Ong! Mitologi Warisan Kebudayaan dan Metodologi Wahana Kesejarahan #2

Ong! Mitologi Warisan Kebudayaan dan Metodologi Wahana Kesejarahan #2

Gambar: Dok. halimunsalaka di Galeri Bumiparawira


Ong! Ong! Ong!

Pada tulisan sebelumnya, baca: Mitologi Warisan Kebudayaan dan Metodologi Wahana Kesejarahan, saya telah mengurai-tanyakan apa dan bagaimana prosesi sulitnya pencarian arsip, lebih khusus mengenai kesusastraan di Bogor dalam muatan naskah pantun Bogor olahan Aki Buyut Baju Rambeng. Pada kesempatan sebelumnya pula, saya sudah mengatakan ada atau tidaknya terkait lanjutan data-sumber mengenai hal tersebut akan tetap saya lanjutkan. Dan inilah saatnya untuk melanjutkannya, walau dengan berat hati saya belum menemukan sumber lanjutan salinan foto-kopi seri naskah pantun Bogor serta belum berjodoh untuk berkunjung ke Sukabumi (ke Kabuyutan Giri Tresna Wangi), tempat di mana (praduga-kira saya) Ki Edy Yusuf menyimpan salinan naskah pantun Bogor.

Namun, pembaca tak perlu bersedih-hati dan berumit-pikiran. Sebagai gantinya, saya sudah menemukan data-sumber lain, yang setidaknya dapat menambah geliat propaganda kita bersama untuk masyarakat Bogor ini. Sumber-data pertama, dalam buku kumpulan catatan (berbahasa sunda) Ajip Rosidi yang berjudul: Pancakaki, terbitan Girimukti Pasaka – Bandung – 1996. Saya menemukan satu catatan menarik – yang mana Ajip membahas secara gamblang persoalan pantun Bogor. Lagi-lagi kita akan dihadap-temukan dengan sosok Ajip Rosidi dalam kerja kesusastraan, kebudayaan, bahkan kesejarahan Sunda khususnya. Sangat tak terbayangkan bagaimana kerja-kerjanya dahulu itu, dan ketika kita temukan dalam penelusuran warisannya dewasa ini, sangat tak terhitung jumlah dan kebermanfaatannya. Al-fatihah, Simbah Ajip Rosidi.

Data-sumber kedua, terdapat dalam buku kumpulan catatan (masih berbahasa sunda) Eman Soelaeman yang berjudul: Mapay Laratan Sajarah Pakuan Pajajaran, terbitan Pustaka Amma Alamia – Bogor – 2015. Saya juga menemukan satu catatan yang menarik dan tentu berbeda dengan uraian pandangan Ajip Rosidi. Dalam catatannya, Eman lebih memandang cerita pantun sebagai wahana meruang-mewaktu ke masa silam, tempat segala makna berhamburan sebagai nilai pembelajaran hidup dewasa ini. Sebagai budayawan-sejarawan Bogor, tentu nama Eman sangat dekat dengan hati dan pikiran masyarakat Bogor hari ini. Al-fatihah juga buat Simbah Eman Soelaeman.

Seikat Cerita Pantun Bogor

Dalam catatan Ajip, pantun Bogor yang dibahas lebih terfokus mengungkap muatan isi yang terdapat dalam judul pantun Dadap Malang Sisi Cimandiri. Ajip menguraikan bahwa tahun 1964 penerbit Mangle di Bogor mengeluarkan satu buku yang diberi judul Dadap Malang Sisi Cimandiri jilid 1, yang katanya jilid 2-nya akan segera menyusul. Namun pada kenyataannya memang tak kunjung terbit sampai hari ini. Di bawah judulnya ada sedikit keterangan yang tertulis “Seri Pantun Bogor”, dan dalam penuturan Mochtar Kala diuraikan bahwa, Dadap Malang Sisi Cimandiri merupakan cerita pantun yang diturunkan oleh Aki Buyut Bajurambeng pada tahun 1908. Lalu mengenai keterangan naskah aslinya (catatan langsung dari Aki Bajurambeng) sudah sulit untuk dibaca walaupun menggunakan aksara latin, ditambah sangat tak beraturan tanda bacanya. Ini tentu akan kita maklumi, sebab waktu itu penulisnya harus mengikuti uraian yang langsung disampaikan juru pantunnya.

