Gunung Tak Lagi Sunyi, Maka Aku Tak Lagi Mendaki

Gunung Tak Lagi Sunyi, Maka Aku Tak Lagi Mendaki

Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864)

Aku pernah mencintai gunung seperti orang jatuh cinta: datang dengan rasa haru, membawa doa, dan pulang dengan sepotong damai di dalam dada.

Tapi kini aku tak lagi mendaki. Bukan karena kakiku lelah, tapi karena aku lelah melihat gunung hanya dijadikan latar untuk berfoto, untuk berwisata, untuk energi yang katanya hijau tapi merobek isi perut bumi.

Aku tak lagi mendaki. Dan itu bukan karena aku tidak rindu puncak. Aku rindu. Aku rindu bau tanah basah, rindu kabut pagi yang turun pelan-pelan seperti zikir langit, rindu suara angin yang mengaji lewat dedaunan.

Tapi aku lebih rindu gunung yang tak dilukai. Gunung yang tak dijadikan objek. Gunung yang tak disusupi pipa dan pagar, yang tak dijadikan latar komersial, yang tak dikhianati oleh mereka yang mengaku mencintainya.

Aku tak lagi mendaki, karena aku tak ingin menjadi saksi yang diam. Setiap langkah di jalur pendakian kini terasa seperti berjalan di atas luka yang tak bisa kita lihat. Setiap foto yang diunggah, terasa seperti perayaan di atas tubuh yang sedang dibor perlahan-lahan, dengan rasa sakit yang tak berkesudahan.

Aku memilih turun. Karena justru dari bawah aku melihat lebih banyak kebusukan yang dibungkus narasi “kebaikan”.

Gunung Bukan Objek: Geothermal, Wisata, dan Kekerasan yang Tak Terlihat

Mereka menyebutnya solusi: energi panas bumi. Mengambil uap dari perut gunung, mengubahnya menjadi listrik. Dalihnya, ramah lingkungan, katanya. Tidak membakar batu bara. Tidak mengeluarkan asap hitam. Tapi tak pernah dijelaskan, berapa banyak pohon yang ditebang untuk membuka jalan ke titik pengeboran? Berapa luas hutan lindung yang dijadikan proyek eksklusif bernama strategis nasional? Berapa banyak suara masyarakat adat yang dibungkam karena tak sepakat tanahnya dijadikan pabrik?

Kita terlalu cepat percaya bahwa “energi bersih” itu otomatis baik. Padahal bersih untuk apa dan siapa? Bersih dari karbon, mungkin. Tapi tidak bersih dari kekerasan, penggusuran, penipuan, dan bahkan kebohongan atas nama pembangunan.

Wisata: Saat Cinta Menjadi Konsumsi

Aku melihat wajah gunung di puluhan feed Instagram: kabut pagi, kopi hangat, tenda warna cerah. Tapi siapa yang peduli ketika tubuh gunungnya dibor diam-diam untuk mengalirkan uap ke pipa-pipa logam?

Kita menyebut diri “pecinta alam”, tapi hanya ketika alam memberi visual yang layak diabadikan.

Kita mencintai puncak, tapi tak peduli lerengnya, ekosistem hutan bawahnya disulap jadi lahan proyek. Kita tepuk tangan untuk pembangunan jalan menuju titik wisata, tapi bungkam ketika jalan itu memecah keheningan hutan dan membelah hunian hewan yang tak bisa pindah.

Cinta yang tidak berubah jadi perlindungan adalah cinta yang hanya tahu estetika. Gunung tak butuh puisi. Ia butuh pembelaan. Ia tak butuh foto. Ia butuh dihormati. Dan jelas, ia patut dihargai sebagai hunian para tumbuhan dan hewan.

Hutan yang Dibungkam oleh Logika Ekonomi

Ketika pemerintah berkata, “ini proyek strategis nasional,” apa yang sebenarnya dimaksud strategis nasional itu? Penting untuk masyarakat, negara, atau elit politik kekuasaan tertentu? Atau itu penting untuk investor?

Di banyak tempat, proyek geothermal tak hanya merobek vegetasi. Ia datang membawa jalan baru, disusul kabel, pipa, gardu listrik, dan pagar-pagar beton. Lalu muncul aturan baru: larangan masuk, larangan bertani, larangan tinggal. Hutan yang dulu milik bersama, kini jadi ruang steril untuk logika industri.

Ironisnya, semua dilakukan atas nama penyelamatan bumi. Bumi diselamatkan dengan merusak bumi. Gunung diselamatkan dengan mengebor tubuh gunungnya. Dan kita—yang pernah memujanya—tetap diam.

Ketika Gunung Tak Lagi Sunyi

Aku pernah mendaki untuk mencari kesunyian atas hidup yang semrawut. Tapi kini sunyi itu tak lagi ada. Tergantikan suara mesin bor, tenda komersial, dan sepanduk bertulislan, “Pengembangan Wisata Berbasis Energi Hijau”.

