Memandang Pasar Bogor: Timbulkan Polemik – Tenggelamkan Politisasi

Memandang Pasar Bogor: Timbulkan Polemik – Tenggelamkan Politisasi

Psr Bogor

sumber: leiden-universty


Apakah Pasar Bogor perlu direlokasi dan direvitalisasi? Apakah dengan demikian, perlu ada penggusuran lahan para pedagang di Pasar Bogor? Bagaimana nasib para pedagang jika direlokasi dan direvitalilasi? Bagaimana baiknya kita memandang itu semua? Aha! Sila pembaca budiman maknai dan komentar sendiri!

Sebab, akhir-akhir ini Pasar Bogor (relokasi dan revitalisasi) menjadi bahan obrolan yang sangat menarik, baik dari kelompok pengkritik maupun dari kelompok pendukung. Halimun-Salaka telah menerbitkan 2 tulisan dari Tenu Permana, yang memposisikan dirinya sebagai pengkritik terhadap pemerintahan Bima Arya (Kota Bogor khususnya), dalam memandang dan meninjau kegiatan para pedagang di Pasar Bogor.

Secara singkat, Tenu menghubung-kaitkan suatu pandangan tentang apa yang ada dalam kepala Bima (dalam memandang Pasar Bogor) tak jauh beda dengan apa yang ada di kepala seorang Petrus Albertus van der Parra, bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1761 -1775) yang terkenal dengan hasrat kekuasaan dan skandal korupsinya. Dalam kepala Gubernur Jenderal itu ruang atau lahan hanya dilihat sebagai nilai. Setiap kebutuhan masyarakat dikonversi dengan melihat seberapa besar keuntungan yang akan dihasilkan. (baca: Wali Kota Bima Arya vs Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra: Tak Ada yang Beda dalam Memandang Pasar Bogor, Keduanya Melihat Berdasarkan Cuan dan Keuntungan).

Maka titik-tolak Tenu ialah muatan silokogi-sosial para pedagang yang sudah seharusnya mendapat perhatian dan ruang untuk mencari nafkah itu, sedang mengalami kejadian yang katakanlah merugikan pihak pedagang. Sebab, dalam tulisan Tenu, para pedagang menginginkan tidak adanya penggusuran di Pasar Bogor. Dan seperti apa yang Tenu kutip dari media Target Tipikor, para pedagang mengatakan, “kita punya hak, karena dulu orang tua kita beli tempat itu. Janganlah kita digusur begitu saja, kita ini rakyat kecil jadi harap pemerintah juga memperhatikan”. Tak hanya Tenu, @tendensibunuhdiri ikut andil menyusuri dan memberitakan pasar Bogor melalui laman-instagramnya dalam bentuk audio-visual, yang kesamaan pandangannya merujuk pada kekeliruan pemerintahan Bima Arya dalam memandang serta menyikapi pasar Bogor.

Setelah tulisan Tenu itu terbit, dan setelah audio-visual Tendensi ramai di-lihat masyarakat Bogor, menariknya saya menemukan postingan (teks-audio-visual) di Instagram, dari seorang teman-instagram saya bernama @abdulmalikfnh, yang memposting-terbitkan sudut-pandang berlawanan dengan Tenu maupun Tendensi, dan mendukung kebijakan pemerintah Bima Arya terhadap Pasar Bogor. Malik mengemukakan: “menilik kondisi pasar saat ini di tengah pusat perkotaan yang sudah tidak layak dan kumuh, perlu adanya relokasi. Relokasi pasar bukanlah upaya untuk menghilangkan warisan budaya atau identitas lokal, tetapi merupakan langkah progresif untuk meningkatkan kualitas hidup. Dengan memindahkan pasar ke lokasi yang lebih modern dan terorganisir, kita dapat meningkatkan standar pelayanan kepada masyarakat serta menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan aman.

