Menulis dari Bawah Tanah: Zine Adalah Taman Liar Kepenulisan

Menulis dari Bawah Tanah: Zine Adalah Taman Liar Kepenulisan

Scholars Consulting Books and a Globe

Dalam dunia yang seragam dan dikurasi rapi estetika pasar, ada satu medium yang diam-diam melawan: Zine. Media Alternatif di tengah bisingnya wacana arus utama. Ia tidak lahir dari percetakan besar, tidak dipoles oleh editor modal, dan tidak dijinakkan oleh standar industri. Ia muncul dari sudut-sudut kesunyian, dari tangan yang gelisah tapi jujur, dari mereka yang menulis bukan untuk disukai, tapi untuk menyatakan: aku ada, dan pikiranku sah untuk disuarakan.

Zine hadir seperti lembaran yang salah cetak—cacat menurut standar industri, kepenulisan yang nyaris liar tapi justru menyimpan kejujuran yang tak bisa ditemukan di tempat lain. Ia bukan sekadar media alternatif, tapi protes yang diam nyaring suaranya terhadap sistem pengetahuan yang sering kali menyingkirkan yang kecil, yang pribadi, yang tidak populer. Zine bukan ingin menyamai media besar. Ia memilih menjadi kecil, agar bisa lebih leluasa masuk ke sela-sela kenyataan yang sering luput, mendobrak segala yang tak mungkin.

Dalam konsep kepenulisan, zine tidak tunduk pada format baku, tidak takut typo, tidak gentar melawan ejaan dan justru menyuburkan kekacauan yang politis. Di situlah letak kekuatannya—sebagai ruang alternatif yang tidak disensor oleh tuntutan viralitas—dan tidak dikebiri oleh logika pasar.

Jika buku adalah rumah dengan pagar penerbit dan protokol akademik, maka zine adalah tenda liar di pinggir hutan. Ringkih, mungkin, tapi bebas.

Zine dan Politik Penulisan

Setiap tulisan membawa ideologi. Tentu zine tidak menutupi itu—ia bahkan menelanjangi niatnya sendiri. Ia politis, rebel, personal, marah, ragu, cinta, sakit, sekaligus merdeka. Dalam banyak kolektif akar rumput, zine menjadi senjata untuk melawan narasi besar yang menyingkirkan mereka.

Apa yang dilakukan zine-zine ini bukan sekadar menerbitkan tulisan. Ia adalah pengarsipan alternatif dari realitas yang tidak masuk arsip resmi. Ia bukan sekadar membicarakan topik marginal, tapi juga mempraktikkan cara produksi pengetahuan yang non-hirarkis, kolaboratif, dan berbasis kebutuhan komunitas.

Zine tidak menyamar sebagai netral. Ia berpihak. Ia subjektif. Dan dalam keberpihakannya itulah ia menemukan kekuatannya: keberanian untuk membentuk ingatan kolektif dari bawah, dari yang sering tak dianggap penting. Beberapa komunitas akar rumput seperti Pasar gratis, Oraetlitera, Lapak baca dan masih banyak lagi, dalam kepenulisanya ia dipakai untuk membongkar patriarki, menjebol kolonialisme budaya, hingga mengabadikan ingatan lokal yang terus dihapus dari kurikulum. Penulisan dalam zine adalah tindakan melawan bisu. Bukan hanya soal menyampaikan isi kepala, tapi soal merebut ruang: dari ruang media, ruang akademik, hingga ruang narasi yang terlalu lama dikendalikan oleh suara-suara dominan.

Estetika Ketidaksempurnaan

Zine tidak rapi. Dan justru di sanalah estetikanya. Potongan gambar dari koran, tulisan tangan yang miring, font aneh, tumpukan kertas hitam-putih hasil fotokopian—semuanya seperti jejak dari dunia bawah tanah yang tidak ingin disamakan dengan dominasi budaya digital hari ini. Di balik kerusakan-kerusakan bentuk itu, ada semangat yang utuh. Zine adalah kejujuran yang dibiarkan mentah, bukan karena malas diperbaiki, tapi karena justru di situlah ia jujur. Ia anti-standar bukan demi estetika, tapi demi keberanian: untuk tetap menjadi diri sendiri ketika semua media dipaksa seragam.

