dok. laidenuniversty x cover kabayan
Saya turut bahagia sekaligus putus-asa ketika beberapa Kawan semangat-geliat ingin mengadakan semacam simposium atau riungan bersama, agar tercipta suatu wahana proses kreatif bersama-sama menyangkut Bogor, lebih khususnya terkait Surat-surat untuk Bogor (yang diinisiasi Halimun Salaka) sebagai bentuk perayaan-tinjauan Hari Jadi Bogor ke-542 nanti (3 Juni 2024): masa lalu seperti apa, hari ini bagaimana, dan masa depan akan seperti apa? (baca: apa yang kita bicarakan, ketika kita membicarakan tentang Bogor?).
Bahagia karena menjadi harapan saya sendiri jika terjalin ikatan Kota Bogor dan Kabupaten Bogor dalam membikin pengkaryaan bersama terkhusus dunia kepenulisan, tanpa sekat apa dan siapa, siapa dan apa. Putus-asa karena Kota Bogor dan Kabupaten Bogor sendiri, kita ketahui bersama, entah dari Pemerintahannya atau masyarakat (para sepuhnya) sendiri masih banyak yang seperti tokoh (dalam cerita Kabayan yang banyak versi peristiwanya itu) anggaplah Si Abah, bapak mertuanya si Kabayan, yang mana kita hafal dalam ingatan kolektif, selalu memandang rendah Kabayan) dalam arti lain serupa kita semua pegiat muda kreatif yang sering dipandang pemalas, pengangguran, masih anak kemarin-sore, atau terlalu geliat dan tak tahu sopan-santun, dan tentu masih banyak anggapan lainnya.
Entahlah apa praduga-prakira saya ini tepat atau bahkan keliru, toh Ekosistem pengkaryaan di Bogor serupa pohon yang baru ditanam hari ini di kebun kelahiran dan pengembaraan kita. Artinya, pohon pengkaryaan kita kembali pada tunas (tunggul-kawung), sebab pohon pengkaryaan para pendahulu kita sebelumnya tumbang-lenyap oleh zaman. Itulah mengapa rasanya saya percaya keriuhan serupa hal itu masih melekat-terjadi di Kota kelahiran (atau pengembaraan) kita bersama: Bogor.
Ketika saya belajar meninjau kembali cerita-cerita si Kabayan yang teramat banyak versinya itu, ada nilai terpendam dari dunia sufistik yang ternyata bisa menjadi hambatan sekaligus bisa juga menjadi pembelajaran dan malahan bisa menjadi jalan penerangan untuk kita bisa keluar dari labirin redup-tenggelamnya pengkaryaan bersama di Bogor, lebih luasnya mungkin bisa ke persoalan jalan panjang kesejarahan, kesenian, kebudayaan, dan seterusnya, mengenai Bogor itu sendiri.
Coba silakan direnungi bersama, ada hubungan apa cerita Si Kabayan dengan kerja kreatif kita dewasa ini?
Dengan melihat dan membaca tokoh Si Kabayan dalam banyak versi cerita masyarakat kita, atau Sunda umumnya, mungkin kita hanya mengenalinya sebagai sosok Kabayan si tokoh pelawak dengan istilah kebodohannya, bukan? Tapi, mungkinkah kita akan melihat lebih jauh dari itu, nilai-nilai tersebut berasal dari sifat jujur pada diri (si Kabayan) tetap ada dan selalu dipertahankan (dalam hal itu, jika kita percaya Tuhan, ada semacam nasib yang diperjalankan oleh-Nya membawa Si Kabayan hadir di tataran Parahiyangan). Sebab cerita si Kabayan, jika kita telusuri bersama, kurang atau lebih mungkin sudah tersedia sebanyak 140 cerita (sebagaimana uraian Ajip maupun Jacob) pelbagai versi yang dikumpulkan sebagian orang-orang pribumi dan orang-orang asing pra dan pasca zaman kolonial, merupakan tinjauan muatan makna tokoh Kabayan yang begitu paradoksal, tidaklah memuat satu kesimpulan. Kerumitan yang menarik itulah yang harus kita telusuri bersama, serupa kita menelusuri arsiparis tentang Bogor yang rumit.
Dan pengkaryaan Bogor, saya rasa, serupa dengan si Kabayan yang paradoksal itu, bahkan jauh lebih rumit serupa ketika kita sedang mendaki Gunung Salak, harus menghadapi pemandangan yang akan kita temui: diselumuti kabut tebal dan hujan lebat. Sebagai contoh, dalam buku Sejarah Bogor olahan Saleh Danasasmita, kita akan dihadapkan dengan sembilan pokok isi muatan pembahasan mengenai putaran sejarah Bogor. Pertama, seputar nama Bogor dan Pakuan. Kedua, mengenai lokasi Pakuan dari berbagai data-sumber asing, naskah tua, dan refleksi hasil penelitiannya. Ketiga menelisik Pakuan sebagai Ibu Kota Kerajaan Sunda: Kerajaan Sunda yang merupakan pecahan Tarumanagara sampai ke pemerintahan Sri Jayabupati. Keempat masuk ke pembahasan zaman Pajajaran: Kawali sebagai Ibu Kota baru dan puncak perkembangan Pakuan. Kelima menghadirkan struktur Raja-raja Pakuan Pajajaran dari Sri Baduga Maharaja sampai Suryakencana.
