Gambar: Gedung Kesenian Kota dan Kabupaten Bogor
Menginjak akhir tahun 2023, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) melakukan prosesi kembali ke akar dan kembali ke sumber: merefleksikan kembali posisinya, meninjau kembali perjalanannya agar tercipta reposisi, sekaligus membuahkan kembali pantulan-evaluasi untuk merevitalisasi kerja-kerja seni-budayanya, dengan membagikan arsip buku digital seri wacana DKJ 2023: posisi, reposisi, revitalisasi 55 tahun Dewan Kesenian Jakarta. Sebelum membaca buku wacana DKJ itu, saya sudah membaca terlebih-dahulu rekaman perjalanan panjang terciptanya Dewan Kesenian Jakarta serta proses kerjanya, dalam buku otobiografi Ajip Rosidi (Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan).
Setelah membaca perjalanan DKJ dalam buku Ajip, dan membaca perjalanan DKJ dalam buku seri wacana DKJ 2023, sama-sama berkait-kelindan bahkan sama-persis tinjauan kesaksian ceritanya. Sedikit bedanya mungkin terletak pada buku Ajip lebih memposisikan dirinya sebagai penyaksi seorang diri, sedangkan dalam buku wacana DKJ isi tulisannya dikumpulkan oleh para kurator hasil catatan kesaksian kolektif para penulis yang menjadi saksi sekaligus promotor terciptanya DKJ. Kedua buku itu pula sama-sama menghadirkan cerita bagaimana jasa Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin, yang memberikan ruang bagi seniman-budayawan di Jakarta, yang sebelumnya perkumpulan para seniman di Senen telah tergusur dari tempatnya oleh efek pembangunan.
Sebagaimana Ali Sadikin dalam sambutannya pada 10 November 1968, mengatakan: “Marilah kita pikirkan pula, bahwa di samping segala investasi yang hasilnya kelak kemudian hari dapat diukur dengan uang, investasi kultural tidak demikian halnya. Apa yang telah kita tanamkan sebagai modal seni, modal kebudayaan, di kompleks Pusat Kesenian Jakarta ini, akan memberikan bunga dan buah karya-karya seni yang tak terhingga nilainya bagi seni kehidupan kultural kita di ibu kota, di masa-masa yang akan datang. Mungkin generasi kita tidak menikmatinya, tapi lebih penting adalah generasi muda, generasi anak-anak kita, yang akan mengenyam hasilnya. Investasi bagi seni dan budaya mempunyai jangka waktu yang tidak singkat, dan untuk kota seperti Jakarta yang merupakan induk bagi kota-kota di seluruh nusantara adalah lebih penting lagi, karena kota Jakarta merupakan pintu depan dari lalu lintasnya kebudayaan dari luar.”
Entah mengapa, ketika saya selesai membaca perjalanan DKJ dalam kedua buku tersebut, banyak pertanyaan yang menggerogoti sel-sel pikiran saya. Pertanyaan itu akan saya bagi dua, pertama, sejak kapan Dewan Kesenian Bogor dibentuk? Sampai sejauh ini apa saja kerja-kerja yang sudah Dewan Kesenian Bogor (Kota maupun Kabupaten) jalankan? Mengapa sampai sejauh ini tak ada rangkuman-arsip-kegiatan berbentuk buku-buku (cetak maupun digital) tentang kerja seni-budayanya yang dibagikan ke khalayak masyarakat Bogor sendiri sebagaimana kerja DKJ?
Kedua, kalaupun tak berbentuk buku digital, apakah ada yang tersimpan di perpustakaan atau dinas arsip Bogor dalam bentuk tulisan-tangan atau stensilan? Bukankah kerja Dewan Kesenian, jika memang Dewan Kesenian Bogor hadir-muncul meniru DKJ (sebagaimana Kota-kota lain di Indonesia), harusnya banyak kegiatan yang tumpah dalam isi lembaga itu, dan menghasilkan banyak arsip tentang proses kreatif seniman Bogor dalam mengendarai dunia kesejarahan, kebudayaan, dan juga keseniannya lewat dialektika karya maupun kritik tentang persoalan yang dijalani Bogor itu sendiri?
Kalau pertanyaan di atas tak ada jawabannya, bukankah kehadiran Dewan Kesenian Bogor (Kota ataupun Kabupaten) itu sangat tak bermanfaat wujud-keberadaannya bagi masyarakat Bogor sendiri?! Sebab, momentum kali ini amat-sangat tepat jika kita tinjau bersama bagaimana proses kerja DKJ dan lalu merefleksikan pada sejauh mana kerja Dewan Kesenian Bogor lalui. Kita semua tahu, DKJ sebagai tonggak mulanya hadir-tumbuh-kembangnya Dewan Kesenian bagi Kota-kota di Indonesia, yang lalu menumbuh-kembangkan dialektika-polemik seni-budaya di Indonesia menjadi rangsangan-kreatif serta banyak ditiru metode-metodologinya oleh Kota-kota lain, akhir tahun ini tengah melakukan kilas-balik perjalanan panjang kegiatannya, seharusnya simpul-simpulnya sebagaimana Bogor juga ikut merefleksikan perjalanannya. Memangnya mengapa Bogor mesti ikut merefleksikannya?
Mengenai hal itu tentu saya mempunyai alasan tersendiri. Disebabkan sampai sejauh ini saya tak pernah mendengar bahkan melihat, Dewan Kesenian Bogor membikin refleksi-evaluasi dan meninjau kembali mengapa ia didirikan, untuk apa ia ada, dan apakah kerja-kerjanya sesuai dengan visi-misinya. Dan perlu kita ingat! Maksud saya mencontoh dan merefleksikan kerja DKJ itu, tentu saya bukan meminta dan berharap Bogor serupa Dewan Kesenian Jakarta yang memiliki ruang seni nan-megah dan rapi struktur-kegiatan serta formaturnya, memiliki Taman Ismail Marzuki (TIM), Akademi Jakarta (AJ), dan sebagainya, bukan sama sekali.
