ORASI DEWAN KESENIAN 2025

Trompe L’oeil With Studio Wall And Vanitas Still Life (1668)

Ekosistem kesenian, jika dimetaforakan sebagai ekosistem hutan, maka seniman adalah raja hutan:

yang bisa saja kita sebut serupa dengan harimau.

Seniman harimau itu, betapapun kuat dan menakutkan, jika ia terlepas dari kawanannya, selain akan mati kesepian—ia hanya gagah di atas penderitaannya sendiri. Lebih jauh lagi, seniman yang serupa harimau itu, jika lepas atau melepaskan diri dari kawanannya di dalam wilayah kekuasaanya sendiri—akan kalah telak oleh kawanan ular yang berkoloni atas suatu dasar kesadaran dan capaian kekuasaan.

Pengantar atas pengandaian di atas saya maksudkan untuk membahas bagaimana potret ekosistem kesenian di Bogor—yang walaupun sudah matang sejak dalam kelompoknya masing-masing, jika senimannya tidak punya kesadaran koloni dalam masing-masing kelompok/wilayah untuk membangun “pusat ruang kesenian” bersama, hanya akan sampai pada pencapaian lembah-karya dan tidak mungkin sampai pada suatu puncak tertinggi pegunungan-karya. Untuk mencapai puncak tertinggi pegunungan yang saya maksudkan sebagai pusat ruang kesenian bersama, adalah di mana tercipta ruang titik temu seniman yang mutlak sebagai ruang pembangunan dialektika-pengkaryaannya.

Pusat itu tiada lain adalah Dewan Kesenian Bogor. Adalah tiada lain pula sesegera mungkin masyarakat seniman harus mengaktivasi dan menciptakan kembali Dewan Kesenian Bogor yang inklusif dan representatif: mengais berbagai persona di tiap bidang kesenian untuk mengendarai kehidupan kesenian Bogor ini secara bersama-sama.

Mengapa mesti dewan kesenian? Apakah tidak ada alternatif ruang-wadah lain selain dewan kesenian? Lalu memangnya apa dan bagaimana dampak ketika Dewan Kesenian Bogor dijalankan oleh masyarakat seniman secara inklusif dan representatif?

Sebab, dewan kesenian adalah ruang yang mampu menjangkau serangkaian waktu yang vertikal dan horizontal: masyarakat seniman kepada penguasa, masyarakat seniman kepada masyarakat seniman, dan masyarakat seniman kepada masyarakat lainnya. Dengan tegas saya akan mengatakan tidak ada ruang strategis untuk menjangkau dua dimensi itu, dan dewan kesenian mutlak sebagai pilihan masyarakat seniman Bogor dalam membangun ekosistem kesenian itu sendiri sebagai puncaknya, dengan atau tidak meninggalkan kelompok seni alternatifnya masing-masing yang tengah dijalani.

Kerangka berpikir yang selalu dan hanya memikirkan arus/ruang alternatif tanpa memikirkan arus utama, saya rasa menjadi gambaran bagaimana ekosistem kesenian di Bogor yang begini kondisinya: berjarak antara kelompok seni dengan kelompok seni lainnya, berjarak dengan kekuasaannya yang pada akhirnya menjadikan seniman sebagai entitas yang tidak punya hak atas suatu kehidupan kotanya sendiri.

Coba kita refleksikan persoalan dan pernyataan tersebut. Apakah kehidupan kesenian kita di Bogor sudah menekankan bagaimana kerja interaksi-kolaborasi dalam suatu wadah utama yang mendukung? Apakah kerangka berpikir kita sudah sampai pada ekosistem kesenian bukan hanya persoalan persona seniman, bukan hanya geliat tiap kelompok alternatif seniman, melainkan tertuju pada terjalinnya simpul-koalisi seniman dalam suatu wadah bernama dewan kesenian yang ideal untuk dapat menjadi wahana kerja kreatif, yang di dalamnya terhimpun karya, kritik, dan arsip?

Pertanyaan itu akan langsung bisa kita jawab dengan melihat kemandekan kerja dan guna Dewan Kesenian Bogor hari ini, yang sangat jauh dari efektivitas berikut representatif kerja kehadirannya. Akibatnya fatal, masyarakat seniman fokus pada dunia alternatifnya. Pusat ruang keseniannya menjadi sangat miskin dan tidak memadai. Dan berjaraklah kerja-kerja kesenian tiap kelompok kesenian itu sendiri. Lebih parahnya, ekosistem kesenian di Bogor ini tidak terarah, tidak punya tujuan dan capaian bersama. Maka, adalah sangat wajar bila kesenian di Bogor hanya berjalan di tempat, tidak berkembang secara optimal: baik guna dan citranya.

