Melihat Indonesia dari Kota Hujan: Orasi Arus Bawah III

Melihat Indonesia dari Kota Hujan: Orasi Arus Bawah III

Demonstration (1925)

“Who do you call when the police murder?”

Suatu pertanyaan yang tak jarang timbul-tenggelam ketika kita berselancar di dunia maya. Satu pertanyaan sederhana yang masuk akal di dalam kepala. Kemudian, menerbitkan pertanyaan kembali di sana, harus mencari perlindungan ke mana ketika pihak yang semestinya melindungi dan memberikan rasa aman, justru merekalah yang melakukan kekerasan. Bahkan, sialnya melakukan pembunuhan terhadap “mereka-mereka” yang melawan dengan dalih yang memuakkan: demi “keamanan” negara. Walaupun kini, isu-persoalan itu serasa adem-ayem, tuntutan-tuntutan atas segala peristiwa yang sudah, akan, bahkan telah menjelang, mesti terus diasah dalam ingatan, mesti terus menghantui kesadaran.

Penggunaan kekuatan berlebih oleh Parcok terhadap sipil yang melawan adalah suatu permasalah yang serius di Indonesia, dan hal ini tentu sudah berulang, yang telah berlangsung tak sekejap kedipan mata. Tindakan represif dan penggunaan kekuatan berlebih yang sialan tersebut telah banyak memakan korban luka maupun jiwa. Saya pun berpikir bahwa, dalam segi perlengkapan saat mengamankan aksi demonstrasi, kelompok Parcok terlalu OP (Over Power) untuk melawan “kita-kita” yang sudah muak lantas melawan, yang hanya dengan bersenjatakan rasa muak, poster, dan bahasa, kita-kita memutuskan turun ke jalan untuk melancarkan aksi protes. Namun fakta di lapangan tak pernah sesuai dengan apa yang diharapkan, kita justru dihadapkan dengan Parcok yang telah siap dengan perlengkapan seolah telah terjadi perang bersenjata yang mengancam hidup negara. Atau jangan-jangan mereka berpikir kita-kita ini yang resah dengan kebijakan lantas turun ke jalan adalah sebuah ancaman buat negara? Padahal, nyatanya kita hanya hendak melancarkan aksi protes terhadap pemerintahan sebagai bentuk rasa sayang.

Kelompok masyarakat yang turun ke jalan dengan balutan pakaian hitam saja langsung dengan sembarangan dicap: anarkis/anarko/ananana lainnya, dan dengan segera pimpinan aparat dan pemerintah memberi arahan untuk menindak ‘tegas’. Mereka yang mengekpresikan kemarahannya dengan beragam rupa hal pun langsung dituduh kelompok anarkis yang musti ditindak tegas, bagai anak haram negara. Saya pikir di sini ada penyesatan pemahaman mengenai anarkis, atau mereka memang benar-benar tak cukup mengerti apa yang dimaksud anarkisme. Tetapi bagi saya, mereka terlalu (pandai) untuk tidak mengerti hal tersebut. Dan yang sungguh menyebalkan adalah, ketika apa-apa langsung dituduh anarkis dan bla… bla… bla… tanpa ada penjelasan detail apa dan mengapa.

Bogem para parcok seolah enteng untuk diluncurkan ke wajah massa aksi. Sampai yang paling sial adalah penghilangan paksa hingga pembunuhan yang dilakukan aparat terhadap sipil yang, katanya, mengganggu stabilitas negara hanya dengan melakukan aktivitas protes. Rentetan peritiwa tersebut terjadi begitu masif dari tahun ke tahun kala Indonesia menjadi negara demokrasi. Kriminalisasi massa aksi tak dapat terelakkan. Mulai Orde Lama (Orla), kemudian Orde Baru (Orba) yang singgah dalam waktu tak sebentar itu, hingga kini pada era yang katanya reformasi, tindakan kekerasan Parcok menjadi sejarah kelam yang masih terus berulang. Di era yang katanya reformasi ini, buku menjadi barang bukti dan logo one peace ditakuti. Pembungkaman dan kekerasan berjalan leluasa atas dasar peraturan keamanan. Aneh bin ajaib.