Harapan saya cukup sederhana, saya hanya mengharapkan kerja Dewan Kesenian Bogor (Kota ataupun Kabupaten itu) menjadi ruang kesenian dan kebudayaan yang terbuka untuk masyarakat dan pegiat seni-kreatifnya. Terbuka tentang arsip catatan bagaimana proses-kerjanya, terbuka tentang arsip kegiatannya dari mulai dibentuk sampai selama ini, terbuka pula arsip kerja-kerja seni-budayanya ada atau tak-ada – mesti-lah dijelas-uraikan setiap tahun secara terbuka dan dibagikan pada khalayak masyarakat dalam bentuk tulisan, entah itu cetak atau digital pun tak apa, itu lain soal.
Ditambah saya sedikit heran, mengapa sekelas Dewan Kesenian Bogor tak punya web-pemberitaan khusus sebagai wahana untuk menyampaikan informasi dan kerja arsipnya. Jangan-jangan memang tak ada semua arsip yang saya urai-pertanyakan di atas? Entahlah, hanya Dewan Kesenian Bogor-lah yang diperkenankan menjawabnya. Setelah termenung lama, akhirnya saya menjawab semua pesta pertanyaan yang menggerogoti sel-sel pikiran saya di atas dengan pernyataan yang lugas-tegas: sudah waktunya dan inilah saatnya Dewan Kesenian Bogor kita tinjau-ulang posisinya, sekaligus mereposisi dan merevitalisasinya bersama-sama!
Saya akan ulang kembali, agar pertanyaan itu bukan sekedar pertanyaan, melainkan rangsangan kreatif agar terjalin aksi-reaksi jawabannya. Apakah Dewan Kesenian Bogor diciptakan sedikit-banyaknya mengadopsi DKJ atau punya kerangka sendiri? Jika punya kerangka sendiri, bagaimana metode-metodologi Dewan Kesenian Bogor ini bekerja? Mengapa sampai sejauh ini Dewan Kesenian Bogor seperti ada – namun tiada, namanya ada – tapi kerja-kerjanya tak ada? Bahkan arsip kegiatannya sejauh ini tak saya temui dalam bentuk makalah, jurnal, esai, atau bahkan bentuk pengkaryaan tentang review simposium-seminar, penelitian, ulasan sejarah-budaya, dan sebagainya. Mengapa tak ada?
O, saya jadi curiga, apakah Dewan Kesenian Bogor diciptakan hanya sebagai wadah untuk menampung tumpahan dana pemerintah daerah, yang lalu kegiatannya hanya fokus menghabiskan dana pemerintah dengan membikin acara-acara hiburan semata, yang entah sampai sejauh ini saya-pun tak mengetahui prosesi acara-acara apa saja yang sudah dikerjakannya. Lagi dan lagi, curiga saya ini sangatlah wajar, sebab tak ada pengarsipan yang dibagikan pada masyarakat tentang hasil penelitian, hasil kerja merumuskan jalan panjang seni-budaya Bogor, dan sebagainya, apalagi tentang pengarsipan sejarah-budaya Bogor itu sendiri.
Karena Dewan Kesenian Bogor tak mempunyai portal-web berita sendiri, silakan Saudara cek sendiri di Perpustakaan Kota dan Kabupaten Bogor, silakan cek sendiri di laman-google (misal ketik: sejarah bentuknya Dewan Kesenian Bogor atau karya apa saja buah dari Dewan Kesenian Bogor itu dibentuk?), atau silakan cek juga di laman-instagramnya @dkkbbogor dan @dk3b.official, dari semua itu adakah kerja-kerja pengarsipan: tentang catatan-dokumen hasil penelitian dan rangkuman kegiatan (seni-budaya) yang dibagikan setiap tahunnya? Tentulah tak akan kita temukan, selain acara puisi-puisian, diskusi-diskusian, musik-musikan, dan lainnya.
Bahkan yang lebih parahnya, tak ada catatan berupa makalah, jurnal, esai, opini, atau statement sedikit pun tentang kapan dibentuknya, kapan berdirinya, siapa saja para pembentuk Dewan Kesenian Bogor! Anyings. Ini terlampau mengacuhkan kerja pengarsipan, dan bukankah kehadiran Dewan Kesenian Bogor sangat tak berseni-budaya bahkan mengacuhkan nilai literasi, Saudaraku?! Lalu, kita mesti menyalahkan siapa, kalau bukan Dewan Kesenian Bogor sendiri yang tahu lembaganya seperti apa dan bagaimana?
Meninjau Posisi Dewan Kesenian Bogor
Sedikit beruntung saya masih senang bermesraan dengan waktu dan masih senang berteman dengan kesabaran. Setelah lama mengodok-nenjo-nenjo keluar-masuk buku, koran, majalah, portal-berita-digital, dan sebagainya. Akhirnya saya menemukan 2 artikel menarik yang tengah saya cari, artikel itu isinya meninjau cerita bagaimana terbentuknya Dewan Kesenian Bogor dan sedikit konfliknya. Itu pun masih sedikit janggal, entah, apakah dibentuknya Dewan Kesenian Bogor pada artikel itu sekaligus membentuk Dewan Kesenian Kota dan Kabupaten Bogor, atau hanya Kota Bogor saja, sebab titik-lokasinya berada di Kotamadya. Perihal itu, sayangnya saya masih harus bermesraan dengan waktu kembali, sebab belum menemukan sumber lanjutan yang lengkap.
Aduh, Gusti nu Agung, mengapa pengarsipan Dewan Kesenian Bogor sedemikian gaib meng-anyings-kan?
Namun, jika Dewan Kesenian itu dibentuk khusus Kota saja, maka ada kemungkinan Kabupeten Bogor membentuk Dewan Keseniannya ketika DKJ menyelenggarakan pertemuan Dewan Kesenian di Ujung Pandang (Makasar) pada tahun 1992. Pertemuan di Ujung Pandang itu, konon dipolemik-kan sebagai pertemuan “paling unik dan menjanjikan hasrat politik pemerintah” (Horison: November 1993), dan memicu terbitnya instruksi Mendagri Nomor 5A Tahun 1993 yang memerintahkan para Kepala Daerah membangun gedung kesenian dan membentuk dewan kesenian di daerahnya masing-masing.
