Kawan-kawan, Kita Hampir Sampai!

dok. halimunsalaka/handykapermana

Bismillahirrahmanirrahim, kami sampaikan duka mendalam atas korban yang berjatuhan pada aksi solidaritas yang dilakukan berturut-turut, di sejumlah wilayah. Semoga luka dan nyawa kawan-kawan menjadi sejarah perlawanan kedzaliman yang bisa terus diceritakan ke anak cucu kita di masa yang akan datang.

Kekecewaan masyarakat sudah pada puncaknya, jangan sampai kita salah mengambil langkah. Masyarakat saat ini dihantam oleh narasi-narasi provokatif untuk membenci dan membela salah satu pihak. Namun, kita harus sama-sama ingat bahwa narasi yang berasal dari mulut buaya adalah narasi untuk menerkam targetnya.

Kita dibenturkan dengan berbagai macam narasi, mulai dari propaganda kebencian rakyat legislatif, propaganda pemecatan Kapolri hingga narasi pemakdzulan presiden. Kita tanya kepada diri sendiri, sebenarnya kita mau kemana?

Kekuatan rakyat ini jangan sampai dihabiskan oleh kepentingan-kepentingan yang tidak jelas. Kita sama-sama sepakat bahwa kesejahteraan rakyat adalah tujuan dari darah dan waktu yang kita habiskan bersama.

Kita jangan seperti lilin yang apinya habis untuk membakar diri sendiri, kita juga tidak boleh menjadi kompor yang apinya digunakan hanya untuk memasak. Kita harus menjadi manusia yang api semangatnya dihabiskan untuk kemanusiaan.

Awal demonstrasi untuk menuntut pembubaran DPR kini diframing kepada kebencian terhadap instansi Polri. Memang betul keduanya membuat kita kesal, tapi seberapa fokus kita pada penyelesaian satu masalah untuk melanjutkan permasalahan lain?

Jangan Lupa, Kita Kawal Bersama

Aksi demonstrasi yang terus menerus dilakukan dimulai pada 25 Agustus 2025 dengan tuntutan penurunan Prabowo-Gibran, Pembubaran Kabinet Merah Putih, Pembubaran DPR RI, transparansi tunjangan DPR RI dan beberapa tuntutan lainnya hingga penuntutan pembatalan tunjangan rumah DPR.

Kemudian dilanjutkan pada 28 Agustus 2025 dengan demonstrasi para buruh dan masyarakat yang menuntut beberapa hal seperti penolakan upah murah dan penghapusan outsourcing, kenaikkan Upah Minimum, Menaikkan Pendapatan Tak Kena Pajak (PTPK), Hapus pajak atas THR dan pesangon, Pembatasan karyawan kontrak, stop PHK dan beberapa tuntutan soal buruh lainnya.

Esok harinya, masyarakat kembali berdemonstrasi dengan tuntutan berbeda dari hari-hari sebelumnya, tuntutan itu diantaranya meminta penurunan Kapolri karena dinilai telah gagal menjadi Kepala Kepolisian pasca salah satu kawan kita tewas dilindas oleh Baracuda Korps Brimob Polri.

Kemudian, kita bertanya, apa sebetulnya yang kita inginkan? Revolusikah? Atau hanya menghabiskan emosi atas ulah ucapan dan kebijakan para pemangku kebijakan?

Kawan-kawan, kita mesti terus merawat perlawanan-perlawanan suci, namun harus tetap fokus pada tujuan secara khusus yakni kesejahteraan dan perubahan tata kelola pemerintahan ke arah yang lebih baik.

Mari luangkan waktu untuk sejenak berpikir, apa tujuan kita, untuk apa darah kita dan untuk apa air mata kita yang terus keluar melihat tindakan represif para aparat? Jangan sampai darah dan air mata kita habis, tapi sistem tidak ada yang berubah.

Masyarakat Perancis telah mengajarkan kita strategis-strategis jitu dalam merubah pola kepemimpinan negara. Mereka fokus pada satu titik, darah dan air mereka habis pada jalur yang tepat yakni dipenggalnya Raja Louis XVI alias dihancurkannya rezim yang mengkhianati dan menyakiti rakyat.

Apakah kita perlu seperti itu? Tidak melulu, kita harus menyisir pada akar agar bisa melihat kenapa pohon itu tak tumbuh dan berbuah. Kita tidak bisa secara subjektif menyalahkan presiden Prabowo Subianto karena kekisruhan ini. Setiap kebijakan-kebijakan Prabowo tidak terlepas dari kesepakatan-kesepakatan legislatif, begitupun sebaliknya. Di negara demokrasi, legislatif dan eksekutif tidak bisa dipisahkan, mereka memiliki otoritas yang saling berhubungan.

Lantas, siapa yang paling bersalah atas kekisruhan ini? kami secara jujur tidak bisa menyampaikan se-objektif mungkin siapa yang paling bertanggung jawab atas kisruh yang terjadi. Namun, kita harus ingat bahwa Gus Dur tidak dibenci rakyat, tapi dia dibenci para oligarki yang ingin menguasai Indonesia usai dekrit pembubaran DPR.

Mari Tata Kembali

Akumulasi kemarahan rakyat Indonesia yang sudah masuk titik didih, tidak terbendung di setiap daerah, harus tetap dijaga dan diarahkan kepada tujuan dan arah yang jelas. Mari kita luangkan waktu sejenak untuk menyamakan tujuan, menyamakan strategis dan gerak agar kerja-kerja kolektif dan niat suci kita tidak dikotori oleh kepentingan-kepentingan yang lebih kotor.

Kawan-kawan, kita hampir aampai. Jaga dan rawat kesadaran dan kewarasan!