Dari uraian tersebut, kita mendapat kesan dan lebih dipertegas bahwa cerita pantun Bogor yang berseri-seri, yang merupakan kisah Aki Bajurambeng sebagai juru pantunnya. Di sini kita juga mendapat kabar bahwa yang disebut dengan “Pantun Bogor” bukan hanya kisah Dadap Malang Sisi Cimandiri saja, melainkan ada beberapa bagian-seri lainnya. Dan yang menariknya, Ajip mengatakan dalam catatannya mempunyai beberapa foto-kopi dari salinan cerita pantun Bogor yang sudah diketik, antara lain berjudul, Ngadegna Nagara Pajajaran, Raja Pandita Baratmaya di Rancamaya, Dadap Malang Sisi Cimandiri, dan Kujang. Membaca salinan yang didapat Ajip itu, tentu judul-judulnya sedikit berbeda dengan apa yang semula saya uraikan pada tulisan sebelumnya. Ini menambah geliat kebingungan saya tentang apa dan bagaimana sebenarnya pantun Bogor. Huh!

Lanjut mengenai catatan Ajip, pantun Bogor banyak yang menganggap isinya memuat semacam ramalan, uga, atau penerkaan suatu masa ke masa yang dapat dibuka pembelajarannya tentang leluhur sunda umumnya, khususnya manusia Bogor di masa silam yang dapat dipelajari anak-cucunya dewasa ini. Hal itu bisa ditinjau dari cerita tokoh-tokohnya, suatu tempat perkampungan, gunung dan sungai-sungainya, dan lain sebagainya. Menariknya, Ajip membandingkan cerita pantun Bogor dengan Kota-kota lain di Jawa Barat bahkan sampai Jawa Tengah, yang menurutnya pantun Bogor dari strukturnya bukan serupa pantun pada umumnya. Walaupun dalam pantun Bogor juga ada bubuka yang disebut rajah, sedikit-banyaknya beda dengan struktur cerita pantun lainnya.

Ciri yang menurut Ajip sangat lekat dengan cerita pantun umumnya, biasanya sering diulang-ulang isi pembahasannya, sebab cerita pantun merupakan kerja tradisi lisan yang pada dasar strukturnya tak serinci dan tak serapih kerja tradisi tulis yang memiliki banyak pertimbangan. Hal tersebut sejalan dengan cerita dalam pewayangan, sandiwara, dan sebagainya yang biasanya sedikit liar meloncat-loncat atau lekat dengan kerja improvisasi. Dan Ajip sedikit tegas mengatakan, bahwa cerita pantun Bogor yang berjudul Dadap Malang Sisi Cimandiri merupakan bahasa lisan yang diubah utuh dalam bahasa tulis dan bukan bahasa lisan yang dituliskan sebagaimana adanya.

Maka titik-tolaknya, jika kisah tersebut diturunkan oleh Aki Bajurambeng pada saat seseorang (katakanlah Moctar Kala) sedang menuliskannya, maka bukan tidak mungkin kejadian tersebut tidak ada bedanya dengan yang mendiktekan. Bukan berarti Aki Bajurambeng bertutur seperti juru pantun kemudian disusul oleh perekam, namun perekam dengan cermat mencatat semua perkataan juru pantun, dan juru pantun sebagai pembicara juga berhenti terlebih dahulu dan menunggu pembicara selesai menulis kalimat yang telah diberitahu sebelumnya. Hal ini akan menjadi bukti jika memang kita mengamati dengan teliti, bahwa hampir tidak ada kalimat “hilang” yang tidak dicatat dalam ceritanya.