Terlepas dari itu, tinjauan ini tetap ditunjukkan dan difokuskan pada Dewan Kesenian Kota maupun Kabupaten Bogor, kita kesampingkan siapa yang lebih dahulu dibentuk, atau kita sepakati saja Dewan Kesenian Bogor pada dasarnya membentuk Dewan Kesenian Kota dan Kabupaten Bogor. Oke salaman dulu, deal, yaps?!
Memasuki cerita bagaimana terbentuknya Dewan Kesenian Bogor dan konfliknya itu dimulai oleh artikel pertama, dengan lugas mengkritik keras dibentuknya Dewan Kesenian Bogor itu seperti tak ubahnya dengan orang-orang avontur (petualang?) yang sama sekali tidak punya urusan dengan masalah-masalah kesenian dan kebudayaan. Sedangkan artikel kedua, mendukung terbentuknya Dewan Kesenian Bogor, sebab menurutnya dengan adanya Dewan Kesenian Bogor, semoga saja dapat membantu kelompok seniman lain dalam berproses-kreatif sekaligus semoga mendapat sumber dana yang mendukungnya, ada harapan Dewan Kesenian Bogor serupa kerja DKJ.
Artikel pertama itu terbit di Suara Karya: Minggu, 21 Desember 1971, berjudul (baca: Wadah Dewan Kesenian Melanda Bogor), dari seorang yang bernama, M. Ryana Veta (menurut sumber yang saya temukan, Ryana merupakan salah-seorang pegiat sastra dan teater di Bogor, sezaman dengan Umar Machdam di Studi Teater Bogor, dan sering berguru-bertamu ke Iwan Simatupang ketika masih di Hotel Salak). Ryana membuka catatannya dengan cukup lugas-tegas, begini katanya:
“Pembentukan Dewan-dewan Kesenian di daerah-daerah akhir-akhir ini bukan lagi merupakan suatu keharusan yang memang dituntut bagi kepentingan kemajuan kesenian, tapi kalau kita melihat gejala-gejalanya tidak lebih dari suatu mode turut-turutan ala pembentukan Dewan Kesenian Jakarta. Malah dalam kenyataannya orang-orang yang turut ambil bagian dalam Dewan Kesenian serupa itu (di Bogor?) adalah kebanyakan bersumber pada orang-orang avontur yang sama sekali tidak punya urusan dengan masalah-masalah kesenian. Sehingga apabila kita mendengar Dewan Kesenian Surakarta Impoten, Dewan Kesenian Surabaya, Mati Tidak Hidup pun Belum, adalah sangat wajar sekali.
Secara ironis kita merasa malu, bagaimanakah lembaga (Dewan Kesenian Bogor) yang akan dibentuk ini akan “membina” kebudayaan kalau hal-hal yang esensial tentang kebudayaan tidak dimengerti sama sekali. Kebanyakan dari mereka masih mengira pembinaan kebudayaan cukup dengan menyelenggarakan Ketuk tilu, kliningan, wayang golek, dan sebangsanya secara rutin, berikut anggaran biayanya. Dan pertemuan seniman-seniman yang kelihatannya tidak lebih dari semacam pertemuan dinas antara pejabat pemerintah daerah dengan para camat dan Danramil-nya itu, akhirnya berhasil juga membentuk semacam Organizing-Committee.”
Sedangkan artikel kedua terbit di Kompas: 18 Januari 1971, berjudul Menyongsong Berdirinya Dewan Kesenian Bogor: perlukah Setiap Kota Punya Dewan Kesenian? dengan nama penulis Deddy Roamer PS (menurut sumber yang saya temukan, Deddy seorang jurnalis, pegiat sastra, dan seorang dosen). Deddy juga secara lugas-tegas mereaksi tulisan Ryana, begini katanya:
“Selain pihak yang menyetujui akan terbentuknya Dewan Kesenian Bogor ada pula pihak-pihak yang tidak setuju. Adalah benar kalau dikatakan bahwa dengan adanya Dewan Kesenian, tidaklah mutlak pembinaan dan pengembangan kesenian akan maju. Masalahnya bergantung kepada keseriusan kerja orang-orang yang duduk dalam jajaran dewan tersebut; tentu saja dengan perhatian yang sepenuhnya dari pemerintah daerah. Itulah sebabnya dari sekian Dewan Kesenian yang telah dibentuk, hanya Dewan Kesenian Jakartalah yang lebih menonjol daripada yang lain.
Hal-hal seperti itulah agaknya yang menyebabkan adanya pihak-pihak yang tidak setuju. Sebab pembinaan dan pengembangan kesenian, sebenarnya cukup dengan fasilitas yang penuh dari Pemerintah Daerah kepada organisasi-organisasi kesenian yang aktif. Dan kalau sekarang Bogor nampak lesu dari kegiatan-kegiatan seni yang baik, masalahnya bukanlah semata-mata karena tidak adanya Dewan Kesenian Bogor, tetapi karena tidak adanya fasilitas yang diberikan pemerintah daerah kepada para seniman.”
Menariknya, kedua artikel itu selaras dalam menjelaskan cerita Dewan Kesenian Bogor hadir-terbentuknya ketika Pemerintah Kotamadya Bogor bersama-sama Kepala Jawatan (Pembinaan) Kebudayaan pada tanggal 1 Desember 1971, untuk kesekian kalinya mengumpulkan sejumlah orang yang menurut ukuran pemerintah daerah sangat layak disebut seniman. Pada pertemuan itu (sesuai dengan undangan, katanya), dalam rangka persiapan pembentukan, dibentuklah BPPK (Badan Peneliti dan Pengembangan Kebudayaan) sebagai nama lain dari Dewan Kesenian. Pertemuan itu berlangsung di ruang DPRD dan dibuka oleh BPH V Drs. Sulaeman Pd. yang bertindak selaku wakil Kepala Daerah.
