Mengintip Bogor Barat: Sebuah Pengantar

Mengintip Bogor Barat: Sebuah Pengantar

gambar. AI


Jika kita mengamini dongengan budayawan dan sumber data para sejarawan, sejak dari zaman Tarumanagara, Pakuan Pajajaran, Kolonial, transisi Kemerdekaan, bahkan sampai dewasa ini, Bogor secara luas umumnya, khususnya letak geografis bagian yang dewasa ini dinamai Kabupaten Bogor bagian Barat memiliki potensi alam dan sumber daya yang melimpah. Kekayaan alam itu dari zaman ke zaman telah menjadi motif terjalinnya perdagangan bangsa-bangsa dan bahkan perang kekuasaan.

Kini jika kita melihat dan membaca berbagai berita terbaru di seputar per-bogor-an, Bogor Barat kembali menjadi pusat tarik-menarik kepentingan para elit politik yang sedang di jalan menuju kekuasaan—maupun yang sudah duduk di gedung pemerintahan Kabupaten Bogor. Dorongan untuk memekarkan wilayah Kabupaten Bogor semakin menguat, didorong oleh berbagai faktor, terutama tuntutan akan daerah otonomi baru Kabupaten Bogor Barat, dengan penuh janji dan harapan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata.

Hal itu bisa kita lihat dari geliatnya para elit politik berpengaruh yang semakin gencar melakukan lobi dan agitasi untuk mendorong percepatan pemekaran (baca: Atas Nama Kepentingan, Mereka Jualan Pemekaran Bogor Barat). Mereka mengumbar janji-janji manis tentang peningkatan pelayanan publik, pembangunan infrastruktur, dan kesejahteraan masyarakat — jika Bogor Barat menjadi kabupaten mandiri. Propaganda ini berhasil menggerakkan sebagian besar masyarakat kita untuk mendukung pemekaran, meskipun tidak sedikit yang skeptis terhadap janji-janji tersebut.

Sedangkan moratorium pemekaran yang diberlakukan oleh pemerintah pusat, masih menjadi penghalang utama bagi terwujudnya aspirasi “sebagian” masyarakat (atau katakanlah para pemangku kepentingan) Bogor Barat. Menariknya, walaupun soal pemekaran sudah pasang-surut sejak prosesnya 24 tahun yang lalu, hal itu ternyata tidak menyurutkan semangat juang para pendukung pemekaran. Mereka kini kembali melakukan berbagai upaya, mulai dari aksi demonstrasi hingga lobi politik, untuk mendesak pemerintah pusat agar mencabut moratorium itu secepatnya dan sesingkat-singkatnya.

Dengan perasaan yang adem-ayem, marilah kita tinjau secara bersama tuntutan tunggal dari Aliansi Masyarakat Bogor Barat untuk Pemekaran (AMUK) yang melayangkan 3 poin tuntutannya, begini:

1. Padatnya penduduk Kabupaten Bogor yang sangat tinggi (5.7 Juta Jiwa-Terpadat SE-INDONESIA).

2. Ketimpangan Pemerataan Pembangunan Sebagai Sarana Prasarana Pelayanan Dasar Dasar seperti bidang Kesehatan, Pendidikan, dan Keamanan yang tidak sebanding dengan luas dan jumlah penduduk.

3. Sudah 24 Tahun lamanya aspirasi pemekaran wilayah Bogor Barat kami perjuangkan,Maka dari itu kami masyarakat Bogor Barat menuntut kepada Presiden Joko Widodo segera melaksanakan amanat UU No. 23 Tahun 2014 yaitu pencabutan moratorium secara parsial untuk pemekaran Kabupaten Bogor terutama pembentukan Daerah Otonom Baru Kabupaten Bogor Barat sebelum tanggal 15 Oktober 2024. Jika Pemerintah dalam hal ini Presiden tidak mengindahkan tuntutan kami, maka kami akan melakukan aksi dengan jumlah yang lebih besar mengepung menduduki Istana Bogor.

Ketika kita mengintip tuntutan yang dilayangkan, hanya persoalan aspek padat penduduk, ketimpangan pembangunan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan(?) yang menjadi urgensi dari tuntutan pemekaran Daerah Otonomi Baru Kabupaten Bogor Barat. Sayang sekali, kita tak mendapat keterangan sub-sub yang menjelaskan lebih rinci poin-poin yang menjadi tuntutannya. Dan ketika mengintip persoalan itu, ada kekhawatiran kami mengenai layu-terkikisnya nilai-nilai sosial dan budaya, kerusakan alam lingkungan, yang disebabkan belum siap-sedianya masyarakat kita dengan situasi-keadaan yang baru dan belum matangnya konsep para pemangku kepentingan mengenai sebab-akibat dari pemekaran itu sendiri.

Menyikapi uraian poin itu, jika Bogor Barat telah sah menjadi Kabupaten baru, tentulah pembangunan infrastruktur yang masif dan urbanisasi akan mengubah pesat wajah Bogor Barat. Jika itu tidak kita siapkan secara matang dan terbuka, selain dapat memicu konflik antar elit politik, masyarakat, dan pemerintah induk, celakalah kehidupan masyarakat kecil di desa-desa yang sangat mungkin akan menjadi tumbal dari dampaknya. Apalagi jika di balik pemekaran itu tujuannya hanya sebatas pembagian kursi kekuasaan dari penuhnya kursi di gedung Kabupaten Bogor, bertambah celakalah degradasi nilai sosial, budaya, dan alam-lingkungan kehidupan kita sendiri.

Untuk mengatasi permasalahan ini, kami rasa, diperlukan pendekatan yang komprehensif atau katakanlah riungan diskusi publik secara terbuka dan berkelanjutan dari para elit politik, budayawan, seniman, sejarawan, pegiat alam-lingkungan, serta berbagai elemen masyarakat lainnya tentang seberapa penting pemekaran, untuk apa ada pemekaran, apa dan bagaimana menjalankan pemekaran itu dengan sebaik-baiknya tanpa merugikan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat setempat dan alam-lingkungannya. Masyarakat umum Bogor Barat (bukan hanya masyarakat pihak elit politik tertentu) juga layak dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, sehingga aspirasi mereka dapat terakomodasi dengan baik.

Bogor Barat bukan satu-satunya daerah yang tengah mengalami fenomena demikian. Cerminan dari kompleksitas persoalan ini tengah dihadapi pula oleh daerah-daerah bagian di Indonesia lainnya, baik yang sedang menempuh pemekaran maupun yang sudah dimekarkan. Memang, kita tentu menyadarinya, di satu sisi pemekaran dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempercepat pemerataan pembangunan. Tapi di lain sisi, kita juga harus menyadari lebih lanjut, pemekaran juga dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti konflik kepentingan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang, degradasi budaya, dan tentu kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu, perlu adanya kajian yang mendalam dan perencanaan yang matang (dan tentu hasil kajiannya itu mesti terbuka aksesnya) sebelum mengambil keputusan untuk memekarkan suatu wilayah.

Menyusuri fenomena dan peristiwa di atas, kami yang ditakdirkan lahir dan menetap di Bogor Barat dan sebagai masyarakat bagian darinya tergerak untuk belajar mencatat apa dan bagaimana memaknai segala huru-hara fenomena-peristiwa itu secara terbuka, dengan mengajak kawan, saudara, tokoh, komunitas, atau masyarakat Bogor sekalian yang ingin ikut berpartisipasi menuliskan pandangannya, aspirasinya, tanggapannya, atau bahkan bisa memberikan konsep mengenai apa dan bagaimana sebaiknya wajah Bogor Barat pasca sah menjadi Kabupaten baru.

Kami merumuskan tenggat waktu pengumpulannya dimulai dari tanggal 27 Oktober sampai 27 November. Dan mengenai hasil pengumpulan tulisan itu, pertama akan kami terbitkan berkala di website halimunsalaka.com. Kedua, di akhir batas penerimaan serta pengumpulannya pada tanggal 27 November, akan kami bundel-kumpulkan dalam bentuk e-book digital, agar dapat dibaca secara luas oleh masyarakat dan menjadi arsip bersama.

Syahdan! Dengan begitu, kami juga telah menentukan beberapa poin bahasan yang secara khusus akan kami susuri persoalan seberapa penting dan seberapa urgensi membuat Daerah Otonomi Baru Kabupaten Bogor Barat, yang umumnya dimaksudkan agar dapat menjadi sub-bahasan ide kawan sekalian jika berkenan berpartisipasi menuangkan pandangannya:

1. Geografis (bahasan tentang pembangunan, infrastruktur, tata-kelola kota dan perencanaan wilayah kota).

2. Administratif (bahasan Pengelolaan dan Pelayanan Publik: kesehatan, pendidikan, dan pelayanan administrasi kependudukan).

3. Potensi Ekonomi dan Budaya (wisata, kesenian, sejarah, ekonomi kreatif, pertanian, pertambangan, perdagangan).

4. Potensi Sumber Daya Manusia (Ekosistem Komunitas, Fasilitas Pendidikan, Taraf Pendidikan, Peta Politik).

5. Format yang kami tampung tidak hanya tulisan berbentuk esai atau opini serius, kami juga akan menampung aspirasi kreatif-rekreatif dari berbagai jenis tulisan, tentu harus bertemakan Bogor Barat: seperti cerita pendek, cerita bergambar, cerita bersambung, puisi, sajak panjang, dan bahkan naskah drama juga boleh kalau ada.***