Masih ada tanda-tanda yang bisa dijadikan petunjuk lain tentunya, yang membuat praduga Ajip semakin mantap, bahwa cerita tersebut kemungkinan tidak disusun pada tahun 1908, melainkan lebih muda menginjak jauh dekat ke masa kini, bahkan sangat tidak mustahil jika ditulis pada tahun 1950-an. Praduga itu menurutnya didasarkan pada adanya beberapa kata yang hanya populer pada zaman Jepang sampai sekarang, diantaranya seperti kata “tuma”, “tamtama”, “komposer”, “buséét”, “tiang bendera” dan lain-lain yang terdapat dalam cerita pantunnya. Selain itu, ada “nubuat” yang bahkan tak menimbulkan keraguan: bukan tidak mungkin Dadap Malang Sisi Cimandiri ditulis bukan sebelum melainkan setelah hadirnya ciri-ciri yang disebutkan tadi di dalamnya.

Tinjauannya itu menerka kerangka secara politis yang menyebabkan pertanyaan mengapa sebab isinya itu dianggap ramalan, padahal kejadiannya malah sebaliknya. Pada kurun waktu yang menggambarkan kekalahan golongan Islam oleh golongan Komunis, yang terdapat dalam cerita pantun Dadap Malang Sisi Cimandiri itu menjadi titik curiga Ajip menurut pandangannya. Nah loh! Ajip lalu menghadirkan contohnya secara rinci, dengan menguraikan kutipan: ketika Rakéan Dadap Malang mengejek umat Islam yang menunaikan ibadah haji ke Mekah yang diibaratkan orang yang mencari kekayaan pada kita dengan menyembah kayu atau batu, mereka berkata:

Kaula henteu nyaho di tanah nu disaba ku dia. Tapi tina carita ti luaran, Antéa, anu mariang ti dieu téh, di dituna cenah geuning ogé ngajarugjug anu bungkeuleuk(an) ka pamunjungan, anu lain tina emas eujeung lain tina salaka, tapi tina batu dina taneuh!

Ayeuna kaula nanya ka dia: Marulang ti tanah sabrang di dieuna téh laju loba anu jaradi beunghar! Ceuk kaula, anu lain beunghar ti asal téh, tapi jadi beunghar sanggeus mulang ti pamunjungan, anu kitu téh jadina beunghar beunang pépénta!

Anu di dieu mah disarebutna: muja! Jeung kumaha, anu bareunghar beunang pépénta ti tanah sabrang tarelengesna leuwih-leuwih manan jelema anu bareungharna meunang pupuja di nagara ieu! (k. 84)

Tuluy lulugu nu ngawula ka Jaya Antéa, sabada ngabandungan omongan Rakéan Dadap Malang, nyarita ka batur-baturna: Kula inget baréto keur budak kénéh, carita uyutna aki kaula, nyaritakeun: Engké téh matapoé di Mandala Pajajaran baris diganti ku: bulan sapasi lalayanan béntang sahiji!

Laju urang Pajajaran digaranti sembaheunana jeung nyembahna marudu ngulon nyanghareupna! Tah, kiwari geuning bukti! Tapi, cék éta carita kénéh, batur!

Engkéna deui: Sembaheun anu anyar téh moal endeuk ngaruhum urang deui mun ti kalér jeung ti kulon, dina langit beureum sapamentangan tinggarenclang béntang karonéng! Amun nu ti heula geuning bukti cara kiwari kieu, tiiilok kituh beureumna langit, konéngna béntang, ogé henteu baris kajadian? (k 89)

Dalam terjemahan bebasnya, saya mengalih-bahasakannya, begini: Saya tidak tahu tanah apa yang dia kunjungi. Tetapi mendapat cerita dari luar, Antéa, siapa yang datang dari sini adalah, di sananya senang menyembah sujud ke bangunan yang lain terbuat dari emas, ujung lain dari perak, tapi dari batu di tanah!