Para peserta pertemuannya kurang-lebih berjumlah 15 orang, dan mereka terdiri dari seorang dokter hewan, seorang seniman Sunda, dan Sarjana Sejarah, seorang Ajun Komisaris Polisi dari Dan Res 821, seorang Lettu dari kodim 0606, dua orang penulis sastra remaja, seorang mahasiswa FEUI, seorang dekorator upacara-upacara pesta dan perkawinan, seorang centeng (penjaga) museum dan beberapa karyawan Kotamadya Bogor. Dalam pertemuan itu, seorang yang bernama R. Sambas mengemukakan betapa perlunya pembinaan kebudayaan di Kota Bogor, sambil mengeluh betapa bahayanya kebudayaan luar yang sedang menyelimuti kebudayaan kita, seperti disebutkan musik jreng-jreng-an, agogo dan kesenian anak-anak muda yang katanya a-moral.
Berkali-kali Kepala Jawatan Kebudayaan itu mengatakan, pembentukan lembaga-lembaga (Dewan Kesenian Bogor) sebagai penyelamat kebudayaan adalah mutlak perlu untuk segera ditanggulangi secara konkrit. Salah-satunya, memelihara kesenian-kesenian daerah seperti Ketuk tilu, kliningan, wayang golek, kerajinan tangan, bobodoran di samping kesenian nasional lainnya seperti sandiwara, cerita pendek, dan penulisan syair-syair atau puisi. Sehingga dengan pembinaan yang konkrit itu kebudayaan-kebudayaan luar yang merusak bisa segera di-atasi.
Lalu hasil pertemuan rapat di Kantor Kotamadya Bogor pada tanggal 1 Desember 1971 itu, antara Pemerintah Daerah Bogor dengan para seniman, gagasan untuk mendirikan dewan itu timbul, dimulai dengan suatu ide untuk mendirikan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesenian (BPPK). Organizing-Committee-nya dipimpin Drs Saleh Danasasmita (Anggota DPRD dan tokoh Seniman Sunda) dan Drh Emir Elkisah Siregar (dosen FKH-IPB yang sekitar tahun 1962 s/d 1966 aktif di bidang teater), dibantu lima orang yang bernama: Adenan Taufik (pelukis muda), Deddy Roamer PS (penulis), Azis Windya (pernah aktif di teater tahun 1952-an), E. Sugandi (Adjun Komisaris Polisi dari Dan Res 821 Bogor), dan JA. Lastawan, mahasiswa FEUI yang kebetulan saat ini menjadi anggota grup Studi Teater Bogor. Dan mereka diberikan waktu 10 hari untuk menyusun Anggaran Dasar berikut personalianya sekaligus.
Dalam hasil lanjutan, dinyatakan bahwa Dewan Kesenian Bogor berazaskan kekeluargaan, kebebasan dan musyawarah sesuai dengan falsafah negara Pancasila dan UUD 1945. Dewan Kesenian Bogor dibentuk dengan maksud untuk memelihara, mengembangkan dan menyalurkan aspirasi, dan daya apresiasi yang berkembang secara wajar (dipandang dari segi etis dan estetis) di dalam masyarakat Bogor, dengan tujuan untuk meningkatkan nilai budaya masyarakat. Dewan Kesenian Bogor adalah lembaga yang diakui pemerintah dengan tugas pokok membantu/bekerjasama dengan Pemerintah Daerah serta lembaga-lembaga yang ada hubungannya dengan kehidupan kebudayaan dalam menentukan policy pembinaan kebudayaan di Bogor.
Nah, selanjutnya, letak perbedaannya tertera pada konteks cara pandangnya, catatan Ryana menguraikan penjelasannya, berikut: “Saya rasa dalam sejarah kesenian manapun tidak akan terdapat dalil bahwa pembangunan kesenian bisa dilakukan bersama-sama pejabat. Dan saya pikir nasib kesenian sepenuhnya adalah tanggung jawab para senimannya sendiri. Adalah lebih bermanfaat usaha ini kalau terbatas pada pemberian bantuan material secara konkrit bagi grup-grup kesenian yang sudah nyata kerjanya. Tinimbang membuat lembaga-lembaga yang tidak jelas sasarannya itu.”
Sedangkan penjelasan Deddy dalam catatannya menguraikan, berikut: “Demikianlah maka menurut pandangan beberapa seniman. Kalau toh memang Pemerintah Daerah mempunyai dedikasi yang besar terhadap pembinaan dan pengembangan kesenian, keperluan-keperluan seniman seperti (tempat-tempat pertemuan dan diskusi-diskusi? Membuatuhakn perpustakaan, art galerry, dan sebagainya) itulah yang seharusnya didahulukan. Sedangkan pembentuk Dewan Kesenian adalah nomor dua bagi mereka. Sebab walaupun Dewan Kesenian itu sudah terbentuk, kalau fasilitas-fasilitas serupa itu belum juga ada. Dewan Kesenian takkan dapat bekerja sebagaimana yang kita harapkan.”
Membaca kedua artikel di atas, tentu saya tak kaget dengan apa yang terjadi hari ini, dan mengapa kerja-kerja Dewan Kesenian Bogor pada akhirnya bertolak-belakang dari muatan kerja seni-budaya itu dewasa ini. Malahan rasa kejanggalan yang mengagetkan saya ialah,jika mulai dibentuknya Dewan Kesenian Bogor sekitaran tahun 1971-an, bukankah panjang sekali perjalanan proses-kreatif kerjanya, dan seharusnya prosesinya itu sudah menghasilkan banyak sekali pengarsipan? Lalu di mana rimba pengarsipan perjalanan panjang Dewan Kesenian Bogor itu hari ini? Bagaimana kita sebagai anak-cucunya bisa membaca perjalanan panjang itu, Saudaraku?