Kau tahu yang paling pilu dari semua itu? Adalah ketika mereka menyebut semua ini dengan dalih kemajuan. Padahal apa yang maju jika pepohonan ditebamg, air bersih jadi keruh, dan ekosistem hewan terusik hidupnya?

Gunung tak pernah minta jadi ikon ekonomi.
Ia tak minta dikunjungi ribuan orang setiap akhir pekan. Ia tak minta disulap jadi power plant.
Ia hanya ingin tetap diam, menjadi tubuh langit dan pondasi tanah yang utuh. Tapi kita, manusia—mengubahnya jadi ladang konten dan sumber daya tanpa memikirkan ada kehidupan makhluk di dalamnya.

Hutan Larangan, Dihapus dengan Tanda Tangan

Hari ini, banyak hutan larangan diubah jadi “area eksplorasi” geothermal. Kepercayaan adat dilabeli sebagai mitos. Batas-batas spiritual digantikan koordinat GPS. Penjagaan tak bersenjata dianggap penghalang pembangunan.

Tapi kita lupa: yang disebut “hutan larangan” itu sangat sainstis, mengais ilmu pengetahuan bagaimana ia menyimpan air, udara, dan kehidupan yang tak tercatat di statistik kerangka berpikir modern. Mereka menjaga hutan bukan karena didanai proyek, tapi karena itu bagian dari iman, dari warisan, dari martabat.

Dan kini, ketika hutan rusak, masyarakat adat yang dulu dianggap primitif malah menjadi harapan terakhir.

Turun dari Gunung, Melihat dengan Mata Baru

Aku memilih tidak mendaki gunung kembali.
Bukan karena aku tak rindu puncak, tapi karena aku memilih tinggal lebih lama di kaki gunung— untuk mendengar cerita penduduk yang digusur, petani yang ladangnya dijanjikan untung tapi tak pernah dihitung dampak dan kerugian hidupnya, bahkan anak-anak yang tak bisa lagi mandi di sungai karena alirannya disedot pipa-pipa besar, tercemar.

Dari bawah, aku belajar bahwa mencintai gunung bukan soal mencapai puncak, tetapi memastikan ia tidak dilukai oleh nama-nama besar: investor, elite kekuasan, cukong, dan slogan hijau yang menyesatkan hidup masyarakat kecil.

Turun adalah keputusan. Turun adalah bentuk cinta yang tak egois. Turun adalah tanda bahwa aku tidak ingin menjadi tamu yang datang hanya untuk menikmati, lalu pergi dan melupakan siapa yang harus bertanggung-jawab atas ekosistem alam dan lingkungan.

Jangan Biarkan Gunung Jadi Korban Branding

Banyak yang mengatakan kita harus berdamai dengan modernitas. Tapi damai bukan berarti diam dan mengalah. Bukan berarti membiarkan gunung jadi objek yang bisa ditulis ulang sesuai kepentingan, sesuai hasrat meraup keuntungan.

Aku mencintai gunung. Ya, itulah mengapa aku memilih tidak mendakinya kembali—
sampai gunung kembali menjadi rumah, bukan proyek kekuasaan. Sampai keheningannya kembali suci, bukan sunyi yang direkayasa. Sampai pendaki datang bukan untuk menaklukkan, tapi untuk menjaga ekosistemnya.

Karena cinta sejati bukan soal berada di atas,
tapi soal berani melindungi yang di bawah.

Refleksi: Diam Adalah Pendakian yang Lebih Dalam

Apakah benar kita mencintai gunung, jika kita hanya datang untuk mengambil tenang dan pulang membawa kebisingan? Apakah benar kita mencintai hutan, jika kita terus diam ketika ia dilucuti ekosistemnya atas nama energi dan investasi?

Kini, aku belajar mencintai dengan cara yang lain: dengan tidak mendaki. Dengan tidak menambah jejak. Dengan tidak menambah tekanan atas terpuruknya makhluk hutan.

Aku mencintai dengan cara: menjaga heningnya dari kejauhan, mendukung petani dan masyarakat adat yang menjaganya dari bawah, ketika tubuh gunung diganggu oleh kekuasaan yang serakah. Karena pendakian tertinggi bukan soal mencapai puncak, tetapi soal menahan diri agar tidak menjadi bagian dari kerusakan.

Gunung tidak pernah meminta didatangi. Kita yang memaksa ingin sampai ke atas, seolah puncak adalah bukti kita masih hidup. Tapi hari ini, aku percaya: yang paling hidup adalah mereka yang bisa berkata: cukup. Cukup datang. Cukup ambil. Cukup injak.

Sudah saatnya berhenti sejenak. Berdiam. Mendengarkan. Menjaga. Karena cinta yang sesungguhnya tidak selalu datang dalam bentuk perjalanan naik ke puncak gunung, kadang ia hadir dalam keputusan untuk berhenti—dan membela dari jauh, dari bawah, agar yang kita cintai tetap utuh.