Sekarang aku bertanya padanya: berpulang dari negeri seberang (mekah), ketika sampai di sini banyak orang menjadi kaya! Saya bilang, orang kaya lainnya dari asal, tapi menjadi kaya setelah kembali dari berkunjung, itulah adanya sangat kaya sehingga Anda bisa memintanya!

Jika demikian hal itu kalau di sini dikatakan: memuja! Apa dan bagaiman orang yang kaya dan meminta dari daratan di seberang itu lebih kaya dibandingkan orang-orang kaya hasil ibadah di negeri ini! (hal. 84)

Kemudian kepala suku yang melayani Jaya Antéa setelah mendengar perkataan Rakéan Dadap Malang berkata kepada rekan-rekannya: Aku ingat ketika aku masih kecil, kisah kakekku, memberi tahu: Itu nanti matahari di Mandala Pajajaran akan diganti oleh bulan sebelah yang mempunyai bintang satu! (lambang islam)

Lalu orang Pajajaran mengganti ritual ibadahnya dan memujanya dengan menghadap ke barat! Nah, hari ini buktinya! Tetapi, ini masih akan berlanjut ceritanya!

Kemudian: Ibadah itu baru tidak akan mengganggu kita lagi, jika dari utara dan dari barat, di langit merah seperti bintang terang! Kalau yang pertama buktinya seperti sekarang ini, lihat itu langit merah, bintang kuning, juga tidak akan terjadi? (k 89)

Dari kutipan di atas, menurut Ajip, terlihat jelas bahwa umat Islam dilambangkan dengan menggunakan “bulan sapasi/jasa bintang” yang mengingatkan kita pada lambang Partai Masyumi (“Bulan Bintang”). Namun apa yang dimaksud dengan “di langit bagaikan bintang terang? Tentu yang dimaksud tak lain adalah bendera Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang menganut komunisme. Kalau ceritanya “ Pantun Bogor” juga dianggap mirip dengan ramalan nenek moyang Sunda yang akan terjadi, mungkin maknanya tidak salah: jika “dikalahkan Islam, maka masyarakat Sunda akan dilupakan oleh komunis. “Kalau (juga) dari awal ada bukti yang kuat (yaitu orang Sunda masuk Islam), tiilok (= piraku) langitnya merah, bintangnya kuning tidak akan terjadi?”.

Bisa jadi bagi siapapun yang yakin dan percaya akan kebenaran “juga” nenek moyang orang Sunda dalam “Pantun Bogor”, kutipan di atas merupakan representasi dari peristiwa sejarah yang pernah atau akan dialami oleh masyarakat Sunda. Namun karena kita sekarang telah mengalami bahwa komunisme tidak hanya telah diberantas dari Indonesia (termasuk Tatar Sunda) tetapi juga telah menyebar di Uni Soviet sendiri, serta di negara-negara komunis lainnya di Eropa, maka jelas sekali bahwa hal tersebut hanyalah sebuah prediksi. Maknanya, bukanlah nenek moyang orang Sunda yang mengatakan untuk meramal jalan dari sejarah; namun itu sangat mungkin dibuat oleh orang-orang yang mempunyai pemikiran bahwa komunis akan mengalahkan umat Islam di Tatar Sunda.

Atau jika kita ingin membantah, kita dapat mengatakan bahwa pengarang “Pantun Bogor” mempunyai maksud untuk mempengaruhi pembaca agar percaya bahwa pada akhirnya yang akan memerintah Tatar Sunda dan masyarakat Sunda adalah mereka, yang memiliki “bendera merah” yang dihiasi dengan “bintang paling terang”(?). Entahlah.