Kalau kita mengamini kedua artikel di atas, ada uraian tentang visi-misi terbentuknya Dewan Kesenian Bogor sebagai usaha menyekat dan mempertahankan agar kebudayaan luar tak masuk lebih jauh menggerogoti seni-budaya Bogor. Dewan Kesenian Bogor pula dibentuk dengan maksud untuk memelihara, mengembangkan dan menyalurkan aspirasi, dan daya apresiasi yang berkembang secara wajar (dipandang dari segi etis dan estetis) di dalam masyarakat Bogor, dengan tujuan untuk meningkatkan nilai budaya masyarakat. Apakah benar kenyataannya demikian?
Sebagai anak-cucu yang hidup di masa kini, kita mesti melihat kenyataannya dengan seksama hari ini, arsip perjalanan panjang kesenian dan kebudayaan Bogor sendiri ada di mana rimbanya sekarang, kita tak tahu. Di mana arsip catatan, rekaman, pementasan, dan sebagainya tentang Ketuk tilu, kliningan, wayang golek, kerajinan tangan, bobodoran yang katanya contoh seni-budaya yang perlu dijaga itu, kita juga tak tahu – sebab Dewan Kesenian Bogor tak memberikan kita informasi tentang itu. Bahkan kacapi-pantun dan cerita-pantun Bogor sendiri sulit dan bahkan tak bisa ditemui oleh kita sebagai anak-cucunya dewasa ini, baik naskah maupun rekamannya (baca: mitologi warisan kebudayaan dan metodologi wahana kesejarahan).
Dengan begitu, apakah usaha dibentuknya Dewan Kesenian Bogor yang katanya hendak menjaga nilai seni-budaya itu berakhir dengan kegagalan? Itulah mengapa, di satu sisi saya sepakat dengan catatan Ryana bahwa, sampai sejauh ini ketika sudah terbentuknya Dewan Kesenian Bogor atau Badan Peneliti dan Pengembangan Kebudayaan itu tak selalu berhasil menjaga perwujudan nilai kesenian dan kebudayaan itu sendiri. Tapi di sisi lain ada yang tak saya setujui dengan uraian yang disampaikan Ryana tentang, “secara ironis kita merasa malu, bagaimanakah lembaga (Dewan Kesenian Bogor) yang akan dibentuk ini akan “membina” kebudayaan kalau hal-hal yang esensial tentang kebudayaan tidak dimengerti sama sekali. Kebanyakan dari mereka masih mengira pembinaan kebudayaan cukup dengan menyelenggarakan Ketuk tilu, kliningan, wayang golek, dan sebangsanya secara rutin, berikut anggaran biayanya.”
Titik-tolak ketidak-setujuan saya ialah bahwa, di Dewan Kesenian Bogor masih ada sosok yang akhirnya menjaga seni-budaya itu sendiri, seperti Saleh Danasasmita dan Eman Sulaeman yang secara pribadi (walaupun mereka berdua seniman sekaligus duduk di kursi pemerintahan) telah memberikan warisan penziarahan dan pemikirannya. Saleh dalam buku Sejarah Bogor dan buku lainnya, dan Eman Sulaeman dalam buku Toponimi Kota, Kabupeten Bogor, dan Kota Depok, serta buku lainnya. Dan mungkin saja Ryana lupa, mestinya ia mengkritik bagaimana pentingnya pengarsipan terhadap kerja seni-budaya Bogor itu sendiri. Kalau Ryana waktu itu (tahun 1971) juga menguraikan pentingnya pengarsipan, mungkin setelah periode Saleh dan Eman usai, akan terbentuk prosesi-mengakar agar tak mengalami tumbang dan bobrok Dewan Kesenian Bogor (Kota ataupun Kabupaten) seperti sekarang ini.
Lalu saya juga kurang setuju dengan pernyataan Deddy dalam catatannya yang menguraikan bahwa, “sebab pembinaan dan pengembangan kesenian, sebenarnya cukup dengan fasilitas yang penuh dari Pemerintah Daerah kepada organisasi-organisasi kesenian yang aktif. Dan kalau sekarang Bogor nampak lesu dari kegiatan-kegiatan seni yang baik, masalahnya bukanlah semata-mata karena tidak adanya Dewan Kesenian Bogor, tetapi karena tidak adanya fasilitas yang diberikan pemerintah daerah kepada para seniman.” Saya kurang menyetujui, jika uraian itu dihadirkan pada contoh kehidupan seni-budaya Bogor dewasa ini. Pada tahun 1971-1972, mungkin fasilitas merupakan wahana utama. Sebab hari ini fasilitas di Bogor lumayan cukup memadai, walaupun jika dibandingkan dengan Kota-kota lain, tentu Bogor masih jauh di bawah rata-rata fasilitas ruang seni-budayanya.
Kritik terhadap uraian Deddy tersebut jika diadopsi hari ini letaknya masih sama dengan uraian Ryana, bahwa sejak dibentuknya Dewan Kesenian Bogor, mereka lupa tak ada yang mengingatkan akan pentingnya pengarsipan. Ryana maupun Deddy terbuai dengan ruang fasilitas seni budaya, anggaran dana, dan selalu memandang ke depan terhadap perkembangan seni-budaya modern. Padahal, sebelum memandang masa depan, sudah seharusnya kita belajar hal-hal tentang masa silam, dengan begitu kita bisa meng-elaborasi masa silam dengan seni-budaya yang hadir di masa depan, atau katakanlah kita memiliki dasar seni-budaya masa silam dan sejarahnya, sebelum mengadopsi seni-budaya yang akan datang.
Baiklah kita lihat dengan seksama kembali, sampai sejauh ini, selain karya-karya Saleh dan Eman, apakah periode Dewan Kesenian Bogor menghasilkan kerja penelitian pribadi maupun kelompok terkait karya yang meninjau kelanjutan kesejarahan-kebudayaan yang telah dicontohkan oleh Saleh dan Eman? Apakah nilai seni-budaya dan kesejarahan Bogor sudah tuntas ditulis? Jika itu tak ada, sudah sewajarnya wujud kesenian tentang Bogor pun akan bobrok dengan sendirinya, toh kita sudah sah menjadi Malin Kundang pada akhirnya, lupa di mana kita berpijak dan di mana kita berasal.
