Kesejarahan-Jiwa – Kebudayaan-Raga

Kesejarahan-Jiwa – Kebudayaan-Raga

Foto: Kebun Akar Pohon


Ketika Rendra menulis sajak, “Kemarin dan esok adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan sama saja. Langit di luar, langit di badan, bersatu dalam jiwa.” Saya langsung terngiang tentang Bogor dalam putaran waktunya, dan lalu tiba-tiba merasakan guncangan-gejolak batin yang anehnya hanya gemuruh di dalam diri, namun terasa sunyi di luar diri. Sebuah fenomena di mana saya sebagai anak-cucu sejarah-budaya sebuah Bangsa, sebagai anak-cucu sejarah-budaya sebuah Kota, ingin mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya kehidupan Nenek-moyang saya sendiri: Nenek-moyang yang merumuskan nama Bogor. Nenek-moyang yang membangun Bogor. Nenek-moyang yang menjaga keberlangsungan sejarah-budaya Bogor. Dan seterusnya, dan sebagainya, tidak pernah selesai ujungnya.

Barangkali demikian, Bogor menjadi ruang berkabut dalam pencarian penzirahan saya sebagai anak-cucu yatim-piatu dari sejarah-budaya Bogor yang seperti rimba gelap, sesudah terjun — tersesatlah saya dalam permainan lika-liku ruang labirin-nya. Sebab, berbicara tentang Bogor, seperti membaca huruf-huruf purba, seperti menyusuri kesejarahan jiwa manusia yang lama melakoni kebudayaan raga. Maksud saya begini, adakah manusia bisa sampai pada pengetahuan tentang jiwa itu sendiri? Kenapa Tuhan menciptakan manusia lewat teka-teki zat jiwa yang diwujud-mainkan oleh raga? Dan Bogor dengan karakteristik manusia adem-ayem, sangat tertutup mengenai sejarah-budaya kehidupannya, sangat rumit ditangkap basah kebenaran mutlak jejak masa silamnya. Lalu, bagaimana kita membongkar, membaca, dan menyusuri tata-buku masa lalu kehidupan yang demikian?

“Kembali ke akar dan kembali ke sumber!” Sepintas-lalu deretan kata-kata itu menyelimuti diri saya. Sepintas-lalu deretan kata-kata itu mungkin tidak asing dalam mata-telinga kita, bukan? Abdul Hadi W.M memberi judul bukunya lewat deretan kata-kata itu, yang mana ia menambahi dengan esai sastra profetik dan sufistik. Melalui deretan kata-kata semacam itulah, saya teringat bagaimana proses mendaki Puncak Manik 1 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Saya teringat bagaimana jalur pendakiannya. Teringat juga bagaimana situasi-kondisi ketika sampai pada puncaknya. Eitsss! Memangnya, apa hubungannya dengan kesejarahan-kebudayaan tentang Bogor?

Bogor: terlepas dari batas administratif atau zonasi Kota dan Kabupaten, sama-sama dipantau-naungi oleh Gunung Salak yang gagah, elok, dan sunyi. Dari pembayangan itu, perasaan dan pikiran saya bergelut, bagaimana sebenarnya kita memandang Bogor itu sendiri? Apakah cukup dengan sudut pandang saja? Bukankah sudut pandang hanya bisa dilakukan oleh individu atau kelompok kecil se-tempat saja? Dan bukankah reaksi dari sudut pandang akan menghasilkan sudut-sisi pandang berbeda dengan yang lainnya? Maksud saya begini, ketika orang yang berzonasi di Kabupaten akan berbeda memandang Bogor dengan orang yang berzonasi di Kota, bukan? Baik kita kerucutkan, bukankah orang yang berumah di Bogor Bagian Barat, akan berbeda pandangan tentang Bogor itu sendiri dengan orang yang berumah di Bogor Bagian Timur? Atau baiklah kita terus mengerucut, bukankah orang yang menetap di Kecamatan Pamijahan akan berbeda pandangan dengan orang yang menetap di Kecamatan Cigombong dalam memandang Bogor, terlebih kesejarahan-kebudayaan desanya sendiri-sendiri? Dan seterusnya.

Dari fenomena itu, timbulah gerak pandang. Saya membayangkan gerak pandang merupakan jalan tengah dari fenomena perbedaan sudut pandang tersebut. Melalui gerak pandang, kita bisa bertukar pandangan sekaligus bertukar tempat, tukar informasi, tukar suasana, dan seterusnya. Misal orang yang berumah di Bogor Bagian Barat itu sesekali cobalah merasakan bagaimana kondisi-situasi yang terjadi di Bogor Bagian Timur, begitupun sebaliknya Bagian Timur cobalah merasakan segala-sesuatu yang ada di Barat. Dengan begitu, bukankah perbedaan pendapat tentang Bogor akan menemui jalan tengah dan atau tanpa membenarkan siapa yang paling benar atau tepat memandang Bogor? Dan lalu, dengan cara itu, bukankah kita bisa menyusul dalam cicilan catatan tentang Bogor versi kita sendiri?