Meskipun lambang bintang dan bulan telah menjadi lambang umat Islam dalam benderanya selama berabad-abad, namun bukan tidak mungkin yang dimaksud dengan “bulan sebagai pengabdian bintang” adalah lambang Partai Masyumi ( “Bintang Bulan”); Partai Masyumi baru berdiri pada tahun 1946 (atau pada masa Jepang). Begitu pula dengan Uni Soviet yang berdiri pada tahun 1917, sedangkan Republik Rakyat Tiongkok berdiri pada tahun 1949. Itulah yang membuat Ajip berpikir demikian, selain adanya beberapa kata yang tidak ada dalam pada tahun 1908, cerita “Pantun Bogor” ditulis oleh Aki Bajurambeng atau oleh siapapun itu, sangat mungkin baru pada tahun 1950an ditulisnya dan dikonfirmasi selama era Jepang. Bukan tidak mungkin kerumunan partai akan menghadapi Pemilu pertama (1955) atau sejenisnya.

Ajip menutup pandangannya dengan poin pemaknaannya, pertama apa yang disebut dengan “Pantun Bogor” itu didasarkan pada struktur dan bahasa puisinya, bukan cerita puisinya; dan (2) tidak direkam oleh juru pantun atau orang yang menceritakan kisah tersebut, melainkan merupakan naskah yang sengaja ditulis; atau apa yang didiktekan penulis kepada orang lain, yang mencatatnya kata demi kata. Dan kalau boleh menduga-kira (3) tulisan “Pantun Bogor” Dadap Malang Sisi Cimandiri ini mempunyai maksud untuk mempengaruhi pikiran masyarakat sunda yang pada saat itu sedang menghadapi berbagai pihak dan golongan sekaligus mengkritik Islam (dan memberikan kesan bahwa akhirnya akan memerintah masyarakat sunda adalah yang paham komunisme). Sangat tak terduga, bukan?

Dua-ikat Cerita Pantun Bogor

Berbeda dengan uraian Ajip, Eman Soelaeman mengemukakan pendapat lain tentang cerita pantun Bogor, lebih khusus yang berjudul Dadap Malang Sisi Cimandiri. Eman berpendapat ada keanehan pada “Carita Pantun Bogor” jika kita melihatnya dengan teliti secara bersama, yang menurutnya itu adalah harta-karun jiwa warisan “Pakuan Pajajaran” pada masa lampau yang hampir punah saat itu. Jika kita membaca cerita pantun Bogor tersebut, maka kita akan cepat mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Sebab cerita pantun mengandung unsur jati diri Sunda tentang kemerdekaan Sunda yang sesungguhnya, yang isinya merepresentasikan bagaimana budaya hidup rukun dengan sesama.

Tentang kisah pantun bogor berjudul “Dadap Malang Sisi Cimandiri” yang menurut Eman mengisahkan betapa hebatnya peristiwa ketika sisa prajurit Pajajaran mundur ke pesisir pantai daerah Pakidulan Palabuan sambil dengan sabar membela rakyat yang terbunuh oleh serangan tersebut. Prajurit Bantaeun/Banten dan prajurit Demak serta Cirebon dalam kekalahan terakhir Pajajaran pada tahun 1579 M. Eman juga mengisahkan ketika Purnamasari putra Prabu Siliwang dari istri selirnya didampingi Kumbang Bagus Setra berpura-pura menjadi Raja Pajajaran terakhir Nusiya Mulya Suryakancana. Niatnya berpura-pura menjadi Raja itu dan istrinya Permaisuri untuk meninggalkan Keraton Pajajaran. Agar jalan tidak mendapat hambatan dan gangguan dari musuh yang mengejar, diapit oleh biang keladi yang bernama Kalang Sunda. Seorang pemuda yang pintar dalam ilmu perang, ia berhati-hati dalam melawan musuh yang sedang membabi-buta saat itu.

