Pemerintah adalah wabah. – Gabriel Garcia Marquez
Baru beberapa hari setelah mulai tanggal 1 Februari 2025, pemerintah (yang lagi-lagi hanya menyusahkan rakyat) membuat aturan gas LPG 3 kilogram tidak lagi dijual oleh pengecer. Masyarakat harus membeli langsung ke agen yang telah mendaftarkan Nomor Induk Berusaha (NIB) atau ke pangkalan resmi pertamina. Kebijakan ini untuk memastikan subsidi gas melon tepat sasaran dan distribusinya lebih terkontrol. Tapi kemudian menjadi blunder karena kebijakannya selalu digeneralisir. Setiap pengambilan keputusannya tidak pernah mempertimbangkan trinitas baik, benar dan indah. Percuma baik kalau tidak benar dan indah. Percuma benar kalau tidak baik dan indah. Percuma indah kalau tidak baik dan benar.
Apa yang baik menurut pemerintah, belum tentu baik bagi rakyat. Karena baik saja belum cukup, apalagi kalau baiknya itu seolah-olah dipaksakan agar terlihat baik. Sehingga maksud baiknya dipoles-poles supaya terkesan berpihak kepada rakyat, sedangkan pemerintahnya sendiri tidak jelas berdiri di pihak yang mana. Ataukah memang maksud baiknya itu karena ada maunya juga. Katakanlah, pemerintah ingin menaikkan harga gas menurut kepercayaan nyari untung terus.
Jadi tak perlu repot-repot bikin drama perburuan gas: di mana pemerintah berlaku seakan-akan harus baik, padahal baik menurutnya karena hanya ingin dipandang baik oleh rakyat. Biarpun itu baik dalam keburukan. Baik yang berdampak buruk buat banyak orang. Kebaikannya karena ingin dianggap baik. Beginilah anomali suatu pemerintahan yang buruk, keji, bengis, zalim, dan sebangsanya. Plus tidak sadar bahwa tingkah-laku dan gerak-gerik pemerintahannya justru banyak mengandung keburukan. Pemerintahannya juga tidak mengerti kalau caranya berlaku baik itu seburuk-buruknya untuk rakyat. Sudahlah buruk, mengapa ingin sekali dipandang baik. Kacau kan jadinya.
Seumpama kita pakai keberanian berpikir logis, misalnya kalau ada orang jahat berlaku baik itu sebuah kesalahan ataukah kekeliruan? Sedangkan kalau ada orang jahat berlaku buruk itu dapatkah berarti suatu kebenaran umum?
Karena yang mungkin benar dalam konteks ini adalah orang jahat itu melakukan kejahatan. Sama halnya dengan pemerintahan yang buruk itu yang melaksanakan keburukan-keburukannya. Pemerintahan yang buruk baru akan dianggap benar apabila seluruh kebijakan dan tetek-bengek aturannya memenuhi syarat keburukan. Karena tugas utama dan tabiat pemerintahan yang buruk adalah menciptakan keburukan bagi seluruh rakyat. Kesabaran dan keikhlasan pemerintahan ini dalam menjalani segala hal buruk kayaknya patut dikepalkan tangan. Dan inilah kebenarannya. Kita sedang perang melawan ketidakadilan, keserakahan, dan kesewenang-wenangan. Kita menyerang dengan tuntutan, gugatan, serta kritik habis-habisan. Sambil terus menunggu saatnya tiba untuk aksi massa.
Kebijakan pemerintah ini bukan sekedar ribet, tetapi juga bodoh karena dapat memicu konflik sosial dan bikin rakyat ribut. Terbukti bahwa kelangkaan gas-elpiji telah membuat masyarakat kalang kabut. Pasalnya, gas merupakan produk yang subtansial dalam masyarakat. Tanpa gas, dapur tidak ngebul, pedagang tidak bisa berjualan, dan pengecer gas terancam gulung tikar. Efek sampingnya ialah banyak orang tidak makan dan kelaparan. Dan kalau masyarakat kelaparan, jangan kaget kalau tiba-tiba terjadi ledakan. Karena seperti kata Rendra, kelaparan adalah burung gagak, kelaparan adalah pemberontakan.
Mengingat apa yang sedang teralami bersama sekarang ini kita kesulitan mencari dan menemukan gas. Kalaupun ada harus mengantri. Sudah mengantri berjam-jam ternyata tidak dapat. Mencari di tempat lain yang makin jauh antriannya makin panjang. Belum lagi setelah aturan dari pemerintah keluar, setiap pangkalan pun ada regulasinya masing-masing. Semisal harus bawa fotokopi KTP atau KTP asli. Setiap KTP ada yang hanya diperbolehkan membeli satu, ada-pula yang boleh membeli maksimal dua gas. Harga jual pasaran atau harga eceran tertingginya pun naik turun seperti eskalator: ada yang normal dan ada yang mengambil kesempatan untuk memainkan harga.