Zine juga menolak mitos penulis tunggal yang jenius dan terpisah dari masyarakat. Dalam komunitas akar rumput, zine adalah kerja kolektif. Ia lahir dari diskusi, cetak bareng, potong-tempel rame-rame, dan distribusi melalui tangan ke tangan, tanpa perantara korporasi atau toko buku besar.

Zine Hari Ini: Antara Romantisisme dan Perlawanan Baru

Zine memang pernah menjadi ikon budaya alternatif di era 80–90an. Namun di era digital, ia justru menemukan bentuk-bentuk baru: e-zine, risograph zine, hingga kolaborasi komunitas yang memadukan analog dan digital. Tapi apapun bentuknya, ruh zine tetap sama: menolak dibungkam.

Dan kini, ketika dunia penulisan semakin dikurung oleh angka engagement, zine adalah pintu rahasia—menuju bentuk penulisan yang lebih jujur, lebih bebas, dan lebih manusiawi. Beberapa Contoh Zine yang Bicara Keras

“Teroka” (Bandung): Zine kolektif yang digawangi oleh komunitas literasi dan aktivisme lingkungan. Dalam setiap edisinya, Teroka memadukan puisi, esai, dan dokumentasi visual tentang ekologi, krisis agraria, serta praktik hidup berkelanjutan. Penulis-penulisnya bukan akademisi, melainkan petani muda, anak punk, dan warga kampung kota. Ini adalah bukti bahwa narasi perubahan tidak selalu lahir dari ruang kuliah—ia bisa tumbuh dari sawah, lorong, dan bahkan pinggir kali.

“Katalis” (Makassar): Lahir dari ruang kolektif anak muda yang terlibat dalam advokasi HAM dan demokrasi lokal. Katalis menulis ulang sejarah kota dari sudut pinggiran: penggusuran nelayan, represi aparat, sampai perjuangan komunitas adat. Zine ini menjadi dokumentasi penting atas peristiwa yang tak pernah masuk berita. Ia adalah sejarah tandingan, yang ditulis dari bawah.

“Hak Atas Kota” (Bogor): Zine kolektif yang berisi catatan tentang kota sebagai medan konflik antara kekuasaan dan rakyat. Tentang bagaimana rencana pembangunan seringkali jadi alat kekerasan struktrul: menggusur, menghapus sejarah lokal, dan bahkan menjadikan warga sebagai angka dalam dokumen proyek, bukan sebagai subjek yang hidup.

Zine Sebagai Rumah Bagi Narasi Liar”

Jika penulisan hari ini adalah industri besar dengan pagar yang tinggi dan seleksi ketat, maka zine adalah taman liar tempat siapa pun bisa tumbuh, meski miring, meski kecil, meski tak dikenali. Tapi justru di sana, kehidupan kembali terasa otentik. Zine membentuk ekosistem alternatif dalam lanskap pengetahuan. Ia seperti hutan kota kecil di sela beton, tempat burung-burung aneh bersarang, jamur tumbuh di batang lapuk, dan bunga liar mekar di antara reruntuhan.

Jadi, jika hari ini menulis terasa seperti menanam di ladang yang bukan milik kita, zine adalah cara untuk membuat kebun kita sendiri, sekecil dan semiring apa pun bentuknya. Karena tidak semua tulisan ingin menjadi taman kota. Sebagian hanya ingin tumbuh, liar, dan merdeka. Tidak semua tulisan ingin jadi buku. Sebagian cukup ingin jadi bisikan. Disalin tangan ke tangan. ditemukan di sudut kafe, atau lemari perpustakaan komunitas. Tapi maknanya bisa lebih nyaring daripada headline halaman depan. Zine tidak meminta untuk dikenal. Tapi ia tahu bagaimana cara membuat orang merasa dilihat.