Selain itu, relokasi pasar juga membuka peluang untuk mengembangkan kawasan baru yang lebih produktif secara ekonomi. Dengan memilih lokasi yang strategis dan membangun infrastruktur yang sesuai, kita dapat menarik lebih banyak pengunjung dan memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, relokasi pasar bukanlah proses yang mudah. Diperlukan kerjasama antara pemerintah, pedagang, dan masyarakat untuk menjalankan proses ini dengan lancar. Keterlibatan dan partisipasi aktif dari semua pihak penting untuk memastikan bahwa relokasi dilakukan dengan adil dan menguntungkan bagi semua orang.”

Tak lama setelah postingan Malik terbit, Halimun-Salaka lalu menerbitkan kembali tulisan Tenu yang baru berjudul, (baca: Kekeliruan Para Konten Kreator (Pesanan Pemkot) dalam Merepresentasikan Kondisi Pasar Bogor). Tenu mengkritik keras para konten kreator yang menurutnya “pesanan pemkot” itu terlampau keliru, “dari konten-konten tersebut ada satu kontras yang jelas, video itu memotret pasar hanya sebagai hitam-putih semata. Mempertarungkan kebineran, antara kotor dan bersih, tradisional dan modern, maju dan terbelakang, dan jauhnya para cheerleader dengan konten-kontennya itu merepresentasikan pemerintahan kota Bogor sebagai pahlawan yang memberi pertolongan dan pedagang Pasar Bogor yang dicap menjadi segala biang permasalahan.”

Walaupun yang dimaksud Tenu tentang konten-kreator “pesanan pemkot” itu bukan diperuntuk-kan khusus pada Malik, Tenu menghadirkan contoh-contoh konten (yang menurutnya pesanan pemkot) yang ketika saya lihat link-postingannya, merupakan kawan-kawan dari Malik itu sendiri. Dengan demikian, saya merasa, dan agaknya ini mesti di-pandang-serius bersama, mesti dihadirkan sudut pandang, gerak pandang, jarak jangkauan pandangan tentang Pasar Bogor. Baik dari para pengkritik maupun para pendukung kebijakan pemerintah Kota Bogor atau katakanlah Bima Arya dalam mengurusi Pasar Bogor.

Inilah saatnya, dan mungkin sudah waktunya kerja-kerja polemik diwujud-hadirkan masyarakat Bogor secara intelektual, kontekstual, intertekstual, dan sebagainya, guna tercipta aksi-reaksi yang membangun. Dan wahana menarik untuk polemik demikian tentu mesti dikerjakan dalam laku catatan atau tulisan yang utuh-lengkap, agar prosesi pembacaan masyarakat juga dapat utuh memutuskan maknanya. Di sinilah menurut saya, tugas Halimun-Salaka bisa menjadi ruang terbuka bersama, agar polemik dapat terarsipkan bersama.

Timbulkan Polemik – Tenggelamkan Politisasi

Berbekal fenomena di ataslah, saya mewakili Kawan-kawan Halimun-Salaka, langsung mengabari Malik melalui pesan-instagram. Dengan hormat, saya meminta Malik untuk ikut kontribusi (mereaksi tulisan Tenu maupun audio-visual olahan Tendensi) di media Halimun-Salaka mengenai catatan pandangannya tentang Pasar Bogor secara utuh-menyeluruh. Sebabnya, tentu saya tak ingin Halimun-Salaka masuk ke jurang prasangka-praduga-prakira dari sudut pandang masyarakat Bogor, atau khususnya Kawan-kawan (act-tipis) pergerakan Bogor sendiri. Misal: apakah Halimun-Salaka telah dipolitisasi oleh elit politik tertentu yang hendak naik mencalonkan diri menjadi Wali-Kota Bogor, sebab selalu menerbitkan tulisan yang selalu mengkritik (Bima Arya yang hari ini menjadi) Wali-Kota Bogor? Itulah kekhawatiran saya dan Kawan-kawan Halimun-Salaka.