Fenomena ini terjadi bukan hanya karena ketidakseimbangan pasokan pangkalan, melainkan juga karena kelemahan mekanisme dalam sistem distribusi dan kebijakan subsidinya. Cobalah lihat yang mungkin lebih tragis ialah masyarakat di wilayah terpencil yang sudah susah mencari pangkalan, jauh pula. Begitupun orang-orang yang sehari-harinya hidup melalui berjualan makanan atau usaha mikro yang menggantukan aktivitasnya pada gas bersubsidi. Bisakah kalian bayangkan betapa repotnya kalau ada pembeli, tapi tiba-tiba gasnya habis. Sedangkan untuk membeli gas harus antri dulu berjam-jam. Demikian menjadi jelaslah bahwa tak ada alasan bagi rakyat untuk tidak geram, marah, dan protes. Sebab ini suatu kewajaran sosial dalam menghadapi pemerintahan yang buruk lagi zalim. Sebagaimana kalau ada orang yang menyerang pertahanan kita, maka kita harus melawan.
Beginilah gambaran dari suatu Negara yang belum sudah. Belum apa-apa sudah kepengin apa-apa. Belum kerja sudah minta hasil nyata. Belum berpihak sudah menyatakan diri pada rakyat. Belum modal sepeser pun untuk rakyat sudah menagih keuntungan sebesar-besarnya. Belum puas menghambur-hamburkan uang ratusan triliun hanya untuk pembangunan IKN yang semakin tidak jelas juntrungannya. Belum puas melakukan perusakan-perusakan alam dan menjarah lingkungan hidup masyarakat. Belum selesai memagari laut sudah membayangkan Indonesia emas. Belum sanggup membikin aturan dengan pertimbangan akal sehat sudah merasa berbuat baik untuk rakyat. Betapa pemerintahan ini belum melaksanakan apa-apa, sedangkan rakyat sudah melakukan banyak hal untuk mengatasi segala rintangan hidup dari pemerintahan yang buruk.
Sudah sejak lama kita dibesarkan oleh dunia fantasi bahwa negara kita kaya, tetapi pada kenyataannya, rakyatnya dimiskinkan dan dimelaratkan. Paradoksnya lagi, negara yang kaya ini justru banyak hutangnya. Negara yang kaya ini justru dikelola dan dikendalikan oleh orang-orang yang mentalnya tidak pernah puas dengan kekayaannya sehingga harus menumpuk-numpuk kekayaan. Makanya saya bersyukur dianugerahi segala kecukupan dalam hidup. Lebih bersyukur lagi karena telah diajarkan supaya jangan dendam terhadap kemiskinan. Sebab kalau dendam pada kemiskinan, Anda menjadi tidak tahu bagaimana caranya mempergunakan dan memperlakukan kekayaan itu: untuk kebermanfaatan seluas-luasnya, kebaikan ataukah keburukan. Kekayaan itu hanyalah alat untuk kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Itulah sebabnya uang jangan diletakkan di dalam kepala, di hati maupun di kelamin, karena dapat berpotensi menciptakan hal-hal buruk demi menuruti hawa nafsu. Kekayaan itu bukan tuan, melainkan budak. Ia seharusnya menjadi kaki-tangan kita agar senantiasa mengalami kenikmatan hidup dalam berbuat baik.
Tetapi dengan pemerintahan yang seperti sekarang ini, keburukan, seringkali, adalah kebaikan yang berdampak buruk buat banyak orang. Kekayaan, seringkali, adalah ketidakseimbangan diri dalam menghadapi kemiskinan setiap tindakan dan perilaku, kemelaratan dalam setiap kata dan perbuatan yang berhati nurani. Kelalaian pemerintah telah menjadi wabah yang nyata. Dan kezaliman adalah perbuatan melanggar hukum yang sah secara normalisasi dan dimaklumkan bersama dalam wilayah pergaulan yang lebih luas. Sampai-sampai tega dan tidak bertanggung-jawab atas meninggalnya seorang warga Tanggerang Selatan karena kelamaan dan kelelahan saat antri beli gas 3 kilogram. Ya, gas kalau mau naik tidak perlu begini caranya. Aturan dari pemerintah ini tidak hanya menuntut untuk segera diperbaiki, tetapi juga menagih untuk digugat secara massal. Untuk menciptakan keindahan dan kewajaran hidup yang manusiawi. Untuk menjadi perbuatan sehari-hari sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan yang lalai. Untuk suatu waktu nanti bersatu dan bergerak bagai sekawanan burung ababil yang hendak menjaga kedaulatan rakyat.
4 Februari 2025