Naik ke tahap-langkah selanjutnya. Selepas melakukan gerak pandang, timbul-lah dalam benak saya mengenai jarak-jangkauan pandangan. Hal tersebut yang terjadi dan tersimpan dalam ingatan saya mengenai proses pendakian Gunung Salak itu. Entah mengapa, ketika saya berniat memandang Bogor secara luas di Puncak Manik, ajaibnya tidak terlihat apa-apa, selain kabut dan hujan yang dinaungi cakrawala kesunyian. Memang, dikarenakan vegetasi di Gunung Salak masih rimbun dan terjaga. Tapi bukan itu soalnya, dan bukan itu pula yang saya persoalkan. Dengan kesadaran bahwa, dengan mendaki Gunung Salak yang memang pada kenyataannya tidak memberikan suatu pemandangan indah tentang Bogor, tidak seperti Gunung-gunung di Kota lain itulah, saya mengharapkan kepada diri saya sendiri: dapatkah memandang Bogor dalam perasaan dan pikiran yang terpusat pada keheningan. Dengan jarak-jangkaun setinggi itu, bisakah kita memandang Bogor secara keseluruhan jauh di kedalaman diri kita masing-masing?

Dengan berat hati, pada akhirnya memang saya tidak bisa memandang Bogor secara keseluruhan di Puncak Manik itu. Dengan luas Bogor yang sangat-besar itu dan diri kita yang amat rentan sekaligus kecil ini, mustahil pula-lah bagi saya. Namun pada akhirnya saya mendapatkan apa yang memang tengah dicari, selain keserakahan saya sendiri yang ingin sekali memandang Bogor secara menyeluruh. Yupsss! Dengan menjalankan sudut pandang dan gerak pandang, bahkan mesti bermacam-macam pandangan yang mesti kita munculkan itulah, kita bersama-sama (ingat: ini mesti dan harus bersama-sama) menciptakan bundel catatan tentang Bogor secara luas. Memangnya, bagaimana menciptakan bundel catatan yang demikian?

Masing-masing zonasi: dimulai dengan menyusuri luas sejarah-budaya Kampung, luas Desa, luas Kecamatan, sampai meluas ke Kota dan Kabupaten, dibarengi sudut dan gerak penghuni atau kembara manusia Bogor yang mesti mencatat penelusuran tersebut, bagaimana situasi-kondisi yang terjadi di masa lalu sampai putaran waktu dewasa ini. Masing-masing zonasi, lebih luasnya, entah itu penghuni Barat, Timur, Utara, Selatan, Kota ataupun Kabupaten-lah yang mesti mencatat bagaimana sejarah-budayanya bersama Bogor, mesti mencatat ulang bagaimana kenangan hidupnya bersama Bogor, dan mesti mencatat bagaimana fenomena-peristiwanya bersama Bogor, dan seterusnya, sampai benar-benar tidak ada lagi bahan untuk dicatat, diulas, dan ditelusuri kembali.

Begitulah, apa yang hendak diburu dan ditampung dari Rubrik Halimun: penziarahan masa silam Bogor dan labirin masa depan Bogor. Sebab, hanya para kembaranya, hanya para penghuninya, dan hanya pewaris anak-cucu sejarah-budaya Bogor itu sendiri, yang sanggup dan yang diperkenankan mengobrak-abrik kegelapan biografis-geografis dari Bogor itu sendiri, dengan cara dan tujuannya masing-masing.

Itulah mengapa, ketika Rendra menulis sajak, “Kita hidup untuk mengolah kehidupan: bekerja membalik tanah, memasuki rahasia langit dan samudera, serta mencipta dan mengukir dunia.” Saya langsung bersemangat memasuki rahasia masa silam Bogor sebelum saya lahir-hidup di dunia ini. Walaupun perjalanan mencipta dan mengukir kehidupan Bogor sangat menyakitkan dan tidak pernah ada ujungnya, setidaknya kita mesti berbahagia karena hidup di tengah-tengah putaran waktu dan perubahan ruang: masih ada kesempatan untuk kita membongkar seperti apa masa silam dan menerka-kira akan bagaimana masa depan: lagi-lagi, kembali pada Bogor.

Salam padamu, Saudaraku.