Bahkan bahaya selalu datang dari arah lain namun serupa. Menengok ke era orba banyak korban jiwa yang belum mendapat keadilan sampai sekarang, serta orang yang dihilangkan secara paksa di era si Bapak Pembangunan Indonesia, sampai sekarang belum menemukan titik terang keadaan dan keberadaannya. Seolah mereka yang menjadi korban jiwa akan puas dan menerima takdir dengan hanya kata maaf dan sekantung janji pengusutan. Dan mereka yang masih entah di mana, hanya berada dalam ambang batas harapan orang-orang yang selalu setia menunggu seraya menuntut keadilan baginya.

Marilah membuka mata di era yang katanya ‘reformasi’ ini seterang-terangnya, sejeli-jelinya. Peristiwa yang masih berusia dini, misalnya tragedi Kanjuruhan yang memakan korban 135 jiwa, yang tak mengenal usia. 135 jiwa meregang nyawa akibat tembakan gas air mata oleh para Parcok yang membuat kerumunan panik kemudian berusaha menyelamatkan diri, namun berakhir terinjak-injak sebab pintu stadion terkunci. Pertanyaannya, siapa yang bertanggung-jawab dalam persoalan ini? Angin? Atau takdir? Atau negara itu sendiri?

Sangat keterlaluan jikalau kita lantas lupa dengan Affan kurniawan yang mati dilindas mobil berlapis baja milik Brimob beberapa bulan yang lalu. Kawan-kawan yang luka dan dipenjara hanya karena dituduh melakukan aksi demonstrasi tak sesuai undang-undang yang berlaku. Dan aksi-aksi demonstrasi beberapa tahun kebelakang yang cukup banyak memakan korban. Serentetan peristiwa dari tahun ke tahun hanya membentuk sejarah kelam yang terus berulang tanpa adanya upaya penanganan dan pencegahan hal serupa terulang kembali dari pemerintah. Setidaknya Parcok segera berbenah diri. Seolah yang pemerintah mau hanyalah masyarakat takut dan berhenti melawan. Sebuah upaya untuk membelenggu keberanian, pikiran, dan solidaritas.

Kendati pada kenyataanya, kita-kita akan tetap tegak berdiri pada apa yang kita percaya, kita melawan, urusan menang kalah itu belakangan. Akhir Agustus sampai awal September 2025, menjadi bentuk perlawanan atas kemuakkan dan kemarahan terhadap pemerintah dan aparat. Bara api perlawanan menyala tak lagi dengan api kecil, sumbu-sumbu itu menyala di berbagai macam daerah di Indonesia. Masyarakat meluapkan amarah yang sudah lama meletup-letup bagai biji jagung yang kepanasan.

Namun kemudian, itu semua berhenti pada dugaan dari pihak pemerintah, bahwasannya ada penunggangan pada serentetan aksi akhir Agustus sampai awal September 2025. Pihak Parcok dan pemerintah terus-terusan menyematkan kata provokator, teroris, anarkis, dan istilah-istilah lain untuk orang-orang yang terlibat dalam serentetan aksi demonstrasi itu, yang kemudian dirasa mencederai kegiatan demokrasi oleh pihak-pihak dengan istilah yang disematkan tadi. Lagi dan lagi, aneh bin ajaib.

Kita seperti berada dalam kubangan pola yang nyaris serupa dengan yang pernah terjadi pada era Orba. Ketika aksi massa sengaja diciderai oleh pihak keamanan untuk mereka menndapatkan legetimasi melakukan tindakan “tegas” seperti arahan langsung sang pemimpin. Akan tetapi hal tersebut menuai pertanyaan dalam benak saya, jika benar kerusahan kemarin lalu adalah hasil tindakan orang-orang yang sudah merasa muak dan tak punya lagi upaya bagaimana supaya didengar. Lalu kenapa pemerintah selalu menuduhnya sebagai anarkis yang faktanya salah kaprah, atau tindakan terorisme, makar dan istilah-istilah yang bernuansa manakutkan lainnya? Pertanyaan kedua yang mengganjal, seandainya kerusuhan serta penjarahan yang terjadi adalah skema yang telah direncanakan pihak-pihak tertentu untuk mencapai pada level kondisi yang diinginkan, ya, mungkin memang sungguh sial kenyataanya jika begitu adanya.