Juru pantun Aki Buyut Bajurambeng yang membawakan ceritanya, menurut Eman titik-pengantar cerita dari Bajurambeng lebih lekat dalam susunan bahasa yang menggunakan dialek rumpin bahasa sunda. Setelah diteliti dengan seksama olehnya, ada keistimewaan dalam cara penyebarannya, namun cerita pantun Dadap Malang Sisi Cimandiri ada pada bentuk skenario film yang mana urutan adegan dan gambaran pelaku, suasana tempat dan kostum serta adegan lainnya, sangat dijelaskan sesuai dengan bentuk cerita sebagaimana cerita yang ingin difilmkan.

Memang pada dasarnya, setiap sastrawan atau juru pantun dalam pesannya selalu menjelaskan dan mewakili suatu peristiwa, terkadang sesuai dengan peristiwa sebenarnya, dan intinya adalah bahan rekaman eksternal. Dan menurut Eman, isi ceritanya sebenarnya bisa dijadikan bahan referensi untuk masa kini. Namun kenyataannya sungguh menyedihkan, tradisi cerita pantun dan babad telah terdesak ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita saat ini. Apalagi, para juru pantun atau mereka yang bisa bercerita dalam bentuk puisi, sajak, dan sebagainya sebagian besar sudah kembali ke alam keabadian. Saya kira generasi sekarang dan yang mengetahui dan mengetahui tentang Pantun dan Badad sudah tidak ada lagi, jadi siapa yang meneruskannya.

Setidaknya memang walaupun hanya sebagian, masih ada sebagian masyarakat yang pola pikirnya masih berpegang pada pemikiran lama, mengetahui ilmu sejarah namun masih berpegang pada cerita atau legenda. Sebagaimana kita ketahui, sejarah merupakan suatu jati diri yang telah diakui keabsahannya dengan dibekali ilmu pengetahuan, karena banyak temuannya yang terbantu oleh ilmu-ilmu lain ketika melakukan penelitian.

Ong! Ong! Ong! Memaknai Gambaran dan Pembacaan

Dari kedua data-sumber itu, saya juga mempunyai gambaran dan pembacaan pantun Bogor yang tentu akan berbeda dari Ajip maupun Eman. Sebab, kita sudah mengetahui bersama, seorang pembaca A tentu akan berbeda memaknainya dengan seorang pembaca B, ataupun pembaca C. Kadang-kadang kerja dari membaca lekat dengan peristiwa, suasana, isi pikiran maupun perasaan saat si pembaca itu sedang membaca suatu cerita maupun catatan, ada semacam aksi-reaksi yang kadang disadari dan kadang-kadang tak disadari bercampur-baur di sana.

Sepembacaan saya, pantun Bogor yang berjudul Dadap Malang Sisi Cimandiri merupakan cerita yang (sangat mungkin) oleh juru pantun maupun penulis atau perekamnya, dibuat atas dasar kerinduan pada masa silam, lebih khusus masa Pakuan Pajajaran yang masih diselimuti misteri. Jika kita membacanya secara utuh, dan menghadirkan dalam ringkasan cerita, Dadap Malang Sisi Cimandiri menceritakan bagaimana masa-masa kehancuran Pakuan Pajajaran, setelah Surya Kencana menggeserkan huniannya ke daerah Banten atau Pandeglang. Dalam cerita pantun itu pula, diceritakan gejolak peperangan fisik, non-fisik, bahkan kemelut masuknya berbagai agama ke Pulau Jawa bagian Barat, dan masih banyaknya yang berpegang pada pendirian agama Sundanya.