Kita lupa ternyata sampai sejauh ini tak ada usaha untuk melakukan dan melanjutkan kerja penelitian sejarah-budaya serta kesenian tentang Bogor, dan yang lebih parah kita lupa tak ada pula usaha melestarikan dalam bentuk pengarsipannya. Bukankah sangat jelas dampaknya hari ini, kerja pengarsipan wajib dilakukan Dewan Kesenian Bogor (Kota maupun Kabupaten) sebagai bentuk evaluasi kerjanya, agar terbentuk pengarsipan yang lengkap mengenai kekayaan pengetahuan masa silam yang dapat diulas-kembangkan oleh anak-cucu kita di-kemudian hari, sekaligus bekal menempuh masa depan!
Kalau ada yang kekeh bilang kebudayaan Bogor kita dimulai dengan budaya tutur, saya menolak dengan keras. Kalau budaya kita tutur, tak mungkin ada artefak situs Purnawarman dan Siliwangi, maupun Tarumanagara dan Pakuan Pajajaran. Kalau mereka masih kekeh kebudayaan kita selalu tutur, tak akan mungkin ada naskah kuna dan catatan-catatan kebudayaan Sunda lainnya. Maka, bukankah jelas, kehidupan Bogor terhadap pengarsipan malah mundur, dibandingkan masa silamnya. Ayolah, para sepuhku di Dewan Kesenian Kota dan Kabupaten Bogor, mau sampai kapan tak mementingkan kerja pengarsipan ini?
Mereposisi dan Merevitalisasi Dewan Kesenian Bogor
Sudah sewajarnya kita mulai mereposisi serta merevitalisasi kerja Dewan Kesenian Bogor (Kota dan Kabupaten). Saya menyarankan Dewan Kesenian Bogor, pertama, untuk memfokuskan diri tentang pentingnya kerja pengarsipan dan penelitian terkait seni-budaya dalam kesejarahan di Bogor itu sendiri. Walaupun kita mempunyai Dinas Arsip Pemerintah, menurut hemat saya sangat mustahil mereka memiliki dokumen lengkap. Dalam hal ini saya berani tegas-lugas mengatakan bahwa Dinas Arsip bahkan tak akan memiliki sumber-data dokumen yang bertalian dengan seni-budaya dalam kesejarahan Bogor (kalau tak percaya, sila cek sendiri ke tempatnya). Mungkin punya, hanya persoalan sumber-data birokrasi pemerintahan, dokumen keuangan, jumlah kependudukan, dan sebagainya, yang tentu tak memiliki ikatan dengan seni-budaya bahkan kesejarahan Bogor.
Kita ambil contoh kerja DKJ yang sejak semula dibentuk memilik dan menyimpan dokumen bagaimana prosesi DKJ dibentuk, bagaimana polemik seni-budayanya terjadi, bagaimana karya-karya para seniman-budayawan-nya tersimpan rapi, sebagaimana Esha menjelaskan (dalam wawancaranya di kanal-youtube: Alinea ID) box-arsip yang berisi dokumen kurang-lebih 1001 arsip, belum kaset, buku program, dan lain-lain. Hal itu akan menjelaskan cara berpikir kita memandang Bogor, bahwa Dinas Arsip Pemerintah Jakarta sendiri pastilah tak memiliki apa yang dimiliki pengarsipan DKJ.
Bukankah contoh itu sangat jelas, bahwa Dewan Kesenian Bogor mesti memulai kerja pengarsipannya, mesti memulai mencari mengumpulkan arsip yang hilang, atau kalau semua arsip memang tak bisa didapatkan wujudnya, maka sudah waktunya mencatat semua ingatan para sepuh terhadap peristiwa-kejadian yang terjadi di masa lalu, baik tentang terbentuknya Dewan Kesenian Bogor, tentang kesenian apa saja yang ada di Bogor, kebudayaan apa saja yang bertahan dan berkembang, dan seterusnya.
Saya rasa kita akan sepakat, bahwa pengarsipan merupakan cara mempertahankan identitas sejarah-budaya. Pengarsipan dapat menjaga dan memperkuat identitas budaya Bogor, termasuk perjalanan keseniannya. Tanpa pengarsipan yang baik, sebagian besar warisan seni-budaya sudah dipastikan akan hilang dan terlupakan, sebagaimana yang terjadi di Bogor hari ini. Dan melalui pengarsipan, input-output-nya memberikan sumber-data berharga bagi pendidikan dan penelitian anak-cucu di masa mendatang, atau lebih khususnya dapat digunakan oleh para peneliti, akademisi, dan pelajar yang ada di Bogor maupun di luar Bogor untuk memahami perkembangan seni-budaya Bogor dalam pusaran waktunya.
Itulah mengapa, pada dasarnya kerja pengarsipan membantu melestarikan sejarah dan warisan budaya. Dengan mengarsipkan karya seni, dokumentasi sejarah, dan informasi terkait, kita dapat memastikan bahwa elemen-elemen penting dari budaya tersebut tetap ada untuk masa depan, sebagai bekal pembelajaran. Lebih jauh dari itu, bahkan pengarsipan seni-budaya dapat menjadi sumber inspirasi bagi seniman dan pegiat-kreatif masa kini. Melalui pemeriksaan karya-karya yang tercipta di masa lalu, kita dapat menemukan ide-ide baru, mengolah-mengelaborasinya, atau membangun dan mengembangkan tradisi seni-budaya yang sudah ada.