Sedangkan bagian keenam, memasuki Bogor sebagai tunas Pakuan Pajajaran, dari masa tilem, sampai tokoh Tanujiwa (dan kompeni Belanda) sebagai peletak dasar hunian Bogor, arsip peristiwa letusan Gunung Salak, penanaman kopi sebagai cakrawala baru, dan Bogor sebagai sirung Pajajaran. Lalu bagian ketujuh nilai-nilai warisan budaya Sunda yang diambil dari naskah tua bernama Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian: dari dasakerta, Tapa di Nagara, Panca Parisuda, Hidup yang penuh berkah, Parigeuing dan Dasa pasanta, Tritangtu di Bumi. Delapan dan sembilan, kita akan menemukan sekelumit sekitar persoalan Hari Jadi Bogor yang bahkan setengah-setengah bahasannya, tentang masalah tanggal kelahiran dan Bogor sebagai alur kehidupan, serta lampiran-lampiran silsilah Sunda-Galuh, Pajajaran, dan nama Raja-rajanya.
Dari semua uraian sub-masalah di atas, ketika kita baca secara keseluruhan dalam buku Sejarah Bogor, yang akan kita temui adalah jalan sejarah yang remang-remang, atau katakanlah belum utuh-lengkap. Dan sialnya, sampai sejauh ini, belum ada yang mampu meneruskan serta melengkapi buku olahan Saleh Danasasmita itu. Atau paling tidak, pasti kita akan menemui beberapa literatur-arsip buku yang kebanyakan hanya menyetir penelitian Saleh di atas. Dari buku Bogor Hari Esok dan Masa Lampau-nya Winarno, Toponimi Bogor-nya Eman Soelaeman, Bogor Masa Revolusi-nya Edi, Bogor Zaman Jepang-nya Susanto, Jalan Panjang Bogor-nya Dewi Pandji dan Bogor Tersenyum dalam keberagaman-nya Dewi Pandji – Ken Utami – dan Ratna Handayani.
Setelah semua literatur itu, rasanya Bogor masih sangat gaib jika ditelusuri sejarahnya, rasanya Bogor masih dalam kenangan dan peristiwa kita masing-masing, yang sebentar lagi akan rentan dimakan waktu jika tak dituliskan secara bersama. Bahkan, dari semua arsip di atas, malahan sebagian dari para sepuh dan budayawan Bogor khususnya, banyak membelot dari data-arsip yang ada di atas, dan lebih memegang kepercayaan yang terdapat pada Pantun Bogor, yang bahkan keberadaannya hari ini sulit kita temui salinan naskah maupun cerita utuhnya, sangat gaib dan membingungkan.
Lalu apa hubungan sekelumit pengkaryaan Bogor dengan si Kabayan?
Kabayan Sebagai Jembatan Pengkaryaan
Cerita si Kabayan yang mana kita kenali sebagai jenis cerita lucu, cerita humor, atau cerita jenaka? Memang, dari ketiga terminologi itu bahkan tidak memiliki perbedaan arti mendasar sampai saat ini. Ketiganya dapat saja diperlakukan sama dan dibantah pemaknaannya. Sekalipun demikian, terminologi yang hampir disepakati di kalangan para peneliti (sastra) pada umumnya merupakan cerita jenaka.
Hal tersebut, saya khususnya, sependapat dengan Jacob Sumardjo dan Ajip Rosidi, menyangkut cerita si Kabayan, yang mana Ia pernah mengemukakan bahwa sebagian naskah tentang Kabayan masih banyak mendasarkan persepsi populer, bahkan di masyarakat Sunda sendiri: Kabayan sebagai si polos, jujur, apa adanya, dan lugu kampungan. Kalau hanya tokoh semacam itu bukankah kita tak melulu mesti melihat nama Si Kabayan? Sebab, Si Kabayan itu, coba sesekali kita tinjau muatan sufismenya, memuat banyak nilai pemikiran yang alternatif. Dia, si Kabayan, jika dilihat dalam kaca-mata hari ini, di seberang kita sebagai manusia modern masa kini di Indonesia: kita sebagai hedonis, materialistik, egoistik, sekuler, konsumtif, bukan? Lihat, sedangkan si Kabayan sufisme adalah manusia spiritual yang tidak produktif secara duniawi tetapi kreatif dalam rohani. Itulah muatan lain dari pembelajaran mengenai si Kabayan dewasa ini.
Sejalan dengan itu, mari kita lihat berapa banyak pemimpin (pelayan masyarakat atau pemerintah di Bogor khususnya, atau masyarakat umumnya) kita dewasa ini yang punya nilai dimensi spiritual rohaniahnya melalui jalan seni dan budaya? Jika sedikit, kita bisa menjadi peran si Kabayan untuk melengkapi fenomena itu, menyempurnakan manusia hedonis-materialistik hari ini dengan dimensi spiritualnya. Itulah mestinya kerja pengkaryaan bersama kita menyangkut Bogor bisa meluas serta mengais wahana masa lalu yang gaib dan mencampurkannya dengan masa kini yang rariweuh. Seperti apa bedanya makna sejarah dan kenangan? Apakah kenangan bisa disejarahkan? Atau apakah sejarah bisa dikenang? Dan sebagainya.