Lepas bagaimana pantun Bogor pada prosesi penciptaannya yang rumit itu, lebih khusus yang berjudul Dadap Malang Sisi Cimandiri, yang menurut Ajip merupakan wahana propaganda (si penulis) agar agama Islam tak sampai menaungi pulau Jawa bagian Barat secara menyeluruh, pembacaan saya malah bertolak dari itu dan melihat bagaimana Aki Buyut Bajurambeng atau penyalin Mochtar Kala (buat anak-cucunya) menyajikan ceritanya sebagai wahana perenungan bersama, lebih khusus untuk manusia Sunda di hunian Bogor. Hal itu bukan tanpa sebab, saya melihat kerangka kerinduan yang terang-terangan dalam ceritanya, bagaimana gaibnya tentang hilangnya bekas hunian kerajaan Pakuan Pajajaran yang berlokasi di Bogor, bagaimana usaha untuk menjaga nilai budaya hasil warisan Pakuan Pajajaran dari gelombang zaman, dan bagaimana kemelut kekuasaan yang menumpahkan darah pada masa itu.

Sebagai contoh, saya akan menghadirkan kutipan yang terdapat dalam cerita pantun Bogor yang berjudul Dadap Malang Sisi Cimandiri, hal.43, berbunyi:

Tjeuk Rakean: Teu pihelokkeun! Sabab ieu teh Gunung Bundeur anu tjeuk Ki Lengser bareto, baheulana teh urut turunna Sang Hijang Dewa Kala Batara. Tuh geuning, tapakna geh aja keneh!”

Tjeuk Den Bagus: ,,Njai! kaka deuk tapa di ieu gunung! Dia mudu dianteur ku Rakean tepung deui djeung Ama Parabu. Pangbedjakeun kaka teh aja gerentes ti Anu Agung mudu nanggoan wajah nu bakal datang pieun mapag surupna mata poe anu baris ngadjadjarkeun deui Pakudjadjar tina samangka di beulah lima!”

Secara terjemahan bebas saya memaknainya, begini:

Kata Rakean: sangat tak elok! Sebab ini adalah Gunung Bunder yang menurut Ki Lengser dahulu bekas turunnya Sang Hiyang Dewa Kala Batara. Lihatlah, bekas tapaknya saja masih ada!

Kata Den Bagus: Nyai! Kakak mau tapa di gunung ini! diantar langsung oleh Rakean agar bisa bertemu dengan Prabu. Tolong sampaikan bahwa kakak akan menghadap Yang Maha Agung sekaligus menunggu yang akan datang, yang menjelma matahari, dan akan menjajarkan kembali Pakujajar (keraton berjajar) yang dibelah dari buah semangka dan dibelah lima!

Melalui kutipan di atas, tertera jelas, bagaimana dihadirkan sumber sejarah mengenai Gunung Bunder (hari ini berada di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor), bagaimana si penulis atau juru pantun menghadirkan tokoh Rakean dan Den Bagus sebagai pengantar untuk mengulas-ceritakan tentang usaha atau niatan menghadirkan kembali keraton berjajar pajajaran yang sudah hancur atau hilang itu dengan bertapa dan bertemu langsung dengan Prabu (Siliwangi?). Dan ketika dilihat Gunung Bunder sebagai letak geografis, mitologi Siliwangi memang (oleh masyarakat setempat) banyak dipercayai moksa dan menghilang di Gunung Bunder itu, lebih tepatnya di lereng Gunung Halimun Salak.

Dengan demikian, sangat sulit menentukan makna secara utuh apa dan bagaimana cerita pantun Bogor jika tak dibaca secara utuh seri pantunnya. Sebab dalam cerita yang berjudul Dadap Malang Sisi Cimandiri saja, pemaknaannya bisa diobrak-abrik dan dikait-adukan ke hal-hal apa saja yang sangat mungkin pembaca bisa memilih sendiri jalan dan tujuannya. Untuk sementara begitu saja. Lain waktu kita obrak-abrik secara menyeluruh dan kita terjemahkan secara utuh-lengkap cerita pantun Bogor yang berjudul Dadap Malang Sisi Cimandiri ini. Eits, namun pada kesempatan selanjutnya ya, tunggu saja, Saudaraku!***