumpah serapah, di bawah jeritan frustrasi. Aku seperti sebutir pasir yang mencoba menghentikan gelombang pasang. Aku putus asa.

Hingga suatu hari, aku bertemu Aksa. Dia adalah seorang seniman jalanan. Rambutnya gimbal, kulitnya sawo matang, dan matanya selalu memancarkan kehangatan. Aksa tidak berbicara banyak. Ia hanya melukis. Melukis di tembok-tembok yang kotor, melukis di trotoar, melukis di kanvas yang terbuat dari karung bekas. Dan yang dilukisnya adalah gema-gema baik yang ia lihat.

Awalnya, aku mengira dia gila. Aku menyaksikannya melukis bunga-bunga berwarna-warni di dinding yang penuh dengan grafiti serapah. Aku menyaksikannya melukis kupu-kupu yang beterbangan di atas tumpukan sampah. Namun, setiap kali ia melukis, aku bisa melihatnya. Gema-gema baik yang ia lukis, menjadi nyata. Mereka berputar-putar di udara, memancarkan cahaya, dan menetralkan gema-gema buruk di sekitarnya. Perlahan tapi pasti, gumpalan kabut hitam itu memudar.

Aku bertanya padanya, “Kenapa kamu melakukan ini, Aksa? Apa kamu melihatnya juga?”

Aksa hanya tersenyum. “Aku tak tahu apa yang kamu lihat, Sekar. Aku hanya tahu, kota ini butuh keindahan. Ia butuh kasih sayang. Dan dengan itu adalah caraku untuk memberikannya.”

Aku tertegun. Aku telah berusaha untuk melawan kegelapan, sedangkan Aksa hanya berusaha untuk menciptakan cahaya. Aku telah mencoba melawan keburukan, sedangkan Aksa hanya mencoba menciptakan keindahan. Kami adalah dua sisi dari koin yang sama, namun dengan pendekatan yang berbeda.

***

Sejak saat itu, aku sering menemaninya. Aku duduk di sisinya, menyaksikan bagaimana tangannya yang kotor dan penuh cat bisa menciptakan keajaiban. Ia melukis seorang kakek tua yang tertawa, dan tawa itu menjadi nyata, mengalir di udara seperti melodi yang manis. Ia melukis seorang ibu yang memeluk anaknya, dan kasih sayang itu menjadi nyata, memancar seperti kehangatan yang menyelimuti semua orang di sekitarnya.

Aku menyadari, kota ini bukanlah sebuah entitas yang statis. Ia dinamis, terus berubah, terus berinteraksi. Dan kita, para penghuninya, adalah seniman-seniman yang tak sadar. Setiap kata, setiap emosi, setiap tindakan, adalah sapuan kuas yang kita goreskan pada kanvas raksasa bernama Jakarta ini. Kita bisa memilih untuk melukis kegelapan, atau kita bisa memilih untuk melukis cahaya.

Kini, aku tak lagi merasa putus asa. Aku tahu, gema sumpah serapah tak akan pernah benar-benar hilang. Namun, aku juga tahu, gema kebaikan juga akan selalu ada, di antara riuh rendah kota yang tak pernah tidur. Dan tugas kita bukan untuk melawan kegelapan, melainkan untuk menjadi cahaya itu sendiri.

Malam ini, aku kembali ke gang berlumut itu. Pintu pusaran cahaya itu masih ada. Ia masih berdenyut, mengundang. Namun, kali ini, aku tidak lagi ingin masuk. Sebab, aku tahu, keajaiban yang sebenarnya tidak berada di dalam portal itu. Ia berada di jalanan, di setiap sudut kota, di setiap denyut nadi dari jutaan manusia yang tak pernah lelah berjuang.

Ia berada di dalam diri kita, di setiap kata yang kita ucapkan, di setiap emosi yang kita rasakan. Dan aku, Sekar, hanya ingin terus menjadi seniman, yang melukis cahaya di tengah kegelapan yang tak berkesudahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *