Jasinga – Baranangsiang dan Puisi Lainnya

Jasinga – Baranangsiang dan Puisi Lainnya

gambar. AI


Jasinga – Baranangsiang

(pada suatu waktu dalam peristiwa hidup, sopir di kanan dan kenek di kiri bergantian mengendarai angkot—menempuh jalan puisi ini)

kita tempuh perjalanan ini, dari tikungan ke persimpangan, dari penumpang ke pelanggan, dari keberangkatan ke pemberhentian

sekian lama bergelut dengan aspal dan debu, hari ini kita baru menyadari bahwa setir, kopling, gigi, gas, kaca spion, dan rem, bagai seperangkat doa-doa, yang kita ibadahi dengan harapan keselamatan, dengan capaian keberkahan

sementara kini hari semakin cepat menjelang, dan tiap malam di perjalanan pulang, kita selalu diburu rasa lelah, terasa sandi-sendi waktu menguras sisa usia kita: sampai kapan kita bisa merawat sel-sel ikhlas dan sabar ketika dianugerahi kemacetan rezeki di jalan Tuhan?

(pada suatu waktu dalam peristiwa puisi, sopir di kanan dan kenek di kiri bergantian mengendarai angkot—menempuh jalan hidup ini)

Baranangsiang, 2024

Parung – Merdeka

di sepanjang jalan parung sampai merdeka, sopir angkot dan kenek menghibur para penumpang dengan memutarkan lagu sebotol minuman

dengan spontanitasnya, bagai seorang aktor teater menempa diri di belakang panggung, kenek yang nangkring di lawang angkot itu berseru, “…sebotol minuman, kita tuang masa silam.”

lalu sopir menyambut aksinya dengan berkata, “tanpa bedil dan senapan, tapi dengan anggur hitam dan rokok di tangan, kita renungkan Kapten Muslihat dan para pejuang, dan mesti kita rayakan trayek kemerdekaan terminal.”

di sepanjang jalan parung sampai merdeka, sopir angkot dan kenek menghibur para penumpang dengan memutarkan lagu sebotol minuman, sambil minum anggur hitam dan menghisap rokok berasap kenangan.

Merdeka, 2024

Baranangsiang – Merdeka – Stasiun Bogor

hanya di angkot, dari pagi buta sampai malam purnama

sandi-sendi waktu akan terus memburu sisa usiaku, dan usiamu.

Stasiun Bogor, 2024