Habis Takut, Terbitlah Keberanian Melawan

Habis Takut, Terbitlah Keberanian Melawan

dok. halimunsalaka (syah)

Dari hari ke hari, sepanjang aksi massa beruntun 25 hingga 31 Agustus kemarin, saya turun ke jalan. Saya bersedia ikut karena saya bersyukur dikelilingi oleh teman-teman yang muak melihat wakil-wakilnya dan kegelisahan yang sama mendidihnya. Teman-teman saya itu, nyalinya jangan ditanya, daya juangnya tak perlu diragukan lagi, daya survive-nya bukan main tangguh tahannya, dan mentalnya sudah teruji seperti kebanyakan rakyat Indonesia. Keadaan kayak apapun dihadapinya dengan prinsip berani, mau keos saja siap, apalagi damai. Mau barisan depan ayo, belakang juga boleh. Disuruh menyerang oke, bertahan pun tak masalah. Solidernya tak tertandingi. Saling back up-nya tiada lawan.

Sejak 25 Agustus yang lalu, saya merasa keadaan bakalan kacau, mengingat eskalasi demonstrasi dan akumulasi praktik Negaranya, taklah mengherankan apabila kekeosan yang terjadi menular seperti wabah ke seluruh penjuru Negeri. Hal inilah yang kemudian membuat saya ngeh, berpikir serta menimbang ulang peran dan tugas apa yang mungkin dilakukan di tengah kerusuhan itu. Spontan, teman-teman saya langsung menjawab, rescue sajalah. Sesederhana kalau ada yang jatuh, kita bangunin. Kalau ada yang mau ketangkep, kita gebukin yang nangkep. Kalau ada yang luka, kita selametin. Kalau ada yang butuh medis, kita panggilin ambulans.

Jujur, saya takjub pada kesediaan dan kerelaan diri teman-teman saya itu, karena aslinya mereka terbakar amarah dan dadanya mau meledak. Tak ada waktu lagi buat berpikir selain ini saatnya berontak. Maju. Serbu. Serang. Dan terjang. Tapi berkat kesadaran bersama untuk saling me-rescue satu sama lain. Teman-teman jadi lebih aware terhadap kiri-kanan, lebih memperhatikan keadaan sekitar, lebih tajam dalam memantau situasi, lebih peka terhadap kondisi terkini, dan lebih sigap dalam merespons segala kebutuhan di jalan-jalan. Jadi setiap aksi apapun bersama teman-teman saya itu, selain membawa tuntutan, juga kudu siap untuk saling mengamankan. Karena memang penindasannya masih sama seperti dulu Rendra sajakkan:

Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.

Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan.

Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.

(Pamflet Cinta, Rendra)

Setiap kali Negara membunuh warganya, mereka menjadi mati rasa terhadap rasa sakit, rasa takut, kegembiraan, dan bahkan terhadap cinta. Mereka telah kehilangan sedikit lebih banyak dari dirinya sendiri. Perasaan-perasaan mereka tidak lengkap. Pikiran-pikiran mereka tidak pernah utuh. Kemanusiaan mereka tidak lagi bernyawa. Kewajaran hidup mereka tidak punya nilai. Karena mereka adalah alat yang disponsori secara penuh oleh kekuasaan untuk menjadi mesin ketertiban, robot penindasan, dan teknologi keamanan yang paling mematikan.

Membayangkan sajak Rendra di atas, serta mengalami langsung sebagai warga Negara, saya takut. Saya takut bersuara. Takut berpendapat. Takut beropini. Takut bersaksi. Takut mengabarkan informasi. Sampai habis takut saya dilindas mobil rantis brimob. Habis takut saya dipukuli hingga mati. Habis takut saya diracun. Habis takut saya ditembak jarak jauh. Habis takut saya dibunuh seakan-akan bunuh diri. Habis takut saya saat menyelamatkan orang terjatuh di jalan, tapi dituduh provokasi, lalu ditangkap, atau seketika bisa ditembak jarak jauh-dekat dan terkapar di tempat. Habis takut saya diculik sampai dihilangkan secara paksa. Habis takut saya karena ruang hidup telah dirampas. Habis takut saya karena rasa aman kian terkikis. Habis takut saya karena kebimbangan semakin mencekam. Habis takut saya karena teror terus merajalela setiap saat, setiap waktu, dan setiap tempat.

Inilah renungan—narasi yang fokus pada detail-detail kecil—ketakutan saya, takut membuat saya merasa masih manusia. Tanpa rasa takut, mungkin apa yang saya lakukan akan jauh lebih mengerikan daripada polisi yang membunuh, menyiksa, menembak, memukul, dan melakukan segala tindakan kesewenang-wenangan.

Dan jika perlawanan kita tak membuat takut, itu artinya tidak cukup besar, kan? Jika pemerintah selalu punya seribu satu cara untuk memanipulasi semua tuntutan rakyat serta dampak yang terjadi, itu artinya sudah gawat, kan?

Jika penguasa harus waspada dengan menyebarkan teror dan ketakutan, itu artinya memang darurat, kan? Jika rakyat habis takutnya, itu artinya masih tetap waras dan yang tersisa hanya tenaga revolusi yang meledak-meledak di jalan-jalan, kan? Jika rakyat sudah kepalang takut dengan berani, itu artinya rakyat menunggu sambil terus menyiapkan pamflet pemberontakan: “Ikut tidak lemah. Ikut tidak melemahkan. Ikut tidak menambah jumlah orang lemah,” kan?