Itulah mengapa, pada kesempatan kali ini, dalam catatan ini, saya akan tegas bersaksi dan mengumumkan secara terbuka, Halimun-Salaka tak memihak kepada kepada elit politik apa dan siapapun, bahkan tak memihak pada pengkritik maupun pendukung. Sebagai media, kami menampung segala bentuk informasi yang dengan catatan: dapat dipertanggungjawabkan oleh si penulis atau kontributor. Tentu, tanpa memberatkan kontributor sepenuhnya, kami juga siap menjadi garda-terdepan jika tulisan-catatan di Halimun-Salaka menyinggung, menyakiti, bahkan memuat informasi yang tidak benar, dan merugikan pihak-pihak terkait. Dan sebagai media yang murtad dari dunia jurnalistika (yang dewasa ini banyak dibungkam dan dipolitisasi), kami berwujud-rupa dengan kerja sastra yang membebaskan!

Kesaksian ini pula yang mencoba sedikit mengingatkan para penulis dan kontributor (terkhusus Tenu dan Tendensi), agar tetap waspada, jaga jarak aman dalam menjalankan kerja kritiknya. Aman yang dimaksud tentu terhadap elit politik yang mendekat dan mencoba mencari celah dalam momentum tersebut, guna mencari suara dan momonyetan lainnya. Wahana kritik tersebut, akan sangat rentan dan kadang menjadi celah menarik bagi elit politik yang sedang di jalan menuju kekuasaan, yang hendak naik ke kursi jabatan pemerintahan.

Perlu tameng khusus, agar kerja kritik selalu menyertai keberpihakan masyarakat. Sedikit pengingat ini, terkhusus untuk Tenu dan Tendensi, lebih luasnya Kawan-kawan pengkritik lainnya, mesti tegas untuk menolak keras bentuk politisasi di dalam kerja kritik. Dan kita mesti bijak memandang sesuatu hal: mana ranah kritik untuk membangun dan mendukung kehidupan masyarakat, dan mana ranah kritik yang dipolitisasi.

Semoga kesaksian ini setidaknya dapat menjadi pengumuman terbuka serta langkah terbuka pula ketika memandang kerja-kerja media Halimun-Salaka. Tabe-pun! Halimun-Salaka dengan ini juga hendak mengumumkan bahwa, siap-sedia menjadi wadah yang meruang-mewaktu dalam menampung polemik terbuka tentang apa saja yang menjadi peristiwa di Bogor Raya. Dan sekali lagi saya tegaskan, Halimun-Salaka membuka ruang selebar-lebarnya bagi siapa saja yang hendak menuangkan daya pikir, olahan kreatif, dan kerja pengkaryaan terkait jalan panjang Bogor.

Hal itu bukan tanpa sebab, Halimun-Salaka sangat mencintai-menyayangi Ibu Sejarah dan Bapak Kebudayaan (Bogor). Sebab, Ibu Sejarah dan Bapak Kebudayaan telah lama terkubur dan telah lama mati (di-pangkuan anak-anaknya), sebagai yatim sejarah dan piatu kebudayaan, Halimun-Salaka akan terus membuahkan kerja pengarsipan Bogor dalam putaran waktunya, lepas itu melalui konflik tokoh, pencarian tempat, pemaknaan suasana, penelusuran fenomena-peristiwa, dan sebagainya – dan seterusnya, sampai benar-benar tuntas dikumpulkan.

Dengan demikian, sangat disayangkan jika Halimun-Salaka hanya menerbitkan kerja kritik dari Tenu, dan tidak menerbitkan kerja pendukung dari Malik. Namun, karena Malik merespons pesan saya dengan mengatakan belum bersedia kontribusi terkait pandangannya melihat pasar Bogor, sebab menurutnya postingan (teks-audio-visualnya) belum utuh-lengkap, dan sebagai gantinya ia hendak mengajak Kawan-kawannya yang lain, semoga saja ada yang berkenan kontribusi. Kita tunggu saja bersama, semoga ada yang siap-sedia untuk kontribusi dan merespons tulisan Tenu maupun Tendensi.