Atau, jika bertolak dari cara berpikir Howard Becker (dalam Art World: 1982), dengan ketidakhadiran Dewan Kesenian Bogor, secara de facto mayoritas seniman di Bogor tidak mau bergantung pada pegiat kreatif lainnya, pada kelompok seni lainnya, untuk mendapat dan mengolah bahan-bahan guna menghasilkan karyanya secara bersama: entah dipamerkan, dimainkan, diterbitkan, dikritik, dan didistribusikan secara bersama-sama. Maka dari itu, ekosistem kesenian di Bogor, dengan bobroknya dewan keseniannya, adalah potret bagaimana mereka mungkin saja tidak membutuhkan kolaborasi dan koordinasi di antara kerja atau lintas disiplin seni: entah yang bergelut di bidang musik, rupa, film, tari, sastra, kritikus, kurator, dan seterusnya, sangat mungkin tidak membutuhkan arus utama kesenian sebagai puncak dialektika dan pembangunan keseniannya.

Padahal, arus utama dalam dunia kesenian dapat dipahami sebagai suatu wadah yang memfasilitasi interaksi dan kolaborasi antar seniman, kritikus, kurator, dan masyarakat seni lainnya. Arus utama ini dapat menjadi pusat pengkaryaan, kritik, pengarsipan, dan dialektika yang inputoutput-nya dapat mempromosikan kesenian dan memfasilitasi perkembangan kesenian dari waktu ke masa. Dan Dewan kesenian inilah yang saya maksud sebagai arus utama yang dapat menjadi wadah ideal untuk memfasilitasi ruang alternatif dalam perputaran ekosistem kesenian di Bogor.

Dewan kesenian Bogor bisa menjadi tonggak pusat pengarsipan pengkaryaan yang sekaligus dapat mempromosikan karya tiap seniman, berikut berguna sebagai wadah fasilitas atas interaksi antar seniman dan masyarakat seni lainnya. Dewan kesenian jelas dapat dan harus menjadi wadah tampungan kritik dan dialektika tiap para seniman sekaligus harus menjadi fasilitas informasi bagaimana perkembangan dan polemik kesenian terkini, serta bagaimana mempromosikan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesenian itu sendiri: sebagai pilar peradaban.

Saya rasa, dengan direvitalisasinya Gedung Kesenian Kamuning Gading dalam waktu dekat ini, adalah momen langka untuk kita mempertimbangkan kembali fungsi Dewan Kesenian Bogor. Sudah bukan waktunya kita menengok ke kanan dan ke kiri, iri-cemburu terhadap ekosistem kesenian di kota tetangga. Sebab, yang perlu dan wajib kita jalankan adalah merefleksikan bagaimana pentingnya arus utama sebagai pusat kesenian yang dapat menampung segala pengkaryaan, kritikan, dan menampung serangkaian kegelisahan, harapan-impian, melalui Dewan Kesenian Bogor sebagai wadah dialektika bersama.

Dengan mereposisi dan mengaktivasi Dewan Kesenian Bogor, dampak yang akan kita rasakan tentunya bisa terjalin jembatan antara masyarakat seniman dengan pemerintahan terkait, sehingga dapat mendobrak kemiskinan fasilitas untuk mengembangkan kesenian sebagai pilar suatu kebudayaan—sebagai ruh dari peradaban. Dengan mereposisi dan mengaktivasi Dewan Kesenian Bogor, kita bisa mulai membangun kesadaran bersama bagaimana kelindan antara karya, publikasi (pertunjukan, pameran, dan sejenisnya), kritik, arsip, sebagai komposisi mutlak dalam ekosistem kesenian.

Masyarakat seniman di Bogor tidak punya waktu lagi, sebab inilah saatnya dan sudah waktunya untuk mengolah daya reflektif-evaluatifnya hari ini: baik di kalangan persona seniman sendiri maupun di tiap kelompoknya, untuk memaknai geliat pencerahan bersama. Ketika masyarakat seniman sudah sampai pada pembentukan cita-cita pencerahan bersama, kita akan sampai pada suatu titik temu bahwa, Dewan Kesenian Bogor yang kita bangun dan rumuskan bersama ini, Dewan Kesenian Bogor yang kita kendarai untuk sampai kepada tujuan bersama ini, adalah pusat kesenian bersama: yang menampung segala karya, segala publikasi, segala kritik, dan segala dialektika persoalan kehidupan yang terarsipkan dalam laku seni—yang membangun kebudayaan—yang mewarnai peradaban.***

  • Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.

    Lihat semua pos