Kedua, saya akan mencoba menawarkan semacam langkah seperti apa yang mesti Dewan Kesenian Bogor tempuh. Poin 1: mulailah dengan merancang rencana pengarsipan yang jelas. Identifikasi jenis materi yang harus diarsipkan, seperti lukisan, patung, dokumentasi acara seni, alat musik dan rekamannya, catatan sejarah seni-budaya, dan sebagainya. Poin 2: Dewan Kesenian Bogor mesti membentuk tim pengarsipan yang terdiri dari ahli seni, sejarawan, budayawan, dan pegiat-kreatif-seni yang rela terjun di dunia pengarsipan. Mereka dapat bekerja sama untuk mengidentifikasi, mengkatalogkan, dan melestarikan bahan-bahan seni-budaya-sejarah tersebut. Poin 3: Dewan Kesenian Bogor meminta haknya sebagai lembaga penjaga-pengembang seni-budaya, dengan meminta anggaran dana pada pemerintah sekaligus fasilitas dan infrastruktur yang diperlukan untuk melestarikan bahan-bahan seni-budaya tersebut, hal ini termasuk tempat penyimpanan yang sesuai, pengaturan suhu dan kelembaban yang optimal, serta sistem keamanan yang memadai.
Jika kerja-kerja di atas sudah dilakukan, maka wujud dokumen fisiknya itu secara bertahap mesti dilakukan digitalisasi, lebih khusus materi-materi berharga seperti dokumen sejarah, foto, rekaman pentas budaya, atau polemik catatan mengenai seni-budaya itu sendiri. Hal tesebut tentu tak hanya meningkatkan aksesibilitas, tapi juga memberikan lapisan perlindungan tambahan dalam menjaga kerja pengarsipan. Setelah itu, puncaknya ialah melakukan program pendidikan-seni-budaya pada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya seni-budaya dalam pusaran sejarah Bogor terhadap pengarsipannya yang lebih berkelanjutan. Saya rasa dengan langkah-langkah ini, Dewan Kesenian Bogor dapat memulai kembali pengarsipan seni-budayanya, merawat dan melestarikan warisan seni-budaya dalam pusaran sejarah Bogor untuk generasi mendatang.
Daripada Dewan Kesenian Bogor sibuk menghadirkan acara puisi-puisian, diskusi-diskusian, teater-teateran, dan selalu membikin pertunjukan musik tradisional, bukankah lebih baik mencatat dan membikin penelitian-pengarsipan terlebih-dahulu, sejak kapan kerja puisi tumbuh-berkembang di Bogor? Apakah proses kreatif puisi yang tumbuh di Bogor, merupakan suatu perkembangan dari kerja seni pantun Sunda, atau hasil elaborasi naskah-naskah Sunda Kuna, sebagaimana Bujangga Manik, Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian, Amanat Galunggung, dan sebagainya? Atau kerja puisi di Bogor berkembang malah mengadopsi sejarah puisi Melayu? Pertanyaan tersebut berlaku pula untuk acara diskusi-diskusian, teater-teateran, dan persoalan pertunjukan musik tradisional. Pokoknya segala sesuatu terkait seni-budaya, bukankah mesti memiliki dasar-sumber dan memiliki arsipnya yang mesti dijaga?
Menurut saya itu lebih berharga, dibandingkan terus berkutat dan sibuk membikin acara-acara yang tanpa dibekali dasar catatan pengarsipannya. Kecuali Dewan Kesenian Bogor sudah melakukan pengarsipan itu semua, maka melestarikan acara-acara itu juga penting tentunya. Tapi toh pada kenyataannya Dewan kesenian Bogor belum melakukan pengarsipan, dan sudah semestinya kembali ke akar-sumber terlebih-dahulu, mengulas semua dasar seni-budaya yang ada di Bogor terlebih-dahulu dalam kerja pengarsipan catatan, gambar, dokumen rekaman, dan sebagainya.
Persoalan pengarsipan seni-budaya yang tak disertai catatan kesaksian bisa kita lihat bersama, bagaimana dampak (bobroknya) kerangka-cara berpikir kepengurusan Dewan Kesenian Bogor periode setelah Saleh dan Eman usai. Saya berbicara demikian sebab memiliki bukti yang bisa kita refleksikan. Pertama, silakan tonton diskusi atau katakanlah semacam ngobrol-ngobrol Dewan Kesenian Kabupaten Bogor dan media bernama Cikindo-Channel di kanal-Youtube-nya (26 Mei 2021). Dalam ngobrol-ngobrol itu, media Cikindo sebagai moderator acara bertanya pada anggota-kepengurusan Dewan Kesenian Kabupaten Bogor. Begini percakapannya: Menurut Bapak dan Ibu, seperti apa kebudayaan Bogor hari ini sih?
Salah-seorang menjawab yang sengaja tak saya sebutkan namanya di sini, kebudayaan Bogor itu seperti adanya sekarang. Kebudayaan Bogor itu adalah kebudayaan Sunda. Kebudayaan Sunda yang ada di Kabupeten Bogor itulah kebudayaan Kabupaten Bogor. Salah-seorang temannya menambahi bahkan membantah pendapat yang pertama, ia mengatakan, dan memang Kebudayaan Kota dan Kabupaten Bogor, tidak bisa lagi hanya kebudayaan Sunda, hegemoni masyarakat dan heterogenitas masyarakatnya sudah mencampur-baur suku-etnis lain di Kabupaten Bogor, mengakibatkan budaya baru: ialah budaya-ngarti (mengerti).
Mendengar obrolan itu, sangat membuat kita jauh dari wujud-makna kebudayaan itu sendiri, bahkan jauh sekali dari jawaban yang saya harapkan. Ketika mendengar pertanyaan moderator, dan ketika mereka belum menjawabnya, saya membayangkan jawabannya akan berkait-kelindan antara persoalan seperti apa kebudayaan Bogor masa silam, masa kini, dan nanti. Atau sederhananya seperti apa kebudayaan Bogor masa silam dan bagaimana kebudayaannya kini. Namun yang saya dapatkan malah kekeliruan memandang kebudayaan bahkan ketidak-mengertian anggota Dewan Kesenian itu mencerna pertanyaan yang disampaikan moderator.