Memang, mendengar jawaban Malik, saya sedikit pasrah dan sedikit terkubur harapan saya agar bisa terwujud polemik pasar Bogor ini secara intelektual, kontekstual, dan intertekstual, dan sebagainya. Padahal pada prosesi hasil dari polemik, akan berguna bagi arsip Bogor itu sendiri di masa yang akan datang kelak, terkhusus untuk anak-cucu Bogor guna dipelajari bersama. Dan pasti sudah kita ketahui, kerja polemik bukan barang-baru dalam hidup ini. Kalau saya boleh bergurau, sejak Adam diciptakan, polemik terjadi antara Setan dan Malaikat dalam memandang Adam sebagai manusia sempurna dibandingkan mereka berdua, yang lalu terus berlanjut dari masa ke masa, dari Nabi, Raja-raja, dan jauh sampai dewasa ini. eheiheihee.

O, ya, saya juga membayangkan, jika pasar Bogor ini di-polemik-kan, pengarsipannya mungkin akan seperti polemik kebudayaan zaman Sutan Takdir, Sanusi Pane, lalu Sitor, Goenawan, Pram, dan sebagainya, yang nyata pada hasilnya membangun daya pikir kita sebagai anak-cucu bangsa Indonesia ini. Dan bayangan saya tentu bukan sepenuhnya seperti persoalan serumit mereka itu. Tah, ini hanya urusan pasar Bogor dan sekelumit Bogor, yang hasilnya akan membangun daya pikir masyarakat Bogor itu sendiri, mengapa tak kita seriusi saja polemik ini?

Mengendarai Waktu di Ruang Terbuka Halimun Salaka

Sebagaimana sudah dijelaskan di muka, Halimun-Salaka siap-sedia menjadi wadah yang meruang-mewaktu dalam menampung polemik terbuka tentang apa saja yang menjadi peristiwa di Bogor Raya, untuk menuangkan daya pikir, olahan kreatif, dan kerja pengkaryaan terkait jalan panjang Bogor. Dan sebagaimana dijelaskan di atas pula, polemik belum utuh terlaksana, masih menjadi bayangan saya sendiri. Untuk itu, jika pembaca budiman ada yang tak sependapat dengan pandangan Tenu dan Tendensi, sila kirimkan tulisannya pada Halimun Salaka. Begitu sebaliknya, jika pembaca budiman ada yang tak sependapat pula dengan pandangan Malik dan Kawan-kawannya, sila kirimkan juga tulisannya pada Halimun-Salaka.

Untuk sementara, begitu saja propagandanya. Heuheu. Esok dan lusa mungkin akan saya lanjutkan, bagaimana cara mengendarai waktu di ruang terbuka Halimun-Salaka. Eits! Tapi ketika sudah terjadi polemik antara kubu pengkritik dan kubu pendukung itu dalam bentuk kerja catatan yang utuh-lengkap sesuai pandangannya masing-masing, kajiannya masing-masing, ya. Kalau itu belum terlaksana, maka tak akan saya lanjutkan. Sangeuk aing ge!

O, ya. Sebagai penutup, agar pembaca tak penasaran tentang siapa dan seperti apa sebenarnya harapan dan impian saya mengenai Wali Kota Bogor di masa mendatang? Saya punya salah-satu kandidat calon Wali-Kota Bogor yang semoga akan naik menggantikan Bima Arya. Ialah bernama @diserojakan. Mengenai visi-misinya nanti, pasti akan menarik perhatian kaum muda-mudi sekalian, yang pasti metodenya bukan seperti Pilpres gemoy joget-joget itu. Ia memberitahu saya sedikit kodenya bahwa, visi-misinya akan bertajuk Bogor Menyender.

Yupsss! Tunggu saja dengan seksama tanpa tempo yang sesingkat-singkatnya, sebab ia masih sibuk menuliskan visi-misinya secara utuh-lengkap, dan ketika sudah waktunya tiba, pasti akan terbit di halimunsalaka.com.***

  • Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.

    Lihat semua pos