Otakku remuk oleh praktek Negaranya
Darahku mendidih melihat pejabat-pejabatnya
Perasaanku terbakar oleh KKN-nya yang pintar dan tidak kentara
Dadaku mau meledak karena rakyat terus dibodohi tidak habis-habisnya

Hatiku tidak sabar menunggu kapan Tuhan membuka kenyataan, bahwa mereka
sesungguhnya tidak layak duduk di kursinya
Mataku berkunang-kunang melihat Indonesia
Tak paham aku, mereka akan pergi ke mana
Amat sukar kutemukan kesungguhan hatinya

Tidak sanggup kuhimpun kepingan-kepingan dan pecahan-pecahan pikiran mereka
Tidak mampu aku menangis oleh tangisnya
Dan tidak bisa aku tertawa oleh tawanya
Setiap malam kugambar wajah masa depan Indonesia dan paginya kuhapus sendiri,
dan aku tertawa-tawa

(Berlari Dari Indonesia, Emha Ainun Nadjib)

Betapapun takutnya saya ternyata tidak bisa menghindar dari Indonesia, di mana-mana selalu ketemu Indonesia lagi Indonesia lagi, meski pemerintah Indonesia tidak pernah sekalipun mau menemui kita. Lebih nyata lagi pejabat-pejabatnya selalu menimbulkan keresahan. Wakil-wakilnya seperti menjerat leher kita dengan segala kekacauan kebijakannya. Dan yang lebih tak habis pikir, kenapa rakyat mesti berjuang habis-habisan demi keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Cintanya melimpah ruah memenuhi jiwa raga saya pabila ketemu di jalan-jalan, terus mengepal-ngepal sambil berkoar-koar.

Apalagi orang Jawa itu, kata Cak Nun, kalau diganggu akan ngalah. Kedua kalinya akan ngalih, dan kalaupun masih tetap diganggu, maka akan ngamuk. Lagipula pada sekarang keterlaluan dzalimnya, sudah dikasarin rakyat ngalah, masih juga dikerasin rakyat ngalih, maka aneh kalau ditindas rakyat tidak ngamuk. Nilai kengamukan ini bukan hanya tentang terwujudnya segala tuntutan rakyat, melainkan juga proses dari perjuangan nilai-nilai hidup yang panjang, sebab kata arek bonek, “wani urip, gak wedi mati. Wedi mati, aja urip. Wedi urip, matek’o ae. Wani urip, gak wedi mati. Wani mati, lapo urip. Wedi urip, bongko ae.” Prinsipnya wani, berani. Dan barangkali ini bisa jadi pedoman hidup perjuangan nilai-nilai yang akan kita capai, selanjutnya, atau setelah ini.

Tetapi apa yang seni bisa lakukan dalam memupuk rasa takut kita menjadi keberanian melawan atas berbagai tindakan represif serta perlakuan aparat yang sewenang-wenang? Hawa malam penuh ketidakamanan. Mengerikan. Benar-benar menakutkan. Kekerasan dan penindasan bertemu tanpa pengadilan. Itulah mengapa dari jauh-jauh hari Rendra telah memberi kesaksian bahwa “daya hidup tak boleh mati, walau maut mengancam dari setiap celah. Ia adalah nyawa kita di bumi. Daya hidup itulah yang aku tulis untuk bangsa ini; yang mudah menyerah ditindas penguasa dan pemilik modal yang zalim. Mereka harus kita lawan!”

Aksi “Revolusi Rakyat Indonesia” yang menjadi “Reset Indonesia” itu, telah menggoreskan banyak luka kembali, penderitaan dan kesedihan sama-sama kita rasakan. Sebagian dari kita, atau mungkin cuma saya, yang dihantui oleh rasa takut akan kekerasan, ketidakamanan, kesewenang-wenangan, pembunuhan, ketidakadilan, dan ditambah kesengsaraan rakyat yang banyak jumlahnya. Tapi hari ini, saat ini, dengan “angkuh pada kesengsaraan” saya melawan segala bentuk ketakutan dan teror. Karena satu-satunya keangkuhan yang mungkin boleh dilakukan dan diucapkan oleh rakyat kecil ialah tentang bagaimana kita bersikap terhadap kesengsaraan.

Kredo tentang “angkuh pada kesengsaraan” berarti kesetiaan pada daya juang dan daya hidup bahwa kesengsaraan yang disebarluaskan melalui ketakutan dan teror kepada rakyat itu tidak lantas membuat kita lemah dan pasrah, melainkan justru menyulut pemberontakan dan menggugah keberanian melawan penindasan itu sendiri. Keangkuhan rakyat kecil tidak terutama karena telah berhasil mengatasi suatu kesengsaraan, melainkan ditentukan oleh seberapa sanggup berjuang untuk menjaga martabat, meningkatkan kualitas kewajaran hidup manusiawi, dan terus melawan ketidakadilan. Secapek-capeknya! Sebengek-bengeknya! Semuak-muaknya!

3-4 September 2025

  • Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.

    Lihat semua pos