Sebab faktanya, pihak aparat amat sangat mudah untuk menyamar lalu melebur di dalam barisan massa aksi, mereka bisa keluar masuk sesuka jidat, dan kita tidak pernah tahu apa yang mereka lakukan. Barangkali provokator yang dituduhkan pemerintah adalah mereka yang menyamar dari pihak sebelah. Mengingat mudahnya mereka (Parcok) untuk keluar masuk barisan massa aksi. Seandainya begitu bahwa mereka yang menyulut segala bara kerusushan di rentetan aksi itu, lagi-lagi kita mendapati kenyataan pahit.

Kemudian kepahitan lainnya adalah, kita massa aksi yang berasal dari kalangan warga sipil, apakah bisa sebaliknya kita menyamar lalu meleburkan diri ke dalam barisan aparat? Jawabannya, Mustahil. Maka dengan begitu, segala tindakan peluncuran bogem mentah dari pihak Parcok, penembakan, pemukulan, penangkapan dan kekerasan lainnya, jelas merekalah yang bertanggung-jawab atas korban luka maupun jiwa dari pihak massa aksi. Karena menjadi sebuah kemustahilan ketika warga sipil bisa menyamar ke dalam barisan aparat kemudian menjadi provokator, bukan?

Lalu selanjutnya, saya melihat juga peristiwa kerusuhan kemarin adalah bentuk dari teori sebab akibat yang dianggap Plato, bahwa semua yang menjadi atau berubah pasti karena suatu sebab. Jelas, tidak ada yang bisa terjadi tanpa sebab-akibat. Maka, dengan begitu saya bisa melihat kemarahan tersebut adalah bentuk sebab-akibat plus aksi-reaksi dari ulah pemerintah itu sendiri.

Alasannya sederhana, kasewenangan yang dilakukan pemerintah itulah yang akhirnya membuat kita marah, dan melihat apa dan bagaimana tindakankek erasan aparat yang dilancarkan kepada rakyatnya menjadi penyebab amarah menggumpal, kemudian meluap-luap bertranformasi menjadi kata makian, coretan serampangan, hingga pengrusakan fasum dan perlawanan balik ke aparat. Semua serta merta bukan kerena tanpa sebab, melainkan amarah yang telah terpendam jauh di dalam benak kita sebagai rakyat, sebagai manusia. Bahkan ketika seorang apatis yang hanya duduk seharian menggenggam ponsel pun, rasa-rasanya ketika melihat kekerasan yang dilakukan aparat terhadap massa aksi dari layar ponselnya itu, lantas akan terangsang untuk marah dan memicu rasa muak terhadap negara dan aparatnya. Yang menjadi pertanyaan ialah, siapa yang memulai? Lantas salahkah kita yang sudah muak lalu segera meluapkan semuanya sebagai bentuk balasan?

Karena Howard Zinn dalam bukunya yang bertajuk Ketidakpatuhan dan Demokrasi (Sembilan Kekeliruan tentang Hukum dan Aturan) mengatakan, “kekerasan itu sendiri merupakan kejahatan, dan karenanya hanya dapat dibenarkan dalam keadaan-keadaan ketika ia menjadi jalan terakhir untuk memusnahkan kejahatan yang lebih besar, atau sebagai sarana perlindungan-diri.”

Maka, tanya yang hendak saya lontarkan adalah; apa yang harus kita dilakukan? Diam saja seolah kita telah mencapai pada kondisi yang diinginkan pemerintah? Terbelenggu oleh ketakutan yang dihujam negara? Atau, apakah Parcok telah berhasil menertibkan pikiran kita, dan memenjarakan solidaritas yang kita punya?

Marilah kita lihat apa yang terjadi di sekeliling kita, fakta bahwa perlawanan kemarin belum selesai atau barangkali tak akan pernah selesai? Rasa-rasanya perlawanan tak akan pernah berujung, lantas harus tetap ada yang membawanya ke setiap celah jurang yang semakin besar menganga.

So… who do you call when the police murder?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *