dok. galeribumiparawira
Aksi demonstrasi di Malang pada 23 Maret 2025 menambah panjang daftar represifitas aparat terhadap warganya. Saat kekerasan berlangsung, warganet di Twitter berbagi informasi dan solidaritas. Salah satu yang menarik adalah unggahan dari akun Txt Tata Kota – The Urbanist Zine atau @stravenues membagikan informasi melalui lanskap tata Kota Malang, yang mana Kantor DPRD Kota Malang, yang menjadi tempat utama demonstrasi itu technically sudah berada dalam kepungan markas militer, maka ketika aparat melakukan kebiadabannya dengan menyerang massa aksi, jalur-jalur mitigasi dan evakuasi dengan mudah langsung bisa diambil alih oleh para aparat.
Mengapa itu bisa terjadi? Dalam amatan singkat Txt Tata Kota – The Urbanist Zine, hal itu disebabkan karena tata Kota Malang itu sendiri. Malang yang dari awal dikembangkan oleh penjajah Belanda memang mendesain tata kotanya sebagai Kota Garnisun. Atau setidaknya sampai saat ini sistem kota itu tetap dipertahankan, dengan pusat-pusat bangungan government-nya, mulai dari balai kota, alun-alun kota, Rampal sampai Bunulrejo, semuanya ditamengi oleh kawasan militer. Yang mana ini membuat Malang seberbahaya itu buat demo.
Dari apa yang disampaikan Txt Tata Kota – The Urbanist Zine, saya langsung berkaca, bagaimana dengan tata kota Bogor? Yang mana kita sudah tahu, daerah ini dikembangkan juga oleh penjajah Belanda sebagai kota yang ‘harus’ jauh dari marabahaya. Kota yang didesain sebagai tempat istirahat para pembesar negara.
Tata Kota Yang Tak Ramah Untuk Warganya Berunjuk Rasa
Dan yaps, Bogor barangkali sama berbahayanya dengan Malang, jika dijadikan medan berunjuk rasa. Ini bukan sekadar ketidaksengajaan atau paranoia modern, melainkan warisan kolonial yang masih terus dikembang-hidupkan. Belanda, sebagai perancang awal Bogor, punya visi kota yang tenang, atas landasan itu, kita jadi tak heran jika Bogor dari dahulu sampai sekarang dikondisikan untuk steril dari gejolak sosial. Ketika Batavia (sekarang Jakarta) sesak dengan perlawanan dan letupan amuk massa, Bogor harus tetap dingin dan tenteram. Maka, dari dulu hingga sekarang, tata ruangnya dibuat untuk mencegah adanya pengagitasian.
Istana Bogor, simbol kekuasaan kolonial yang masih berdiri megah hingga kini, dikelilingi oleh lanskap yang didesain untuk memberikan rasa aman bagi penguasa. Jalan-jalan utama lebar dan panjang, memudahkan patroli dan menghambat kerumunan massa. Hingga kini, tata ruang itu tetap dipertahankan dan diperkuat dengan keberadaan barak militer dan kepolisian yang ditempatkan di titik-titik vital kota.
Kodim 0606 Bogor hanya berjarak selemparan batu dari Istana, yang dalam hitungan menit bisa memberikan akses cepat bagi aparat untuk mengendalikan setiap potensi aksi massa. Markas Brimob Kedung Halang di utara Bogor juga memastikan kontrol atas jalur utama dari arah Jakarta. Keberadaan Korem 061/Suryakancana yang terletak dekat dengan pusat kota juga semakin memperkuat cengkraman militer terhadap kemungkinan pergerakan massa.
Oh ya, jangan lupakan juga Datasemen Polisi Militer yang standby di antara muka Istana dan Balai Kota. Juga Yonif 315. Korem Siliwangi. Juga Polresta Bogor Kota yang vis a vis dengan alun-alun kota. Selain kawasan alat kuasa yang penuh sesak memadati tangah kota, Bogor juga memiliki konsentrasi pos polisi yang tinggi. Dari Tugu Kujang hingga simpang Yasmin, dari Terminal Baranangsiang hingga ke kawasan Air Mancur, pos-pos polisi dan kantor-kantor aparat keamanan tersebar nyaris di setiap simpul mobilitas utama.
Sekarang mari kita beralih ke tempat biasa kita mengadakan aksi. Tugu Kujang? Kita tahu di dekatnya ada dua pos polisi yang menjaga: di Barat, di depan lampu merah Botani Square, dan di Timur di sekitar Terminal Baranangsiang. Di Balai Kota? Di seputaran SSA? Depan McD Juanda? Semua adalah lingkaran istana, yang seperti sudah diinformasikan di awal bahwa area-area itu bak pagar tak kasat mata yang mengunci jalur-jalur mitigasi.
Bagaimana dengan DPRD Kota? Meski tidak seketat wilayah Istana dan Balai Kota, tapi tetap saja, area DPRD yang baru ini pun masih berada dalam radius yang dapat dijangkau dengan cepat oleh pasukan dari markas militer maupun kepolisian.
Tak Ada Yang Kebetulan, Semua Dikondisikan, Semua Disterilkan
Henri Lefebvre dalam The Production of Space (1974), menyatakan bahwa ruang bukan hanya entitas fisik, tetapi juga produk sosial dan politik. Kota tidak hanya dibangun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk mengontrol siapa boleh berada di mana, siapa boleh bergerak, dan siapa yang harus diam. Dalam konteks ini, Bogor adalah contoh nyata dari ruang yang diproduksi untuk kepentingan penguasa.
Dalam hal ini juga, teori Michel Foucault dalam Discipline & Punish (1977), bisa digunakan untuk memahami bagaimana kota-kota seperti Bogor bisa dibuat sedemikian rupa untuk memastikan kita sebagai warga tunduk pada tatanan yang ada. Konsep panopticon Jeremy Bentham yang diadaptasi Foucault pun dalam kontek ini, dapat menunjukan bagaimana Bogor dikelola: selalu ada mata yang mengawasi, dan rasa diawasi inilah yang membuat warga enggan turun ke jalan.
Bandingkan dengan Bandung, kota yang lebih ramah terhadap demonstrasi. Ibu Kota Provinsi Jabar ini memiliki ruang publik yang cukup luas, dari Gedung Sate hingga kawasan Dago dan Monumen Perjuangan, tempat mahasiswa dan warga sering berkumpul. Bahkan, jalan utama seperti Jalan Asia Afrika dan Braga masih bisa menjadi ruang protes. Ini berbeda dengan Bogor yang semua ruang lapangnya sudah dijinakkan dan dikontrol.
Jakarta, meskipun penuh dengan aparat keamanan, masih memiliki titik-titik demonstrasi yang diakui secara de facto, seperti Patung Kuda, Monas, dan DPR. Kontras dengan Bogor, yang hampir tidak memberi ruang formal bagi aksi massa. Surabaya, meskipun juga memiliki unsur militer yang kuat, masih memberikan celah bagi aksi massa, terutama di kawasan Tugu Pahlawan dan Balai Kota. Walaupun ada represifitas aparat, ruang-ruang ini tetap bisa digunakan sebagai arena demokrasi.
Di kota-kota lain, demonstrasi bisa berakar di taman-taman kota atau alun-alun yang lapang. Di Bogor? Tidak ada. Tanah lapang yang tersisa hanya diperuntukkan bagi kepentingan modal dan pihak penguasa, bukan rakyat. Lapangan Sempur yang dahulu bisa menjadi titik kumpul kini lebih banyak jadi arena olahraga dan hiburan. Taman Kencana, yang semestinya bisa jadi ruang berkumpul, justru lebih sering jadi lokasi kafe mahal yang membatasi akses kelas pekerja. Sementara itu, titik-titik lain seperti Air Mancur dan Bundaran Ekalokasari sudah ditata sedemikian rupa agar sulit bagi massa untuk bertahan lama.
Tidak ada ruang yang netral di Bogor. Bahkan pedestrian yang seharusnya menjadi bagian dari hak warga untuk berjalan kaki kini lebih banyak dipenuhi oleh jalur kendaraan. Kota ini tidak hanya membatasi ruang gerak massa, tetapi juga merancang psikologi warganya agar tidak terbiasa melihat demonstrasi sebagai bagian dari kehidupan politik yang sehat.
Dox(s)a Dox(s)a Penguasa
Namun keabsenan perlawanan besar dan berumur panjang yang terjadi di Bogor, itu bukan hanya ada pada tata ruang saja, tapi meliputi banyak faktor. Dan dalam hal ini saya mau mengetengahkan satu faktor, yakni pengkondisian budaya, atau dalam bahasa Pierre Bourdieu adalah doxa segala sesuatu yang diterima begitu saja sebagai kebenaran tanpa dipertanyakan. Dalam konteks Bogor, doxa yang beroperasi adalah anggapan bahwa politik tidak relevan dalam kehidupan sehari-hari dan bahwa ketertiban lebih diutamakan daripada kebebasan berekspresi.
Narasi yang berkembang di Bogor adalah bahwa kota ini harus tetap nyaman, tertib, dan jauh dari huru-hara. Warga yang mencoba mengorganisir aksi massa sering kali menghadapi delegitimasi sosial: mereka dicap sebagai pengganggu ketertiban atau bahkan dianggap tidak mencerminkan “karakter warga Bogor” yang damai dan ramah. Ini adalah bentuk kontrol yang lebih halus dibandingkan represi fisik—karena individu sendiri yang akhirnya merasa enggan untuk bertindak.
Jika kita melihat Bogor melalui kacamata Bourdieu, kita bisa memahami bahwa apatisme politik di kota ini bukanlah sekadar hasil ketidakpedulian individu, tetapi merupakan produk dari konstruksi sosial yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Tata ruang, sejarah, dan struktur kelas bekerja bersama untuk menciptakan habitus yang membuat aksi massa sulit tumbuh.
Sekarang Mari Kita Mulai
Dengan semakin masifnya represi di ruang publik, muncul pertanyaan: apakah masih ada ruang bagi perlawanan di kota seperti Bogor? Atau, akankah aksi-aksi perlawanan bertransformasi ke bentuk lain, lebih gerilya, untuk lebih sulit dideteksi? Sejarah mencatat bahwa gerakan sosial selalu menemukan cara untuk melawan. Jika jalanan tak lagi bisa digunakan, mungkin perlawanan akan tumbuh di gang-gang kecil, di kampus, di ruang-ruang diskusi bawah tanah, atau bahkan di dunia digital.
Namun, satu hal yang pasti: tata ruang bukan sekadar susunan bangunan dan jalan. Ia adalah ekspresi dari siapa yang memegang kendali, dan siapa yang ditakdirkan untuk tunduk. Bogor adalah contoh nyata bagaimana ruang dikelola untuk menjinakkan massa. Namun. seperti semua strategi kontrol, pasti akan ada celah bagi mereka yang ingin melawan. Dan sekarang, mari kita mulai.