Kita menyadari betul mengenai hal di atas, spiritual belaka tanpa kerja duniawi tidak dibenarkan agama mana saja. Sebaliknya, kerja duniawi tanpa spiritual juga akan rariweh atau rumit seperti propaganda dewasa ini. Dengan meninjau makna jalan cerita si Kabayan untuk dunia pengkaryaan kita di Bogor, bukankah akan sangat menarik? Riset-realisme hari ini, empirisme-pemaknaan masa lalu, dalam tinjauan mitos-dongeng-legenda-cerita: agar tercipta wajah pengkaryaan baru dalam riungan kita sebagai anak-cucu seni-budaya, mencipta dunia karya yang juga baru sesuai pemaknaan kita dan memperbaharui pemikiran masa silam para pendahulu, lebih khusus tinjauannya tentu dikhususkan pada Bogor. Dengan catatan: memperbaharui sebagai usaha pembelajaran, bukan menenggelamkan masa silam, tentunya.
Kita masuk pada salah-satu kutipan ceritanya yang menurut saya menarik, begini: pada suatu hari, dia (Kabayan) yang begitu bodohnya sehingga tidak dapat membedakan antara langit dan bayangannya di sawah, tidak bisa membedakan antara mayat dan orang hidup. Ada metafora tersembunyi di balik kata-kata tersebut bukan? Apakah manusia modern kita pernah berpikiran demikian, memandang perbedaan mayat dan orang hidup? Bisakah kita menjawab pertanyaan demikian? Atau jika kita sebagai Kabayan yang hendak mempertanyakan tentang Bogor ini, bukankah tak melulu harus menghadirkan nama Purnawarman dan Siliwangi? Taruma dan Pakuan? Bukankah kita bisa mengaduk-aduk antara 2 tokoh besar itu dengan kehidupan kita dewasa ini? Misalnya begini: dari rentetan pemaknaan kita mengenai perjalanan Kerajaan (Taruma sampai Pajajaran), entah mengapa siklus kehancurannya disebabkan oleh perebutan kekuasaan dan warisan (yang secara garis besar mereka para tokoh lampau itu masih satu turunan), apakah itulah cikal-bakal beberapa kasus orang Sunda dewasa ini sering mengalami keributkan hal-hal mengenai pembagian warisan dari orang-tua yang sudah meninggal?
Dari sedikit muatan cerita di atas, kita bisa melihat bahwa sifat dalam tokoh Kabayan semacam itu bukan tanpa sebab dan akibat, pasti dan selalu ada campur-tangan sifat Tuhan dan diri para pengarangnya, yang katakanlah bukan sembarangan menulis dan menceritakannya kembali. Tokoh yang membikin si Kabayan itu agaknya berkaca pada dunia sufi yang telah mencapai batas-batas makrifat dan mampu melihat kelemahan manusia secara humoristik, apalagi kerumitan hidup kita dewasa ini. Kejenakaan dan kesucian dalam diri Kabayan saling bertaut, apakah di dalam diri kita juga bersemayam hal tersebut?
Nah, dari studi kasus di atas, saya rasa kita bisa menjadi si Kabayan dalam jalan cerita Bogor ini. kita bisa mencatat dan memperbaharui kembali perjalanan Bogor melalui versi kita masing-masing, sesuai apa yang dialami dan dirasakan. Sesekali kita bisa kembali ke masa lalu membahas kabut Tarumanagara, kabut Kerajaan Pajajaran, hujan peperangan runtuhnya Pajajaran oleh Kesultanan Banten, hujan masa kolonial Belanda, hujan saat revolusi Jepang, atau tetek-bengek peristiwa silam lainnya. Lalu kita bisa pergi ke masa kini dan nanti, kita mulai bisa memandang Bogor sebagai Kota asing yang kita sendiri tak mengenali bentuk awalnya, kita ukir dengan wajah baru, harapan baru, istilah-istilah baru, fenomena-peristiwa baru, dan seterusnya, dan sebagainya. Lagi-lagi dengan catatan, masa lalu sebagai jembatan untuk menyebrang.
Kita sebagai Kabayan yang bodoh, polos, namun jujur, bukankah bisa juga ikut meramaikan geliat pemikiran alternatif lain menyangkut Bogor (dalam surat-surat untuk Bogor) itu sendiri? Atau kita sebagai Kabayan yang cerdas dengan menggandeng sufistik, bukankah bisa juga ikut meramaikan geliat pemikiran dan kenangan kita sendiri menyangkut Bogor melalui pengkaryaan bersama-sama? Kita (pegiat kreatif muda) sebagai Kabayan bisa ikut meramaikan propaganda serta menjahili tokoh yang serupa si Abah (para sepuh yang tengils), yupsss melalui pengkaryaan bersama, dengan pisau catatan kesaksian masing-masing untuk Bogor.***
Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.