Padahal jelas, poinnya adalah seperti apa kebudayaan Bogor hari ini? Maka seharusnya – jawabannya akan mengulas tentang bagaimana kebudayaan Bogor di masa lalu, pada kurun waktu tertentu itu diulas kebudayaannya apa dan bagaimana, dan apakah masih hidup-berkembang kebudayaan masa lalu itu pada dewasa ini. Jika kebudayaan Bogor yang silam itu telah lenyap, mestinya diuraikan penyebab-persoalannya, dan lalu hari ini melahirkan kebudayaan yang seperti apa. Itu kerangka jawaban yang saya tunggu-tunggu, namun kenyataannya tak saya dapatkan dari kerangka-cara-berpikir para pengurus Dewan Kesenian Kabupaten Bogor. Dengan begitu jelaslah, bahwa Dewan Kesenian Kabupaten tak memiliki pengarsipan tentang kebudayaan Bogor, tak mempunyai tulisan refleksi tentang kebudayaan Bogor, atau jangan-jangan mereka tak mengerti sama-sekali tentang apa itu kebudayaan?
Berbeda dengan Dewan Kesenian Kabupaten Bogor yang dapat saya telusuri kerangka-cara berpikirnya dalam diskusi di kanal-youtube, Dewan Kesenian Kota Bogor tak saya temukan pernah melakukan suatu diskusi, menyebabkan sulit untuk menerka-kira bagaimana cara-kerangka berpikir kepengurusan Dewan Kesenian Kota Bogor itu seperti apa, apakah sama saja dengan Dewan Kesenian Kabupaten Bogor. Namun, saya berani pula mengatakan, bahwa Dewan Kesenian Kota Bogor sedikit lebih jauh mengerti tentang sejarah-budaya Bogor, dibandingkan Kabupaten. Kesamaannya terletak pada tak peduli dengan kerja pengarsipan itu sendiri, Kota maupun Kabupaten sama-sama seperti anti-menulis, akibatnya segala persitiwa-fenomena hanya hadir dalam ocehan mulut ke mulut dan hilang ditelan zaman.
Persoalan tersebut bisa kita lihat dalam kanal-youtube Media Jabar TV Chanel (2018), berjudul Rusak Situs Cagar Budaya Nasional “Situs Sumur Tujuh”, Ketua Dewan Kesenian Kota Bogor Angkat Bicara. Dalam aksi tersebut, peristiwa persoalannya terjadi dalam ocehan mulut saja, tak ada catatan khusus untuk meninjau mengapa Cagar Budaya Situs Sumur Tujuh mesti dijaga, yang dibagikan pada khalayak masyarakat. Padahal Ketua Dewan Kesenian Kota Bogor Usmar Hariman itu mengatakan, “dari aspek kajian kita tentang Situs Sumur Tujuh ada sejarah yang berkaitan erat, dan memang ini harus menjadi perhatian cukup serius sebagai ahli-waris dari Kerajaan Pajajaran.” Padahal peristiwa ini sangatlah penting, jika memang kajiannya itu ditulis dalam bentuk esai, opini, atau apalah bentuknya, mengapa tak dibagikan ke khalayak masyarakat? Di-simpan di mana catatan kajian itu, agar anak cucu hari ini bisa membacanya?
Dari awal saya selalu menyatakan pengarsipan, pentingnya pengarsipan secara terbuka. Dan ketika catatan ini akan saya jeda, saya masih akan terus mengatakan Dewan Kesenian Bogor (Kota maupun Kabupaten) harus meninjau kembali posisi, mereposisi dan merevitalisasi kerjanya: fokus pada pengarsipan seni-budaya di Bogor, sekaligus merambat ke pengarsipan sejarah perkembangan seni-budaya tentang Bogor itu sendiri. Setelah itu selesai, barulah meng-elaborasi segala hal yang memang perlu di-tumbuh-kembangkan terhadap seni-budaya modern. Itu saja harapan dan impian saya sebagai anak-cucu yang lahir dan hidup di Bogor ini untuk para sepuh-ku di Dewan Kesenian Bogor.
Tanpa mengurangi rasa hormat, saya minta maaf pada para sepuh sekalian, jika ada salah kata dan tinjauan dalam catatan ini, mohon dengan sangat diluruskan. Tapi saya berharap diluruskan melalui reaksi catatan (esai-opini, atau terserah-lah dalam bentuk apalah itu) yang seperti saya lakukan ini, bukan malah mengolok-ngolok saya di laman media sosial atau menggibah di grup-WhatsApp para sepuh sendiri. Mari kita tumbuh-kembangkan kembali kerja kritik-saran dalam bentuk pengkaryaan, dalam kerja sebuah tulisan.
Dengan begitu, saya juga akan merasa senang jika diundang ngopi-ngopi di kantor Dewan Kesenian Bogor, kalau pada akhirnya catatan ini mengganggu perasaan para sepuh sekalian, saya siap bertanggung-jawab. Ditambah saya sekalian bisa mengajukan permohonan agar sekalian saja membikin simposium antara Dewan Kesenian Kota dan Kabupaten Bogor dengan para seniman dan pegiat-kreatif muda hari ini. Sebab banyak sekali kelompok kreatif dan seniman muda di Bogor hari ini yang sudah semestinya menggantikan peran sepuh sekalian di Dewan Kesenian Bogor, agar para sepuh dapat beristirahat dengan tenang, sambil menikmati kopi atau teh di sore hari, ketika hujan turun membasahi Bogor tercinta kita ini.
Namun sebelum mengundang saya ngopi-ngopi, saya berharap dengan amat sangat, agar di-lurus-reaksikan terlebih-dahulu catatan saya ini oleh catatan para sepuh sekalian. Tenang saja, mengenai media publikasinya, para sepuh bisa mengirimkan tulisannya di laman-web halimunsalaka.com (melalui email: redaksihalimunsalaka@gmail.com), jika media lain tak ada yang mau menampungnya.
Sekali lagi, tanpa mengurangi rasa hormat, hapunten dan hampura para sepuh-ku di Dewan Kesenian Bogor. Aku Cinta Padamu!***
Pamijahan-Bogor
Akhir Desember, 2023
Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.